Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R34: Kebenaran

LANTARAN insiden Regha meninju Ragel tanpa alasan. Bu Bety, selaku wali kelasnya, melarang Regha mengikuti perjalanan selanjutnya menuju tempat wisata lain. Meski awalnya Bu Bety hendak mempulangkan Regha lebih dulu dibandingkan anak lain karena kekacauan yang dia ciptakan. Kalau saja Arven--anak kesayangan Bu Bety--tidak membujuknya. Mengatakan hal itu tidak akan terulang lagi.

Kalau sampai terulang, Arven yang menjadi jaminannya. Dia bersedia untuk di hukum. Karena tidak ingin membuang-buang waktu, pada akhirnya Bu Bety memaafkan. Dan terpaksa Regha bersama kedua temannya dipulangkan ke resort.

Walau begitu, Bu Bety tetap akan memberi Regha hukuman. Nanti, saat beliau sudah kembali dari perjalanan wisata hari ini.

Di atas ranjang sambil bersandar, Zion memangku gitar. Gitar yang selalu menemaninya untuk bersenang-senang. Sesekali dia memetik senar, dan matanya melirik Regha yang tengah duduk di sofa, ditemani beberapa kaleng soda.

"Ku tak bisa… jauh... jauh… darimu."

Zion bernyanyi. Tak peduli pada lirik yang seakan sedang menyindir sahabatnya itu. Dia terus bernyanyi dengan lirik yang sama sebelum berganti ke lagu lain.

"Mungkinkah… kita kan kembali bersama. Walau terbentang benci antara kita."

Dan dengan wajah bodoh dan ingin sekali ditampol, Zion mengganti lirik lagu itu dengan kata-katanya sendiri. Apalagi lirik yang cowok itu ganti benar-benar persis seperti keadaan Regha. Namun, Regha tetap tak acuh.

"Oh… mantan kekasihku. Jangan kau lupakan aku."

Ketiga kalinya, Zion bernyanyi. Dan melihat Regha yang masih saja bergelut dengan kaleng soda. Zion mendengus kesal.

"Lo nggak seru banget sih, Gha! Diam terus dari tadi," ujar Zion kesal.

Kepala Regha sedikit mendongak, membalas tatapan Zion dengan tajam. Dan kembali tak peduli, Regha meneguk kaleng soda ke-tujuhnya.

Tetapi, Regha sedikit tersentak saat ada yang menarik kaleng soda yang diteguknya. Ternyata Arven. Cowok itu menatap Regha datar. Lalu menghela napas.

"Anak-anak udah balik," ada jeda sebentar. Arven melanjutkan. "Bu Bety minta lo untuk ketemu sama dia."

Regha mengangguk, dan perlahan bangkit berdiri. Arven menahan bahu Regha saat melihatnya ingin melangkah.

"Mungkin hukuman lo akan berkurang kalo lo minta maaf sama Ragel, Gha." ucap Arven memberitahu.

Dengan pelan-pelan, Zion meletakkan gitar miliknya di samping ranjang. Dan terfokus pada kedua temannya itu.

Perkataan Arven tak Regha acuhkan dia kembali hendak pergi. Dan sekali lagi, Arven memegang bahunya. "Gue serius, Gha."

Regha mendelik tajam pada Arven. Yang dibalas dengan wajah seriusnya. Arven sama sekali tidak goyah dengan tatapan Regha, dia terbiasa dengan sikap Regha yang keras kepala.

"Jadi lo lebih mihak dia?" Terdengar suara datar Regha.

Arven menghembuskan napas pelan. Dia menggeleng. "Gue nggak mihak siapapun di sini. Ini sepenuhnya salah lo, Gha. Ragel nggak ngelakuin apapun ke lo. Dan gue harap lo ngerti."

Ketegangan yang tercipta di sekelilingnya membuat cowok berambut acak-acakkan itu hanya bisa mengatup bibirnya. Zion melirik Regha dan Arven bergantian, tak mengatakan sepatah kata pun.

Mata hitam itu sudah mulai menyala-nyala karena emosi. "Gue tau ini salah gue. Tapi apa lo tau gimana rasanya saat ngeliat orang yang lo sayang sama cowok lain."

Arven mendengus, dia lelah dengan sikap Regha yang semakin keras kepala. "Kalo gue jadi lo, gue nggak akan ngelakuin itu. Apalagi mengingat status antara lo sama Retta. Mungkin lo nggak masalah kalo lo nonjok Ragel karena lo cowoknya. Tapi, sekarang kan hubungan lo sama Retta hanya…"

Arven tak mampu menyelesaikan perkataannya. Dia terdiam, bibirnya sekejap terkatup. Dia memandangi wajah Regha yang berubah pias.

Tangan Regha terkepal. Campuran antara rasa sakit, putus asa, dan rasa sesak yang mengurungnya, membuat Regha melupakan satu hal. Regha sangat tahu lanjutan perkataan Arven, yang pasti langsung menancap ulu hati Regha.

Retta hanya mantannya.

Retta boleh dekat dengan lelaki manapun. Dan Regha tidak bisa melarangnya.

Napas lirih Regha hembuskan. Senyum getir terlukis di bibirnya. "Gue tau… gue mau ketemu sama Bu Bety dulu."

Seiring langkahnya, Regha menahan emosi yang ingin sekali meledak. Dia berjalan keluar, tanpa peduli dengan Arven yang dikukung rasa bersalah.

Dikelilingi dengan situasi tak mengenakan, sebenarnya membuat Zion bingung harus mencairkan suasana seperti apa.

Dia mengambil gitar yang tergeletak di sampingnya.

"Udahlah, Ven, nggak usah dipikirin, Regha lagi sensitif. Nanti juga dia balik lagi jadi normal," ucap Zion sambil memetik asal gitarnya. Kemudian dia menepuk-nepuk pinggir ranjangnya.  "Mending lo duduk sini, kita nyanyiin lagu tak tun tuang."

Arven memutar matanya malas. Tak mengacuhkan Zion yang menyengir lebar.

***

Shena merekatkan potongan puzzle pada tempatnya. Dia tak bisa berkosentrasi. Matanya sesekali melirik Retta yang tengah duduk di atas ranjang. Termangu diam, sambil menatap telapak tangan.

Seharian ini, setelah pergi dari museum Bali dan melanjutkan perjalanan menuju tempat wisata lain. Hanya itu yang Retta lakukan. Dia tak peduli pada keadaan sekitar. Dan saat kembali dari perjalanan hari ini, dia tetap seperti itu. Seolah ada sesuatu di telapak tangannya itu.

Shena tak mengerti. Sikap Retta lebih memusingkan dibanding puzzle yang tengah dia mainkan.

Pintu toilet terbuka, Linzy sudah rapi dengan piyama tidurnya. Pandangannya langsung jatuh pada Retta. "Ta! Ada yang mau gue omongin."

Retta membalas iris kelabu milik Linzy yang melekat padanya. Perlahan dia menurunkan tangannya ke sisi ranjang. "Gue lagi nggak mau ngomong apapun, Zi."

"Ta?" Sekali lagi, Linzy memanggil.

Retta sekali lagi terpaksa mendongak. Dia menatap Linzy yang berjalan mendekati ranjangnya yang kebetulan berada di samping ranjang miliknya.

"Gue mau nanya sama lo?" Linzy menghempaskan diri di pinggir ranjang. Duduk menghadap Retta yang tak membalas tatapannya.

"Nanya apa?"

Beberapa detik Linzy terdiam sebelum berkata. "Soal Regha."

Tubuh Retta menegang. Dan pernyataan itu tanpa sadar membuat jemari Retta bergerak meremas piyama tidurnya.

Hal itu tak luput dari perhatian Linzy. Kedua alisnya terangkat menatap Retta.

"Ke-kenapa lo nanya Regha ke gue? Lo kan sepupunya?"

Linzy tersenyum kecut. Netranya memperhatikan Retta yang bergerak gelisah.

"Gue emang sepupunya. Tapi gue nggak ngerti, kenapa tadi Regha nonjok Ragel tanpa alasan…" jeda lama, sebelum terdengar suara Linzy kembali. "Dia nonjok Ragel cuma karena ngeliat lo sama Ragel berduaan. Kayak orang yang lagi cemburu."

Diam-diam, Shena mengerutkan kening. Dia juga terheran-heran dengan apa yang Regha lakukan pada Ragel. Siapapun tahu jika Regha tidak pernah terlibat perkelahian dengan anak lain. Dan untuk pertama kalinya, Shena melihat sosok Regha yang dipenuhi emosi.

Bibir Retta hanya bisa mengatup. Kata-kata yang ingin tersampaikan tak berani keluar. Hanya kegelisahan yang bisa dia lukiskan di wajahnya.

"Gue nggak tau." Pada akhirnya, Retta hanya mengatakan itu.

Linzy tertawa sinis. "Lo nggak tau? Atau pura-pura nggak tau?"

Secepatnya perkataan itu terlontar. Secepatnya pula kepala Retta menoleh. Dia mengerutkan kening, tak mengerti. "Maksud lo apaan? Gue nggak ngerti?"

"Jangan bohong, Ta." Senyum sinis Linzy terukir. "Lo paham maksud gue," Linzy terdiam dan kembali melanjutkan. "Lo masih inget kalo gue pernah nanya soal mantan Regha ke lo kan?"

Kerutan di dahi Retta secepat itu menghilang tergantikan dengan gemuruh jantung yang berdetak tak karuan. Dengan bibir bergetar Retta berkata. "Iya… terus ap-apa hubungannya dengan pertanyaan itu."

Jemari Retta semakin meremas piyama biru yang dipakainya. Pikirannya sudah penuh dengan kesimpulan yang dia takutkan.

"Pasti ada alasan tertentu… kenapa Regha ngelakuin itu ke Ragel," Lagi dan lagi Linzy terkekeh sinis. Dia menelisik ekspresi Retta. "Mungkin tadinya gue nggak tau, kenapa Regha bisa sampai kayak gitu… tapi sekarang gue udah tau jawabannya."

Bola mata Retta langsung membulat sempurna bibirnya bergetar. Jantungnya pun sudah tidak bergerak normal. Apa maksudnya? Apa maksud perkataan Linzy?

Kepingan puzzle terakhir, Shena rekatkan. Dia tak mengerti. Perkataan Linzy persis seperti puzzle yang tengah dia mainkan. Penuh teka-teki, butuh konsentrasi untuk memahami.

"Gue bego karena nanya mantan Regha ke lo," entah kenapa Retta bisa mendengar nada kecewa yang tersirat di sana. "Udah jelas lo nggak bakal ngasih tau. Karena lo adalah orang yang jadi topik pertanyaan gue."

Tanpa sadar, Shena menghancurkan puzzle yang telah tersusun. Terkejut tak terkira karena ucapan Linzy. Dia menoleh, menatap Linzy dan Retta bergantian.

Tangan yang meremas semakin kuat mencengkram. Retta tak peduli buku-buku jarinya memutih. Napasnya berhembus cepat. Tapi saat Linzy menjelaskan semua kata-katanya, Retta merasa jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat.

"You're Regha's ex-girlfriend, right?"

Retta berdehem, membasahi tenggorokkan yang terasa sakit untuk mengucapkan kata-kata. Matanya hanya bisa terpekur pada ranjang.

"Kenapa lo bisa mikir gitu?" kata gadis itu pelan dengan kepala tertunduk.

"Lo masih mau ngelak?" Linzy mendengus geli. "Mungkin awalnya gue nggak berpikiran kayak gitu. Tapi hari ini nggak lagi. Wajah kecewa lo dan wajah penyesalan Regha itu gambarin semuanya. Sebenarnya itu bukan kesimpulan akurat, sih. Tapi kebetulan gue ketemu benda ini…"

Linzy membuka tasnya, mengangkat benda itu tinggi-tinggi.

Netra cokelat Retta membulat seketika. Napasnya tertahan. Layaknya batu, Retta membisu. Tak percaya album foto yang menyimpan berbagai kenangan Retta bersama Regha berada di tangan Linzy.

"Kenapa..."

"Benda ini bisa di tangan gue?" Sela Linzy cepat. Tawa hambar Linzy terdengar, menambah gemuruh di jantung Retta. "Gue ketemu benda ini pas jatuh dari tas lo."

Ketegangan menyergap setiap sudut ruangan. Shena tak bisa berbuat apa-apa. Hanya sorot matanya yang meminta Retta untuk menjelaskan segalanya.

"Jadi sahabat gue ini… orang yang sama dengan orang yang ninggalin sepupu gue." Linzy berdecak remeh.

"Bentar, Zi, lo jangan ngomong kayak gitu." Untunglah Shena akhirnya bisa mengendalikan diri. "Mungkin ada alasan kenapa Retta ninggalin Regha. Lo jangan terhasut sama gosip-gosip nggak jelas itu."

Dengus Linzy terdengar di tengah keheningan. "Dan lo pikir gue harus berbaik hati sama orang nyakitin sepupu gue?"

Retta diam, menggigit bibirnya keras-keras. Rasanya dia ingin menangis. Selalu dia yang salah. Dan mungkin memang ini salahnya. Meski jelas-jelas Regha yang menyakitinya.

"Zi…"

Kata-kata teguran Shena tak dapat terselesaikan. Retta memutusnya. "Gue nggak masalah kalo Linzy nganggepnya kayak gitu," Retta tersenyum tipis. "Mungkin emang gue salah… tapi saat itu gue nggak tau harus apa, saat orang yang gue sayang ngucapin kata-kata yang nyakitin gue. Apalagi saat gue tau kalo Regha deketin gue cuma karena rencana dia sama Davel."

Satu bulir bening meluncur di pipinya. "Gue masih sayang Regha. Tapi setiap kali gue nginget semua yang terjadi dua tahun lalu… kebencian gue selalu datang dan ngejebak gue."

Tanpa sadar isakkan terdengar dari bibirnya. Retta menekan kuat-kuat isakkan yang ingin keluar. Dan membiarkan deraian air mata yang menetes.

Linzy tertegun sesaat menatap Retta menangis. Dia merasa marah pada seseorang yang meninggalkan Regha. Seseorang yang menyakiti Regha. Tetapi saat tahu seseorang yang berbuat seperti itu adalah Retta. Seseorang yang sudah dianggap sahabat baiknya. Membuat dia bimbang untuk membela siapa.

"Ta?" Panggil Shena dan Retta mendongak dengan buliran yang menutup iris cokelatnya. "Lo anggap kita sahabat kan? Kalo lo nganggep kita sahabat, lo harus ceritain itu semua ke kita, Ta."

Linzy mengangguk setuju sambil tersenyum. "Iya, supaya gue paham kenapa lo lebih milih ninggalin Regha."

"Kalian berdua sahabat gue…" Retta tersenyum tipis meski air mata terus bergulir. Dan perlahan tapi pasti kepala Retta mengangguk pelan.

TBC(01-01-18)

___________

Maaf aku telat update :(
Chapter ini sebagai ganti karena kemarin sabtu aku gak up.

And Happy New year :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro