Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Dream

Aku meringkuk di ujung kasur. Mengeratkan pelukan pada gulingku. Bulir-bulir peluh membasahi kening. Raut ketakutan benar-benar tercetak di wajahku yang masih memejamkan mata.

“Alika.” Samar-samar aku mendengar suara Kian. “Alika.” Ia memanggilku dengan suara yang lebih keras sambil menggoyangkan tubuhku. “Alika, bangun!” Mataku terbuka, kulihat Kian memang duduk disampingku. Aku pun langsung terduduk dan memeluk tubuh Kian.

“Kian.”

“Alika, ada apa?” tannyanya.

“Aku mimpi buruk, Kian.” Napasku terengah-engah. Aku takut. Benar-benar takut.

“Ada-apa? Ceritakan padaku.” Kian mengusap kepalaku lembut. Aku semakin mengerat pelukanku di tubuh bidang Kian.

“A-aku mimpi Levin” ucapku masih dengan napas memburu. Rasa trauma itu masih menguasaiku. Entah sampai kapan, aku sudah cukup lelah dengan semua ini.

Kian menciptakan jarak denganku, menyentuh bahuku, tatapannya menyiratkan keibaan. Ia mengambilkanku segelas air di atas nakasku, dan langsung kuteguk cepat. Aksi tergesa-gesaku itu menyisakan sedikit air di ujung bibirku. Aku berusaha mengatur deru nafasku masih sambil menunduk, menatap kedua tanganku yang mengenggam gelas. Kian mengangkat tangannya ke arah bibirku, menghapus sisa air yang masih menempel di sana. Perbuatannya itu membuatku mengalihkan pandanganku kearahnya. Ia tersenyum, hal yang kini menjadi salah satu favoritku. Degup jantungku semakin liar, namun dengan alasan yang berbeda. Kehadiran pria ini di depanku adalah solusi tepat di saat aku sedang tidak dalam kondisi baik seperti sekarang ini.

Kian kembali mendekapku. Memberikan kenyaman yang luar biasa. “Kau bebas bercerita apa saja padaku, kau percaya, kan?” Ia kembali mengusap kepalaku lembut. Seluruh rasa takut itu kini telah berganti dengan kehangatan.

“Tentu saja,” ucapku.

Levin. Pagi itu ia datang ke kontrakanku seperti biasanya. Lelaki yang berstatus sebagai kekasihku itu hendak menjemputku. Ia tersenyum hangat, menyapaku dengan panggilan sayang. Kami siap untuk beraktivitas di hari itu.

Pagi yang sama seperti sebelum-sebelumnya, tidak ada sesuatu yang istimewa. Levin bertanya padaku, “Kau tetap bercita-cita ingin menjadi chef?” Ia sudah sangat sering bertanya mengenai hal ini. Dan jawabanku selalu sama. Tidak ada yang berubah dengan keinginanku yang satu ini.

“Tentu, sayang. Aku telah menginginkannya sejak berusia 10 tahun, seperti yang kau tahu,” jawabku.

“Apa yang bisa kau harapkan dengan menjadi koki?”

“Aku menyukai kuliner dan memasak sama seperti kau menyukai rumus-rumus bodohmu itu. apa yang kau harapkan dari mempelajari rumus-rumus itu?” Aku mendadak tidak selera dengan arah pembicaraan Levin. Aku sudah bosan membahas hal ini.

“Tentu saja ini berbeda, Alika. Sayang, dengar lah. Kau masih muda dan cantik, kesempatanmu untuk berkarir sangat terbuka lebar. Mengapa harus koki? Mengapa tidak—“

“Levinku sayang. Mengapa kau tidak menjadi pemain sepak bola saja? Aku sangat suka menonton sepak bola dan berharap bisa mengencani salah satu dari mereka, hmm.”

“Alika!”

“Levin! Cukup! Aku bosan dengan pembicaraan ini. Aku tidak pernah meminta apapun darimu. Cukup kita saling mengerti, mendukung satu sama lain. Aku sudah sangat-sangat senang. Memasak adalah duniaku, dan aku telah berusaha sampai sejauh ini demi cita-citaku. Tolong mengerti.”

Levin pun mulai naik pitam, seperti biasanya.

“Kau memang tidak bisa apa-apa selain memasak. Sudah berkali-kali kukatakan padamu, kau boleh saja tetap memasak, tetapi itu bukanlah menjadi hal yang utama. Jadikan hanya sekedar hobi. Kesenangan yang kau lakukan untuk mengusir kebosanan. Masih banyak jalan lain untuk berkarir, aku akan membantumu, Alika.”

Hatiku seperti teriris mendengar ucapan Levin. Tidak bisa apa-apa selain memasak ia bilang? Saat ini aku menjadi ragu apakah ia benar-benar kekasihku atau bukan. Seperti yang sudah kukatakan, aku memimpikan hal ini sejak berusia 10 tahun, bagaimana aku bisa menyerah begitu saja? Bahkan Kakek Anthoni sudah terlalu banyak mendukungku. Aku tidak ingin mengecewakannya.

Dan lagi, aku tidak menginginkan karir apa pun seperti yang dibicarakan Levin. Ia selalu mengatakan akan membantuku, padahal nyatanya selama ini aku selalu berjuang sendiri dalam hal apa pun. Ia hanya menyuruhku dan memberiku saran yang sama sekali tidak berguna. Entah sudah berapa kali saran Levin hanya membuatku menyesal.

Ya Tuhan.

Aku menahan agar air mataku tidak menetes. Entah sudah berapa lama aku melamun dan bergelut dengan pikiranku sendiri. Saat kumenoleh ke sisi jalan, aku baru menyadari ini bukanlah arah menuju kelas memasakku. Lagi-lagi Levin memaksaku untuk membolos. Aku sudah kehabisan alasan pada Chef Shane. Aku tidak ingin membolos lagi. Kali ini aku tidak bisa mencegah dan menahannya lagi, bulir-bulir air mataku jatuh begitu saja.

Tidak hanya memaksaku membolos. Levin kembali melontarkan kata-kata yang sangat merendahkan diriku dan mimpiku. Jika bukan Levin, mungkin hatiku tidak akan sesakit ini. Jika kata-kata itu tidak meluncur dari kekasihku sendiri, mungkin aku akan menutup telingaku rapat-rapat. Namun, mengapa harus kekasihku sendiri yang mendorongku ke jurang keterpurukanku? Apa salahku? Kami tidak pernah bertengkar dan berdebat sebelumnya, namun justru Levinlah yang selalu memancing pertengkaran itu. Bahkan ini masih sangat pagi.

Aku mengusap kasar air mataku. Aku tidak ingin menangis lagi. Air mataku mungkin sudah bosan terjatuh untuk alasan yang sama. Kulihat lampu lalu lintas di depanku berubah warna menjadi merah. Mobil kami berhenti mengikuti kendaraan lain yang berhenti. Aku pun meraih tas, melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil Levin. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku berlari menjauhinya. Levin berteriak memanggil namaku, memerintahku untuk kembali. Dan suara Kian mengoyakku untuk terbangun, meninggalkan mimpi buruk itu. Mimpi yang terasa begitu nyata di ingatanku.

“Tidak apa-apa, Alika. Ini hanya mimpi buruk. Tenanglah.” Kian kembali mengusap kepalaku setelah mendengarku bercerita.

“Aku tidak ingin mengingatnya, tapi mimpi buruk itu masih saja menghantuiku, Kian.” Kian kembali menyodorkan segelas air untukku. Aku memang merasa sangat haus setelah bermimpi seperti ini. Tenggorokanku benar-benar kering. Mood-ku hancur. Aku takut Levin kembali memaksaku untuk meninggalkan mimpiku. Meskipun itu sangat mustahil karena sudah lama aku tidak pernah bertemu dengannya, namun kilatan bayangan masa lalu itu masih bercokol di kepalaku. Aku kembali memeluk Kian. Menyandarkan keningku yang pening di bahunya. Ingin mennagis, menumpahkan semua sesak dan ketakutan itu, namun kutak mampu. Mungkin sudah terlalu banyak air mataku yang jatuh untuknya, sehingga aku sudah tidak bisa menangis lagi sekarang.

“Kian, bagaimana kau bisa masuk ke kamarku?” Kuangkat kepalaku dari bahu Kian. Beberapa saat setelah minum air putih, aku baru menyadari kenyatan ini.

“Aku bisa masuk dari mana saja, Alika. Itu bukanlah perkara yang sulit,” ucap Kian tanpa dosa.

“Kamu?!”

“Ada masalah?” aku kembali mengurut kepalaku mendengar ucapan polos Kian. Laki-laki ini benar-benar.

“Sudah jangan marah-marah. Aku tahu kamu masih membutuhkanku.” Kian kembali meraih bahuku, membenamkan seluruh tubuhku di tubuhnya. Melepas semua beban di pundakku. Perlahan, aku yakin, Kian mampu membuatku mengalihkan Levin dari duniaku. Bukan berarti menjadikannya pelampiasan. Namun Kian perlahan mampu menggeser posisi Levin, mengisi ruang hatiku yang telah lama tertutup rapat.

***

Aku dan Kian sedang dalam perjalanan menjenguk Riana, gadis malang yang telah kehilangan seluruh anggota keluarganya akibat gempa tempo hari. Kini ia tinggal di panti asuhan Mutiara Bunda. Aku mengingat bagaimana Riana yang terus menangis. Lingkaran cahaya itu memang sangat menakutkan, terlebih bagi mereka yang baru pertama kali melakukan perjalanan lintas dimensi, dan tidak hanya itu, bagi Riana, saat itu jiwanya sedang sangat terguncang.

Sebelum di serahkan ke panti asuhan, Kian mengusap wajah Riana 3x. Sentuhan Kian memang sangat ajaib, bagi siapaun yang menerimanya. Tangis Riana terhenti, wajahnya mulai menampilkan ekspresi yang berarti, tidak kosong seperti sebelumnya. Aku senang karena ia terlihat jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Setidakmya aku tidak perlu terlalu khawatir untuk meninggalkannya disini.

Aku ingin merawat Riana di rumah kontrakanku, namun Kian memutuskan untuk membawa gadis itu ke panti asuhan. Aku pun tidak bisa membantah Kian. Lagipula, pekerjaanku sedang banyak-banyaknya menjelang musim liburan seperti sekarang ini, aku tidak bisa merawatnya full time jika sedang bekerja. Mungkin Kian ada benarnya dalam hal ini. Memperkerjakan nani sempat terlintas di kepalaku sebagai solusi untuk merawat Riana, namun lagi-lagi Kian meyakinkanku kalau gadis kecil itu akan lebih baik jika tinggal di panti asuhan. Ia memiliki banyak teman dan lebih mudah baginya untuk menyembuhkan luka di jiwanya.

Bertemu Riana menjadi hiburan tersendiri bagiku. Apalagi setelah bermimpi buruk seperti semalam. Kedatangan kami di panti ini disambut hujan gerimis. Aku suka hujan, dan bersyukur setiap kali air itu jatuh ke bumi. Setelah memarkir si putih, aku dan Kian berjalan ke dalam panti. Anehnya, aku seperti merasakan ada payung transparan yang meneduhi tubuhku dan Kian. Kami tidak basah sedikitpun! Aku menleh kearah Kian.

“Apa?” tanyanya.

“Kamu?” Aku mengerjap sambil menengadahkan kepalaku. Bulir-bulir air angkasa itu tertahan di atas kepalaku, tidak sampai menyentuhku seinci pun.

“Aku nggak mau kamu basah.” Satu kalimat singkat Kian itu membuatku tersanjung. Lagi-lagi lelaki ini membuatku merasa berarti dengan caranya sendiri.

Bu Rida, selaku pengurus panti menyambut kami penuh cinta. Aku jadi teringat dengan ibuku. Tidak hanya usia namun juga perawakan dan sifat keibuannya, sangat mirip dengan orang tua kandungku.

Aku menjadi tidak khawatir lagi menitipkan Riana di panti ini karena sudah ada Bu Rida yang akan menjaganya. Riana juga memiliki banyak teman, ia gadis yang cepat beradaptasi dan juga periang.

Sepertinya aku harus belajar banyak dari gadis 8 tahun itu--bagaimana cara bergaul dan menjadi periang. Meskipun ia sedang menghadapi masalah pelik untuk gadis seusianya, ia terlihat tanpa beban dan selalu ceria. Terlebih jika bertemu Kian. Ia menjadi lebih ceria dari biasanya, anak-anak lain di panti ini pun demikian. Kurasa Kian sudah pantas untuk menjadi seorang ayah. Pikiranku jadi ngelantur kemana-mana.

“Auw!” Aku meringis saat Kian menyentil keningku.

“Jangan berpikiran yang macam-macam, Alika” Kian menegurku. Oops, aku selalu lupa Kian bisa membaca pikiranku. Apa kalian tau cara mengendalikan pikiran? Aku masih mengusap keningku akibat sentilan Kian barusan.

“Kak Kian!” Riana menghambur kearah pelukan Kian.

“Yang dipeluk cuma kak Kian aja nih?” tanyaku pura-pura memasang tampang cemberut.

“Kak Alika juga.” Riana kini melepas pelukannya pada Kian dan memelukku.

Aku memberi Riana beberapa kotak bekal yang sudah aku siapkan dari rumah. Bermacam kue dan ayam goreng istimewa. Jika aku bisa makan makanan enak, aku ingin ia pun sama. Semoga ia menyukainya.

Ada yang mengatakan kalau datang ke panti asuhan dapat membuat kita merasa lebih berharga. Dan saat ini aku sedang merasakannya. Melihat betapa bahagiannya mereka saat melihat kedatanganku dan Kian, membuat bebanku menguap ke udara. Senyum tulus mereka, tawa lepas tanpa kepura-puraan dan celoteh polos yang terlontar dari bibir mungil mereka, menjadi sebuah terapi bagiku. Ternyata, ada banyak jiwa-jiwa yang sangat menghargai dan membutuhkanku. Mungkin Levin tidak menganggapku ada, dan terkadang jiwa pesimisku membenarkan ucapannya--aku tidak bisa melakukan apapun selain memasak. Namun, nyatanya, hanya dengan kehadiranku—mampu membuat orang lain tersenyum setulus ini.

Kian mengajak kami duduk di meja makan panti, membuka kotak bekal yang aku bawa, makan bersama. Aku sudah terbiasa dengan pujian akan masakanku, namun kali ini terasa berbeda. Aku merasakan kepuasan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya saat melihat mereka makan. Aku jadi teringat Zack dan keluarganya, kali pertama aku memasak untuk orang lain yang membutuhkan.

Makan bersama adalah salah satu cara paling mudah untuk akrab dengan orang lain, terbukti sekarang kami sudah selayaknya kakak beradik dengan anak-anak panti asuhan ini. Aku jadi membayangkan bagaimana jika, dan hanya jika, aku berkeluarga nanti.

Aku akan memiliki anak-anak yang lucu-lucu seperti Riana dan teman-temannya. Orang-orang setia yang akan memuji masakanku di setiap harinya. Bisakah aku merasakan hal itu dalam waktu dekat?

Usapan lembut Kian di bahu kiriku menyadarkanku akan lamunanku barusan. Ia tetap mengusap bahuku dengan tersenyum. “Sebentar lagi. Wait.” Blush! Ucapan Kian mampu membuatku tersipu. Aku tetap tidak bisa mengendalikan pikiranku, terlebih aku baru saja bermimpi buruk.

Aku sering membayangkan kalau saja Aku dan Levin dulu tetap melangsungkan pernikahan, pasti aku sekarang tidak perlu lagi memusingkan statusku saat ini. Tapi di sisi lainnya, aku juga pasti akan menyesal jika harus terlanjur menikah dengan lelaki kasar itu. aku tidak ingin compang-camping seumur hidup.

“Semua keikhlasanmu akan terbayarkan, Alika. Kamu menunggu, aku pun sama. Kita sedang menunggu sebuah ketentuan. Bersabarlah sedikit lagi, manusia terpilih.” Kian menyalurkan kekuatan padaku dengan pancaran ketulusan tatapannya.

“Auw!” tangan kananku menekan dadaku, rasa sakit tiba-tiba bersarang disana. Semenit yang lalu aku masih baik-baik saja dengan pikiran ngelanturku. Namun tidak dengan saat ini. Oksigenku perlahan hilang dari rongga paru-paruku. Aku kembali sesak. Dadaku seperti dihujam ribuan batu. Sakit sekali.

Rasa nyeri itu semakin lama semakin hebat. Kuambil segelas air di depanku, meneguknya perlahan dengan tangan bergetar.

“Kak Alika, kenapa?” tanya Riana.

“Dada kakak sakit banget.” Aku masih menekan dadaku, berharap rasa nyeri itu akan berkurang. Meskipun sama sekali tidak ada perubahan yang berarti.

“Kita pulang sekarang?” Kian meminta pendapatku. Wajahnya tetap datar seperti biasanya. Aku tidak melihat kekhawatiran disana. Hal ini membuatku sedikit kecewa. Mungkin aku selalu berharap lebih.

“Ta-tapi makanannya belum habis,” ujarku.

“Habiskan pelan-pelan. Setelah itu kita pulang. Riana, nggak apa-apa, kan, kakak-kakakmu pulang lebih cepat?” Kian meminta izin pada Riana.

“Nggak apa-apa Kak, Kak Alika cepet istirahat aja.” Setidaknya Riana masih mengkhawatirkanku meskipun Kian terlihat biasa saja.

Aku pun menghabiskan sisa makanan di piringku sebisaku. Kemudia berpamitan pada Bu Rida, Riana dan anak-anak panti yang lain. Kudengar ucapan “semoga cepat sembuh” dari orang-orang baik ini. Lagi-lagi aku membenarkan kalau ke panti asuhan adalah sebuah terapi. Kita belum lama saling mengenal, namun mereka sangat peduli padaku.

Mereka pun mengantar kami hingga di depan si putih, dan kembali mengucap kata pamit sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan halaman panti asuhan Mutiara Bunda.

Aku lupa, kapan terakhir kali paru-paruku merasakan kesegaran oksigen. Tubuhku terasa kosong dan lemah. Aku mencoba mengambil nafas menggunakan mulut, namun juga tidak berhasil mengenyangkan paru-paruku. Kusandarkan kepadaku dipundak Kian.

“Kian, aku sudah tidak kuat lagi.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro