Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R52: Mengetahui fakta

TERPAKU diam. Hanya itu yang Retta bisa lakukan. Semua ruang di sana seakan menyempit, menghela tubuh Retta di dalamnya, hingga membuat dia lupa bagaimana caranya bernapas. Tenggorokannya terasa kering untuk bisa mengeluarkan kata-kata.

Membatu di kursinya, pandangan Retta melekat pada orang itu. Seseorang yang sangat dia kenal. Seseorang yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ada di pikiran Retta. Seseorang yang ternyata adalah sepupunya sendiri.

Relung Retta menolak percaya bahwa orang yang berdiri di samping sang Tante adalah sepupunya.

Dia masih berbicara dengan sang Mama—Tante Veni. Mengeluarkan segala keluhan karena tidak mendapat sela kosong untuk memarkirkan mobilnya. Dia terus menceritakan kekesalan dan belum menyadari keberadaan Retta di depan sang ibu.

"Mama kira kamu kemana?" Tante Veni ikut berujar. "Cuma markir doang kok lama banget."

Orang itu mendengus karena mendapat omelan ibunya. Sebelum kepalanya menoleh dan mengetahui keberadaan Retta. Keterkejutan sangat tampak di iris cokelat itu—iris cokelat yang selalu Retta katakan mirip dengannya, iris yang hampir membuat Retta terjebak di dalamnya.

"Retta?" Suaranya terdengar shock. Telunjuknya terangkat ke arahnya. "Kok lo di sini?" tanyanya heran.

Dua hal yang hanya dapat Retta lakukan. Memandang diam sang lelaki dan memilin rok cokelat yang tengah dipakainya. Pikirannya berantakkan. Bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan itu.

"Kamu kenal Retta?" tanya sang Mama pada anaknya.

Lelaki itu memandang mamanya bingung. "Jelas aja Lio kenal dia! Dia..."

Setelah beberapa detik bibir Retta tak ingin digerakan, namun mendadak terbuka hanya karena bingung dengan nama yang lelaki itu sebutkan. "Lio?"

Tante Veni menatap Retta, senyum yang menimbulkan kerutan di bawah matanya sekali lagi terulas. "Kamu kenal Lio anak Tante, Retta?" tanya wanita itu, sekadar diam itu yang Retta lakukan. Sebab nama itu bukan nama yang Retta kenal.

Melihat raut bingung keponakannya. Veni terkekeh. "Oke mungkin kamu kenal cowok ini dengan nama Ragel?"

Pertanyaan itu menampar Retta dengan keras. Diangkat kepalanya perlahan menatap Ragel, seseorang yang pernah menyatakan cinta padanya. Seseorang yang membuat rasa bersalah menghantuinya. Seseorang yang tak bukan ialah sepupunya sendiri.

"Iya," Retta mengangguk, tatapannya masih melekat pada Ragel. "Retta kenal anak Tante. Tapi yang Retta tau namanya Ragel, bukan Lio."

Veni tertawa singkat. "Iya itu emang namanya. Nama lengkap Ragel itu. Ragelio Alexander. Dan Tante biasanya manggil Ragel dengan panggilan Lio."

Ragel membalas tatapan Retta, sebelum menatap mamanya. Dia tidak mengerti, memandang bergantian dua perempuan yang memiliki ruang di hatinya sekarang duduk berhadapan. Dan perlahan tapi pasti, kesimpulan-kesimpulan buruk mulai terbentuk di otaknya.

Sebelum menyaksikan keadaan membingungkan ini sang mama meminta untuk mengantarkannya ke restaurant untuk bertemu dengan keponakannya yang tidak pernah ditemuinya. Keponakan yang selama enam belas tahun tidak dikenalnya. Yang pasti adalah sepupu Ragel.

Dan sekarang mamanya bertemu dengan orang itu. orang yang dikatakan adalah keponakan. Orang yang sangat Ragel kenal.

"Lio kenal dia Ma." Ragel menujuk Retta, matanya mulai berkabut oleh emosi yang tidak dia mengerti maknanya. "Dia temen SMA Lio."

"Kalian satu sekolah?" tanya Veni seperti takjub dengan kebetulan itu. Lantaran tak terdengar jawaban membuat Veni menarik kesimpulan sendiri. "Bagus dong kalo kalian satu sekolah, bahkan saling kenal, namanya mama nggak harus capek-capek buat kalian berdua dekat, sebagai layaknya sepupu."

Mendengar kata terakhir sang mama, tanpa sadar menggerakkan tangan Ragel untuk menggebrak meja. Yang sontak menimbulkan kekagetan di dua perempuan itu. "Mama bercanda, kan?!" tanyanya dengan suara bergetar. "Dia nggak mungkin sepupu Lio?!"

"Lio jaga ucapan kamu!" tegur sang Mama. "Dia Retta, anak dari Om Fahmi—suami dari adik Mama. Jadi Retta keponakan Mama. Sepupu kamu!"

Netra cokelat Retta hanya membisu. Kosong untuk bisa mencerna semua kejadian yang terlalu cepat terjadi di depannya.

Sorot terluka itu sangat jelas tampak di iris cokelat Ragel. "Mama nggak ngerti," ucapnya lirih, kepalanya menggeleng pelan. Udara sekelilingnya mendadak hilang, mengakibatkan dada yang terasa sesak. "Lio nggak bisa nganggep dia sepupu... nggak akan pernah."

"Maksud kamu apa Lio?" tanya Veni dengan alis berkerut.

Ragel menatap mamanya sebelum beralih pada Retta. Perempuan itu mengatup bibirnya rapat. Dan melihat kebisuan Retta, entah kenapa semakin membuat rasa sesak itu tercipta di dadanya. "Lio pulang duluan!" pamitnya.

"Mama cuma mau bilang ke Retta kalo nenek pengin ketemu sama dia bukan?" tanya Ragel sebelum pergi. "Jadi, Lio nggak punya kepentingan apapun di sini. Lagian, seperti yang Mama bilang Lio udah kenal sama dia."

"Jadi nggak perlu ada acara perkenalan apapun." Setelah mengucapkan kata-kata pahit yang seakan membuat lidah Ragel terasa kaku. Dia berlalu pergi.

***

Dingin itu terasa di kulit hidung Retta, bersamaan dengan wangi vanilla yang terhirup. Membuat kesadaran lima puluh persen itu kembali ke tubuhnya. Dia memegang hidung, menemukan dinginnya es krim vanilla di sana.

Dia mendongak, merengut kesal pada tersangka utama, yang sudah menunjukan senyuman mematikannya. Regha, orang yang sudah menyadarkan Retta itu, bergerak duduk di sampingnya.

"Lo dari tadi bengong aja," ucap Regha, kedua tangannya memegang masing-masing satu es krim cone. "Untung nggak kerasukan hantu mall."

Retta tak menjawab. Pandangannya berputar pada keadaan di sekitar, yang dipenuhi dengan kebisingan dan keramaian orang-orang yang berlalu lalang.

Hari ini entah ada angin apa Regha mengajaknya pergi menonton. Ajakan yang sangat bertolak belakang dengan sifat Regha, yang pantas saja membuat Retta menolak ajakan itu awalnya.

Dia mengatakan ingin menonton salah satu film komedi. Lantaran melihat tatapan Regha yang sungguh-sungguh, yang berhasil mengunggah Retta untuk mengikuti keinginan cowok itu.

Dan satu kebodohan Retta adalah memilih duduk menunggu, dibanding ikut serta untuk mengantri bersama Regha. Sebab itu, Regha menipunya. Cowok itu tidak membeli tiket film komedi, melainkan film horror!!

Selama film itu ditayangkan Retta hanya mendiamkan Regha tanpa peduli dengan cowok itu yang mengajaknya bicara. Masa bodo... Retta tidak peduli. Cowok itu pasti sengaja, karena tahu Retta takut dengan hal-hal yang berbau horror.

Kira-kira hampir dua jam Retta masih mendiamkan Regha, hingga cowok itu membujuknya untuk membelikan es krim. Enak saja! Retta tidak mudah untuk disuap hanya dengan sebuah es krim.

Meski Retta tidak menolak atau mengiyakan Regha tetap berjalan ke salah satu kedai es krim, meninggalkan Retta terduduk bisu di bangku yang tersedia di sana.

Lantaran tanpa ada obrolan, dan membiarkan Retta ditinggal bersama keheningan. Membuat ingatan Retta jatuh pada pertemuan dengan tantenya, dan bertemu dengan sang sepupu, yang ternyata adalah Ragel! Cowok yang menyukainya!

Beruntunglah Retta karena Regha berhasil menariknya dari lamunan.

Cowok itu memberikan es krim vanilla itu pada Retta. Lamat-lamat Retta menatap es krim cone yang sudah berada di tangan. Dahinya mengerut. Vanilla?

Kepalanya bergerak ke arah Regha, lalu melihat cowok itu yang sudah mulai memakan es krim miliknya. Yang membuat sepenuhnya kesadaran Retta kembali ialah melihat es krim Regha yang bewarna cokelat.

Regha memberikannya es krim vanilla, lalu dia mengambil yang rasa cokelat. Huh hebat sekali...!

Refleks Retta memukul bahu Regha, membangun keterkejutan di tubuh cowok itu.

"Kenapa lo ngasih gue yang vanilla, bukannya yang cokelat?!" omel Retta.

"Rasa cokelatnya habis, sisa satu," jelas Regha, tanpa merasa bersalah. "Ya, jadi gue terpaksa ngasih lo yang itu."

Darah Retta memuncak karena kesal. "Rasa cokelatnya sisa satu? Terus kenapa lo nggak ngasih gue yang cokelat dan lo yang rasa vanilla?!"

Bibir Retta memberengut, lalu disusul dengan kepalanya yang membuang muka. Ini tahap yang sebenarnya ingin sekali membuat Regha tertawa. Karena sikap Retta yang sangat menggemaskan di matanya.

"Ya sorry," ucap Regha memasang raut masa bodo. "Lo kan tau gue nggak suka sama vanilla."

Retta kembali menatapnya, matanya melotot kesal. "Dan lo juga tau gue sukanya sama cokelat!"

Perempuan itu bangkit berdiri, dengan sekali hentakan. "Udah mending kita pulang! Ngapain kalo ada di sini bukannya bikin seneng tapi bikin kesel!"

Sekuat mungkin Regha menekan bibirnya untuk tidak mengeluarkan tawa. Tingkah Retta benar-benar seperti anak kecil yang marah karena permennya diambil.

Regha memegang tangan Retta, senyum geli terulas di bibirnya. Perlahan, tangan sebelahnya merogoh plastik yang tidak Retta ketahui keberadaannya. Mengulurkan sesuatu itu ke arah Retta.

Posisi Retta yang membelakangi Regha, membuat dia harus terpaksa menundukkan kepala menatap benda di tangan  cowok itu.

"Maaf," ucap Regha tulus masih dengan benda itu yang berada di genggaman tangannya. "Lo maafin gue?"

Retta memandang diam benda berbentuk tabung itu, di dalamnya terdapat banyak bungkusan bulat bewarna gold, tanpa membuka bungkusnya Retta sangat tahu apa isinya. Tidak bisa berkata-kata, Retta tertegun melihatnya. Regha selalu memberikan benda itu dulu, kala dirinya marah pada cowok itu.

"Gue nggak gampang disogok pake cokelat," ucapnya, kekehan itu sudah meluncur dari bibir Regha. Retta mengatakan perkataan yang berbanding terbalik dengan raut wajahnya.

"Gue nggak nyogok," kata Regha, tersenyum geli. "Gue minta maaf karena bohongin lo tadi di bioskop. Gue tau lo kesel, karena gue milih film horror dibanding komedi. Maaf, Retta."

Ucapan Regha sangat tulus, ditambah dengan tatapan teduh yang terpancar di mata hitam pekat itu. Tak perlu menunggu waktu lama, untuk bisa mendapat senyum Retta kembali.

Regha ikut tersenyum, memindahkan benda itu ke tangan Retta. "Suka, kan?"

Senyum Retta makin mengembang tak terkira, kemudian mengangguk perlahan.

***

Hampir beranjak sore, Regha mengantar Retta pulang. Menghentikan laju mobilnya di samping gerbang hitam yang menjulang, menutupi rumah Retta yang bernuansa putih. Regha ikut turun, mengantar perempuan itu hingga gerbang rumahnya dibuka oleh penjaga rumah.

"Nggak mau mampir dulu?" tawar Retta, tangannya memegang plastik transparan berukuran sedang.

Regha menggeleng. "Rumah lo nggak ada orang."

Retta tertawa. "Ada Bi Sani. Kali aja lo kangen sama dia."

Regha menggelengkan kepala sambil ikut mengeluarkan tawa. "Enggak usah, udah sore. Lagian gue banyak tugas yang belum diselesain, apalagi besok ada jadwal yang bentrok antara ekskul fotografi sama ekskul basket."

Retta mengangguk mengerti, mengulas senyum. Kata basket, entah kenapa mengingatkan Retta pada Ragel. Dia belum menceritakan apapun pada Regha mengenai hubungan barunya dengan Ragel.

Dan menurut Retta itu keputusan yang bagus untuk tidak langsung memberitahu Regha. Karena setiap kali membawa nama Ragel di antara obrolan mereka. Regha akan terlihat badmood. Lalu terkesan cuek padanya.

"Ya udah, gue tinggal ya."

Retta mengangguk dengan ucapan Regha. Menatap cowok itu yang mulai berjalan ke mobilnya.

"Oh iya, ada yang ketinggalan." Regha kembali menutup pintu mobilnya yang sempat terbuka, Retta mengernyit bingung, melihat cowok itu yang kembali melangkah mendekat padanya.

"Apa?" tanya Retta, keningnya berkerut.

"Ini yang ketinggalan." Cowok itu menarik tubuh Retta, mengakibatkan dirinya menabrak dada bidangnya. Kejadian itu terlalu cepat, tanpa bisa Retta memproses apa yang Regha lakukan. Tapi satu hal yang dapat Retta rasakan, yaitu bibir Regha yang menempel di keningnya.

Retta mematung.

Regha tersenyum pada perempuan yang kini hanya membatu di tempat. Hingga lelaki itu berjalan ke mobil. Dan Retta hanya berdiri kaku melihat mobil Regha yang melaju meninggalkannya.

TBC(13-03-17)
     APING♡

___________

Siapa yang dari awal udah nebak kalo Ragel sepupu Retta? Wkwk

Padahal dari awal kemunculan Ragel aku udah kasih clue-nya lo. "Mata cokelat. Mata yang sangat mirip dengan milik Retta"

Mungkin nggak ada yang sadar kali ya XD. Makasih untuk yang masih setia mampir♡

Danke❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro