R-R32: Primadona Bali
PULAU Bali memiliki destinasi wisata yang beragam, mulai dari wisata alam, budaya, religi, hingga kuliner. Dengan reputasi yang sudah mendunia, Bali selalu menjadi pilihan tempat berlibur, baik untuk wisatawan lokal maupun asing.
Setelah tengah malam para peserta study tour sampai di Bali. Mereka semua diizinkan untuk beristirahat di resort sebelum besoknya, berkunjung ke berbagai tempat wisata.
Tempat yang pertama kali mereka kunjungi adalah BCC (Bali classic center). BCC atau yang sering disebut dengan 'Taman Mini Bali'.
Saat datang ke sana, mereka disambut Tarian Selamat Datang. Para penari akan membawa hasil-hasil pertanian untuk dipersembahkan. Tari ini akan diiringi oleh orkes tradional Bali (Bleganjur).
Tempat ini menyajikan berbagai atraksi seni budaya dan tradisi kehidupan masyarakat setempat seperti proses pembuatan merangkai sesaji, pembuatan ogoh-ogoh, dan pengolahan hasil-hasil pertanian secara tradisional.
Tanah Lot adalah kunjungan mereka yang kedua. Siapapun pasti tak asing lagi dengan tempat ini. Keberadaan pura yang terletak di atas batu karang besar menjadi ikon yang dimiliki dari Tanah Lot.
Salah satu lokasi wisata yang terkenal di Bali ini, sudah seperti magnet yang terus menarik wisatawan untuk mengunjungi Bali. Tak hanya sekadar menyajikan daya tarik wisata alam. Di Tanah Lot juga membicarakan tempat suci umat Hindu ini yang tidak akan terlepas dari nilai-nilai budaya dan spiritual.
Netra cokelat milik Retta menjelajah pemandangan sekitarnya. Dan tanpa sadar hembusan napas lelah keluar dari indra pernapasannya. Debur ombak yang menabrak batu karang mengingatkan Retta pada suatu hal yang menyakiti dirinya sendiri.
Kenapa sangat sulit untuk melupakan kenangan itu?
Seusai semua penjelasan Pak Andi—salah satu guru sejarah Retta—mengenai Tanah Lot, apa saja sejarahnya. Legenda yang termasuk di dalamnya.
Mereka pun meninggalkan tempat itu lalu pergi ke Danau Beratan Bedugul. Pemandangan di atas pegunungan yang disajikan saat berwisata ke Danau Bedugul, Retta merasakan sejuk kala menghirup udara di sekitarnya.
Di dalam areal kawasan danau Bratan terdapat pemandangan warna-warni bunga, pepohonan cemara yang rindang dan hijaunya rerumputan. Dan juga di sekitar Danau terdapat hewan seperti kijang dan juga rusa. Dan jangan lupa dengan Pura Ulun Danu Bratan, nama pura yang berada di tengah-tengah Danau.
Setelah semua hal yang menakjubkan di sana, akhirnya mereka kembali ke bus untuk pergi berkunjung ke tempat lain yaitu menuju GWK (Garuda Wisnu Kencana). Objek wisata Garuda Wisnu Kencana cultural park atau lebih sering di singkat dengan GWK adalah salah satu tempat wisata yang paling terkenal di Bali.
Yang Retta tahu daya tarik GWK adalah untuk melihat patung Garuda Wisnu. Retta sempat membaca hal itu di internet, jadi saat mendengar penjelasan Pak Andi, dia tak harus bertanya seperti anak-anak lain. Lagipula dia sudah banyak mengetahui sejarah Bali lantaran hobi membacanya.
Dan juga saat berkunjung ke tempat ini, Retta sangat ingin ke tempat Wisnu Plaza—tempat yang paling penting untuk didatangi saat berkunjung ke GWK. Sebab pada saat tertentu akan ada beberapa kinerja tradisional Bali yang akan menari di depan patung wisnu yang terlihat megah.
Karena lokasinya yang tinggi, semua orang akan melihat panorama di sekitarnya. Patung wisnu, sebagai titik pusat di tempat Wisnu Plaza. Patung tersebut akan dikelilingi air mancur dan juga air sumur.
Tengah serius menatap lekat-lekat patung wisnu dengan air mancur di sekelilingnya, Retta mengangkat kamera miliknya untuk mengabadikan. Namun, saat sebuah tangan melingkar di bahunya, sontak membuat gadis berambut cokelat tersebut menoleh.
Mata cokelat itu membulat penuh melihat lelaki yang merangkulnya. "Ragel?"
Lelaki berambut seperti dirinya itu tersenyum manis. Senyum yang selalu tertuju untuk Retta. "Kenapa lo kaget gitu?"
"Gak, tadi gue cuma sendiri, jadi kaget aja kalo ada orang di samping gue." Retta tersenyum canggung, lalu iris cokelat itu memutar sekeliling dan melihat keberadaan Linzy dan Shena yang tengah sibuk memfoto dan juga anak-anak lain yang sibuk berselfie ria.
"Makanya, Ta, ngeliat patung jangan serius-serius," ucap Ragel yang langsung membuat Retta berpaling lagi menatapnya. "Mending ngeliat seriusnya ke gue aja."
Perkataan terakhir itu kembali menjadikan mata Retta melebar sempurna dan mulutnya yang terbuka. Melihat ekspresi Retta yang sangat lucu. Ragel tak sadar melepas rangkulan di bahu lalu tangannya bergerak mencubit pipi Retta.
Kesadaran itu pulih kembali, Retta memegang pipinya lalu menabok bahu Ragel pelan. "Apaan sih lo," ucapnya sambil memalingkan wajah, salah tingkah.
Ragel semakin terkekeh dengan tingkah Retta. Saat sebuah ide terlintas dia menyerahkan kamera DSLR miliknya pada Retta, yang diterima dengan wajah kebingungan.
"Motoin gue, Ta." Pinta Ragel, cowok itu telah bergerak berdiri di depan Patung Wisnu.
Retta mengangguk sambil tertawa pelan. "Oke," gumamnya sambil mengalungkan kamera tersebut di leher. Dirinya mendekatkan lensa pada salah satu matanya. Namun, tak diduganya, Ragel memperlihatkan gaya yang membuatnya mengernyit.
Retta terpaksa menurunkan kamera, dan terfokus pada Ragel. Cowok itu terus-menerus menunjukkan gaya-gaya yang aneh. Dan tak butuh lama Retta tak tahan untuk tidak tertawa, apalagi saat cowok itu mempraktekkan gaya bebek dengan tangan di dekatkan di mulut lalu tangan satunya berada di pinggang.
"Kira-kira gaya yang bagus gimana, Ta?"
Tak sanggup menjawab pertanyaan Ragel, Retta terus memegang perutnya karena rasa geli yang menggelitik di perutnya melihat tingkah Ragel.
Ragel berhenti memperaktekkan gaya-gaya aneh tadi, dan terpekur pada Retta yang berjongkok karena tertawa tak henti-henti. Sudah berminggu-minggu, dirinya mendekati perempuan itu. Perempuan bermata cokelat yang selalu bisa menjadi pusat perhatian Ragel. Mata cokelat yang berhasil menjadikkan detak jantungnya berdetak diluar kendali.
Tanpa sadar, Ragel ikut berjongkok semakin lekat memperhatikan Retta. Seulas senyum terukir di bibirnya. "Kayak gitu dong, bidadari itu harus selalu ketawa bukan cemberut kayak tadi."
Retta mendongak karena ucapan tersebut, yang lantas membuat mata cokelat itu menabrak mata cokelat yang hampir mirip seperti miliknya. Mata cokelat yang terpancar kelembutan. Hingga Retta tak sadar jika dia bisa saja tersesat di dalamnya.
Sorotan mata cokelat itu hanya terpusat satu sama lain. Mereka berdua tak sadar dengan mata hitam yang tengah menunggu. Mata hitam yang sejak tadi memperhatikan mereka dengan amarah yang dipendam.
Regha berdiri di sana dengan mata yang terfokus pada mereka berdua. Mata hitam itu berubah kelam, karena hatinya yang mendadak suram. Memejamkan mata, Regha menahan gejolak cemburu yang tercipta. Regha berharap tawa itu hanya ilusi semata, tapi itu hanya harapan, karena keadaan yang di depannya adalah nyata.
***
Setelah kemarin seharian, anak SMA Taruna Jaya berkunjung Taman Mini Bali (BCC) lalu belajar mengenai sejarah dan hal-hal lain tentang Tanah Lot dan Danau Bedugul. Dan juga pergi ke Garuda Wisnu Kencana Cultural Park, menonton pertunjukkan yang disajikan di sana saat malam hari. Inilah saatnya mereka berkunjung ke Museum Bali.
Saat pertama kali sampai di sana Retta melihat pemandangan menara tinggi dengan ukiran bekas terbakar. Ketika masuk ke dalam pun Retta akan melihat deretan Rumah Adat Bali dengan arsitektur yang unik, lintasan peristiwa Puputan Badung yang heroik, tinggalan pra sejarah yang antik, koleksi lukisan klasik yang langka, serta ukiran cerita Ramayana di sebuah Gading Gajah.
Mata cokelat itu menjelajah sekitar, koleksi peninggalan pra sejarah. Retta mengamati prasasti, arca perunggu (patung-patung dewa) sampai keramik Cina dan mata uang Kepeng. Retta memotret itu semua untuk dokumentasi tugas study tour-nya dan juga tugas ekskul fotografi-nya.
Tanpa Retta sadari sejak tadi, Regha mengamati dari jauh. Bagaimana sudut bibir itu terangkat melihat benda-benda yang terpampang di depannya. Dan juga saat perempuan itu tertawa dengan Linzy dan Shena. Apalagi kala mata bulat itu menatap takjub lukisan seni. Retta dengan segala kekagumannya pada sejarah. Regha tak heran lagi.
"Motret itu benda-bendanya bukan orang yang lagi ngeliatin benda pra sejarahnya."
Regha sedikit terperanjat dengan sindiran halus tersebut. Lantas dirinya menoleh dan matanya seketika memutar malas kala menemukan Zion di sebelahnya.
"Lo tau apa sih, Yon," elak Regha mengalihkan pandangan.
"Emang gue nggak merhatiin lo dari tadi, Gha." Sekarang gantian Zion yang memutar bola matanya. "Lo dari tadi gak berhenti-berhenti motret Retta. Seharusnya lo moto benda sejarahnya bukan Retta."
"Giliran gue sekarang yang nanya," Regha memandang Zion serius. "Daritadi lo ngapain?"
"Ya dari tadi gue keliling, foto-foto benda sejarah buat tugas."
Jawaban sok polos itu sangat tak pantas disandingkan dengan Zion. Regha berdecih. "Nggak mungkin emang dari tadi gue juga gak merhatiin lo. Lo dari tadi bukan ngerjain tugas, tapi godain Laras anak kelas sebelah."
Perkataan Regha yang sangat tahu dan paham dengan sifat dirinya. Lantas membuat Zion tersenyum. "Lo tau banget sih, Gha. Jadi seneng gue."
Regha bergidik jijik saat Zion mengedipkan mata berulang kali. Tingkah gila Zion yang kadang membuat Regha berpikir 'kenapa dia punya temen kayak gini?'.
"Arven mana?" tanya Regha saat menyadari satu-satunya teman warasnya tidak berada di sekelilingnya.
"Lo kayak nggak tau dia aja," gumam Zion dengan nada kesal. "Dia itu kalau dibawa ke tempat kayak gini, sama aja kayak anak kecil yang dibawa ke taman bermain. Seneng banget."
Regha tak sanggup untuk tidak tersenyum. Arven dan Retta hampir mirip. Sama-sama menyukai hal yang berbau sejarah. Tapi tentu saja Arven lebih gila dengan sejarah dibandingkan Retta. Setiap kali Regha datang ke rumah cowok itu, pasti Arven selalu berada di perpustakaan pribadinya. Perpustakaan yang berisi buku-buku tebal.
"Itu kan emang kesukaannya," ucap Regha yang dibalas anggukkan kepala oleh Zion. Tentu saja Zion juga tahu dengan apa yang disukai sahabatnya itu.
"Gha?" Zion menepuk pundak Regha saat melihat pemandangan di depannya.
"Apaan sih?" tanyanya menatap Zion sebelum melihat hal yang berada tepat di depannya, meski jarak membatasi. Ragel yang tengah tertawa bersama Retta yang hanya tersenyum.
"Lo kalah start lagi, Gha," ucap Zion yang malah semakin membakar tubuh Regha.
"Kan gue udah bilang, Gha. Seharusnya lo tuh jadi pembalap bukan jadi photografer. Lo pasti selalu kalah kalau soal tikung-menikung."
Regha justru mengernyit dengan penjelasan Zion. "Maksud lo apaan sih? Ragel kan anak basket, bodoh. Bukan pembalap."
"Astoge pohon toge," Zion menepuk jidatnya. "Maksud gue tuh, andai aja lo pembalap pasti lo tau cara nyalip gerak cepat supaya menang menuju finish. Nggak kayak sekarang yang udah kalah di garis start."
Regha menghembuskan napas perlahan, menahan gejolak emosi yang menguasai. Apalagi ditambah si gila ini, bukannya membantu Regha menghilangi tapi malah membuatnya bertambah emosi.
TBC(23-12-17)
APING
_________
Part terpusing menurut aku ini wkwk. Yang baca semoga gak ikut pusing ya :)
Aku terakhir kali ke Bali itu pas SD kelas tiga. Jadi udah lupa wkwk. So, kalo ada kesalahan di part ini comment ya♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro