Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Pengakuan

Aku menarik nafas panjang dan mengeluarkannya sambil merapal doa. Kuambil segelas air, meneguknya perlahan. Lagi-lagi sambil merapal doa. Aku butuh waktu untuk mengembalikan konsentrasiku yang ambyar akibat kahadiran Levin. Kulihat arloji yang melingkar di tangan kiriku, masih jam 2 siang. Tersisa 2 jam lagi sebelum waktunya pulang. Pengunjung sudah tidak seramai tadi namun juga tidak sepi. Aku harus siap kembali dengan spatulaku. 2 menit istirahatku telah berlalu.

Dan benar saja, kecintaanku pada pekerjaan ini merupakan salah satu terapi bagiku. Ketika sudah asyik dengan alat-alat masak di depanku, aku perlahan bisa mengeyahkan Levin dari benakku. Hidangan demi hidangan telah tersaji. Menyalurkan hobi sambil bekerja adalah cara terbaik untuk membunuh waktu.

**

Jam telah menunjukkan pukul 4 sore, aku pun berjalan menuju parkiran bersama Dona dan Azka.

"Tadi siapa yang nyariin kamu, Al?" tanya Azka.

"Levin," jawabku singkat.

"Levin mantan kamu itu?" tanya Azka lagi.

"Sudah nggak usah bahas itu. Alika nggak suka dengan topik ini. Jangan ganggu dia." Dona memperingati Azka. Aku bersyukur ia mau membantuku menjawab pertanyaan yang dilontarkan Azka. Setelah sampai di parkiran, kami pun berpisah di motor kami masing-masing.

Kuambil helm putihku, mengenakannya dan segera melaju. Namun langkahku terhenti saat melihat sosok yang tengah menungguku di gerbang restaurant. Aku kembali mengatur deru nafasku. Mencoba tenang.

"Mau pulang, Al?"

"Seperti yang kau lihat."

"Nggak mau pulang bareng nih?" tanyanya. Tanpa menunggu jawaban dariku ia telah mengambil alih kemudi motorku. Memaksaku untuk turun, dan beralih ke kursi penumpang.

"Ayo. Tidak ada penolakan," ucapnya tegas.

Aku hanya bisa menurut, mengikutinya. Setidaknya aku tidak perlu capek-capek mengendalikan si putih saat dadaku masih terasa sesak.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya. "Daritadi diem aja." Lanjutnya. Alih-alih menjawab, aku justru memeluk tubuh Kian dari belakang. Aku bisa merasakan Kian merasa terkejut.

"Kau tidak apa-apa?" Kian kembali mengulangi pertanyaannya.

"Biarkan aku seperti ini, sebentar saja. Lagipula kau selalu bisa membaca pikiranku, kan?" sahutku.

Kian mengelus punggung tanganku yang berada di bagian depan tubuhnya. "Aku hanya ingin memastikan kali ini aku salah, aku ingin kau selalu baik-baik saja, Alika."

Aku meletakkan kepalaku di pundak Kian. Tidak menjawab apapun pertanyaannya. Aku lelah. Lelah dengan rasa traumaku terhadap Levin. Setelah kemarin bermimpi buruk, kini Levin benar-benar muncul tepat di hadapanku. Semua yang kutakutkan senyata ini. Ia kembali. Datang untuk kembali memaksaku dan merenggut duniaku. Aku tidak mau lagi. Sekuat apapun aku mencoba memaafkannya, namun luka itu semakin terasa perih. Terlebih kembali melihatnya berada di restaurant ini, mengingatkanku bagaimana dulu aku harus kucing-kucingan dengannya hanya untuk pergi bekerja. Ini tidak hanya sebuah profesi bagiku, ini hidup, cita-cita dan masa depanku.

Tidak hanya itu, Pak Joko kerap menegurku akibat hal ini. Aku memiliki tanggung jawab saat ini, dan apapun alasannya, sebuah tanggung jawab tetaplah tanggung jawab. Kata-kata buruk yang Levin suarakan kembali menggema diingatanku.

Aku mencintainya, sangat. Tapi mengapa...

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Sekarang beristirahatlah." Kian kembali mengelus punggung tanganku. "Dan kita sudah sampai. Berhenti melamun yang tidak-tidak. Tidak ada Levin, hanya ada aku dan kamu di sini."

"Semua tentang Levin akan hilang, dan akan tergantikan," ucapku masih dengan posisi memeluk Kian.

"Tentu. Lebih baik kau memikirkanku saja, dibandingkan pria itu." Kata-kata Kian itu membuatku memukul bahunya. "Kenapa?" tanya dengan wajah polosnya.

Aku tertawa melihat ekspersi Kian yang seperti itu. Akhirnya, aku kembali bisa tertawa. Suaraku terhenti saat Kian mengusap kepalaku.

"Jangan sedih lagi," ucapnya.

"Terima kasih, My Kian," ucapku dengan senyum tulus. Kian kembali mengusap puncak kelapaku. Aku tersentuh dengan apa yang ia lakukan barusan. Ternyata, obat dari semua ketakutan akan masa laluku hanya satu, Kian. Akupun beranjak dari posisiku, melepas helm dan berjalan menuju pintu. Kian benar, aku harus benar-benar beristirahat. Pikiranku harus terbebas dari semua hal negatif tentang Levin.

Saat hendak membuka pintu, aku terkejut karena Kian yang tiba-tiba memelukku. "Kian?" apa yang sedang ia lakukan?

"Jangan sedih lagi," ucapnya. Aku tersentak. Bagaimana pria ini sangat peduli dengan perasaanku. Bagaimana ia selalu berusaha menjagaku. Kian.

Aku membalik tubuhku, ikut memeluk Kian. Kuhirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Sesuatu yang kini menjadi favoritku. Aku bisa merasakan degup jantung Kian yang sama tidak teraturnya dengan jantungku yang semakin liar. Berasa didekatnya seperti ini membuatku meraskan sesuatu yang menggelitik perutku.

"Aku nggak sedih, Kian. Terima kasih telah membuat semuanya terasa lebih baik. Aku berhutang banyak padamu." Kian terus memelukku. Aku yakin ia tahu kondisiku saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya, namun ia masih belum mau melepaskanku.

"Kian, aku capek," ucapku sambil melonggarkan pelukanku di tubuhnya. Namun Kian justru bersikap sebaliknya. Ia kembali menghapus jarak diantara kami. "Sebentar saja, tetaplah seperti ini." Kian mengulang kata-kataku tadi. Mengapa kondisinya jadi berbalik seperti ini?

"Kau tidak apa-apa, malaikat penjagaku?"

"Aku menyayangimu, Alika Geraldine Valerie." Kata-kata Kian itu membuat seluruh tubuhku menegang. Aku tidak mempercayai indra pendengaranku saat ini.

"A-apa? Kamu barusan bilang apa?"

"Nggak. Aku nggak bilang apa-apa," ujarnya.

"Barusan kamu bilang apa, Kian?" Aku berusaha melepaskan diri dari pelukan Kian, ingi menatap tepat di manik matanya. Namun kekuatan Kian jauh melebihku, ia semakin merengkuhku.

"Aku, menyayangimu, Alika," ucap Kian dengan terputus-putus. "Aku nggak akan biarin Levin atau siapapun buat nyakitin kamu," lanjutnya.

"Ka-kamu serius?" Lama-lama aku kembali merasa sesak karena Kian terlalu erat memelukku. "Kian aku nggak bisa napas." Rasa nyeri itu sedikit menyusupi dadaku.

"Aku minta maaf, kamu nggak apa-apa?" Kian menjauhkan tubuhku dari rengkuhannya, memegang kedua pipiku. Berbeda dengan sebelumnya, sorot matanya menyiratkan kekhawatiran.

Kedua pipiku memanas, dan aku yakin Kian bisa merasakan itu di permukaan tangannya. Tidak hanya paru-paruku, jantungku kini mati rasa.

"Kita bicara di dalam." Kian membantuku membuka pintu dan mempersilakanku masuk.

Kian memintaku untuk duduk di kursi tamu. Kuletakkan tasku, merenggangkan kedua tangan dan kakiku. Kulihat punggung Kian menjauh dan mendekat kearah dapur. Mengapa sekarang aku berlagak seperti tamu di rumah kontrakanku sendiri?

Tidak lama berselang, Kian kembali membawa tiga gelas air. Ia membantuku untuk minum. Dan sama seperti kemarin, lagi-lagi ia membersihkan sisa air di sudut bibirku.

"Aku tahu kau sesak dan aku lah penyebabnya. Aku minta maaf, Alika." Bagaimana aku tidak sesak kalau terus-menerus diperlakukan semanis ini olehmu, batinku bersuara.

"Aku minta maaf karena tadi datang terlambat. Seharusnya kau tidak harus bertemu lagi dengan Levin. Aku minta maaf. Dan sepertinya ia sedikit terkejut setelah melihatku. Ia berfikir kalau kau masih terikat dengannya, hatimu masih miliknya. Namun, aku menegaskan kalau semuanya kini telah berubah. Sudah tidak ada yang perlu ia bicarakan denganmu. Jalan kalian telah berbeda," terang Kian.

"Apa dia percaya begitu saja?" tanyaku.

"Awalnya tidak. Namun aku terus menegaskan kalau kau sekarang menjadi tanggung jawabku. Keadaanmu, bahagiamu, hati dan jiwamu, semuanya menjadi penting bagiku. Dan aku tidak mengizinkannya atau siapapun untuk merusaknya." Aku mencari kebenaran dari sorot mata Kian.

"Apakah tugas malaikat penjaga memang sedemikian besarnya, Kian?" tanyaku hati-hati.

"Ketika Edgar menjaga Anthoni dulu, tanggung jawabnya tidak sebesar ini. Karena tugas utama kami adalah menjaga kalian untuk tetap berada di garis takdir kalian, sebagai manusia terpilih. Membantu siapa saja yang berhak untuk di tolong. Seperti saat kau menolong keluarga Zack, Bagas, Sesil, Riana dan yang lainnya. Menolong mereka adalah kewajibanmu, aku hanya memfasilitasi agar kau bisa menolong mereka. Namun sepertinya aku seudah terlalu jauh melangkah, Alika.

Aku terjebak dalam dunia dimana menjagamu seutuhnya menjadi sesuatu yang harus kulakukan. Terlebih saat melihatmu masih dihantui rasa takut akibat masa lalumu dengan Levin. Hatiku terkoyak. Aku tentu tidak bisa tinggal diam. Hingga akhirnya aku sadar, kalau melihatmu tersenyum, bahagia dan baik-baik saja sudah menjadi kebutuhan bagiku saat ini. Aku sempat menolak semua ini. Bagaiaman takdirku? Takdirmu? Aku hanyalah malaikat penjagamu, dan kau adalah manusia terpilih yang King Wiliam tugaskan untuk kujaga. Kenapa malah begini?

Setelah dari panti asuhan, aku sempat menemanimu beberapa saat. Namun setelah itu aku pergi ke langit, King Wiliam memanggilku ke rainbow castle. Kurasa ia telah mengetahui apa yang menimpaku, dan tentu saja ia tahu. Aku sangat terkejut mendengar penuturannya saat itu." Ada jeda di ujung kalimat Kian.

"Apakah kau dihukum? King Wiliam marah padamu? Ceritakan padaku, Kian." Rasa penasaran kembali menyerangku hingga ke ubun-ubun. Bahkan aku tidak ingat jika sebelumnya sempat kesulitan bernafas.

"King Wiliam... "

"Apa yang ia katakana, Kian? Ayolah, aku sudah kepalang penasaran." Aku mendekat kearah Kian, menuntut jawaban darinya.

"Kau selalu saja menggemaskan, Alika." Kian mencubit pipi kananku gemas.

"Aku penasaran, Kian. Ayolah. Please."

"King Wiliam mengatakan kalau, kau memang takdirku, Alika." Kian mendekat dan merangkul pundakku. Aku melihatnya dengan tatapan bingung yang tidak bisa kusembunyikan.

"King Wiliam nggak marah?" tanyaku.

"Justru sebaliknya. Andai kau tahu bagaiaman perasanku saat itu." Kian menarik rambutnya pura-pura frustasi. "Takut, deg-degan, berharap, cemas, dan entah apa lagi. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika King Wiliam mencabut takdirku. Berpisah denganmu sama sekali tidak ada di dalam bayanganku sebelumnya. Namun semua kekhawatiranku terbantahkan. King Wiliam tidak mempermasalahkan perasaanku. Aku menyayangimu, Alika."

"Itu artinya?"

"King Wiliam memang sengaja menyuruhku untuk menjadi malaikat menjagamu, bahkan jauh sejak kau belum di lahirkan. Kau memang tercipta untukku."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro