R-R38: Semua Penjelasan(2)
KEDUA lelaki itu memutuskan langkahnya. Menatap perempuan memakai dress cokelat yang tengah berjalan lurus mendekatinya—entah tujuannya ke Regha atau pintu ballroom hotel di belakangnya.
Pandangan perempuan itu lurus ke depan. Wajah yang biasanya menunjukkan kekaguman pada Regha, tapi sekarang hanya terlihat datar. Yang membuat Regha semakin merasa gelisah dan gusar karena dia berjalan sendirian. Tanpa seseorang yang selalu bersamanya.
Langkah Vera, perempuan itu, berhenti tepat di depan Regha. Tidak ada senyum ramah ataupun nada centil yang selalu perempuan itu lontarkan untuknya. Di lorong depan pintu ballroom hotel, di lorong yang sepi karena anak lain yang sudah berkumpul di dalam menikmati pesta.
Hal yang tidak pernah Regha duga terjadi, tangan Vera bergerak menamparnya. Lorong yang memang sunyi semakin hening tanpa terdengar suara—kecuali suara musik dari dalam ruangan.
Arven membisu. Sementara Regha memegang pipinya dengan sorot tak percaya. Sebelum menggerakkan kepalanya menatap Vera. Mata perempuan itu memerah. Napasnya memburu kasar.
"Lo cowok brengsek, Gha!" Vera meluapkan emosi yang sejak tadi ditahannya.
Dahi Regha mengernyit tak paham. "Maksud lo apaan sih? Lo nampar gue dan bilang gue brengsek?"
"Lo nggak tau apa kesalahan lo!" Vera tertawa hambar dan membiarkan air matanya bergulir di pipi. "Lo nyakitin Retta! Lo udah nyakitin sahabat gue!"
Nama perempuan yang sejak tadi memenuhi pikiran Regha disebutkan. Membuat mulut Regha terbungkam untuk berbicara.
"Lo tau Retta nggak punya siapapun selain ayahnya," tutur Vera lirih masih terngiang-ngiang tangisan Retta siang tadi. "Tapi kenapa lo nyakitin dia. Kenapa lo jadiin Retta mainan. Retta tulus sayang sama lo, Gha... Tapi lo dengan jahatnya cuma nganggep Retta boneka."
Deraian air matanya, dibiarkan oleh Vera mengalir menghapus make up yang dipoleskannya tadi. Dia tak pernah melihat Retta menangis. Perempuan itu jarang menangis kecuali saat mengingat kenangan ibunya. Dan tadi siang untuk pertama kalinya setelah dua tahun lamanya tak melihat Retta menangis. Vera menyaksikkan sendiri buliran bening itu meruntuh. Isakkan rasa sakit yang terdengar.
"Lo pasti pernah denger cerita Retta, kan? Tentang keluarga dari ibunya yang benci sama keluarganya." Regha diam, tentu saja dia tahu soal itu. Keluarga Retta yang diasingkan oleh keluarga ibunya. Apalagi sang nenek yang selalu Retta ceritakan jika beliau membenci ayahnya, ibunya, dan juga Retta.
Retta yang selalu bercerita jika dia bersama kedua orang tuanya tak pernah datang ke rumah neneknya di Makassar. Lantaran acap kali mereka ke sana, keluarga Retta selalu diusir. Neneknya tak pernah menginginkan kedatangannya. Bahkan Retta tidak tahu siapa tante-pamannya, sepupu-sepupunya. Retta selalu merasa terasingkan.
"Dan karena perbuatan lo itu, lo jadi ngingetin Retta, kalo dia selalu diasingkan." Vera semakin terisak sementara pikiran Regha terasa kosong untuk berpikir sedikitpun. "Mengingatkan dia... kalo dia selalu dibenci sama semua orang. Termasuk LO! LO BUAT RENCANA ITU KARENA LO BENCI RETTA! IYA, KAN?!"
Pijakkan lantai yang Regha tapaki seolah runtuh, jantungnya seperti merosot jatuh ke bawah. Kata-kata Vera membuat Regha seperti dihantam batu dengan kerasnya. Dia terlihat shock, mulutnya terbuka tak percaya.
Kepala Regha menggeleng. Jangan bilang... jangan bilang jika Retta mengetahui soal itu. Sekali lagi Regha menolak percaya. Ketakutan yang selalu menghantuinya selama ini semakin tak terkendali.
"Ya...," Vera mengangguk, mengerti dengan wajah pias Regha karena apa. "Retta udah tau, dia nggak sengaja denger pembicaraan lo sama Davel tadi siang."
Mata Arven membulat tak percaya, bibirnya terkatup rapat.
Jantung Regha berhenti berdetak untuk beberapa saat sebelum bergerak dengan ritme cepat. Kegusarannya semakin terlihat jelas dari rautnya. "Dimana Retta?"
Akhirnya Regha bisa mengeluarkan pertanyaan itu, pertanyaan yang sejak tadi melekat di pikirannya.
Decihan remeh Vera keluar dari bibirnya. "Buat apa lo nanyain dia? Mau nyakitin dia lagi?"
Regha menggeleng cepat. "Gue nggak pernah punya niat—ya mungkin awalnya iya—tapi gue..."
"Apa?" potong Vera dengan raut wajah remeh. "Lo masih mau ngelak?"
Lagi-lagi Regha menggelengkan kepalanya.
Vera membuka tas kecilnya, mengambil tisu untuk membersihkan air mata bodoh itu. Dan juga mengambil sesuatu di sana.
Berbagai pertanyaan berkumpul di pikiran Regha. Pertanyaan yang Regha tidak tahu jawaban. Namun, pikiran kalut itu tersingkirkan saat Vera menyerahkan sebuah amplop cokelat dengan gambar hati yang terbelah di tengahnya.
"Apa ini?"
"Buka aja," titah Vera tak peduli pada pertanyaan Regha.
Regha dan Arven saling lirik sebelum tangan Regha bergerak membuka amplop itu dengan gerakkan perlahan dan juga jantung yang berdebar. Amplop terbuka, Regha menemukan kertas. Kertas bewarna cokelat. Dan aksara tersusun di sana. Tulisan yang sangat Regha tahu pemiliknya.
Untuk Regha
Mungkin saat lo nerima surat ini gue udah pergi. Maaf... karena gue nggak nemuin lo dulu sebelumnya, gue nggak mau pertahanan gue runtuh lagi.
Pergi? PERGI? Jangan bilang Retta telah pergi meninggalkannya. Kegusaran semakin mencekam Regha, mendorongnya pada keadaan yang menyesakkan. Dengan rasa berat, Regha kembali melanjutkannya.
Gue udah tau segalanya, Gha. Lo cuma menganggap gue mainan. Lo deketin gue cuma karena membenci gue. Rasa tulus yang selama ini lo kasih ke gue itu kebohongan.
Gue sayang lo, walau lo nggak pernah sayang gue, Gha.
Kepala Regha sontak menggeleng, tulisan terakhir benar-benar menghancurkan Regha. Regha menyayangi Retta. Menyayangi perempuan itu melebihi apapun!
Tulisan itu tidak berhenti di situ. Regha lagi-lagi menatap aksara di sana.
Gue bukan batu karang yang hanya terdiam bisu meski ombak menghantamnya dengan kencang.
Gue juga bukan daun yang mudah memaafkan angin walau dibawa terbang tinggi-tinggi dan dijatuhin gitu aja.
Dan satu lagi, gue bukan hujan walau jatuh berulang kali ke bumi. Meski sebagian orang menggerutu kesal karena kehadirannya. Membuat semua orang sulit untuk melakukan apapun. Dia tetap menurunkan buliran air itu untuk orang yang menyukai kedinginan yang diciptakannya.
Gue ini hanya Retta... perempuan yang selalu merasa dibenci semua orang. Termasuk orang-orang yang gue sayang.
Dengan surat ini... hubungan kita berakhir, Gha.
Kegusaran, ketakutan, dan kegelisahan Regha menghilang, berganti ke sesuatu yang menyakitkan. Pikiran Regha tersedot oleh rasa getir yang membelenggunya. Kosong dan hampa. Kepergian Retta sama saja dengan mengambil separuh kepingan hati Regha.
Kebahagian yang selama ini mereka untai bersama, hancur hanya dengan sekali jentikkan.
Tangan Regha mencengkram erat kertas cokelat digenggaman. Tak peduli bahwa kertas itu bisa saja mendapat kerutan-kerutan yang membuatnya tidak bisa kembali membaca isinya. Sekali membacanya saja, Regha merasa hancur. Bagaimana untuk membukanya kembali?
Dikukung oleh rasa bersalah dan penyesalan, kaki Regha tak sanggup menopang tubuhnya. Dia terjatuh duduk. Bersandar pada dinding lorong yang senyap. Dan Regha merasa seolah dirinya terjebak dalam keheningannya.
Hanya dengungan yang Regha bisa dengar, tak mengindahkan kedua orang yang berdiri sambil melihatnya. Melihat Regha yang rapuh untuk pertama kalinya. Melihat Regha, cowok sombong, cowok sok berkuasa yang selalu disegani oleh semua orang, hancur hanya karena seorang perempuan yang dulu dibencinya.
Dan tanpa kesadaran, lelehan bening itu meruntuh.
Vera tersentak, tak percaya. Regha menangis... Regha menangisi sahabatnya!
Apa dugaan Vera salah? Apa Regha sebenarnya sangat menyayangi Retta? Apa Retta salah paham? Pertanyaan-pertanyaan yang menghantamnya. Buru-buru Vera singkirkan. Retta tidak mungkin salah. Cowok itu tidak benar-benar menyayangi Retta. Air mata itu hanya kebohongan.
"Lo nyakitin Retta, lo jahat, Gha." ucap Vera lirih sebelum berjalan pergi meninggalkan kedua lelaki itu.
Lelaki itu hanya menangis dalam diam, sangat bukan seorang Regha. Regha yang selalu melampiaskan pada kemarahan, bahkan dengan menghabiskan waktu dengan boxing dan meneguk beberapa kaleng soda.
Dan tiga tahun pertemanannya dengan Regha, Arven baru pertama kali melihat Regha seperti ini. Sosok yang lemah, dengan tatapan kosong di bola matanya. Air mata itu mengalir, semakin membuat Arven membeku.
"Dia pergi..." gumaman itu terdengar jelas di tengah kesunyiaan. "Dia pergi ninggalin gue, Ven."
Bibir Arven terkatup bisu, lalu segera memalingkan muka. Dia tak sanggup dengan wajah Regha yang penuh dengan penyesalan. Regha sahabatnya. Dan melihat Regha hancur, Arven pun mengalami itu.
"Dia pasti bakal balik ke lo, Gha." ujar Arven mencoba membesarkan hati temannya itu.
Senyum getir itu terangkat di bibir Regha. "Dia nggak mungkin balik lagi... dia kecewa sama gue."
Arven ikut berjongkok di depan Regha, dan tersenyum tipis. "Kalo dia takdir lo... dia pasti kembali ke lo, Gha."
"Gue udah kehilangan sahabat gue, Davel." Suara Regha terdengar sangat lirih oleh rasa sakit. "Terus gue juga harus kehilangan dia."
"Davel bukan sahabat lo, Gha. Nggak ada sahabat yang ngejerumusin temannya sendiri ke hal yang salah."
Regha tak menyangkal ataupun membenarkan perkataan itu. Hari ini adalah hari perpisahan angkatannya. Tapi kenapa Regha merasa ini adalah hari perpisahan Regha dengan Retta. Hari mensive mereka yang ke tujuh bulan, menjadi hari akhir dari hubungan mereka.
Padahal Regha mengharapkan hari ini menjadi kenangan menyenangkan kebersamaan dirinya dan Retta. Namun, kenangan menyenangkan yang Regha harapkan menjadi kenangan yang menyakitkan.
***
"Terus kenapa lo nggak ngejelasin ke dia?"
Akhirnya setelah semua penjelasan yang Regha ceritakan Linzy mengeluarkan pertanyaan yang menyekap pikirannya itu.
Regha tertawa hambar. "Gue udah berusaha untuk ngejelasin, tapi Retta udah lebih dulu kecewa. Dia nggak mau dengar semua penjelasan gue."
Memilih diam, Linzy menatap sepupunya itu. "Tapi gue yakin, Gha. Retta pasti bakal maafin lo," Dia tersenyum sambil menepuk bahu Regha. "Gue tau dari mata Retta kalo dia masih sayang sama lo."
Senyum getir Regha terulas. "Gue selalu berusaha untuk percaya itu."
"Ya udah," Linzy kembali menepuk pundak Regha sambil tersenyum. "Gue balik ke kamar," pamitnya. "Dan, Thanks mau ngejelasin semua kesalahpahaman antara lo sama Retta. Gue sekarang tau... bukan lo atau Retta yang salah. Tapi kalian berdua sama-sama salah."
Setelah Linzy mengucapkan kata-kata tersebut, Linzy berbalik pergi.
TBC(20-01-18)
APING
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro