Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R30: Pulang Bersama

SANG mentari sepertinya tengah bersemangat sore ini. Terik sinar yang memancar dibalik kaca mobil, menyilaukan mata Retta untuk menatap luar. Dengan kecepatan sedang Linzy membelah jalan raya.

Kendaraan yang tengah Linzy kemudi dengan Retta yang duduk manis di sebelahnya, mengikuti mobil yang berada di depannya. Mobil jeep milik Regha. Hari ini karena perintah Atar mereka akan mendiskusikkan tema yang akan kelompok mereka pakai.

Namun, tempat melaksanakan diskusi tersebut, kenapa harus café milik orang tua Regha? Di sana kenangan manis dan juga canda tawa bersama Regha masih melekat dalam pikiran Retta.

Sehabis melewati jalanan yang penuh dengan kemacetan, akhirnya mereka sampai di sana. Linzy memarkirkan kendaraannya di sela kosong tempat parkir. Mobil jeep Regha dan juga dua motor sport milik Arven dan Zion sudah terpakir manis lebih dulu.

Melangkah turun, Retta menapaki jalan menuju pintu kaca café yang terbuka lalu tertutup. Awalnya langkahnya terasa ringan, tapi entah kenapa kakinya mendadak terasa berat untuk melangkah.

Cuplikan-cuplikan kebersamaan dengan Regha, seperti disetel di depan mata Retta saat pertama kali melihat café yang sudah dua tahun lamanya tidak dilihat. Seperti strip film yang bergilir secara bergantian di depan matanya.

Tangan yang merangkul pundaknya, menyentak pikiran Retta untuk keluar dari lamunan. Helaan napas terdengar, ketika Retta menoleh lalu mendapati Linzy yang merangkul.

"Lo kenapa, Ta?"

Senyum terulas, Retta menggeleng. "Gue nggak kenapa-napa."

"Yaudah, ayo masuk," ajak Linzy, Retta menggangguk.

Regha bersama Arven dan Zion lebih dulu masuk dibanding mereka berdua. Dengan gerakan seperti slow motion, Retta mendorong pintu kaca lalu merangsek masuk ke dalam. Aroma khas cokelat bercampur harum kopi menggelitik indra penciuman Retta ketika pertama kali menginjak kaki ke dalam.

Masih dengan Linzy yang merangkul pundaknya, mereka berdua berjalan menuju pojok café. Karena ketiga lelaki itu memilih tempat kosong di sana.

"Lama banget sih cuma markir doang!"

Seketika itu Zion mendapat pelototan tajam oleh Linzy karena lontarannya.

Cowok nyebelin

Netra cokelat milik Retta menatap lamat-lamat meja bundar yang dikelilingi lima kursi tersebut. Posisi duduk mereka bertiga, sesuai dengan urutan. Regha, Arven, dan Zion. Menyisakkan dua kursi di samping kanan Zion dan di sebelah kiri Regha.

Wajah Linzy yang penuh kedongkolan karena perdebatan mulut dengan Zion akhirnya terhentikan. Agak kasar, Linzy menghempaskan tubuh di kursi sebelah Zion. Dan dengan terpaksa Retta harus duduk di sebelah Regha.

Mata Retta menatap kursi lalu Regha bergantian. Lelaki itu tengah serius dengan makalah yang terbuka di depannya. Menatap kursi kembali, entah kenapa Retta malah mengingat kenangannya saat Regha yang selalu bercanda dan iseng menarik kursi untuknya dan mengatakan 'Silahkan duduk untuk perempuan pecinta cokelat kesayangan Regha'.

Bulu mata Retta lantas mengerjap, membuang jauh-jauh kenangan itu.

Ingat Retta sekarang udah jadi mantan.

Retta duduk, lalu mendadak dia merasa canggung duduk di tengah-tengah Regha bersama kedua temannya. Di dekat Regha canggungnya minta ampun apalagi ditambah dengan Zion dan Arven. Mungkin kalau Arven sudah biasa, tapi Zion?

Walaupun mereka berdua sekelas, Retta tidak dekat dengan cowok itu. Retta dulu hanya terbiasa duduk bersama Regha, Arven, dan Davel. Retta langsung menggeleng kuat-kuat saat nama terakhir terlintas. Davel! Cowok brengsek itu yang mengotori otak Regha untuk menyakitinya.

"Kalian punya ide apa untuk tema tugas kita?"

Pertanyaan Regha menyadarkan Retta untuk tidak memikirkan hal yang akan menyakitinya nanti.

"Menurut lo, Gha. Gue nggak ada ide apapun." Cengir Zion dengan wajah tanpa dosa.

"Otak lo kan cetek makanya ide gak pernah nyangkut di otak lo!" ucap Linzy agak nyelekit.

Pedas sekali itu mulut minta dicium sama Zion, eh. Zion geleng-geleng kepala.

"Emang lo punya ide, Zi?" tanya Zion balik dengan muka yang minta ditonjok.

"Kalau gue nggak punya ide kenapa?! Lo mau balikkin kata-kata gue tadi! Kalau otak gue cetek?!" Linzy berkacak pinggang menatap galak Zion.

Sepertinya Zion hanya bertanya tadi, tapi kenapa perempuan itu jadi sangat emosi. Cewek selalu PMS kali ya setiap hari marah-marah melulu. Menghembuskan napas perlahan, Zion lebih baik mengalah, bukannya perempuan itu selalu benar dan lelaki selalu salah.

"Kalo lo, Ven ada ide?" tanya Regha beralih pada Arven yang tampak tengah berpikir sebelum mengalihkan pada perempuan yang sejak tadi hanya diam. "Kalo lo, Ta?"

Kepala tertunduk Retta lantas mendongak menunjukkan iris cokelat yang seketika membuat Regha terpaku.

"Kak Retta?!"

Panggilan itu memutus bertemunya dua warna mata yang berlawanan. Retta menoleh dan terbelalak saat melihat Emilly bersama Seli—Mama Regha. Anak kecil itu berjalan riang mendekati Retta.

"Kak Retta doang yang dipanggil? Kak Linzy gak?" Linzy berpura-pura sedih karena Emilly mengabaikannya. Gadis kecil itu menatap Linzy lalu tersenyum polos.

"Kalian semua di sini?" tanya Seli. Regha tak kaget lagi melihat ibunya yang berada di café pada jam segini. Karena biasanya Seli memang datang ke café untuk melihat kinerja pegawainya secara langsung.

Mereka semua menggangguk lalu menyalimi tangan Mama Regha itu. Dan paling terakhir Retta. Seli tersenyum menatap Retta. "Udah sebulan lebih Tante gak liat kamu, Retta. Kamu tambah cantik."

Mendengar pujian Seli, Retta merasa semakin canggung lalu tersenyum kaku. "Makasih Tante."

Linzy mengernyit heran berbagai pertanyaan timbul dipikirannya. "Tante Seli kenal Retta?"

Seli beralih menatap wajah bingung keponakannya lalu mengangguk. "Tentu aja Tante kenal. Retta ini anak dari teman bisnis Om Reno. Dan juga Retta itu teman SMP Regha. Kamu nggak tau?"

Linzy menggeleng pelan sebelum menatap Regha dan Retta bergantian. Retta menunduk sedangkan Regha hanya diam, bibirnya terkatup rapat.

Linzy tentu tahu kalau Retta satu SMP dengan Regha. Tapi... Retta bilang jika dia tidak terlalu dekat dengan Regha. Dan jawaban yang sama juga terlontar saat Linzy bertanya pada Regha.

Sepertinya ada yang salah di sini?

"Yaudah kalian lanjutin aja belajarnya, Tante mau ke ruangan kerja dulu." Pamit Seli sambil tersenyum keibuan lalu menggenggam tangan mungil Emilly.

"Kak Retta ikut?" tanya Milly dengan wajah polos anak kecilnya.

Retta menggeleng, merukir senyuman.

"Kak Retta lagi belajar Milly, nggak bisa ikut."

Ucapan lembut ibunya membuat Emilly mengerucutkan bibir. Tapi tak lama wajah mungil itu bersinar ceria. "Tapi nanti Kak Retta janji ya, datang ke rumah, terus main sama Milly."

Seli tersenyum melihat tingkah Emilly sebelum menatap anak sulungnya. "Kapan-kapan kamu ajak Retta ke rumah, Gha," Lalu beralih menatap Retta. "Kalau ada waktu kamu mau mampir ke rumah Tante kan, Retta?"

Retta terkejut, tentu. Siapa yang tidak terkejut diajak ke rumah Ibu dari seseorang yang mengisi masa lalu-nya—lebih tepatnya, ibu mantannya. "Iya, Tan," senyum kikuk Retta terulas. "Kapan-kapan Retta main ke rumah Tante Seli."

Sebelum pergi, Seli kembali tersenyum pada semua teman Regha termasuk Retta. Kemudian menuntun Emilly menjauh, berjalan ke ruangan khusus untuk staf.

Ada rasa penasaran yang mengisi kekosongan di pikiran Linzy, tapi melihat Retta yang hanya diam enggan menjelaskan. Membuat dirinya mengurung niatnya untuk bertanya.

Dan mereka berlima pun kembali fokus pada diskusi yang sejak tadi terbuang waktunya karena kedatangan Mama Regha.

***

"Lo seriusan nggak pa-pa gue tinggal, Ta?"

Di seberang, telepon Linzy menanyakan pertanyaan itu untuk sepuluh kalinya. Retta jadi memutar matanya lagi mendengar kata-kata tersebut.

Karena tadi Mama Linzy menelpon Linzy untuk pulang lebih cepat, membuat dirinya meninggalkan Retta–sendirian—bersama ketiga cowok itu.

"Nggak apa-apa, Zi. Bosen gue denger pertanyaan lo itu."

Di sana, Linzy terkikik geli. "Sorry, Ta. Gue cuma khawatir aja. Lo masih di sana?"

"Masih. Gue lagi nunggu taksi. Tapi nggak ada yang lewat." Retta membenarkan posisi ponselnya di telinga. Kembali mengedar pandangannya di jalan raya, mencari keberadaan taksi yang kosong.

Arven dan Zion juga sudah pulang lima belas menit sebelumnya. Mereka berdua menawarkan untuk mengantarkan Retta sampai rumah. Tetapi karena canggung, lebih baik Retta menolak ajakkannya.

Karena ucapan Retta, Linzy langsung marah-marah seperti ibu kost yang sedang menagih uang bulanan. Bukan tanpa alasan Linzy terus berceloteh seperti itu, dia sebenarnya tidak ingin meninggalkan Retta di sana sendiri.

Namun, karena Mama kesayangannya sudah mengeluarkan jurus ampuh yang membuat telinga Linzy sakit. Jadi terpaksa dia meninggalkan Retta.

"Lo belum pulang?"

Suara yang berada tepat di sebelahnya lantas membuat Retta menoleh dan kaget saat melihat Regha.

"Zi, gue nelpon lo nanti lagi, ya?"

"Ta itu suara Re—"

Belum terselesaikan ucapan Linzy, karena Retta lebih dulu memutus sambungannya.

"Iya lagi nunggu taksi," jawab Retta, tak mampu membalas tatapan seseorang yang membuat jantungnya berdentum seperti sedang berada di tempat orkestra.

"Mau gue anterin?" tawar Regha dengan suara lembut yang Retta rindukkan.

"Nggak usah, gue nggak mau ngerepotin..."

Ucapan penolakkan Retta tak dapat dilanjutkan karena sebuah motor sport merah yang berhenti tepat di depan Retta dan Regha.

Pengemudi lelaki itu melepas helm-nya menampilkan wajah yang sudah terukir sebuah senyuman.

Retta terkejut. "Ragel?"

Regha yang berdiri di samping Retta pun tak kalah terkejutnya.

"Mau bareng gue?"

"Lo kok ada di sini sih?" Bukannya menerima tawaran Ragel, Retta justru mengeluarkan pertanyaan yang mengganggu pikirannya.

"Kebetulan tadi gue abis ke toko bunga yang ada di sebelah café ini." Ragel mengerling pandangannya pada toko bunga yang berada di sebelah café milik ibu Regha.

Retta mengangguk paham.

"Jadi mau bareng gak nih?"

Retta bimbang dengan pertanyaan itu. Dia menatap Ragel dan Regha bergantian. Namun mata cokelatnya malah terpaku pada tangan Regha yang mengepal.

Kepalanya mendongak, menatap Regha yang tengah menghunuskan tatapan tajam pada Ragel. Meski sepertinya cowok itu tidak menyadarinya.

"Gue bareng Ragel aja, ya Gha. Sorry."

Hanya kata maaf yang Retta ucapkan, bermaksud untuk tidak menyakiti hati cowok itu. Sebelum menaiki motor merah milik Ragel. Yang langsung diberikan helm satu lagi oleh cowok itu untuk Retta.

"Kita duluan ya, Gha," ucap Ragel disertai senyuman.

Regha menggangguk pelan dan membalas senyum Ragel. Walau hatinya menahan gejolak panas yang tercipta.

Melihat motor Ragel yang kian menjauh dari pandangannya. Perlahan, senyum manis Regha menghilang.

TBC(16-12-17)
     APING😽

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro