R-R49: The Plan
KEGUGUPAN itu tidak bisa Retta singkirkan, selalu menggayutinya tanpa sedikit pun untuk menghilang. Sudah berbagai cara Retta lakukan untuk membuangnya, seperti, menggosok kedua tangannya berulang kali. Meremas rok gaun bewarna navy yang melekat di tubuhnya. Terkadang sampai menggigit bibirnya, yang mungkin bisa melunturkan lipsice yang dia gunakan.
Tampaknya semua yang Retta lakukan, menganggu konsentrasi Regha untuk mengemudi, hingga cowok yang telah memakai kemeja putih, yang ditutupi jas bewarna sama dengan gaun Retta itu bertanya.
"Lo kenapa?" Tatapan Regha tak teralihkan dari jalanan basah di depannya lantaran sempat terguyur hujan tadi, apalagi ditambah kegelapan malam, yang mengharuskan Regha untuk lebih fokus.
Meski pusat fokus Regha ada pada jalan. Dia tetap menyadari kegelisahan yang menimpa gadis sebelahnya itu. Sebenarnya tanpa bertanya, Regha sudah tahu penyebab kegusaran perempuan itu.
Perempuan yang kini terlihat berbeda, hanya karena polesan make-up tipis yang mengukir cantik wajahnya. Ditambah dengan gaya rambut yang sengaja digulung membentuk cepolan, lalu meninggalkan beberapa helai rambut di bagian pipi.
"Lo nggak usah takut, selama lo ada di samping gue mereka nggak akan ada yang berani ngapa-ngapain lo, Ta."
Regha sangat tahu kenapa Retta gelisah hanya karena dia mengajaknya datang ke reuni SMP mereka. Perempuan itu tidak memiliki teman selain Vera, banyak temannya yang menjauh hanya karena sifat pendiam Retta. Sifat pendiam Retta membuat orang di sekitarnya menganggap dia sombong.
Padahal jika mereka mengenal Retta lebih dekat. Mereka akan menemukan sifat Retta yang berbanding terbalik dengan sifat awalnya. Dia akan menunjukan sifat galaknya, penakut, dan satu lagi... manja. Oh... mungkin sifat terakhir hanya akan ditunjukan pada ayahnya dan... dirinya.
"Bener ya lo nggak bakal ninggalin gue sendiri di sana," ucap Retta sambil menudingkan telunjuk pada Regha.
Regha menggerakan telunjuk Retta ke kening perempun itu sendiri. "Iya, tenang aja. Gue nggak akan ninggalin lo di sana."
Senyum itu tampak menghiasi wajah Retta. Yang langsung membuat gemuruh di jantungnya. Lebih besar usaha untuk dia mengabaikan iris cokelat Retta. Dan memilih fokus kembali pada jalan.
Kira-kira lima belas menit kemudian, mereka sudah sampai di halaman luas SMP Sarena. Keduanya keluar dari mobil, Regha memberikan kunci mobilnya pada satpam yang berjaga di sana. Satpam itu menerimanya, lalu membungkukkan punggungnya pada Regha.
Retta terhenyak, kala merasakan lengan Regha mengelilingi pinggangnya, dia menoleh cepat, yang disambut senyum lebar Regha. Sekuat mungkin Retta mengontrol detak jantungnya, yang sampai bisa didengar telinganya sendiri. Jangan sampai Regha mendengar detak jantungnya yang menggila.
Mereka berjalan menaiki tangga marmer, yang akan membawa mereka ke lobi sekolah. Karpet panjang bewarna merah menyambut mereka saat berjalan di lorong menuju aula—tempat yang dijadikan arena pesta untuk para alumni SMP Sarena.
Aula SMP Sarena yang terbilang sangat luas, kini telah disulap menjadi area pesta sungguhan. Di langit-langit aula spotlight menggantung dan menyebar tak beraturan. Berkedip mengikuti irama musik yang bisa memekakkan telinga. Kain-kain hias bawarna perak saling menjuntai di sekeliling aula.
Dingin Air Conditioner langsung menusuk kulit Retta saat baru memasuki ruangan, padahal gaun Retta sama sekali tidak tipis dan lumayan tebal, ya memang di bagian pundak sedikit terbuka. Tapi tetap saja rasanya dingin itu menusuk kulitnya hingga ke tulang.
Pandangan Retta menjelajah pada sekitar, melihat keadaan yang memang sangat ramai. Mereka sibuk dengan minuman dan makanan ringan yang tersaji di setiap meja untuk menemani obrolan dan menemukan teman lama.
Sepertinya mereka semua belum menyadari kedatangan si cucu pemilik sekolah. Retta hanya berharap mereka sibuk pada diri sendiri dibanding melihat dirinya yang tengah berada di rangkulan lengan Regha.
Regha membawanya mendekat pada deretan meja yang sudah dipenuhi berbagai minuman warna-warni. Dia memberikan salah satu gelas pada Retta. Tersenyum, Retta menerima gelas itu, lalu sedikit menyesapnya.
"Regha!"
Seruan itu hampir menyemburkan air yang ada di dalam mulut Retta. Sial, harapannya sia-sia. Seorang perempuan sudah menemukan keberadaan Regha, perempuan itu memakai gaun bewarna merah maroon. Dia berjalan anggun mendekat pada Regha.
"Calista," gumam Regha pelan.
Perempuan itu langsung menghambur di pelukan Regha, saat jarak keduanya tinggal satu langkah. Bahkan dia tak segan-segan untuk mengecup pipi Regha. Retta ternganga di tempat.
"Lo ternyata datang, Gha!" Perempuan itu berkata pelan di bahu Regha.
Pelukan itu sangat erat, sehingga membuat Regha sulit untuk melepaskan lilitan tangan perempuan itu di tubuhnya. Retta tak bisa melakukan apapun, diam di tempatnya. Tentu dia mengenal Calista, perempuan bule cantik yang memiliki paras dan tubuh yang menjadi impian para perempuan.
Sejak dulu dia mengejar-ngejar Regha, tapi sayang Regha tidak pernah mengacuhkan keberadaannya. Hingga akhirnya dia memilih menyerah kala gosip dirinya dan Regha berpacaran merebak di lingkungan sekolah.
"Lepas pelukannya, Cal!" ucap Regha tegas sambil mendorong tubuh Calista sedikit kasar. Perempuan itu tidak terlihat marah, senyumnya masih menghias di wajah.
Calista sedikit terperanjat saat melihat Retta, seakan baru menyadari keberadaannya. HELL! Memangnya perempuan itu pikir Retta ini hanya hiasan di samping meja. Sampai membuat orang itu tak menyadari dia yang berdiri di sebelah Regha sejak tadi!
"Ternyata lo juga dateng, Ta. Gue kira lo nggak pernah mau datang ke pesta kayak gini."
Bibir Retta sulit untuk mengulas senyum, apalagi mendengar nada sinis yang tersirat di sana.
"Kalian berdua berangkat bareng?" tanyanya sambil menunjuk Retta dan Regha bergantian. "Bukannya kalian udah putus?"
Sungguh... wajah angkuh yang Calista tunjukkan saat bertanya membuat Retta muak. Sangat kentara dia tidak menyukai keberadaan Retta di samping Regha.
Tersentak kembali Retta saat merasakan tangan Regha melingkari bahunya, terlebih lagi saat dia merasa bibir Regha menempel di pipinya. Retta membeku.
"Kita balikkan."
Apa Regha benar-benar ingin membuatnya mati di tempat?! Ditambah kalimat yang diucapkan cowok itu, jantung Retta berdetak liar. Dia tak bisa berkata-kata...
"Kalian... balikkan?" Wajah Calista kelihatan sangat terkejut, seolah harapan yang kembali terbangun untuk memiliki Regha langsung musnah tak berbekas.
Regha mengangguk. Sementara Retta hanya bisa tercenung dengan pikiran berantakkan.
"Jadi karena itu bulan lalu lo nolak pernyataan gue?" tanya Calista dengan bibir bergetar. Iris hijaunya berubah tajam seperti belati, seakan ingin memusnahkan Retta sekarang juga.
"Maaf, Cal," ucap Regha tanpa raut penyesalan apapun di wajahnya. Dia memandang malas Calista yang berdiri dengan emosi yang siap meledak.
Tangan perempuan itu mengepal. Gerak-gerik Calista sangat cepat, hingga Regha terkejut saat dia sudah menumpahkan air bewarna merah ke jas miliknya.
Regha dan Retta terbelalak tak percaya.
"Lo berengsek, Gha!" raut bersalah sama sekali tidak tampak di wajah Calista, dia berbalik pergi dengan langkah anggunnya.
Regha sontak langsung mengibas-ngibaskan jasnya yang basah karena perempuan yang kini sudah berjalan menjauh. Retta masih terpaku di tempat, pikirannya berceceran di udara, bingung harus melakukan apa.
"Lo nggak apa-apa, Gha?" akhirnya Retta bisa membuka suara, membantu cowok itu mengibaskan jasnya.
Regha mengembuskan napas kasar. "Gue mau ke toilet sebentar," izinnya masih dengan wajah merengut menahan kesal.
Sontak Retta menahan lengan cowok itu. "Apa? Lo mau ninggalin gue sendiri di sini?"
"Lo mau ikut gue ke toilet?" tanya Regha jahil.
"Nggak!" serunya sambil melepas pegangan tangannya.
Regha terkekeh. "Gue nggak akan lama," dia mengusap kepala Retta, tersenyum meyakinkan. "Jadi nggak usah takut."
Sebelum Regha benar-benar berbalik pergi, Regha kembali mendaratkan bibirnya di pipinya. Retta sekali lagi tertegun.
Dua kali?! Dua kali Retta membiarkan Regha mencium pipinya! Seharusnya yang dilakukan Retta adalah memukul cowok itu! Tapi kenapa dia hanya berdiri mematung?
Bodoh!
Tiba-tiba suara bising musik menghilang, tergantikan suara teriakan MC yang berada di depan, di atas panggung berlantai kayu yang di dinding belakangnya, dihiasi lapisan kain bewarna perak.
"Game akan segera dimulai!" Dia berteriak, yang disambut tepuk riuh dan teriakan semangat para tamu.
Dahi Retta mengerut bingung. "Game?" tanyanya pada diri sendiri.
"Gue bakal jelasin game-nya kayak gimana, oke?" Suara MC lagi-lagi terdengar di speaker. "Jadi di antara kalian boleh naik ke atas panggung sebagai penantang."
Retta masih tak mengerti.
"Dan penantang itu akan menyebutkan nama orang yang ingin dia tantang di atas panggung. Orang yang namanya disebutkan akan mengambil bola kertas di sini." MC itu menunjukkan tempat wadah kaca yang berbentuk kotak.
"Dan orang itu harus melakukan apapun perintah yang tertulis di kertas. Tidak ada penolakan, jika orang itu menolak melakukannya," MC itu menunjuk ke langit-langit, Retta tersentak tak percaya melihat ember yang sudah berisi air di atas sana. "Air itu akan sengaja ditumpahkan di tubuh kalian."
Permainan gila! Siapa yang mau memainkan permainan konyol itu?! Namun, sepertinya itu hanya untuk Retta. Seruan antusias anak-anak lain terdengar. Riuh, semua bertepuk tangan.
"Sardavel Narvio, penantang pertama kita, panitia acara malam ini."
Suara tepuk tangan semakin menggema di dalam sana, tanpa peduli dengan satu orang yang mematung di tempat.
Mendengar nama penantang pertama, Retta membeku, darah yang mengalir di tubuhnya seperti mendadak berhenti, menimbulkan wajah pucatnya. Firasat buruk mulai berlarian di pikiran Retta, menggantungnya pada kegelisahan.
Retta mendongak ke arah panggung. Melihat Davel yang sudah berdiri angkuh di atas sana. Pikiran Retta sudah berantakkan untuk berpikir sedikit pun. Dirinya hanya tahu satu, bahwa dia harus cepat-cepat mencari Regha.
"Lo mau nantang siapa, Dav hari ini?" tanya MC disaat mata Retta mulai menyisir sekeliling, mencari Regha yang belum kembali.
Mata Davel berpendar seperti seekor hewan yang tengah mencari mangsa untuk santapan makanannya.
Senyum miring itu terulas saat di berucap di depan mic. "Alumni 9A... Asharetta Novita!"
Tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat Retta semakin terlihat pucat, layaknya mayat hidup. Kepalanya berdenyut-denyut sakit. Keringat dingin mulai merayap membasahi telapak tangannya.
Seharusnya memang Retta tidak menuruti Regha untuk datang. Seharusnya dia lebih keras menolak ajakkan Regha.
Dan yang lebih mengejutkan adalah saat spotlight bergerak mencari, lalu berhenti di tubuhnya. Mata Retta menyipit menghalau cahaya yang menghantam matanya. Orang-orang yang sejak tadi tidak tahu keberadaannya sontak kini mengetahuinya.
Pandangan mereka kini terpusat pada Retta. Termasuk Calista, senyum miring terulas di wajah cantiknya.
Perlahan Retta membalas tatapan Davel. Senyum iblis itu semakin terlihat jelas.
Di saat situasi seperti ini Retta hanya berharap Regha. Regha harus cepat kembali dan membantunya!
TBC(03-03-18)
APING♡
___________
Ayo comment dan Vote wkwk
Kalo ada typo kasih tau ya, aku ngetik di handphone soalnya. Laptop aku rusak ;( makanya harus ngetik ulang =(
Danke❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro