R-R51: Meet Someone
"BEGO!!"
Seruan kencang dan penuh dengan penekanan di ujung katanya. Sontak menjadikan mata Regha melebar seperti siap menerkam orang yang mengumpat di depannya.
Di hari sabtu yang indah. Waktu libur yang bisa digunakan untuk bergelung lebih lama di balik selimut bersama ranjang empuk dan gulingnya. Ya! Itu yang seharusnya Regha lakukan. Menikmati hari liburnya. Namun, itu sekadar khayalan yang ingin Regha dapatkan.
Bagaimana bisa dirinya menikmati hari liburnya untuk tidur lebih lama jika sejak malam matanya tidak bisa diajak memejam. Iris hitamnya sentiasa terbuka, menampakkan diri. Menatap nyalang langit-langit kamar.
Itulah yang Regha lakukan dari tadi malam sampai pagi menjelang, ditandai dengan paparan sinar mentari, menembus celah-celah gorden jendelanya.
Pikirannya terus berkelana pada kejadian dirinya yang hampir mencium Retta. Otaknya seperti kamera yang merekam dengan detailnya, merekam setiap hal yang hampir membuat Regha gila.
Tinggal beberapa senti untuk Regha mencium perempuan itu, kalau saja klakson mobil tidak menyadarkannya. Entah sepatutnya Regha bersyukur atau kesal karena suara yang membuat kesadaran di antara mereka berdua kembali.
Untuk bisa menjernihkan pikirannya Regha memutuskan untuk berenang di kolam belakang rumahnya. Menenggelamkan semua pikiran-pikiran yang membuatnya stress. Membiarkan air, menelannya dalam-dalam. Sampai kedua sahabatnya datang, dan membuat kelegaan menghampiri Regha.
Tanpa pikir panjang, dia langsung menceritakan semua kejadian itu pada mereka. Lalu setelah semua kata-kata yang meluncur dari bibirnya, mengurangi beban yang menekan otak Regha. Justru dia mendapati umpatan dari Zion.
Dia melotot pada Zion yang juga sudah bertelanjang dada. Cowok itu sempat berenang bersamanya. Ya, kecuali Arven.
Zion duduk di pinggir kolam, sedangkan Regha dan Arven duduk di kursi kayu yang berada di dekat kolam.
"LO ITU BEGO GHA!" Zion kembali mengumpat, sementara kepalanya geleng-geleng dengan wajah pura-pura frustasi.
"Gue udah tau kalo gue bego karena hampir ngelakuin itu!" Regha balas membentak. "Tapi nggak usah diperjelas juga!"
Zion terkekeh. "IYA LO BEGO BANGET!" Dia balas membentak, kemudian berdiri sambil berkacak pinggang. "Lo bego... kenapa nggak lo lanjutin?!"
Sambungan perkataan Zion justru membuat Regha dan Arven tercengang. Mulut keduanya terbuka. Sebenarnya yang bego di sini siapa?
"KAMPRET!" Arven pertama tersadar, melemparkan Zion beberapa kacang polong yang tersedia di meja. "Lo dari tadi ngatain Regha bego karena Regha nggak ngelanjutin buat..."
Arven tak mampu untuk melanjutkan perkataannya, dan memilih menghirup udara sebanyak-banyaknya. Untung saja dia memiliki stock kesabaran yang banyak karena mempunyai teman gila seperti Zion!
Regha semakin melototkan mata, ikut melempar kacang polong yang lebih banyak ke wajah Zion. "Kalo lo nyuruh gue untuk ngelanjutin namanya lo yang BEGO!"
"Eh... santai Mas Bro," Zion menangkap kacang polong yang Regha lempar, lalu dimasukan di mulutnya. "Lo berdua lebay banget sih, emang kenapa kalo Regha jadi nyium Retta?" tanya Zion sambil nyengir.
Regha memilih diam sambil memakan keripik yang tersedia di meja. Bagaimana kalau tadi malam hal itu benar-benar terjadi? Bagaimana kalau dia benar-benar mencium Retta? Seperti pertanyaan Zion.
Regha menghela napas berat. Memikirkannya saja membuat dia semakin gila.
Arven yang duduk di sebelah Regha pun tak menanggapi pertanyaan yang kiranya sangat konyol itu.
"Sikap lo berdua aneh banget tau nggak sih." Zion tertawa keras-keras. "Kayak cewek yang takut kehilangan first kiss-nya." Dia semakin terbahak sendiri. Bahagia sekali hidupnya!
Darah Regha dan Arven seolah memuncak dengan drastis. Sungguh... dosa apa mereka berdua hingga memiliki teman sepertinya?!
Memang untuk ukuran tampan Zion tidak kalah tapi jangan tanya dengan kapasitas otak yang dia dapatkan. Benar-benar rusak karena terlalu sering diajak bercanda.
"Mungkin lo berdua boleh bersikap kayak gitu kalo..."
Zion berhenti berbicara. Tawanya pun berhenti seperti keran yang mendadak dimatikan. Kesimpulan pelan-pelan mulai terbentuk diotaknya. "Eh, atau emang jangan-jangan kalian berdua belum pernah..."
Zion menaik-turunkan alisnya menggoda. Hal itu tentu saja membuat kedua temannya memelotot. Regha berdeham, sedangkan Arven bergerak tak nyaman di kursinya.
Sikap kedua orang itu membuat Zion semakin terbahak. Dasar mereka berdua, selalu kompak kalau urusan bersikap seperti actor.
Hari ini seperti berkah bagi Zion, biasanya dia yang selalu jadi bahan olok-olokan oleh mereka berdua. Tapi hari ini, giliran dirinya untuk mengolok-ngolok kedua sahabatnya.
Tuhan sungguh menyayanginya!
Zion terbahak sambil memegangi perutnya. "SERIOUSLY LO BERDUA BELOM PERNAH CIUMAN?!"
Bola mata Regha dan Arven sudah membulat penuh karena kesal. Lihatlah Zion tertawa bahagia di atas kesengsaraan kedua temannya. Senang sekali dia bisa menertawakan Regha dan Arven.
Arven melempar bantal ke arah cowok itu. "Berhenti bego, nggak ada yang lucu!"
Zion mengangkat tangannya. "bentar-bentar," sebisa mungkin dia menghentikan tawanya. "Lo bilang nggak lucu." Zion tertawa sekali lagi. "ITU LUCU BANGET!!"
Zion berdeham, menetralkan suaranya. "Ternyata kegantengan itu bukan segalanya iya, kan?" tanyanya sambil menaikkan alis.
"Dua temen ganteng gue ternyata masih polos, sama kayak pantat bayi!"
Tawa menyebalkan Zion makin terdengar keras. Dia bahkan sampai berguling-guling di lantai sambil memegang perutnya.
Regha dan Arven saling lirik. Otak masing-masing seperti menemukan ide jahat yang membuat kedua orang itu tersenyum licik.
Zion tersentak saat merasa tubuhnya melayang di udara. Dia memekik dan matanya melotot, melihat kedua tersangka utama. "Mau ngapain lo berdua?" tanyanya mengancam.
"Menurut lo?" tanya Regha balik. Wajahnya sekarang jadi terlihat menyebalkan di mata Zion.
Regha dan Arven menghitung dari satu sampai tiga.
"WOY! WOY!" teriak Zion.
BYURRR!!!
Terlambat, Arven dan Regha sudah lebih dulu melempar tubuh Zion ke kolam. Beriak air langsung tampak menelan tubuh cowok absurd itu.
Giliran sekarang tawa Regha dan Arven yang terdengar. Sungguh teman yang sangat tega!
***
Sementara di lain tempat, Retta tengah duduk sambil memandang lalu-lalang kendaraan di dalam Restaurant bernuansa dark grey itu. Dia sesekali melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Netra cokelatnya berpendar pada sekeliling.
Sudah hampir setengah jam Retta menunggu adik dari ibunya. Yang tak lain tak bukan ialah tantenya sendiri. Karena desakkan sang ayah Retta harus terpaksa datang ke Restaurant untuk bertemu sang tante.
Entah apa yang ingin tantenya bicarakan hingga memaksa ayahnya untuk menyuruh dia bertemu dengannya. Selama enam belas tahun Retta tidak mengenal orang itu lalu tiba-tiba dia menelpon sang ayah dan memaksanya mengadakan pertemuan. Hanya karena sang nenek sakit di Makassar.
Retta menunduk menatap daftar menu. Bahkan selama setengah jam menunggu Retta belum memesan apapun karena terlalu gugup. Dia menghela napas, kegugupan itu tak dapat dihindarkan. Bagaimana bisa dia tidak gugup jika akan bertemu dengan seseorang yang tak pernah dia temui?
"Retta?"
Suara lembut itu tiba-tiba menelusup indra pendengarannya. Yang lantas membuat Retta mendongak. Matanya langsung disambut oleh penampakan wanita paruh baya, yang masih terlihat sangat cantik. Beberapa kerutan halus tampak di bawah mata dan dahi. Tapi itu tak mengurangi kecantikan yang orang itu miliki.
Dan mata cokelat itu langsung mengingatkan Retta pada sang ibu yang sudah tiada.
Mendadak memori-memori kebersamaan dengan ibunya langsung menyeruak di kotak pikirannya. Retta membisu, matanya mulai berlinang air mata. Dadanya mendadak sesak. Wajah orang itu, membuat kerinduan yang sejak dulu Retta pendam, keluar dengan sendirinya.
"Kamu Retta?
Suara itu menyentak Retta pada kenyataan yang harus dia terima. Sosok di depannya bukan sang ibu yang selalu ada di sampingnya. Bukan juga sosok yang menemani Retta tidur sambil membaca dongeng. Dan juga bukan orang yang memasak makanan kesukaan Retta setiap pagi.
Segera, Retta menghapus air matanya dengan kasar. Tenggorokkannya terasa kering hingga harus membuat Retta harus membasahinya untuk mengembalikan suaranya.
"Iya..." Retta mengangguk kaku. "Ini Tante Veni?"
Bahkan suara Retta bergetar hanya untuk menyebut nama tantenya sendiri, bibirnya terasa sulit untuk digerakkan.
"Ya Tuhan..." Wanita paruh baya itu merangkum wajah Retta yang tiba-tiba terlihat pucat. "Kamu beneran Retta?" Wanita itu masih seperti tidak percaya. "Kamu mirip banget sama ibu kamu, sayang."
Dadanya seperti ditaruh di ruang pengap tanpa udara, semakin membuat Retta merasa sesak. "Tante Veni ju-juga mirip sama i-ibu." Retta tersenyum getir. Air mata mulai terbentuk kembali di matanya.
Tante Veni tersenyum haru. Dia duduk di depan Retta sambil mengusap pipi pucatnya. "Wajah Tante jadi ingetin kamu sama ibu kamu?"
Seolah ada batu besar yang tersangkut di teronggorokan Retta, hingga akhirnya dia hanya mengangguk, menjawab pertanyaan itu.
"Kamu cantik persis seperti ibu kamu." Tante Veni memuji sambil tersenyum.
Retta ikut tersenyum.
Namun, tiba-tiba kepala Tante Veni bergerak pada sekitar, seperti mencari seseorang.
"Tante Veni nyari siapa?" Berusaha kuat Retta untuk mengeluarkan pertanyaan itu.
Tante Veni kembali menatapnya kemudian tersenyum. "Tante tadi ke sini sama anak Tante, tapi dia kok lama banget ya cuma markir mobil."
"Anak?" tanya Retta refleks.
"Iya anak Tante. Sepupu kamu." jawabnya sambil tersenyum keibuan.
Terdiam, Retta memandang bisu daftar menu yang berada di meja. Otaknya mulai berceceran oleh pertanyaan yang tidak dia ketahui jawabannya. Sepupu?
Tentu saja Retta kebingungan dengan perkataan Tante Veni tentang anaknya. Dia belum pernah bertemu dengan tantenya apalagi bertemu dengan sepupunya itu. Retta merasa seperti orang bodoh yang tak mengerti apapun.
"Kamu udah mesen makanan, sayang?" tanya sang Tante, menatap meja yang masih kosong, sebelum memandangnya.
Retta menggeleng kaku. "Belum, Tante."
"Ya udah kita mesen makanan duluan aja," kata sang Tante. "Kalo nungguin anak Tante keburu lumutan."
Sedikit tawa Retta berikan pada ucapan terakhir Tante Veni.
Lantaran sudah diberi perintah lebih dulu, lantas Retta menunduk menatap deretan makanan yang tersedia di restaurant itu.
"Maaf, Ma, lama, tempat parkirnya penuh." Terdengar suara seseorang beriiringan dengan napasnya yang tak beraturan.
Kepala Retta refleks mendongak cepat. Terlalu cepat hingga dia merasa jantungnya berhenti berdetak. Dia membatu memandang seeorang yang sudah berdiri di samping Tante Veni, seseorang yang pastinya adalah sepupunya.
Dan seseorang yang sangat Retta kenal.
TBC(10-03-18)
Aping♡
____________
Part ini maafkan kegilaan Zion ya wkwk
Jangan lupa vote dan comment sayang :) ohh iya dan mulai senin aku bakalan update kayak dulu; selasa, kamis, dan sabtu wkwk biar cepet endingnya ^^
Danke❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro