Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R53: Memulai Luka

FREECLASS. Kata itu hanya terdiri dari dua suku kata. Dua kata yang seakan memberi seribu kebahagian. Satu kata yang terdiri dari sembilan aksara yang tersusun, tapi berhasil menimbulkan kegaduhan yang beruntun.

Dan kata itu berhasil menempati kelas Retta. Kebisingan sudah mendominasi seisi kelas. Berbagai kegiatan absurd mulai mereka lakukan. Salah satu contohnya; berkaraoke seperti orang gila di depan kelas, memegang sapu, pengki, kain pel, sebagai alat musik bohongan. Mungkin hanya gitar yang berada di pangkuan Zion, alat musik yang memang nyata.

Meski kelas itu dibiarkan kosong, tanpa guru yang mengajar. Semua anak-anak itu tetap diberikan tugas yang akan dikumpulkan pada jam istirahat kedua. Tapi memang kalau sudah diberikan kebebasan, pasti tugas itu akan mudah mereka lupakan.

"Wok... wok... wok... bewok sama sumiati... wok... wok... wok!"

Suara itu menggema di seisi kelas, Linzy yang sejak tadi memerhatikan di bangkunya, mengernyit bingung mendengar lagu itu. "Lo semua nyanyi apaan sih?!"

Justin, atau lebih sering disapa dengan nama Titin oleh satu kelas. Cowok gila yang satu spesies seperti makhluk bernama Zion itu menatapnya, kemudian menjawab sambil mengunyah-ngunyah snack yang ada di tangan. "Kok lo tulul sih, Zi!" ucapnya dengan tampak ingin sekali dilempar sepatu. "Itu judulnya Sumiati, lagunya Rohana."

Linzy ternganga. Retta yang duduk di sebelahnya tertawa. Memang pantas, cowok itu berteman dengan Zion. Sama-sama bego nggak ketulungan!

"Lo yang bego!" Linzy jadi ikutan kesal. "Namanya Rihanna, Tuyul, bukan Rohana. Lagian sejak kapan lagu work ganti judul jadi sumiati."

Dijelaskan seperti itu saja membuat wajah Justin semakin terlihat bodoh. "Emang ya, Zi?" dia malah balik bertanya. "Bodo amat lah sama judulnya, gue nggak peduli. Dan juga gue nggak peduli sama siapa nama penyanyinya, mau Rihanna kek, Rohana kek, atau roh-roh setan juga, gue nggak peduli."

Kepala Linzy jadi makin mendidih. Astaga! Mimpi apa dia bisa sekelas dengan orang-orang stress seperti mereka?

Di depan kelas, gerombolan orang-orang absurd berkumpul, ada lima orang di sana. Salah satunya Zion.

"Benar kan gue, Yon?" Justin meminta dukungan Zion.

Zion mengangguk, merangkul pundak temannya itu. "Good boy, itu baru teman gue."

"Linzy cuma sirik aja sama kita," ucap Zion lagi. "Jomblo sih, jadi gitu."

Kata-kata terakhir itu mengundang tawa teman yang lain. Jangan ditanya Justin dan Zion sedang apa, mereka kompak menertawakan Linzy.

Linzy memelotot, makin menyebalkan saat kedua temannya mengeluarkan tawa. Retta ternyata diam-diam juga mendengarkan, walau sejak tadi dia sibuk dengan tugas yang hari ini akan dikumpulkan.

"Zi gue punya lagu buat lo," senyum Zion melebar, menampakan dagu tengahnya yang terbelah. "Mau dengar nggak?"

"Nggak!" jawab Linzy langsung.

Zion beralih pada Retta yang duduk di samping Linzy. "Ta, lo mau denger lagu buat Linzy nggak?"

Terkekeh Retta awalnya, dia menoleh pada Linzy yang melotot padanya, mengkode untuk menolak. Tetapi, Retta tak mengacuhkan. Dia menatap Zion kemudian mengangguk.

Shena penasaran, lalu bangkit berdiri untuk pindah duduk berdua di kursi Retta.

"Dengerin ya?" Zion berdeham, menetralkan suaranya.

Linzy memasang wajah was-was. Dia sangat tahu akal bulus lelaki gila itu.

Zion memetik gitar di pangkuan. "Potong bebek angsa... masak dikuali..." dia mulai bernyanyi. "Linzy Jomblo lama, nyesek tiap hari, galau ke sana, galau ke sini. LALALALALA...."

Nyanyian itu diakhri dengan tawa Zion dan Justin yang menggelegar seisi kelas. Kedua cowok itu bertos ria.

Retta tertawa semakin keras. Lebih lagi Shena sampai terpingkal-pingkal.

Tangan Linzy mengepal, pundaknya naik-turun. Matanya menghunus tajam pada Zion yang masih saja mengeluarkan tawa menyebalkannya.

"Gue cuma bercanda, Zi." Zion menyengir lucu, hingga membuat kedua matanya menyipit.

"Udah-udah, nggak usah dianggap serius bencandaan Zion, Zi." Retta menepuk-nepuk pundak Linzy untuk menghilangkan emosi temannya itu. Lalu Retta berjalan ke depan kelas, mengambil beberapa lembaran kertas putih, tugas yang akan dikumpulkan hari ini di meja guru.

"Ini cuma segini? Yang lain mana?"

Pertanyaan Retta hanya dijawab oleh kebisingan yang semakin menjadi-jadi. Dia menghela napas, Retta sebenarnya paling benci jika diberi kewenangan untuk mengumpulkan tugas teman-temannya. Hanya karena dia siswi kesayangan Bu Arni—guru matematika mereka.

"Gue kasih kalian waktu lima menit, misalkan kalian tetep nggak selesai juga." Retta memberi ultimatum. "Gue nggak akan bantuin, kalo kalian kena hukuman sama Bu Arni."

Sontak itu langsung membuat anak-anak lain kalang kabut, mereka semua berceceran menuju bangkunya masing-masing, membuka buku yang sejak tadi terdiam bisu di meja. Retta menghela napas untuk kedua kalinya.

"Nomor lima gue belum selesai, Ta." Wajah Linzy memelas. "Liat dong, satu soal aja!" pintanya.

Retta menggeleng, beriiringan dengan tangannya yang bergerak mengambil lembaran kertas milik temannya. "Lagian dari tadi lo bukannya ngerjain malah main hp."

Linzy cemberut. "Gue bukannya nggak mau ngerjain, Ta. Soal nomor lima emang susah. Liat dong, Ta." Dia mengulas senyum manis. "Retta baik deh."

Retta mendengus. Tangannya mengulurkan lembar putih yang tercantum namanya pada Linzy, yang langsung disambut pekikkan senang oleh perempuan itu.

Lima menit waktu habis, Retta langsung melenggang keluar kelas membawa tumpukan kertas itu bersamanya. Bertepatan dengan indranya yang menangkap kebisingan dari kelas sebelah—kelas Regha. Dan juga ada beberapa anak-anak PMR berlarian ke kelas itu.

Tentu saja itu menimbulkan keinginan-tahuan teman-teman kelasnya, yang langsung berlari keluar kelas, berkumpul di depan pintu kelas XI-IPA3.

"Ada yang pingsan ya katanya."

"Iya, cuma gue nggak tau siapa yang pingsan."

Obrolan kedua perempuan yang memang sedang melongokkan kepala di pintu, dan ikut berdesakkan dengan anak lain, terdengar di telinga Retta. Dahinya mengerut, dan dia memilih tak peduli.

"Siapa yang pingsan?" tanya Linzy yang sudah berdiri di samping Retta, dan juga ikut memandang kerumunan orang-orang di depan kelas sebelah.

Retta menggeleng. "Nggak tau. Udah ah, gue mau ke ruang guru."

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Retta berlalu pergi menjauh dari depan kelasnya.

Linzy ikut-ikutan menjulurkan kepala, melihat ke dalam kelas sepupunya itu. "Siapa sih? Jadi kepo kan gue."

"Lo kan emang selalu kepo," cibir Shena, yang berdiri di samping Linzy. Mendengarnya Linzy cemberut.

Semua masih bersusah payah mencari tahu apa yang terjadi di dalam kelas XI-IPA3 itu. Termasuk Linzy dan Shena. Hingga kedua perempuan itu terpaku ketika matanya menangkap sosok lelaki yang tengah berusaha keluar dari desakkan orang-orang. Shena dan Linzy hanya bisa berdiri bisu dengan bola mata melebar melihat seorang perempuan di kedua lengan lelaki itu.

"Farah kenapa, Gha?" Zion menghampiri cowok itu, yang tak lain adalah Regha. Dan jangan ditanya lagi siapa sosok yang berada di kedua lengan Regha.

"Lagi?" itu kata awalan yang Linzy bisa ucapkan. Melihat kejadian yang seringkali terjadi di depan matanya.

Regha hanya menoleh sebentar pada Linzy. "Gue harus bawa Farah ke UKS. Dia harus dirujuk ke rumah sakit."

"Kenapa harus selalu lo?" sepenuhnya Regha memberikan perhatiannya ke Linzy. "Kenapa harus selalu lo yang gendong dia, teman dia bukan lo doang, Gha." Tangan Linzy menunjuk beberapa petugas PMR yang ada di samping kanan-kiri Regha. "Di sekolah ini ada petugas PMR, dan seharusnya lo biarin para PMR itu ngejalanin tugasnya!"

"Lo kenapa sih, Zi?" Regha bingung. "Gue temen kelasnya! Emang salah kalo gue nolongin dia?!"

Tawa hambar Linzy meluncur dari bibirnya. "Dalam satu kelas ada empat puluh orang, Gha. Ada lima belas cowok lebih. Terus kenapa harus selalu lo yang bantuiin dia?!"

Pertanyaan terkesan kasar itu membuat kepala Regha menggeleng tak percaya. "Gue nggak ngerti sama sikap lo, Zi."

Setelahnya, kaki Regha langsung melangkah menjauh, diikuti beberapa petugas PMR yang mengikuti di belakang.

"Jangan sampai Retta ngeliat, Gha." Terdengar suara Linzy kembali, yang sontak memutuskan langkah Regha. "Gue nggak mau hubungan lo sama Retta renggang lagi cuma karena... Farah."

Regha memutar kepalanya ke belakang. Tepat ke manik kelabu milik sepupunya. Sorot bingung jelas terlukis di mata Regha, menatap netra tajam Linzy yang menghunus padanya.

***

Di lorong sepi menuju ruang guru, Retta bersenandung kecil, langkahnya terdengar ringan, mengetuk-ngetuk lantai dengan irama beraturan. Senyum kecil itu selalu tampak menghiasi wajahnya.

Setumpuk kertas itu masih terus menemani langkahnya. Sampai satu titik, Retta merasa tubuhnya terdorong keras hingga terhuyung ke depan bersama setumpuk kertas itu. Matanya terbelalak, melihat kertas-kertas yang berceceran di lantai.

Hendak memarahi orang yang menabraknya, Retta malah disuguhi oleh pemandangan yang membuatnya tertegun. Dia mendongak dengan bibir terbuka tak percaya. Koridor yang memang sepi, seolah mengurung Retta pada keheningannya.

"Lo nggak pa-pa, Ta?"

Retta masih belum bisa membuka suara. Tenggorokannya tercekat. Koridor seakan mengikat Retta di keadaan yang sesak. Jantungnya pun seperti berhenti berfungsi.

"Lo nggak pa-pa, Ta?" Regha mengulangi pertanyaannya. Dia berdiri sambil membawa seorang perempuan, yang sialnya selalu bisa membuat Retta ditahap emosi yang memuncak. Perempuan itu, Farah. "Sorry karena tadi nabrak lo, gue lagi buru-buru."

"Retta, jawab gue!" desak Regha, cowok itu bergerak gusar. "Gue nggak bisa bantuin lo untuk berdiri. Lo bisa berdiri sendiri, kan?"

Bibir Retta sama sekali tidak ingin terbuka. Hingga rasa panas itu menjalar di seluruh tubuhnya. Matanya pun mulai berkabut oleh cairan panas, yang menunggu untuk dijatuhkan.

"Gue nggak pa-pa," ucap Retta bergetar. "Lo tenang aja, gue bisa bangun sendiri. Dan nggak butuh bantuan lo."

"Bagus," Hanya itu yang Regha ucapkan. Sebelum melangkah pergi, bersama petugas PMR yang mengikuti di belakang.

Di sisi lain, Linzy dan Shena menyaksikan kejadian itu secara detail. Keduanya melangkah cepat-cepat ke arah Retta, membantu membereskan kertas-kertas yang berceceran. Sementara Retta hanya terduduk bisu sambil menatap punggung Regha yang menjauh.

"Dua kali gue ngeliat itu..." setelah beberapa detik mengatup bibir, Retta membuka suara.

Linzy dan Shena saling lirik. Satu perempuan tak mampu menjawab, hanya Shena yang bisa memberi penjelasan.

Shena tersenyum sambil membantu Retta berdiri. "Kita berdua kan pernah ngasih tau lo, kalo kejadian itu udah sering terjadi. Jadi seharusnya lo nggak usah bingung, Ta. Lagian Regha kan emang baik sama siapa aja."

Retta mengulas senyum getir. "Baik?" tanyanya pahit. "Apa itu sikap baik yang nggak berlebihan?"

Pertanyaan itu hanya dijawab oleh keheningan di sekelilingnya. Retta mendengus. "Dua tahun gue nggak pernah ketemu Regha, nggak pernah berkomunikasi sama dia, dan dua tahun itu juga gue ngebiarin Regha deket sama Farah." Sejenak Retta berhenti sebelum kembali berkata.

"Dan apa kalian nggak pernah mikir? Kalo sebenernya rasa sayang Regha ke gue udah nggak ada?!"

Air mata Retta meluncur bebas di pipinya. "Rasa sayang itu bukan lagi buat gue, tapi... buat Farah!" simpul Retta langsung.

Dia mengusap air matanya kasar, sebelum berbalik pergi membawa kertas itu. Dan meninggalkan kedua sahabatnya, yang hanya bisa mematung di tempat.

Siapa yang sebenarnya salah di sini? Retta yang sudah langsung menarik kesimpulan? Atau Regha yang berniat membantu tapi bersikap berlebihan?

TBC(15-03-18)
     APING♡

___________

Tadi niatnya kan pengin update sesuai jadwal ya. Eh mendadak minggu depan aku ada acara organisasi sekolah. Jadi kayaknya update tiga kali seminggu cuma minggu ini. Maafkan aku :)

Makasih yang masih setia mampir. Jangan lupa di vote ya!

Danke❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro