Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R44: Tempat Favorit

PANCARAN lembut sinar mentari membelai pipi Retta yang termangu diam sambil menatap lalu-lalang kendaraan di dalam mobil. Dirinya masih tak percaya jika perkataan Regha tadi bukan gurauan.

Cowok itu sungguh-sungguh mengajaknya jalan hari ini. Setelah sebelumnya mengantarnya pulang untuk berganti baju. Dan kembali menjemputnya pukul setengah lima sore.

Tapi saat pertama kali membuka pintu mobil, Retta mengernyit memandang wajah Regha yang berubah masam, padahal tadi wajah cowok itu cerah-cerah saja. Ketika kepalanya menoleh ke bangku belakang, saat itulah Retta langsung mengerti penyebab wajah masam Regha.

Senyumnya pun mengembang, melihat malaikat kecil yang sudah duduk manis di sana. Gadis kecil itu menyengir lebar padanya. Menampilkan gigi susu putihnya.

Setelah memasang seatbelt, lantas Retta bertanya, kenapa Emilly ikut pergi bersamanya?

"Hari ini Mbak Nina ngambil cuti, di rumah nggak ada orang kecuali pembantu rumah dan supir gue. Ya, jadi terpaksa gue ajak dia, karena nggak mungkin Pak Wawan sama Bi Lastri yang jagain." Cowok itu pun menjelaskan.

Senyum Retta semakin mengembang lalu menepuk-nepuk pundak Regha seolah prihatin padahal wajahnya berbanding terbalik dengan kata simpati.

Dia justru senang dengan kehadiran Emilly di tengah-tengah antara dirinya dan Regha. Sebab hanya gadis imut itu yang bisa meramaikan suasana, dengan celotehannya. Seperti sekarang contohnya. Entah ke berapa kali perempuan kecil itu melontarkan pertanyaan yang sama.

"Bang Ega," panggil Emilly dia berdiri, lalu melongokkan kepala di samping Regha yang tengah fokus mengemudi. "Kita mau kemana sih?"

"Kamu nanya mulu!" kesal Regha, "Duduk aja yang manis."

Pipi Emilly menggembung, cemberut. "Lagian dari tadi, Milly nanya gak dijawab."

Anak kecil itu beralih pada Retta, dan bertanya. "Kak Retta tau kita mau kemana?"

Retta mengulas senyum kemudian menggeleng. Emilly semakin terlihat mengerucutkan bibirnya. Anak kecil itu kembali duduk manis di kursi belakang sambil memainkan boneka barbie yang dibawanya.

Meski begitu, bibirnya juga tak bisa mengatup rapat. Dia berceloteh riang, yang hanya dijawab gumaman oleh Regha.

Sesekali iris cokelat Retta melirik Regha yang tengah tertawa karena berhasil membuat adiknya cemberut atau sekarang yang tengah fokus mengemudi. Retta berusaha keras untuk menyingkirkannya, bahkan berniat membuangnya jauh-jauh. Tapi rasa itu selalu bisa menyelinap masuk dengan sendirinya, mengisi celah-celah kosong di sana, menggetarkan hatinya.

***

Entah berapa lama Retta tenggelam dalam pikiran, ketika mobil Regha akhirnya berhenti. Dia tersentak dan sontak langsung menjelajahi pemandangan sekitar.

Matanya lantas membulat. Di depan kaca mobil, dia melihat Villa besar, ada jalan setapak dari bebatuan yang akan membawanya menuju pintu utama.

Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, dan juga kolam ikan dengan air mancur yang menemani. Dia mengikuti jejak Regha yang turun mobil, kesejukkan udara di sekitar, langsung mengurung Retta, membuatnya merasa nyaman dan damai di sini. Dia tak dapat menyembunyikan rasa takjub yang membuncah di iris cokelatnya.

Cowok itu menurunkan adiknya. Dan Emilly langsung berlari-larian di halaman villa, tempat Regha memarkirkan mobilnya.

Gadis kecil itu terlihat gembira, sama sekali tidak ada rasa takut seolah tempat ini tidak asing lagi baginya.

Retta menoleh pada Regha yang berjalan meninggalkannya. Dia menghampiri seorang lelaki yang tengah menyapu halaman Villa. Lantas Retta mengikuti.

Regha menepuk pundak lelaki itu, hingga dia berjengit kaget. "Astagfirullah..." sebutnya. Dia mengusap dadanya. Sementara Regha tertawa.

"Maaf Kang Asep," ujar Regha di sela-sela tawanya. Sang perempuan hanya berdiri diam menatap Regha dan lelaki yang bisa ditebak umurnya di atas dua puluh tahunan.

"Sugan teh saha," Kang Asep geleng-geleng kepala. "Tumben Aden ke sini nggak ngasih kabar ke saya?"

"Dadakan Kang, tadi aja cuma ngasih kabar lewat telepon ke Abah Sobri." Jelas Regha. Kang Asep mengangguk-angguk saja. Mata lelaki itu melirik Retta. Lalu berbisik pelan di telinga Regha.

"Saha?" tanyanya.

Regha ikut melirik Retta. Kemudian memperkenalkannya. "Ini Retta, Kang, temen Regha."

"Oh iya, Ta." Kali ini Regha memperkenalkan Kang Asep. "Ini Kang Asep, anak dari Abah Sobri—penjaga Villa bokap gue."

Retta mengangguk-angguk, mengulas senyum tipis.

"Yakin cuma temen?" goda Kang Asep.

Tiba-tiba seperti ada sesuatu di tenggorokkan Retta hingga dia terbatuk-batuk. Pipinya memerah.

Astaga ini sangat memalukan.

Regha tertawa pelan. "Doain aja Kang, supaya bisa lebih dari temen."

Kang Asep ikut tertawa sambil menggerakan kepala setuju.

OH GOD... kenapa Regha harus mengatakan itu? Ucapannya tidak baik bagi kondisi jantungnya. Seperti ditendang-tendang dari dalam, menimbulkan ritme yang tak beraturan.

Untuk mengalihkan pusat jantungnya, Retta memilih mengedarkan pandangan pada sekeliling. Namun, tiba-tiba indra pendengaran Retta menangkap suara yang membuatnya membeku.

Retta tak salah dengar kan? Indranya tidak mungkin salah. Dan tanpa kata, Retta langsung berjalan mencari sumber suara itu. Bahkan dirinya tak mengacuhkan panggilan Regha.

Dia berjalan di jalan setapak yang terbuat dari bebatuan, kiri-kanan jalan terdapat tanaman kecil. Masa bodo dengan Regha yang tengah berlari sambil membawa Emilly di gendongannya. Pikiran Retta hanya pada suara itu. Retta sudah berada di ujung jalan, lalu menuruni tangga yang meliuk turun ke bawah.

Tangga terakhir Retta turuni, ketika kakinya mendadak terpaku. Tubuhnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia tak percaya dengan penglihatannya. Membuatnya mengerjapkan berulang kali untuk bisa lebih menekankan dirinya, jika pemandangan di depannya nyata.

Suara ombak. Benar... itu suara ombak yang Retta dengar. Kakinya menginjak pasir putih. Ombak itu menghantam pasir dengan irama beraturan. Menenangkan.

Sontak saja Retta menoleh cepat pada Regha yang sudah berdiri di sampingnya. Dia menurunkan adiknya, membiarkan anak kecil itu berlarian di atas pasir. Tanpa kata, Regha menarik Retta mendekat pada lautan yang terbentang luas di depan.

Kedua tangan cowok itu tenggelam dalam saku celana jeans yang dia kenakan. Netra hitam pekatnya, terfokus pada lautan. "Ini tempat favorit gue, walaupun ini pantai, gue ngerasa tenang aja di sini, kayak semua beban kesalahan gue berkurang kalo gue ada di tempat ini."

Dia menarik napas panjang, memberi jeda pada penjelasannya. "Cuma pantai ini yang ngebuat gue ngerasa rileks dan nggak dihantui rasa penyesalan itu, makanya selama dua tahun lo pergi, gue selalu datang ke sini sendiri, untuk nenangin diri."

Rasa hangat mulai merayap di tubuh Retta setelah mendengarnya. Kedua sudutnya tak sanggup untuk tidak tersenyum. "Gue nggak nyangka kalo rasa bersalah lo sampe segitunya ke gue, Gha," Regha menoleh padanya. "Padahal selama dua tahun itu gue pikir lo seneng, lo bahagia ngeliat gue menderita," Retta tersenyum tipis. "Tapi dugaan gue ternyata salah."

Senyum Regha makin mengembang dan mengacak rambut perempuan itu tanpa mengatakan apapun.

"Gue bingung, Gha, kenapa lo masih sayang sama gue? Padahal di luar sana semua orang benci sama gue," Retta tertawa hambar. "Gue nggak punya siapapun selain ayah gue."

Dia menarik napas yang mendadak terasa berat untuk dihirup dan mengubah senyum getirnya, secerah mungkin. "Udah ah, gue nggak mau bahas sedih-sedih."

Retta berjalan meninggalkan Regha yang masih tercenung dengan kata-katanya. Dia melangkah, mendekati Emilly. Adik kecil Regha itu tengah membuat istana dari pasir, dengan cetakan yang entah darimana dia dapatkan.

Kedua boneka barbie yang berlawan jenis itu, diletakan di depannya. Retta menoleh saat Regha sudah ikut berjongkok di sampingnya. Dia ikut mengamati pakaian Emilly yang sudah kotor dengan pasir putih.

"Bang Ega jadi pangerannya," perempuan kecil itu menunjuk boneka barbie laki-laki. Lalu menunjuk boneka barbie perempuan. "Kalo putrinya... Kak Retta."

Gadis imut itu menyengir lebar sambil meloncat-loncat. Mengabaikan Retta yang tercengang di tempat. Sementara Regha tertawa.

Retta tersadar saat ada air asin yang menimpa wajahnya. Dia memelotot pada Regha, sang pelaku. Cowok itu menaikkan alis menggoda, mengulas senyum menyebalkan.

Hu-uh dasar...

Dan makin menyebalkan, kala cowok itu membisikkan sesuatu ke telinga adiknya. Dan tanpa menunggu waktu lagi, Emilly sudah bersekutu dengan Regha. Ikut-ikutan melemparkan air ke wajahnya.

Retta berdiri sambil berkacak pinggang. "Milly nakal, ya."

Dia hanya tersenyum polos pada Retta. Lalu mengatakan. "Milly disuruh, Bang Ega."

"Gitu, ya?" Retta tersenyum jahil. Detik selanjutnya, Retta mendekati Emilly dan melenggelitiki perut anak kecil itu, hingga membuatnya tertawa sambil berusaha melepaskan diri dari jeratan kelitikan Retta.

"Geli Kak Retta," perempuan kecil itu tertawa. "Bang Ega... tangkep... Kak Retta." ucap anak kecil itu di sela-sela tawanya.

Berhenti, Retta melepaskan anak kecil itu, mengernyit bingung. "Tangkep?"

Selanjutnya, Retta sama sekali tidak bisa menebak, saat mendadak tubuhnya melayang. Dia terkejut setengah mati ketika Regha menggendong tubuhnya. Terpaku diam, Retta membisu.

Jangan tanya anak kecil itu yang sekarang sudah tertawa girang sambil meloncat-loncat.

Astaga adik-kakak sama saja! Suka menjahili orang!

"Turunin gue, Gha!" pekik Retta." Ada Milly!"

Regha menggeleng. "Dia yang nyuruh!" Lalu senyum jahil itu terukir di bibir Regha. "Kita putar Kak Retta?"

Emilly mengangguk antusias. Sementara Retta tak mengerti. Tapi sesaat setelahnya dia sangat paham, ketika tubuh Regha berputar membawa dirinya di kedua lengannya.

OH TUHAN... Cowok ini benar-benar menguji jantungnya.

Anak kecil itu malah semakin terlihat gembira, dia ikut memutar-mutar tubuhnya sendiri. Mengikuti gerakan Regha sambil bergumam. "Putar, putar, putar."

Tawa itu menyebar di sekeliling, mengalahkan suara sang ombak yang menghantam pasir dengan kencangnya.

Kecerahan bahagia mereka mengalahkan sinar mentari yang mulai meredup karena merasa terkalahkan dan perlahan menghilang di peraduan, meninggalkan warna jingga yang mempesona di cakrawala.

***

Kira-kira pukul setengah delapan malam mereka balik dari tempat itu, keheningan menjalin di dalam mobil.

Celotehan yang biasa mendominasi, memberikan keramaian di sana, mendadak menghilang. Karena sang pemilik, sedang tertidur pulas di bangku belakang. Memeluk barbie kesayangannya.

Jalanan tak memiliki celah untuk berkendara, mobil-mobil saling memberi jarak dekat. Kemacetan tak dapat dihindarkan. Suara klakson terdengar saling bersahut-sahutan.

"Kayaknya kita harus muter deh, Ta." Setelah sejak tadi hening, Regha lebih dulu bersuara.

"Muter lewat mana?" tanya Retta sambil menghela napas, melihat kemacetan di depannya membuat dirinya merasa lelah.

Regha terlihat ragu untuk mengatakannya, namun pada akhirnya dia tetap berkata. "Kita muter lewat, jalan samping gedung sekolah Sarena."

Retta membeku untuk sesaat. Tetapi setelahnya, mengangguk. "Ya udah..."

Regha ikut mengangguk, saat ada celah kosong, Regha menyalipkan mobilnya, memutar setir ke kiri. Jalanan itu sepi, lengang. Tidak ada apapun kecuali, tembok tinggi yang menjulang di sisi kiri.

Retta menatap gedung sekolah Sarena. Lima gedung di sana berjejer tak beraturan. Dua gedung SMP Sarena—sekolah Retta dan Regha dulu. Dan tiga gedung SMA Sarena.

Ujung jalan sudah mulai terlihat. Kebisingan jalanan sudah terdengar dari sini. Regha membelokkan jalan ke kanan. Saat itulah Regha tersentak karena tidak tahu ada pengendara motor di belokkan. Hingga Regha harus menginjak remnya secara tiba-tiba.

Pengendara itu juga mengerem mendadak, menimbulkan decitan ban yang menggesek jalan.

Retta terantuk dashboard mobil karenanya.

Regha dan Retta menatap motor ninja putih di depannya, pengendara itu masih mengenakkan celana abu-abu, seragamnya tertutup jaket hitam.

Sang pengendara melepas helm-nya. Dan seketika itu juga darah Retta dan Regha seperti berhenti mengalir. Tubuhnya mendadak terasa kaku.

TBC(14-02-18)
    APING♡

__________


Sugan teh saha: Kirain siapa.
Saha: Siapa.

Ada yang bisa nebak dia siapa? XD
Dan maafkan aku karena partnya kepanjangan wkwk.

Danke♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro