3. Kian
Hari ulang tahun adalah hari istimewa—hal lumrah bagi sebagian besar orang. Namun tidak bagiku. Aku tidak mengerti mengapa sebagian besar orang begitu menganggap hari lahir sebagai sesuatu yang spesial, di saat aku benar-benar ingin melupakannya. Selain karena di hari ini—umur selalu berkurang, ada hal buruk yang terjadi di hari lahirku ini. Ketakutan dan trauma itu masih menghantui. Menenggelamkan diri dalam rutinitas pekerjaan kerap kulakukan sebagai pengalihan.
Dan di hari ulang tahun pula, tahun ini aku bertemu dengan Kian, lelaki yang mengaku sebagai malaikat penjaga dan perjalanan kami ke Rainbow Castle. Dua hal yang membuat logikaku berdentam hebat. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Kakek Anthoni tidak pernah bercerita apa pun mengenai manusia terpilih, malaikat penjaga, forever young, atau apa pun yang telah dijelaskan Kian barusan. Aku bingung.
Takut, cemas, dan penolakan, adalah hal yang kulakukan saat mengetahui perubahan dalam hidupku. Namun, seperti yang Kian katakan tadi, "Seiring berjalannya waktu, aku juga akan paham dengan sendirinya." Aku masih tidak tahu harus menerima atau menolak. Semuanya serba tiba-tiba dan begitu cepat.
Membicarakan Kian, pertemuanku dengannya tidak merubah apa pun jika itu mengenai pekerjaan. Restaurant tetap seramai sebelum kutinggalkan tadi. Disaat-saat genting seperti jam makan siang, aku berterima kasih karena Pak Joko memberi tim yang sangat professional dan bisa diandalkan.
Kami bekerja secepat dan sesempurna mungkin. Menghidangkan hidangan-hidangan terbaik sesuai pesanan. Dan juga mereka sama sekali tidak mempermasalahkan kecerewetanku mengenai bagaimana makanan itu harus terhidang di piring. Mulai dari kebersihan, tingkat kematangan, rasa, plating hingga seasoning. Mereka tim terbaik yang aku punya.
Aku beruntung untuk hal ini.
Disaat banyak orang mempermasalahkan bagaimana kejamnya dunia kerja, aku justru merasa sebaliknya. Beruntung memiliki teman-teman dan bos besar yang baik. Ditambah pula dengan gaji sepadan dengan kerja kerasku. Kebanyakan para bos besar memperkerjakan para manusia layaknya budak dengan gaji yang tak pantas.
Hari istimewa yang melelahkan telah usai. Aku pun segera melepas apron dan seragam yang menempel pada tubuh, meregangkan otot-otot yang terasa kaku lalu bergegas menuju parkiran. Kemudian mengenakan helm dan segera melaju. Menggunakan motor tentu lebih praktis daripada mobil, kan? Itulah sebabnya aku sangat suka membawa si putih kemana pun.
Setelah berkendara selama 20 menit, aku memarkir motor di sebuah tempat yang sangat sepi. Jam berapa pun, tempat ini akan selalu sesepi ini. Aku melangkahkan kaki menuju sebuah pusara yang sudah lama tidak kukunjungi. Langkahku terhenti pada sebuah batu nisan bertuliskan "Anthoni Valerie".
Aku berjongkok untuk mensejajarkan posisi dengan nisan usang itu. "Kek? Semoga kakek disana baik-baik aja ya. Hari ini cucumu ulang tahun ke 26, kakek nggak mau ngasih ucapan selamat ulang tahun?" tanyaku sambil terkekeh, menyelipkan nada humor dalam ucapanku.
"Seperti yang kakek tau, aku bercita-cita untuk menjadi chef yang hebat. Dan sekarang semuanya sudah terwujud. Seandainya kakek bisa liat dimana cucumu ini bekerja dan nyobain masakanku, pasti kakek ikut bangga. Untuk kakek gratis, deh. Best of best of me.
"Mungkin cucumu belajar dan bekerja terlalu keras, terlalu perfectsionist sepertimu. Disaat teman seusiaku sudah menimang anak, tapi aku masih sendiri aja kek. Harusnya aku kesini nggak sendirian ya kek, tapi bawa cicit kakek.
"Namun, tidak masalah, kek. Aku nggak sedih kok. Cuma risih aja dijodohin sana sini. Aku bisa kok, kek, cari jodoh sendiri, kakek percaya, kan? Ternyata nggak cuma sifat kakek yang nurun ke cucumu ini, aku juga bisa mengeliat malaikat. Tadi siang ada orang yang ngaku malaikat, kek. Kenapa bukan jodoh yang duluan nyamperin, malah-"
"Alika!" Suara itu menghentikan obrolanku. Bukan obrolan dalam arti yang sesungguhnya, karena aku hanya berbicara sendiri di pinggir pusara kakek. Belum selesai menceritakan isi hatiku pada orang tersayang, hawa sedingin es itu kembali menyapa.
Kian! Is that you?
"Alika, ini aku." Tubuhku membeku. Sensasi dingin yang kurasakan dengan kehadiran Kian lebih menusuk dibandingkan sebelumnya, teruma pada bagian tangan kiriku.
"Tidak apa-apa, Alika. Tidak usah takut, maaf sudah mengejutkanmu." Kian menggantikan rasa dingin mematikan itu dengan rasa hangat yang nyaman. "Aku menjagamu, bukan menyakitimu." Hatiku menghangat mendengarnya.
"Alika, cucuku. Sekarang kamu sudah dewasa. Terima kasih, akhirnya kamu meluangkan waktu untuk menjengguk kakek. Mungkin awalnya memang mengagetkan dan nggak nyaman dengan kondisi ini. Namun percayalah, ini terbaik untukmu saat ini. Mungkin Kian pernah sedikit bercerita tentang Edgar, Edgar pramudya." Ternyata tidak hanya Kian yang berada didekatku, tapi juga kakek. Tanpa terasa mataku berkaca-kaca, rindu itu terbit di lubuk hati. "Edgar itu malaikat penjaga yang sudah menenin kakek kurang lebih 30 tahun." Air mata itu menggenang di pelupuk mata. Hawa hangat yang ditimbulkan karena Kian dan kakek masih berada di sampingku dan suasana haru dihati seketika menghilang, atmosfirku kembali beku.
Apakah ada malaikat lain disini? Edgar?
"Sudah waktunya kita saling kenal. Setelah sekian lama, akhirnya kamu kesini, Alika. Sekarang saatnya kamu mendapatkan jati diri yang sebenarnya," sahut Edgar. "Selamat datang, manusia terpilih." Aku masih belum mengerti tentang apa yang dibicarakan kakek, cahaya putih yang sangat terang seperti sebuah lingkaran lorong waktu telah menunggu. Lingkaran cahaya itu menghisap tubuhku mendekat.
"Kian! Kakek!" Aku takut. Suasana berubah menjadi mencekam dan menakutkan. Langit berubah menjadi mendung, kelabu menyelimuti pusara kakek. Sekelompok burung berterbangan melintasi langit. Menggambar seperti hujan yang akan turun sebentar lagi. Aku tidak tahu apa yang ada di ujung lingkaran cahaya itu.
Aku masih mencintai dunia chef, terlebih lagi, aku belum menikah. Jangan mati dulu, Alika, air mataku luruh. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Gaya tarik yang ditimbulkan lingkaran cahaya itu begitu kuat, menarik dan membawa kami ke sebuah dimensi lain.
Aku mengeratkan pejaman mata. Banyak kebingungan yang belum terjawab. Kian mengaku sebagai malaikat penjagaku, tapi sejak kehadirannya, mengapa semua terasa menyeramkan begini. "Tidak apa-apa, Alika. Tidak usah takut." Suara Kian terdengar di sampingku. Namun, lagi-lagi aku tidak bisa melihatnya akibat mata yang terpejam, kilatan cahaya di sepanjang lingkaran cahaya ini sangat tidak bersahabat dengan korneaku.
Akupun hanya bisa pasrah, entah takdir akan berakhir dimana. Jika dulu kakek juga selalu bersama malaikat penjaga selama 30 tahun, tentu mereka tidak berbahaya—jika sekarang akupun tengah bersama salah satu dari mereka. Nyatanya, ketika dalam keadaan berserah terhadap takdir, seperti yang sedang kulakukan sekarang, semuanya menjadi lebih mudah.
Ketika malaikat seperti Kian mampu membaca isi pikiranku, bagaimana dengan Tuhan? Tentu lebih hebat lagi. Ujung lingkaran cahaya ini mulai terasa ketika udara hangat perlahan menerpa kulitku. Aku telah tiba, di kejutan selanjutnya, di pelajaran kehidupan berikutnya yang siap menyapa.
***
18 November 2019
Revisi 1, 14 Desember 2019
Revisi 2, 27 Desember 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro