Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R37: Semua Penjelasan(1)

Dua tahun lalu...

PUKULAN telak mendarat tepat di pelipis Davel. Dia tersentak dengan tinju dadakan itu yang mengakibatkan dirinya terdorong jatuh di atas pasir pantai. Tangan Davel bergerak memegang pelipis yang pasti akan membiru nanti. Dia meringis sakit, dan kepalanya lantas mendongak dan terkejut setengah mati melihat orang yang baru saja menonjoknya.

Regha?

Napas Regha memburu. Netra hitamnya menatap nyalang Davel yang terduduk jatuh di bawah. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Membungkukkan tubuhnya, Regha kembali menghantam wajah Davel dengan pukulan keras.

Arven berdiri kaku. Masih terbawa alam terkejutnya melihat Regha yang meninju Davel. Saat kesadarannya pulih, Arven berusaha menghentikan Regha yang ingin menonjok Davel untuk ketiga kalinya.

Davel hanya terduduk bisu. Dia tak percaya jika Regha baru saja menonjoknya. Regha sahabatnya sendiri menonjoknya! Tangan Davel terkepal tanpa sadar.

Arven menghalangi tubuh Regha yang hendak menyerang Davel. Tetapi Arven selalu lupa jika Regha sulit untuk dihentikan jika berada di puncak emosinya. Arven terdorong ke kanan dan terjatuh. Lelaki itu meringis pelan.

Mendapat kesadarannya kembali, Davel menahan kepalan tangan Regha yang hendak mengenai wajahnya. Hanya tinggal beberapa senti untuk Regha menghabiskan wajah Davel. Davel bangkit berdiri dan langsung menjulurkan kaki panjangnya menendang dada Regha, hingga cowok itu terdorong mundur.

Langkah Davel bergerak cepat ke arah Regha, kemudian tangannya bergerak hendak menghantam wajah Regha jika cowok itu tak cepat tangkas memegang kepalan tangan Davel dengan tangan kirinya. Dan tanpa Davel duga, tangan kanan Regha mendaratkan pukulan telak di perutnya.

Perut Davel terasa bergejolak hebat karena hantaman itu. Tangannya yang bebas memegang perutnya. Merintih menahan sakit. Lantaran tidak ingin merasa kalah, Davel kembali melayangkan tinjuan. Namun, naas Regha lebih dulu menendang tangan itu dengan kaki panjangnya.

Dengan napas yang selain beradu, Arven berderap cepat mendekati mereka berdua. Berdiri di tengah-tengah di antara mereka. Dengan sekuat tenaga dia mendorong dada kedua temannya untuk saling menjauh. Hal yang dilakukan Arven sia-sia, karena mereka berdua kembali terlibat perkelahian.

"STOP!! LO BERDUA GILA, HAH!" Arven berteriak kencang, napasnya memburu karena lelah melerai mereka. Sepertinya teriakkan Arven berhasil membuat kedua cowok itu sadar apa yang mereka telah lakukan.

"Kalian berdua nggak punya otak?" tanya Arven. "Atau punya, tapi nggak tau cara gunainnya." Arven menghunuskan tatapan tajam pada Regha dan Davel bergantian. Dua cowok itu pun hanya bisa diam tanpa mengatakan apa-apa.

Arven menghela napas. Menyingkirkan emosinya yang tersulut. Dua temannya ini sudah berhasil membuat Arven yang biasanya bisa mengendalikan emosi, jadi terlihat bodoh.

"Kenapa lo datang-datang terus nonjok Davel, Gha?"

Sepertinya pertanyaan Arven mengingatkan Regha pada hal yang membuat emosinya naik ke permukaan. Dia kembali menatap nyalang Davel, yang dibalas dengan tatapan masa bodo oleh cowok itu.

"Kenapa lo ngomong gitu ke Retta?"

"Emang itu kenyataannya bukan?" tanya Davel balik dengan wajah malas. "Nanti malam lo bakalan ngasih surprise ke dia."

"Surprise yang mana dulu maksud lo?" Api di sekitar mata Regha semakin menyala-nyala. "Surprise karena hari mensive gue sama dia ke tujuh bulan. Atau surprise untuk mempermalukan dia!"

Davel tersenyum miring. "Lo tau maksud gue yang mana, Gha."

"Gue nggak akan ngelakuin itu," ujar Regha tegas. "Gue nggak akan mutusin Retta."

Davel terlihat shock. Sementara Arven tersenyum, dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Regha yang akan terjatuh di permainannya sendiri. Dengan itu, Arven bisa bernapas lega karena Regha tidak akan menyakiti Retta.

Decihan remeh Davel keluar dari bibirnya."Lo nggak lupa sama rencana kita kan, Gha?"

"Gue nggak pernah lupa sama rencana lo!" sentak Regha emosi, kembali membuat senyum culas Davel terulas.

"Bagus kalo lo masih inget rencana kita delapan bulan lalu." meski ujung bibirnya berdarah, senyum miring terulas di bibir Davel.

"Iya gue nggak akan pernah lupa! Rencana lo yang ngejebak gue... ngejebak gue untuk dekat sama Retta." jelas Regha dengan emosi tertahan.

"Rencana lo yang nyuruh gue untuk deketin Retta! Setelah gue berhasil jadiin Retta pacar gue, gue harus mutusin dia tepat saat perpisahan angkatan di depan anak-anak!" ucap Regha dengan rencana yang dulu sempat Davel buat untuknya.

Rencana yang Regha terima karena kebencian Regha pada Retta yang sok berani padanya. Tidak pernah takut saat Regha membentaknya dengan kata-kata kasar. Perempuan yang sudah mempermalukan Regha di lapangan sekolah lantaran tamparan Retta di pipinya. Yang langsung membuat harga diri Regha merasa dijatuhkan.

Perempuan yang dulu sangat tidak Regha suka. Tapi sekarang perempuan itu yang membuat Regha merasa spesial. Merasa hidup Regha lebih bewarna karena kehadirannya. Perempuan pertama yang selalu membuat Regha gemas lantaran sifat galaknya. Dan membuat jantung Regha berdegup untuk pertama kalinya.

Retta. Cinta pertamanya.

"Retta, cewek polos yang gampang dibegoin!" ucap Regha menjelaskan kata-kata yang pernah dia ucapkan dulu. Tanpa tahu bahwa orang yang disebutkan berdiri di sana mendengar kata-kata itu. "Retta perempuan yang gue nggak tahu bakal jadi pacar pertama gue. Cewek yang selalu bilang nggak akan pernah jatuh cinta sama gue, tapi ternyata..."

Regha menggantung kata-katanya. "Dia ngejilat ludahnya sendiri!" Dan Regha pun merasakan itu, dia sudah menjilat ludahnya sendiri karena pernah mengatakan jika dia tidak akan pernah jatuh cinta pada Retta.

"Gue nggak pernah sayang sama Retta!" Tapi kenyataannya sekarang... Regha menyayangi Retta. Menyayangi Retta melebihi apapun.

Arven memilih diam, sementara Davel senyum bengisnya semakin menjadi-jadi. "Itu lo tau kalo lo deketin Retta cuma karena rencana gue. Lo cuma nganggep Retta boneka, Gha!"

Ucapan itu membungkam mulut Regha untuk waktu yang cukup lama.
Sebelum netra hitam Regha kembali tersulut emosi. "Retta bukan boneka! Dia pacar gue! Perempuan yang gue sayang!"

Regha menarik kerah kaus Davel. "Itu semua pemikiran gue sebelum gue bener-bener ngerti sama perasaan gue. Sebelum gue sadar, kalo gue sayang sama Retta. Dan dari rencana lo gue sadar, Retta gak pantes buat dijadiin mainan. Dia terlalu spesial untuk itu."

Tubuh Davel sedikit terhuyung saat Regha melepas kerah bajunya dengan kasar. "Gue nggak akan mutusin Retta, Dav. Gue nggak akan ngejalanin rencana lo lagi. Gue sayang sama dia."

Regha hendak berbalik pergi. Namun, perkataan Davel menahan langkahnya.

"Lo pengecut, Gha!"

Regha kembali memutar tubuhnya menghadap Davel.

"Lo jadi pengecut, Gha, cuma karena cewek!" Davel berjalan mendekati Regha. "Lo nonjok gue, ngehabisin gue cuma karena cewek cupu kayak dia!"

Lantaran karena ucapan terakhirnya Davel mendapat pukulan lagi oleh Regha.

"Jaga omongan lo!" bentak Regha.

Davel memegang pipinya. Sudut bibirnya terangkat, menciptakan senyum remeh di sana. "Jadi ini akhir persahabatan kita, Gha. Oke..." Davel melangkah mundur menatap Regha dan Arven bergantian. "Lo lebih milih perempuan yang jelas-jelas bakalan ninggalin lo. Dibandingkan persahabatan kita, Gha. Cuma karena perempuan, lo lupa sama sahabat kecil lo."

"Gue bukan Arven, yang baru lo kenal saat SMP," Davel semakin menatap emosi Regha yang berdiri bisu. Dan orang yang Davel sebutkan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Gue Davel, temen lo yang udah kenal lo sejak SD!"

Setelah mengatakan kata-kata yang seolah mendorong Regha pada jurang. Davel melangkah pergi, tanpa peduli lagi pada Regha dan Arven.

***

Musik jazz mengalun indah di tengah keramaian pesta perpisahan kelas sembilan. Di ballroom hotel tempat dilaksanakan acara tersebut sudah dipenuhi para murid-murid yang memakai baju formal. Dentuman musik yang terdengar seolah teredam di telinga Regha karena rasa gelisah yang melandanya.

Untuk entah yang keberapa kali, Regha menelpon Retta. Namun, tak kunjung dijawab. Hanya sang operator yang menjawabnya. Regha bergerak gusar di tengah keramaian, dibawah tatapan para perempuan angkatannya yang menatap terpesona Regha.

Lelaki yang mengenakan jas berwarna biru tua itu, tak peduli pada tatapan kagum perempuan yang terang-terangan memandangnya. Pusat pikiran Regha hanya pada Retta yang juga belum menampakkan diri di depannya.

Cowok yang memakai jas abu-abu di sebelah Regha pun tak luput mendapat perhatian para perempuan di sana. Arven berusaha untuk tidak peduli, meski sebenarnya merasa risih.

Pilihan Arven hanya satu saat melihat Regha seperti itu, memilih diam tanpa mengusik Regha untuk mengajak bicara.

Sekali lagi, Regha menatap ponselnya menekan layar dengan tergesa. Dan berharap penuh bahwa Retta akan mengangkat ponselnya. Itu hanya harapan, karena Retta tak juga menjawab panggilannya. Regha mengacak-ngacak rambutnya frustasi.

Kemana Retta? Kemana perginya perempuan itu?

Terdengar suara operator, yang langsung membuat Regha menggenggam kuat ponsel yang berada di telinga. Kesabaran Regha telah habis, Regha harus mencari perempuan itu. Rasa khawatir dan gelisah yang memenuhi hatinya, tak bisa lagi dikendalikan.

Regha takut perempuan itu kenapa-napa.

Arven sontak menghalangi tubuh Regha saat cowok itu berniat pergi. "Lo mau kemana?"

"Gue harus ke kamar Retta." jawab Regha sambil mendorong tubuh Arven.

"Lo nggak bisa, Gha," Arven menggelang dan kembali menghalangi Regha. "Kita dilarang buat ke kamar cewek."

"Gue nggak peduli! Awas!" lagi-lagi Regha keras kepala mendorong tubuh Arven dan hampir membuatnya kehilangan keseimbangan.

Regha berderap melangkah, Arven mengikuti dari belakang. Dengan cepat Arven menyusul langkah Regha yang lebar. Keluar dari ballroom, pandangan Regha menyusuri lorong.

Dan langkah mereka terhenti saat melihat perempuan bergaun cokelat itu.

TBC(16-01-18)
      Aping

________

Part ini sebenernya panjang banget wkwk, jadi aku bagi dua. Dan part satunya gak tau publish kapan :D

Tapi insya allah secepatnya, makasih yang udah setia baca cerita ini :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro