Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R50: Disgraced

Peringatan banyak kata-kata kasar di part ini

______________

TATAPAN para tamu terpusat pada Retta yang kini telah berdiri di atas panggung. Hanya orang bodoh yang menganggap permainan ini menyenangkan.

Game yang sengaja dibuat untuk menjebak Retta. Dia tahu, cowok angkuh seperti Davel sengaja membuat permainan ini. Rencananya sangat licik hanya untuk mempermalukan Retta di depan banyak orang. Cowok itu membenci Retta, tentu saja.

Berdiri kaku di atas panggung, emosi sudah berkumpul di mata Retta. Melayangkan hunusan tajam pada Davel. Senyum miring Davel justru terukir mendapatkan emosi yang berkilat di mata cokelat Retta.

Kotak kaca itu diulurkan ke arah Retta. "Ambil, Ta!" perintahnya, tangannya yang bebas mengaduk-ngaduk bola kertas di dalamnya.

Tangan Retta bertahan di sisi tubuh, menolak untuk menggerakkannya sedikit pun. Dia menggeleng. "Gue.nggak.mau." ucapnya penuh penekanan.

Davel mengembalikan kotak kaca ke MC sebelum kembali memusatkan pandangan pada Retta. Langkahnya terayun ke arah perempuan.

"Lo lebih milih tubuh lo ke siram air dari ember di atas," mata Davel melirik ember di atas kepala Retta sejenak, dan kembali menatapnya. "Dibanding permainan biasa kayak gini."

"Gue tau, lo sengaja nantang gue," Retta menggertakan giginya, menahan emosi yang sudah berada di ambang batas. "Supaya gue bisa maju ke depan dan lo bisa permaluin gue depan semua orang!"

Terdengar suara huuu... panjang yang mendominasi sekeliling Retta. Tawa mengejek dan kata-kata yang menyakitkan, tidak dia pedulikan. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang padanya. Dia hanya tidak ingin terjebak di permainan Davel.

Jemari Davel bergerak menarik dagu Retta, senyum miring terukir. "Kenapa? Lo takut?"

Cepat Retta menepis tangan Davel. "Nggak usah pegang-pegang gue!"

Davel terkekeh, sebelum tangannya kembali menarik kedua tangan Retta. Menarik tubuh sang perempuan mendekat ke arahnya. "Kenapa gue nggak boleh megang-megang lo? Bukannya emang lo udah biasa dipegang-pegang sama cowok!"

Emosi Retta tersulut mendengar nada remeh yang tersirat di sana. Dia seberusaha mungkin untuk melepaskan genggaman tangan Davel. "Gue bukan cewek murahan!"

Sebelah tangan Davel masih mencengkeram kuat kedua tangan Retta. Sementara tangan satunya lagi, berlarian di pundak terbuka Retta. Mata Retta lantas melotot. Menggerakkan tubuhnya untuk menjauhkan tangan cowok berengsek di depannya ini.

"JAUHIN TANGAN LO!"

Senyum miring Davel semakin terlihat jelas, dia menyentak tangan Retta. Hingga membuat tubuh Retta semakin menempel erat dengan tubuhnya.

"Sekalinya murahan bakal tetep jadi cewek murahan," bisik Davel tepat di telinga Retta. Kepala Retta bergerak gelisah, merasakan embusan napas Davel di telinganya. Air mata mulai berkumpul di pelupuk Retta. Dia benci saat dirinya dijebak oleh rasa lemah. Rasa yang menyulitkan Retta untuk memberontak.

"Lo udah ngasih apa ke Regha sampe ngebuat sahabat lama gue itu nggak bisa lepas dari lo?" kata Davel semakin berbisik di telinga Retta. "Tubuh lo?"

Mata Retta terbelalak seiring dengan air matanya yang tumpah, membasahi pipi. Kalimat tanya yang menghancurkan harga diri Retta dalam sekejap, membangkitkan seluruh emosi di belunggu pikirannya bersamaan dengan kekuataan yang kembali ke tubuh Retta.

Tangan Retta yang tercekal mendorong dada cowok itu dengan sangat kuat. Lantas yang membuatnya terlepas. Sedetik, hanya sedetik Retta membiarkan Davel terkejut. Sebelum kembali mengejutkannya dengan tamparan.

"JAGA OMONGAN LO!!"

Davel terlihat shock. Dia tercenung, sebelum menoleh pada Retta dengan emosi yang tersulut. "Lo nampar gue?!"

"Kenapa?" tanya Retta, sorot matanya memandang remeh. "Bukannya emang lo pantes dapat itu!"

Api emosi itu semakin terkobar di mata Davel. Dia terdiam sejenak, setelahnya dia memandang Retta dengan tatapan yang pertama kali dirinya lihat saat naik ke atas panggung. Dia tersenyum miring.

"Tumpahin airnya!"

Mata Retta membulat, mendengar kata-kata Davel.

BYURRR!!

Sekejap, dalam waktu yang hanya terhitung setengah detik Retta merasa suhu tubuhnya berubah drastis. Air sebanyak itu membasahi seluruh tubuh. Kedinginan itu tak dapat dihindarkan, memeluk Retta dengan erat, ditambah dengan suhu ruangan. Retta menggigil dibuatnya.

Giginya saling bergemelutuk, lengannya berusaha melindungi tubuhnya dari rasa dingin yang menusuk kulit hingga ke tulang. Air mata itu tak dapat tebendung lagi, tumpah seiring dengan suara tawa yang menggema di sekitarnya.

Davel berhasil. Rencana Davel sukses membuat Retta dipermalukkan di depan banyak orang!

"Regha..." lirih Retta, menatap orang-orang yang tertawa di atas penderitaannya. Dia menggigit bibirnya, semaksimal mungkin untuk tidak mengeluarkan isakan. Dia membutuhkan Regha. Dia membutuhkan Regha di sampingnya.

Mata Retta terpejam. Semampu yang dirinya bisa untuk menopang tubuhnya yang terasa lemas. Apalagi dengan kedinginan yang mirip seperti jarum menusuk kulit kakinya dengan begitu keras.

BUGHHH...

Secepat itu Retta membuka mata, lalu terkejut setengah mati melihat Davel yang terhuyung membentur tembok. Kepala Retta menoleh cepat dan mendapati Regha dengan dada naik turun. Mata cowok itu memerah, bersiap untuk membunuh siapa saja.

Rasa lega itu menyelimuti Retta, tapi itu tidak sepenuhnya. Dirinya tidak bisa merasa lega melihat Regha yang berada di puncak emosi, apalagi cowok itu benar-benar kalap akan kemarahan.

Seharusnya yang Retta lakukan adalah menarik Regha untuk menghentikan pukulan yang dia berikan pada Davel. Tapi tubuh ini terasa kaku, membeku bersama suhu ruangan yang semakin erat mengurungnya.

Tubuh Davel terlempar ke deretan meja. Gelas-gelas kaca itu jatuh berceceran. Semua menjerit ketakutan, terutama kaum perempuan yang memilih menghindar ke pojok dinding. Beberapa teman Davel berniat melerai perkelahian itu. Namun, mereka semua malah mendapat pukulan telak dari Regha.

"BANGUN LO BERENGSEK!" teriakan Regha tertuju pada Davel yang kini terjatuh dengan sudut bibir berdarah.

Bodoh, katakan Davel bodoh. Cowok itu malah tersenyum miring dengan ringisan kecil dari ujung bibirnya. Dia bangkit berdiri, gerakan Davel sangat cepat saat menonjok rahang Regha.

Regha membalasnya, membalasnya dengan pukulan yang lebih membabi buta. Perkelahian yang terjadi di sana, benar-benar gila, melibatkan seluruh emosi yang ada. Meja-meja jatuh berantakan dengan makanan yang berada di atasnya.

Tangan Regha menarik kerah Davel dengan sentakan kasar, hingga orang yang berada di depan Regha ini merasa tercekik oleh jasnya sendiri.

"LO NGAPAIN RETTA! HAH?!" Regha berteriak. "JAWAB GUE PENGECUT!"

Sama sekali tidak ada raut bersalah di wajah cowok itu, dia justru semakin membuat emosi Regha memuncak dengan senyum miringnya. Regha tidak tahan lagi, dia kembali mendorong tubuh Davel hingga membentur tembok belakang. Memukulnya dengan kegilaan yang menjadi-jadi.

Kesadaran itu sepenuhnya pulih pada Retta, hingga bisa membuatnya keluar dari kebekuan kakinya yang tidak bisa diajak bergerak. Dia langsung menuruni tangga cepat-cepat dan berlari mendekat pada Regha.

Lengan yang masih terbalut oleh kedinginan, bergerak memeluk Regha dari belakang. Berusaha untuk menghentikan pukulan Regha yang bisa saja membunuh Davel sekarang juga.

"Udah, Gha! Udah!" ucap Retta, kepalanya bersandar di punggung Regha. "Gue mohon, berhenti, Gha...."

Air mata Retta terasa menelusup masuk ke jasnya, Regha tercenung. Lalu tersadar. Dia menatap wajah Davel yang babak belur oleh kelihain tangan bodohnya.

"Serendah itu otak lo, Dav!" ucap Regha, dadanya naik turun. Emosi jelas melekat di mata Regha. "Sampe lo dengan sengaja ngejebak Retta di permainan konyol lo!"

"Kalo lo benci dan dendam sama gue, seharusnya lo balesin itu semua ke gue, bukan ke Retta!" tajam sekaligus menyeramkan, tatapan Regha sungguh berbeda malam ini. "Lo pengecut karena beraninya sama perempuan!"

Davel hanya diam, dengan sesekali meringis kesakitan.

"Lo berubah, Dav." Kali ini Regha berujar pelan. "Lo bukan Davel yang gue kenal. Lo bukan sahabat kecil gue... sahabat yang udah sembilan tahun berteman sama gue. Lo bener-bener berubah, Dav."

Tak bisa berkata-kata dengan semua kalimat Regha, Davel hanya memegang wajah lebam di pipi.

Regha menunduk melihat tangan pucat Retta, melihat kerutan dingin yang membalut tangan rapuh yang memeluk tubuhnya dari belakang. Sekuat mungkin Regha mengendalikan diri dari emosinya yang kembali bangkit.

"Gue nyesel..." Mata Regha kembali berkilat. "Gue nyesel karena pernah punya TEMEN BANGSAT KAYAK LO!!"

Davel terbelalak. Regha tak peduli. Dia melepas pelukan Retta dan memutar tubuhnya menghadap perempuan itu. Seketika hati Regha mencelos melihat kondisi tubuh Retta yang pucat karena kedinginan.

Perempuan itu tersenyum tipis, meski tubuhnya terlihat menggigil. Regha melepas jasnya, membalut tubuh Retta, memberikan sedikit kehangatan yang perempuan itu butuhkan.

"Kita pulang!" ucapnya, membawa Retta pergi dari sana. Tanpa peduli dengan Davel yang masih tercenung di tempat.

***

Di dalam mobil hening menemani, Regha dan Retta sama sekali belum membuka suara sejak mereka pergi dari acara reuni itu. Bibir Regha terkatup, membentuk garis lurus dengan wajah kaku. Retta menghela napas, memandang wajah dingin cowok itu.

Dia mengeratkan jas milik Regha di sekeliling tubuhnya, AC di dalam mobil cowok itu sengaja dikecilkan. Namun, tetap saja itu tak bisa mengurangi rasa dingin yang mengurung tubuh Retta.

Lampu berubah merah, menghentikan laju mobil Regha di jalan. Dia menoleh pada Retta yang ternyata tengah menatapnya.

"Lo nggak pa-pa?" tanya Regha memutus senyap yang sejak tadi terjalin.

Bibir pucat Retta terangkat membentuk senyum. "Gue nggak pa-pa."

Tangan cowok terjulur, menangkup pipi dingin Retta. "Maaf, karena gue ninggalin lo, lo jadi digituin sama Davel."

Retta menggerakan tangannya di atas tangan Regha yang berada di pipinya. "Lo nggak salah, Gha."

Mata Retta menyipit melihat sudut bibir Regha. Lantaran sejak tadi hanya sibuk dengan kedinginan, Retta sampai melupakan luka yang didapat cowok itu karena berkelahi.

Retta menarik tangan Regha dari pipi, hingga membuat cowok itu kebingungan. Dia membuka dashboard mobil lalu mengambil kapas dan botol alkohol yang ada di sana.

Kali ini tangan Retta yang terjulur memegang dagu cowok itu, membuat Regha sontak tersentak. Dia terdiam menatap Retta dari jarak sedekat ini.

Perempuan itu membersihkan sudut bibir Regha dengan telaten. Yang dibalas ringisan menahan sakit oleh Regha. Walaupun seperti itu, Regha berusaha meredam detak jantungnya yang menendang-nendang dengan kencangnya.

"Seharusnya gue yang minta maaf, Gha," lantaran jarak yang terlampau dekat dengan wajah Retta, membuat Regha tidak fokus dengan ucapan perempuan itu, yang lebih parah adalah tatapan Regha tak bisa berpaling dengan bibir merah muda milik Retta yang bergerak selagi berbicara.

"Karena gue lo harus berantem sama Davel."

Otak Regha sudah tidak waras. Ditambah dengan jantungnya yang semakin menggila berdetaknya. Dan tanpa bisa dikendalikan, tangan Regha bergerak ke leher Retta, menarik wajah perempuan itu.

Gerakan Retta terhenti di udara.

Retta mendongak memandang diam Regha yang perlahan mengikis jarak di antara mereka. Embusan napas yang menerpa wajah, membawa ketenangan pada Retta. Yang lantas membuat kedua matanya terpejam.

Gelap. Tapi Retta masih bisa merasakan napas panas Regha semakin mendekat. Hidung mereka bersentuhan. Hingga...

TIIIIINNNN!!

Seratus persen kesadaran itu kembali.

Lampu lalu lintas sudah berubah hijau. Sekejap Regha langsung menarik dirinya menjauh. Dan Retta pun. Perempuan itu membuang muka ke arah jendela. Pipinya memerah, jantungnya berdentum dengan semangat.

Regha berdeham, menetralkan tenggorokannya yang mendadak kering. Dia berusaha semaksimal mungkin untuk mempusatkan pikiran pada jalan di depan.

Shit... umpat Regha dalam hati. Dia hampir mencium Retta, mencium Retta di dalam mobilnya! Canggung tentu saja. Suara sama sekali tidak terdengar di sana.

Kecanggungan itu menciptakan hening di antara mereka. Sampai kira-kira sepuluh menit, mobil Regha berhenti di depan rumah Retta.

Sebelum Retta turun, Regha lebih dulu membuka suara. "Sorry, Ta."

Perempuan itu mengangguk sambil berusaha untuk bisa tersenyum. Kegugupan itu belum bisa menghilang. Dia buru-buru turun dari mobil Regha.

Tapi satu hal yang Regha tangkap dari perubahan perempuan itu, wajah Retta sama sekali tidak terlihat pucat seperti tadi, rona tercipta di sana. Salah tingkah.

TBC(08-03-18)
     APING♡

__________

Udah bab 50 aja wkwk. Kayaknya nih cerita nggak kelar2 XD
Tapi tenang aja kira2 10 Bab lagi ceritanya end ;)

Danke❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro