Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R8: Awal

Two years ago...

PAGI ITU. Pukul 09.00, anak-anak—lebih tepatnya siswi perempuan—berbondong-bondong duduk di pinggir lapangan outdor, menyaksikan anak kelas 9E dengan 9C bertanding bola basket. Mereka semua sangat bersemangat hanya untuk melihat si Arfaregha Dalfario. Cucu pemilik sekolah yang gantengnya bikin semua perempuan tak berkedip.

Menurut mereka Regha itu ganteng banget kalau pakai baju seragam basket sekolahnya, apalagi saat Regha tersenyum, menampilkan lesung di pipi kanannya. Benar-benar bikin klepek-klepek, tapi sayang Regha itu sombong, sulit di dekati, nggak suka di ajak ngobrol ya kecuali sama temen gengnya.

Jam kosong yang seharusnya mereka isi dengan membaca buku atau berdiam diri di dalam kelas, mereka malah mengadakan pertandingan basket, dan memancing semua orang yang berada di dalam kelas keluar menuju lapangan. Para guru dan staf sekolah sedang rapat di ruang kepala sekolah.

Dari ujung koridor –yang berada di pinggir lapangan—sorak sorai penuh semangat para perempuan itu pun sudah terdengar. Menyebut nama Regha berulang kali. Orang-orang yang berlalu-lalang di koridor juga tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Regha yang tengah mendribble bola basket, pesona Regha memang sulit untuk disingkirkan.

Salah satunya Retta, tapi perempuan itu tidak seperti orang-orang itu, bagi Retta perempuan yang duduk di pinggir lapangan itu aneh. Mereka rela duduk di lantai jalan koridor hanya untuk melihat cowok sombong macam Regha.

"Apa hebatnya sih tuh cowok?"

Vera, temen Retta yang berjalan di sampingnya tertawa. "Lo lucu deh, Ta. Semua orang juga tau apa kehebatan Regha, hampir semua bidang olahraga dia kuasai." Vera membenarkan posisi buku yang dibawanya. "Lo tuh bukan bingung sama kehebatan Regha tapi lo kesel sama dia, karena kalo lo ketemu dia lo selalu sial."

Retta melotot, kesal karena ucapan benar Vera. Hampir setiap pertemuannya dengan Regha memang selalu memancing kemarahan Retta. Cowok itu selalu menunjukkan kekuasaannya di depan Retta dan membuat dia benar-benar muak.

Karena tidak pernah keluar kelas pada waktu istirahat membuat Retta tidak pernah bertemu dengan si cucu pemilik sekolah, walaupun Retta sudah bersekolah selama tiga tahun. Retta hanya tahu namanya dan reputasi Regha. Cowok itu terkenal hebat di bidang olahraga apapun, dan juga wajahnya yang membuat semua perempuan sulit bernapas—oke itu lebay, tapi seperti itulah menurut pembicaraan teman perempuan di kelasnya.

Dan Retta menyesal karena bertemu dengan cowok itu, hidupnya yang biasanya damai-damai saja harus berubah jadi bencana setiap hari.

"Gue bukannya sial tapi dia yang suka nyari gara-gara." Retta semakin kesal. "Pertama, dia marah-marah cuma karena gue nggak sengaja tumpahin minuman gue di bajunya, padahal kan gue udah minta maaf."

Tangannya terangkat dua jari. "Yang kedua, saat dia nabrak gue karena jalan sambil main Hp. Bukannya nolongin dia malah ngatain gue gadis cupu. Enak aja dia ngatain gitu, gue bukan gadis cupu. Gadis cupu kalo di tindas atau dihina diem aja."

Tangannya terangkat tiga jari. "Yang ketiga, dia ngeledekin gue depan kelasnya, pas gue nganterin materi ulangan Pak Anton. Lo inget itu kan?" Mata Retta melotot wajahnya makin memerah mengingat kejadian-kejadian itu.

"Yang ke empat." Retta kembali mengangkat tangan empat jari, Vera meringis melihatnya. "Dia sengaja mainin klakson motornya pas gue jalan di depannya. Bukannya merasa bersalah karena hampir nabrak gue pakai motornya, dia malah ninggalin gue gitu aja."

"Turut prihatin, Ta."

Retta menatap tajam sahabat yang sudah tiga tahun sekelas dengannya itu, bukannya apa-apa ucapan Vera berbanding terbalik dengan raut wajahnya, dia malah tersenyum. Makin membuat Retta emosi.

"Ta," Vera menyenggol bahu Retta dengan bahunya karena tangannya membawa setumpuk buku. "Retta!"

"Apaan sih?"

"Regha ngeliatin lo," ucap Vera antusias.

Masih dengan terus berjalan, Retta menengok ke arah lapangan. Dan benar saja, cowok itu sedang tersenyum padanya. Beda orang, beda reaksi mungkin bagi Vera senyuman Regha itu sangat langka jadi membuatnya antusias. Tapi Retta malah bergidik ngeri, Retta membayangkan apa rencana Regha di balik senyumnya itu.

"Udah nggak usah diliatin." Retta mempercepat langkahnya. "Ayo buruan ke perpus taruh nih buku."

Tetapi Vera tidak peduli. "Dia masih senyum ke lo, Ta."

"Gue nggak peduli. Mungkin senyumannya itu buat lo bukan gue."

"Iih... dia nggak senyum ke gue tapi ke lo!" Vera mulai gemas dengan sikap Retta, seharusnya kan dia senang di senyumin cowok kayak Regha, udah ganteng, jago main basket, jago karate. Semua olahraga dia bisa. Cowok idaman.

Vera menoleh kembali ke arah lapangan tapi kali ini matanya melotot. "Awas, Ta!" Vera tiba-tiba berseru kencang sambil mundur beberapa langkah.

Retta sontak menoleh, matanya ikut melotot melihat bola basket yang melambung tinggi ke arahnya. Karena tidak sempat menghindar, bola basket itu menghantam kepala Retta dengan sangat keras, dan juga membuat kacamata yang menggantung di hidungnya terjatuh.

Belum selesai penderitaan Retta dengan kepalanya yang jadi sakit, dia harus menerima kacamata kesayangannya patah, terlebih lagi lensanya pecah. Retta terduduk di lantai.

"Retta lo nggak apa-apa?" Vera ikut berjongkok di sebelah Retta menaruh buku-buku yang dibawanya di lantai.

Tidak ada tanggapan dari Retta semua indranya terpaku pada kacamatanya yang sudah tidak berbentuk itu. Mengambil kacamatanya, Retta benar-benar tidak peduli pada kepalanya yang sakit, hatinya lebih sakit melihat hadiah dari ibunya hancur.

Tidak butuh waktu lama, kejadian tadi membuat semua orang mengerumuni Retta dan Vera. Bukan untuk membantu tapi hanya untuk menonton. Mereka tidak ada yang berniat membantu Retta, hanya Vera yang sedari tadi menanyakan keadaan Retta tetapi tidak ada jawaban.

Tiba-tiba seseorang menyeruak masuk ke dalam kerumunan, sosok tinggi dan tampan itu membuat seluruh perhatian tertuju padanya, kecuali Retta. Perempuan itu diam sambil menggenggam kacamata miliknya yang sudah rusak.

"Lo nggak pa-pa?" Tanya cowok yang tak lain, tak bukan adalah Regha. Dia menunduk menatap Retta yang duduk di lantai. "Sorry, gue nggak sengaja."

Ucapan santai itu lantas membuat Retta mendongak, tiba-tiba kesadaran itu kembali dengan emosi yang tak bisa dikendalikan, Retta berdiri menghadap Regha. Semua kemarahan bercampur di otaknya, air mata sudah jatuh mengenai pipinya.

"Lo bilang nggak sengaja?!" Retta mengulang kembali ucapan Regha dengan marah. "Lo itu sengaja! Lo mau buat gue malu di depan umum. Iya kan?!"

"Gitu?" Alis Regha naik sebelah. "Lo salah, gue kan udah bilang, kejadian itu nggak sengaja. Lagian juga lo nggak kenapa-napa, cuma kacamata lo yang rusak."

"Cuma?" Retta tak percaya menatap Regha. "Lo nggak tau, ini bukan sekedar kacamata. Ini..."

"Terus itu apa?" Tanya Regha memotong ucapan Retta sambil menunjuk kacamata di tangan gadis itu. "Yang gue tau itu cuma kacamata kuno yang banyak di jual di pasar Loak—"

Ucapan Regha terhenti karena tamparan Retta pada pipinya. Kerumunan itu terdiam, semua orang terkejut menyaksikan kejadian itu. Waktu seperti berhenti berjalan, menggantung setiap perkataan yang akan keluar.

"Gue tau lo bisa beli apapun yang lo mau. Lo tinggal minta dan benda itu bisa datang kapanpun, dimanapun sesuai kemauan lo." setiap kata yang keluar dari bibirnya, Retta tidak bisa menahan desakan air matanya yang ingin keluar. "Karena itu lo nggak pernah tau rasanya berjuang untuk dapatin kemauan lo pakai usaha sendiri."

"Mungkin bagi lo ini cuma kacamata biasa, kuno, terus kalo dijual nggak ada harganya. Gue tahu lo nggak punya sesuatu yang berharga dalam hidup lo, semua benda itu biasa aja di mata lo, nggak pernah buat lo takut kehilangan. Kenapa?"

Nada lirih itu, kata-kata yang berasal dari hati yang terdalam Retta, membungkam mulut semua orang yang mengelilinginya. Terutama Regha, bisu seperti batu.

"Karena lo nggak punya hati!"

Kata-kata itu tajam, menusuk setiap orang yang mendengarnya. Melenyapkan kebisingan di sekitar, hening. Senyap.

Perkataan Retta benar-benar membuat semua orang di sana terdiam. Sikap berani Retta pada Regha berhasil membuat Regha yang biasanya tidak bisa di tantang, tidak bisa dibuat bungkam. Sekarang seperti patung yang tidak tahu harus berbuat apa.

Retta menarik Vera menjauh, pergi meninggalkan kerumunan itu.

"Udah bubar, bubar."

Arven menyuruh mereka semua meninggalkan kerumunan, yang di balas dengan seruan kecewa mereka.

Membungkuk, Regha mengambil serpihan kaca lensa kacamata milik Retta.

***

Pandangan Regha tidak pernah lepas menatap pecahan kaca lensa milik Retta yang berada di tangannya. Hari ini kantin penuh kebisingan mendominasi, tapi sepertinya Regha tidak terganggu sama sekali.

Tamparan itu benar-benar mengejutkan Regha hingga membuatnya seperti orang bodoh. Di tambah kata-kata perempuan itu yang menusuk. Dia tidak bisa menghilangkan setiap perkataan yang terlontar dari mulut Retta. Kata-kata itu seperti kaset yang terus diputar dan tidak tahu kapan berhenti.

"Kalo gue jadi lo, Gha, gue nggak akan tinggal diam." Celetukan Davel berhasil membuat Regha keluar dari pikirannya.

"Apa maksud lo?"

Senyum miring itu terulas di bibir Davel. Arven yang duduk di sebelah Regha menyipit melihatnya. Arven tahu seberapa liciknya Davel itu.

"Dia udah permaluin lo depan umum, dan seharusnya lo ngelakuin sesuatu ke dia."

"Lo nggak usah dengerin ucapan Davel, Gha..."

Ucapan Arven terpotong karena Davel sudah lebih dulu angkat bicara.

"Gue punya rencana."

TBC(30-09-17)

__________

A/N: Maaf ya aku update-nya seminggu sekali, padahal dulu ceritaku yang pertama bisa setiap hari. Itu karena cerita pertama tinggal dipublish aja. Beda sama yang ini yang harus diketik dulu.

Tapi ada yang baca nggak sih? Wkwk nggak papa sih kalo nggak ada. Insya allah bulan besok update tiga kali seminggu, karena tinggal dipublish udah tersimpan draftnya.

Makasih yang udah mau luangin waktu untuk baca.

JANGAN LUPA VOTE YA
MAKASIH
APING🐼

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro