Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R39: Senyum itu Kembali

LANTARAN hari ini adalah hari terakhir di Bali. Ketiga cowok tampan itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati waktu di pantai. Dengan ditemani terik matahari yang memancar, Regha, Zion, dan Arven berjemur di bawahnya. Kacamata hitam bertengger di hidung mancung mereka.

Menikmati waktu yang sangat menyenangkan. Meski, kadang mereka merasa risih karena sorotan beberapa teman angkatan atau para turis yang berlalu-lalang. Oh, ralat bukan ketiga cowok itu tapi hanya Regha dan Arven. Hal seperti itu tak berlaku bagi Zion.

Cowok itu malah menyambut tatapan mereka dengan senyuman manis yang bertengger hingga membuat para bule—yang kira-kira seumuran dengan mereka—salah tingkah, wajah mereka yang memang putih pucat jadi terlihat jelas rona merah di pipinya.

Menarik tubuhnya untuk duduk, Regha melepas kacamata hitamnya. Dan lekat-lekat menatap ombak yang menabrak batu karang. Iris hitamnya berputar pada sekeliling.

Sorot Regha sontak berhenti pada Retta dan Linzy yang berdiri tidak jauh darinya. Kedua perempuan itu tengah berdebat—entah apa yang tengah mereka perdebatkan. Shena pun yang berdiri di antara mereka hanya bisa memasang wajah bingung.

Perdebatan itu berhenti. Yang sepertinya dimenangkan oleh Linzy, Retta mencebikkan bibirnya, kesal. Dia mengalah dan berjalan mendekat pada Regha.

Tunggu! Mendekat ke arahnya! Di sebelahnya Linzy mengulas senyuman manis pada Regha.

Retta semakin berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Regha. Shena dan Linzy mengekor di belakang.

Arven dan Zion ikut tersentak dan sontak melepas kacamatanya sambil beringsut bangun. Ketiga cowok itu terdiam, apalagi melihat Retta yang hanya menunduk sambil meremas gaun pantai-nya yang melambai-lambai karena terkena angin.

Kecanggungan yang mendadak menyergap sekelilingnya, membuat lelaki berambut acak-acakkan itu merasa aneh. Zion bangkit berdiri, dan dengan percaya diri, dia memakai kacamata hitamnya kembali. Lalu dengan sangat tidak tahu malunya, tangan Zion merangkul pundak Linzy.

Linzy tersenyum manis, meski begitu giginya saling bergemelutuk dan dengan santainya dia mencubit Zion. Cubitan yang sangat kecil.

Zion meringis kesakitan dibuatnya. Dia melepas rangkulannya dan melotot pada Linzy, di balik kacamatanya. "Sakit, Zi!"

Linzy pun tak mau kalah, dia membalas tatapan Zion dengan mata abu-abunya. "Siapa suruh lo naruh tangan kotor lo di pundak gue."

Kelima orang itu terperangah. Dan tak lama tersadar, Linzy memang terkadang suka mengucapkan kata-kata yang menyakitkan.

"Tajam banget sih mulut lo? Abis diasah pakai apaan?"

Linzy semakin kesal dengan pertanyaan itu dan berusaha untuk mengabaikannya. Zion tidak akan mengalah jika dia terus meladeninya.

"Mulut lo kayaknya harus diplester, Zi," Mereka semua kembali menatap Zion saat cowok itu mengeluarkan perkataan yang pasti tertuju untuk Linzy.

"Gimana kalo pakai bibir gue." Zion tersenyum lebar.

Tiga orang perempuan itu terkejut setengah mati. Mata mereka membulat penuh dengan mulut terbuka. Tangan Linzy terkepal, ingin sekali menonjok wajah menyebalkan lelaki ini. Dan setelah menonjoknya, Linzy ingin menenggelamkan di laut. Supaya dimakan ikan hiu sekalian.

"JIJIK! Gue bukan cewek bego! Kayak pacar-pacar lo itu!"

Bukannya merasa kesal, Zion malah semakin tersenyum sumringah. Seolah perkataan itu tidak menyakitinya.

"Udah, udah!" Shena menghentikan perdebatan antara Linzy dan Zion. Belum sempat Linzy ingin protes, Shena melanjutkan perkataannya. "Lo lupa kita nyamperin mereka untuk apa?"

Seolah tali-tali fokus Linzy kembali menyatu. Dia tersadar, masih sempat-sempatnya dia melotot marah pada Zion sebelum beralih pada Retta. "Ngomong, Ta."

"Hah? Eh... iya," Retta yang sejak tadi diam, tersadar. Padahal Retta berharap jika Zion dan Linzy tidak menghentikkan perdebatannya hingga membuat Linzy melupakan tujuan mengajak Retta kemari.

"Gue mau..." Retta menggigit bibirnya, karena terlalu sulit mengucapkan kata-kata itu.

"Mau..." Retta memilin ujung bajunya. "Gue mau..."

"Lo mau minta balikkan?!" celetuk Zion asal.

Sontak saja karena itu, Zion mendapat sorotan tak percaya dari Regha dan Retta. Arven yang duduk di sebelah Regha tersedak minuman yang diteguknya. Shena dan Linzy pun tak kalah terkejut.

"Apaan sih!" ucap Retta keki.

"Udah, Ta nggak usah diladenin, orang stress kayak dia. Ngomong aja langsung!" kata Linzy.

Mata Zion melebar. Stress katanya.

Retta mendengus, dan tak lama kepalanya menunduk dengan mata terpejam. Mengatur detak jantungnya berpacu berkali-kali lipat.

"Gue cuma mau bilang kalo gue..." Retta semakin memejamkan mata dan juga mencengkram dress-nya kuat-kuat. "Gue sayang sama lo, Gha."

Hening. Hening. Hening. Retta terus menghitung keheningan yang mendadak mengurung sekelilingnya. Dengan perlahan, kepala dia mendongak menatap Regha. Wajah cowok itu berubah pias.

Zion melongo. Arven membisu. Shena dan Linzy tersenyum sumringah.

Baru tersadar Regha menatap Retta. "Lo—"

Segera Retta memotong. "TOD... kita main TOD."

Seolah dibawa terbang tinggi dan dihempaskan begitu saja. Regha tak percaya. Merasa dirinya dipermainkan.

"Oh," gumam Regha pada akhirnya. Wajah Regha berubah kaku dan tangannya terkepal. Dan Retta menyadari perubahan itu.

Retta menghela napas, dan langsung disergap rasa bersalah. Inilah alasan dirinya tidak ingin mengikuti permainan itu tadi.

"Gue boleh minta kalian ninggalin gue sama Regha, nggak?"

Kontan hal itu mengejutkan semuanya. Namun, Shena lebih dulu mencetus. "Mau ngapain, Ta? Kan TOD-nya cuma ngomong itu, nggak ada yang lain."

Linzy menyenggol bahunya. Dan menyorot dengan tatapan 'nggak peka banget sih lo'. Dan membuat Shena langsung sadar.

"Oh.. yaudah ayo kita tinggalin mereka berdua," ucap Linzy, yang diangguki kepala oleh Shena.

Arven dan Zion saling lirik sebelum mengikuti langkah kedua perempuan itu.

Retta menelan ludahnya susah payah, dan bergerak duduk di tempat—yang sebelumnya digunakan oleh Arven. Dia menoleh pada Regha yang tengah terpekur pada pasir.

"Makasih..." ucap Retta pada akhirnya.

Refleks kepala Regha berpaling pada Retta. "Untuk?"

"Untuk tadi pagi," kepala Retta tertunduk menghindari kontak mata dengan Regha. "Makasih udah mau gendong gue pas pingsan."

Setelah mengucapkan kata terakhir, kepala Retta terangkat kemudian mengulum senyum tipis pada Regha.

Untuk seperkian detik Regha tertegun dengan senyum itu. Tak mempercayai jika Retta baru saja tersenyum padanya. Gemuruh detak jantung Regha sontak membuatnya menatap ke arah lain.

"Itu bukan masalah, kan gue udah janji ke ayah lo, untuk jagain lo," kata Regha sama sekali tak menatap Retta di sebelahnya.

Retta menghembuskan napasnya lega sambil beringsut bangun dan menepuk-nepuk gaun bunga-bunga yang tengah dipakainya, berdiri tepat di depan Regha hingga Retta bisa melihat ekspresi cowok itu.

"Hari minggu setelah pulang dari study tour, gue mau ngomongin sesuatu sama lo, boleh nggak kita..."

"Kita?" Regha menunggu sambil mengangkat alisnya.

"Kita..." Retta hanya bisa menggigit bibirnya sambil menggerakan tangan seolah memberi kode.

Hal itu tentu saja membuat Regha tak tahan untuk tersenyum lebar. "Ketemuan," ucap Regha menjelaskan maksud Retta.

"I—iya maksud gue itu." Retta tersenyum canggung

"Oke," Regha mengangguk. "Kita ketemuan dimana?"

Retta terdiam, bingung dengan pertanyaan itu karena dia sendiri saja belum sempat memikirkannya.

"Di café gue?" tawar Regha lantaran melihat Retta yang diam.

Retta mendengus. "Itu bukan café lo, tapi milik nyokap lo."

"Itu sama aja, punya nyokap gue berarti punya gue." ucap Regha tak mau kalah.

"Ih.. nggak bisalah. Café itu dibangun pakai duit nyokap lo bukan dari duit lo. Lagian juga lo belum kerja."

Kata-kata itu seperti melempar diri Regha pada kenangan dua tahun lalu. Perdebatan yang selalu terjadi di antara mereka. Retta yang selalu mencak-mencak karena Regha dengan sombongnya mengaku-ngaku café milik nyokapnya adalah miliknya. Dan pada akhirnya Retta akan mengucapkan kata-kata itu.

Wajah mereka berdua berubah pias, sama-sama menyadari. Mata mereka saling bertemu. Sebelum kedua orang itu saling tertawa. Menertawakan perdebatan yang lagi-lagi karena persoalan yang sama.

Tawa Regha terhenti lebih dulu dan terfokus pada Retta yang tertawa tanpa beban. Sebenarnya ada yang menganggu pikiran Regha. Kenapa perempuan itu terlihat berbeda? Maksudnya, Retta tidak mengacuhkannya atau tidak mau berbicara padanya.

Apa karena Regha yang menolongnya saat terjatuh pingsan tadi? Jadi perempuan itu berubah. Tetapi, Regha tak yakin soal itu.

Retta menghentikkan tawanya, berganti dengan senyuman manis di wajah. "Ya udah, gue mau nyusul Linzy dulu," pamitnya sambil berbalik pergi.

"Tunggu, Ta!" Retta sontak menghentikan langkahnya dan kembali menoleh pada Regha. "Kenapa lo jadi mau ngomong sama gue?"

Senyum itu luntur dari wajahnya. Sorot sedih terlukis di iris cokelat itu. "Saat pingsan tadi, gue mimpi ibu gue."

Hanya itu yang Retta katakan, tak bisa menghilangkan kebingungan di pikiran Regha. Namun, raut sedih Retta tak bertahan lama. Lagi-Lagi, dia menunjukkan senyuman manis. Senyuman yang membuat detak jantung Regha berpacu cepat. Dan saat ini, senyum itu kembali... kembali untuknya.

***

Bus-bus yang membawa angkatan kelas sebelas sudah berjejer di depan lobi hotel. Di sana sudah penuh dengan anak-anak bersama bawaannya masing-masing. Mereka berbaris rapi—meski masih banyak yang bercanda-canda.

Salah satunya, Retta bersama kedua temannya. Linzy dan Shena tak berhenti meledek Retta karena kejadian siang kemarin. Kedua orang itu terus mengucapkan kata 'cie' berulang kali.

Tak peduli dengan wajah Retta yang sudah mulai memerah seperti kepiting rebus. Memerah karena kesal dan salah tingkah yang bercampur jadi satu.

Bukan hanya meledek, Linzy dan Shena juga menyenggol-nyenggol bahu Retta. Mereka pun tak acuh dengan pelototan Retta. Hingga satu titik, Linzy menyenggol bahu Retta dengan keras, yang mengakibatkan dirinya menabrak bahu seseorang.

"Sorry, nggak sengaja." ujar Retta meminta maaf pada orang yang ditabraknya.

Orang itu, Farah mengangkat kepala lalu menatap Retta. Dia tak membalas perkataan Retta, hanya kedataran mukanya yang Retta terima.

"Maaf ya, gue nggak..."

Ucapan Retta tak dapat selesai, lantaran Farah sudah lebih dulu meninggalkannya. Lagi-lagi tak acuh dengan permohonan maafnya.

"Dihh... apaan sih tuh cewek." tutur Linzy ikut kesal sambil melihat langkah Farah yang menjauh.

Shena melirik Linzy lalu mengedikkan bahu.

Retta terdiam menatap punggung Farah yang kian menjauh lalu menghilang di balik pintu bus.

Apa Retta melakukan sesuatu yang salah?

TBC(24-01-18)
      APING

_________

Ada yang bisa nebak Retta berubah karena apa? Wkwkwk

Nanti part selanjutnya aku jelasin kenapa Retta berubah gitu :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro