Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R54: Memulai Luka(2)

SIANG itu matahari terlihat bersinar terang, awan putih menggelantung di sana, memberikan waktu untuk menatap angkasa tanpa celah.

Tapi kesepian itu menyelimuti lorong kiri tempat Unit Kesehatan Sekolah (UKS) berada. Dan di pojok lorong, ada toilet laki-laki. Regha baru keluar dari sana, berjalan hendak kembali ke UKS, melihat keadaan Farah.

Dari kaca yang menempel di pintu UKS, dia melihat keluarga Farah yang sudah datang. Perempuan itu diizinkan pulang, untuk dirujuk ke rumah sakit.

Entah sebenarnya sakit apa yang Farah derita, satu hal yang Regha tahu, perempuan itu sering mengalami hipotensi (darah rendah). Hingga tidak boleh membiarkannya kelelahan.

Regha ingin masuk ke dalam. Namun, niatnya langsung menghilang saat sudut matanya melihat Retta yang berjalan di lorong sebrang. Baru saja keluar dari toilet perempuan.

Cowok itu tersenyum, langkahnya membawa dia mendekat pada Retta.

Kaki Retta berhenti berjalan, melihat sepasang sepatu di depannya. Kepalanya perlahan mendongak, menatap langsung manik hitam yang sudah memancarkan keteduhan padanya.

Hanya bisa berdiri bisu, Retta menutup bibirnya rapat. Bahkan sang iris cokelatnya memandang Regha hampa. Tidak ada raut kesal, marah, atau bahagia yang terpancar.

"Ta?" panggil Regha karena tidak mendapat respon Retta.

Retta tidak mengatakan apapun, langkahnya-lah yang menjawab dengan berjalan pergi meninggalkan Regha.

Refleks tangannya menahan lengan sang perempuan. "Lo kok mau pergi aja, gue kan mau ngajak ngobrol."

Lagi-lagi tak ada jawaban. Kening Regha mengerut. "Lo kenapa, Ta?"

Menarik tangannya kasar, Retta memandang Regha dingin. "Lo ngapain di sini? Bukannya lo ikut nganterin Farah ke rumah sakit?"

Regha tersenyum tipis. "Emang gue siapanya dia, sampai harus ngikut nganterin ke rumah sakit?"

"Lo temennya," sudut bibir Retta terangkat, hanya sebelah. "Lo temen kesayangannya." Retta mengucapkan kata itu lebih jelas.

Regha tidak bisa menyembunyikan kebingungan di iris hitamnya, bingung melihat sikap dingin Retta. "Maksud lo apaan sih?"

Pertanyaan itu hanya dijawab tawa hambar Retta. Kepalanya bergerak tak percaya. Sebelum sang langkah ingin kembali meninggalkan Regha.

Menyadari itu, Regha sontak menahan kedua bahu Retta, memaksa iris cokelat perempuan menatap ke arahnya. "Retta?"

Perlahan kedua tangan Retta bergerak ke arah bahunya dan langsung menyingkirkan kasar tangan Regha. "Lo ngerti maksud gue." Tenang tapi terkesan dingin. Retta kembali menggerakan tangan, menunjuk dada Regha. "Sebenarnya hati lo itu buat siapa Gha?"

Tanpa basa-basi Retta melemparkan pertanyaan yang sudah bercongkol di pikiran, sejak dia melihat semua perhatian yang Regha berikan pada Farah. Apa salah jika Retta meragukan Regha sekarang? Meragukan hati cowok itu yang menyimpan semua perasaannya pada Retta.

Salah satu alis Regha terangkat, memegang lembut telunjuk Retta. "Lo udah tau jawaban dari pertanyaan lo itu, Ta."

Regha terhenyak saat Retta menarik lagi tangannya dari genggaman Regha, seolah dia benci menerima sentuhannya.

Iris cokelat itu menghunus tajam pada Regha. "Awalnya gue udah tau jawaban itu tanpa nanya sama lo, Gha. Tapi sekarang gue ragu... gue ragu sama jawaban gue sendiri."

Kebingungan itu masih melekat di bola mata Regha. Sikap Retta benar-benar membingungkan hari ini. "Sebenarnya lo mau ngomong apa sih, Ta? Gue nggak ngerti."

"Lo nggak usah nanya pertanyaan yang nggak penting, Gha!" Retta tak tahan, emosinya meluap. Dadanya semakin terasa ditekan dengan keras. "Lo tinggal jawab, sebenernya perasaan lo itu masih buat gue atau buat Farah?!"

Langsung saja mata Regha membulat penuh mendengar nama Farah dibawa di antara percakapan mereka. Bisu layaknya batu, Regha terpaku, menatap manik cokelat Retta yang menggambarkan luka, luka yang Regha tidak tahu penyebabnya.

"Lo nggak bisa jawab kan?!" tawa pahit Retta keluar dari sela-sela bibirnya.

Regha menggelang tak mengerti. "Gue nggak bisa jawab karena gue makin gak ngerti sama sikap lo! Kenapa lo bawa-bawa nama Farah? Apa hubungannya?"

Sesaat Regha terdiam, karena melihat sang perempuan di depannya juga diam. Perlahan tapi pasti Regha mulai menghubungkan sikap membingungkan Retta dengan kejadian tadi. Tali-tali kesimpulan mulai terhubung, membuat helaan napas keluar dari bibirnya.

"Lo ngomong gini, karena kejadian gue nggak sengaja nyenggol bahu lo, sampai lo jatuh tadi?" melihat Retta masih diam, Regha melanjutkan. "Lo marah sama gue karena gue nggak bantuin lo untuk berdiri?"

"Gue tadi dalam keadaan darurat, Ta." Regha menghela napas lelah. "Farah pingsan, dia harus cepet dibawa ke UKS. Seharusnya lo ngerti itu, gue nggak ada maksud untuk nggak nolongin lo!"

"Ini bukan masalah karena lo tadi sama sekali nggak nolongin saat gue jatuh! Padahal gue jatuh karena lo, Gha! Gue nggak masalahin itu sama sekali!" Bibir Retta bergetar, sulit rasanya sekadar untuk berucap.

"Tapi yang gue permasalahin adalah perhatian lo ke dia! Lo nolongin dia bukan kali ini doang, Gha, tapi udah terlalu sering!" Dada Retta semakin sesak seiring dengan perkataan yang dia ucap. "Temen kelas dia banyak, Gha. Tapi kenapa harus selalu lo yang bantuin dia? Kenapa, Gha?!"

"Apa lo nggak mau cari jawabannya?" tanya Retta getir. Tak ada jawaban dari Regha, cowok itu diam memerhatikannya. "Jawabannya ada di hati lo, Gha! Hati lo udah bukan buat gue lagi. Di sana udah ada nama Farah!"

Kepala Regha menggeleng semakin bingung dengan semua perkataan Retta, yang menurutnya tidak masuk akal. "Omongan lo itu seakan lo ngeraguin perasaan gue, Ta!"

"Gue emang ngeraguin perasaaan lo, Gha!" Manik cokelat itu memerah, menahan semua emosi yang menggelegak di dadanya. "Dua tahun, itu waktu yang nggak sebentar, Gha. Dua tahun kita berdua nggak pernah ketemu, dua tahun kita nggak pernah saling ngobrol. Dan dua tahun itu juga lo deket sama Farah. Apa lo nggak pernah mikir, kalo sebenarnya perasaan lo udah bukan buat gue, Gha?!"

Retta mendekatkan tubuhnya pada Regha. Hingga kedua iris yang berbeda warna itu saling menatap satu sama lain. Retta mencengkeram seragam putih Regha, melampiaskan semua emosi yang menimbulkan rasa sesak di dadanya. Napas Retta memburu, beririingan dengan cairan panas mulai berkumpul, menunggu untuk dijatuhkan.

"Sekarang lo renungin, Gha. Lo tanya ke hati lo, siapa yang ada di sana?" Air mata itu meluncur bisu, seperti sang lelaki yang bergeming menatap Retta. "Saat lo udah tau jawabannya, saat lo tau kalo ternyata Farah udah singkirin gue dari sana...."

Tangan Retta bergetar melepas seragam Regha, kakinya tak bergerak. Sulit untuk Retta melanjutkan kata-katanya. Tapi dia tidak bisa egois membiarkan Regha menjadi miliknya, tapi ternyata hati cowok itu bukan lagi miliknya. "Perjuangin Farah, Gha. Lupain gue!"

Lantang, kata-kata itu keluar di atas luka hati Retta yang terbuka lebar. Kedua kakinya terasa diikat dengan kencang, membuat Retta hanya bisa terpaku, seolah tanah lantai itu bisa menenggelamkan Retta kapan saja. Menunggu waktu untuk Retta terjebak di tanah paling dasar.

Sakit. Semuanya terasa menyakitkan untuk Retta.

Keheningan itu malah semakin menimbulkan rasa sesak yang berlabuh di hati Retta. Butuh waktu yang lama untuk membuat sang hening menyingkir. Namun, senyap yang tak diinginkan itu beranjak pergi saat terdengar suara Retta yang mengaduh.

Waktu bergulir sangat cepat saat Regha mendorong tubuh Retta ke tembok. Hingga mengakibatkan punggung Retta menabrak tembok di belakangnya.

Cepat Retta mendongak menatap manik hitam Regha yang sudah ditutup oleh emosi. Bahu cowok itu naik-turun, melihat keteduhan yang sudah menghilang di iris hitam itu, Retta juga merasa pasokan udara di sekelilingnya ikut menghilang. Apalagi jarak yang terlampau dekat, membuat Retta hanya bisa terpaku di tempat.

"Lo bisa ulang ucapan lo tadi!" Datar dan tenang, tapi berhasil membuat bulu kuduk Retta meremang.

"Benar yang lo bilang, dua tahun itu waktu yang lama, tapi lo dengan sengaja ngebiarin waktu dua tahun itu buat gue dikurung sama rasa bersalah! Lo ngebiarin gue nunggu selama dua tahun! Dan sekarang lo malah ngeraguin perasaan gue?!"

Lorong itu sepi. Menunjukkan pada Retta bahwa dia hanya bisa diam di tempatnya, tidak bisa berteriak pada siapapun.

Suara hantaman yang terdengar di sebelah telinga Retta, kontan membuat Retta berjengit kaget. Dia membisu melihat kepalan tangan Regha yang sengaja ditubrukkan ke tembok. Berkali-kali Regha membiarkan tangannya terluka dengan hantaman itu.

Tidak kuat mendengarnya, Retta menutupi telinganya dengan telapak tangan. Perlahan, Regha memberi jarak di antara mereka. Diikuti dengan langkahnya yang bergerak mundur. Melepaskan Retta dari kurungan tangannya.

Tatapan Retta terkunci pada tangan Regha yang memerah. Tangan cowok itu terluka, tapi Retta tidak tahu kalau hati cowok itu lebih terluka karena ucapannya.

"You know, Retta? You've made me look like a fool!" ucap Regha dengan penekanan. "Lo dulu selalu bilang, gue ini Regha. Arfaregha Dalfario, cowok yang bisa dapatin apapun yang dia mau. Semua keinginannya langsung terpenuhi, cuma dengan jentikkan jari!"

"TAPI LO...!" jari telunjuk Regha terangkat pada Retta. "Lo ngebuat hidup gue berubah drastis, Ta! Lo sengaja ngebuat gue ngerti apa artinya berjuang untuk dapatin apa yang gue mau! Lo maksa gue buat perjuangin lo selama dua tahun!"

Mata Regha semakin memerah seiiring dengan napasnya yang berhembus kasar. "Tapi hari ini lo baru aja nganggep semua perjuangan gue sia-sia, Ta. Perjuangan gue selama dua tahun nggak berarti apapun buat lo!"

Setelah mengucapkan kata terakhir yang mengundang air mata yang semakin jatuh membasahi pipi Retta. Regha berbalik pergi, tidak ada usapan yang biasa cowok itu lakukan, tidak ada pelukan, atau bahkan hal yang bisa membuat senyum Retta terukir.

***

Kekosongan itu mengisi jam-jam Retta sampai waktu pulang sekolah. Langkah lunglai-nya melangkah mendekat ke arah gerbang rumah. Dalam satu hari ini, kefokusan Retta seolah menghilang.

Regha tidak lagi menemuinya setelah mengucapkan kata-kata yang membuat rasa bersalah itu menyergap Retta.

Tatapan nanar yang menghiasi iris hitam itu, menghantui pikiran Retta. Membuat cairan hangatnya terbentuk, lalu mengaliri pipi setiap mengingatnya.

Retta sama sekali tidak bermaksud untuk menaburkan luka di hati cowok itu. Kecemburuan di hatinya, menggelapkan Retta, membangun keraguan pada perasaan Regha untuknya. Kalau boleh Retta akan melakukan apapun untuk bisa menghapus rasa bersalahnya pada Regha. 

Tetapi Retta tahu tidak semudah itu untuk menghapus rasa bersalahnya. Mengingat betapa kejamnya Retta dengan meragukan perasaan tulus Regha.

Gerbang rumahnya terbuka, Retta melangkah masuk, tubuhnya terasa lemas, ditambah tas yang tersandang di punggung. Namun, mendadak Retta merasa kakinya sulit digerakan saat iris cokelatnya menangkap sosok yang berdiri di depan pintu rumah.

TBC(18-03-18)
    APING♡

____________

Yuhuuuu semoga part ini gak membosankan ya!

Jangan lupa divote☆

Danke❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro