R-R29: Diskusi Kelompok?
JARINYA terketuk di atas permukaan meja. Netra cokelatnya menatap lurus papan tulis putih yang berada di depan. Tatapannya kosong sedangkan pikirannya berlarian kemana-mana. Kericuhan kelas karena jam istirahat tak dipedulikannya.
Sikap Retta yang berubah pendiam membuat alis kedua sahabatnya tertaut bingung. Dua perempuan itu saling lirik dan kembali melihat Retta. Entah apa yang terjadi dengan gadis itu. Diajak ngobrol, tak digubris. Diajak bercanda, responnya hanya senyum kecil. Diajak pergi ke kantin, juga tak bersuara apapun.
Persis seperti orang kesambet. Linzy meringis ngeri mendapat pemikiran itu.
"Ta?" Panggil Linzy.
Kepala Retta menoleh sebentar sebelum kembali menatap papan tulis. "Hmm?"
"Lo kenapa, sih?" Pertanyaan seperti ini sudah Linzy pertanyakan pada Retta berulang kali. Dan pasti tetap sama jawabannya.
"Nggak kenapa-napa." jawab Retta pelan.
Linzy menoleh pada Shena yang duduk tepat di belakang Retta dan Shena pun hanya mengendikan bahu lantaran dia juga heran dengan sikap temannya itu.
"Ke kantin yuk, Ta?" Ajak Shena. Namun, Retta menggeleng sebagai jawaban.
"Ayolah Ta," rengek Shena. "Gue laper tau!"
"Yuk, Ta!" Linzy ikut membujuk Retta. "Kita ke kantin. Kasian noh Shena."
Sekali lagi, Retta meresponnya dengan gelengan kepala. Sesaat hening melingkupi ketiganya. Kebisingan di luar semakin menjadi-jadi. Di kelas pun kumpulan cewek-cewek masih serius menggosip di dekat bangku guru.
"Lo sedih karena jadwal study tour-nya diundur jadi minggu depan?"
Linzy mempertanyakan hal yang memang menjadi topik permasalahan Retta, yang membuatnya menjadi orang pendiam seperti ini. Retta bukan sedih karena study tour diundur. Dia malah senang. Tapi, dia masih belum siap untuk ke sana. Dia masih takut akan kenangan itu.
Pantai. Satu kata yang mengambarkan kebersamaan dia dan Regha. Kenangan bahagia dan juga sedih pernah mereka alami di sana. Tapi dari satu kata itu Retta tahu bahwa selama ini Regha hanya membohonginya.
"Buat apa gue sedih," gumam Retta pelan. "Yang penting kan tetap ke sana nanti."
Shena mengangguk setuju. "Betul tuh! Yaudah ke kantin yuk."
Retta menghela napas, jadinya. Lagi-lagi ajakkan itu. "Nggak mau ah. Gue lagi males."
"Ih jahat…" Linzy cemberut. "Ayo dong, Ta."
"Iya," Shena juga ikut merengek. "Ayo dong!"
Hembusan napas kesal Retta terdengar. Dia paling tidak tahan dengan rengekkan mereka. Berasa seperti emak-emak yang mengajak anaknya jalan-jalan ke mall.
"Iya, iya!"
***
Pusat perhatian seluruh penghuni kantin teralihkan saat ketiga cowok tampan itu memasuki wilayahnya. Regha, Zion, dan Arven. Pandangan mereka bertiga berputar ke sekeliling kantin.
Ada beberapa perempuan yang tengah bisik-bisik karena kedatangan ketiga orang itu. Ada juga yang terang-terangan menyapa mereka.
Tangan Regha langsung terentang, menghalangi langkah Zion yang ingin mendekati meja Retta bersama Linzy dan juga Shena.
Kepala Zion tertunduk menatap tangan Regha yang berada tepat di depan dadanya. "Kenapa, Gha?"
"Gue nggak mau nyari gara-gara Yon," tukas Regha serius.
"Jadi lo nyerah?" tanya Zion sambil mengangkat kedua alisnya.
"Enggak, bukan gitu." Regha menghela napas, matanya terpusat pada Retta yang sedang tertawa bersama kedua temannya. "Gue nggak mau Retta nggak jadi makan cuma karena kedatangan kita bertiga ke mejanya."
Arven yang berdiri di sebelah kiri Regha, memandang wajah Regha yang terpancar kesedihan. Menepuk bahu Regha, Arven tersenyum. "Mending kita makan di dekat stan bakso aja," usulnya.
"Lo mau traktir kita berdua, Ven?" Zion yang berdiri di kanan Regha, melongokkan kepala sambil tersenyum lebar menatap Arven.
"Kapan gue bilang mau traktir?" Mengernyit heran, Arven memandang Zion.
"Ya kali aja, lo mau traktir kita berdua, ngerayain lo yang diangkat jadi calon ketua osis." Zion semakin tersenyum lebar dengan nada jahil di ucapannya.
Wajah Arven berubah kaku lalu melayangkan tatapan tajam pada Zion. "Lo tahu gue nggak pernah mau posisi itu, Yon! Lagian masih calon belum bener-bener gue yang ke pilih jadi ketua osis."
"Iya, iya." Zion memutar matanya malas ketika mendapat tatapan tajam Arven. "Gue nggak akan bahas itu lagi."
Arven memang paling sensitif jika membahas hal yang tidak disukai. Arven tidak pernah terpikirkan jika dia akan menjadi calon ketua osis—yang otomatis akan menjadi pusat perhatian. Dirinya mendapat Kedudukan itu karena usulan Bu Bety pada kepala sekolah.
Bukan tanpa alasan Bu Bety mengusulkan itu pada kepala sekolah. Kepintaran Arven—yang memang sering diikut sertakan olimpiade antarkabupaten bahkan provinsi, tidak bisa diragukan lagi. Dan karena itu Bu Bety—selaku wali kelas Regha dan Arven, yakin jika Arven akan mendapat jabatan itu.
Saat itu, Regha yang mendengarkan keluhan Arven sebulan yang lalu ingin sekali tertawa. Tapi dia sadar tidak baik menertawakan sahabatnya sendiri. Regha tentu tahu kenapa Arven tidak mau menjabat menjadi ketua osis. Lelaki itu tidak suka menjadi sorotan para perempuan.
Ketiga cowok itu yang akhirnya sudah memutuskan untuk duduk di dekat stan bakso mang Asep. Regha dan Zion masih saja membahas perihal Arven yang sedikit lagi akan menjabat kedudukan sebagai ketua ataupun wakil osis nanti. Tidak peduli pada wajah Arven yang semakin tidak berekspresi.
Namun, semua obrolan ketiga orang itu terhenti, ketika seorang adik kelas perempuannya menghampiri meja mereka dengan membawa sebungkus cokelat di tangannya.
"Ini untuk Kak Regha." Tangan perempuan itu terulur, memberikan cokelat tersebut pada Regha.
Di lain sisi, meja Retta bersama Linzy dan Shena didominasi oleh canda tawa dan obrolan mereka bertiga. Pusat perhatian mereka hanya satu sama lain. Ketiga perempuan itu belum menyadari keadaan yang sudah jadi sorotan orang-orang di kantin.
Namun, mendadak tawa Shena berhenti, matanya menyipit. Dia menyenggol bahu Linzy yang duduk di sebelahnya. "Zi, sepupu lo noh!"
Terpaksa Linzy dan Retta menghentikan tawa dan juga percakapan mereka. Pandangan mereka berdua terlihkan lalu terfokus pada adik kelas yang berani memberikan sebungkus cokelat pada Regha.
Retta tertegun untuk beberapa saat. Regha menerima cokelat itu dengan senyuman yang menampilkan lesung pipinya lalu bergumam 'terima kasih'. Dirinya bisa melihat wajah adik kelasnya yang memerah karena mendapat senyuman dan sikap ramah Regha.
Setelahnya, adik kelas perempuannya melenggang pergi dari meja Regha lalu bergabung dengan meja teman-temannya. Dari raut mukanya, Retta tahu bahwa perempuan itu menceritakan hal tadi pada teman-temannya.
***
Keriuhan di ruangan ekskul fotografi tak dapat dielakkan. Hingga suara dehemen seseorang yang berdiri di ambang pintu melenyapkan suasana yang sangat berisik tersebut.
Tapi sepertinya deheman itu tidak mempan pada kedua orang yang saling mengejar itu. Zion melompat ke satu meja ke meja lain bahkan cowok itu tidak segan untuk berdiri di atas meja, hanya untuk menghindar dari kejaran dan cubitin Linzy.
Lelaki paling menyebalkan dan paling minta digampar mukanya itu selalu bisa membuat Linzy PMS setiap hari. Kesal dia karena Zion mengambil lolipop kesukaannya.
Sekali lagi, deheman itu terdengar tapi kali ini lebih keras yang mengakibatkan Zion dan Linzy menghentikan acara kejar-kejarannya seperti tom and jerry.
Zion menoleh, menyengir lebar saat melihat siapa yang berdiri di dekat pintu. Karena merasa mendapat kesempatan untuk balas dendam, Linzy mengambil lolipop miliknya di tangan Zion dan mencubit Zion yang berdiri diam sambil menunjukan cengiran bodohnya.
Tentu saja perbuatan Linzy mendapat ringisan kesakitan oleh Zion. Cubitan itu kecil tapi sakitnya minta ampun.
Linzy tertawa terbahak-bahak, mengabaikan Zion yang mengaduh kesakitan. Dia berjalan menuju bangkunya duduk di samping Retta yang sejak tadi tidak banyak bicara. Sepertinya mood tuan putri sedang tidak baik.
Atar, orang yang berdehem tadi geleng-geleng kepala melihat Zion yang berjalan tertatih-tatih karena cubitan Linzy di pinggangnya.
"Selamat sore, semuanya!"
"Sore Kak Atar!" Semua anggota membalas serempak.
"Semua anggota pada datang kan?" tanya Atar sambil mengelilingi setiap sudut ruangan.
"Regha sama Farah belum datang, Kak," sahut salah satu anggota yang duduk bersama Zion.
"Mereka kema..."
Atar belum sempat mengeluarkan pertanyaan karena ketukan di pintu. Orang yang sedang dibicarakan ada di sana berdiri berdua, berdampingan.
Retta menatap malas kedua orang itu yang berjalan ke arah bangkunya masing-masing. Regha duduk bersama Arven. Sedangkan Farah duduk tepat di sebelah mejanya bersama dengan teman perempuannya.
"Kalian berdua abis kemana? Pacaran melulu." Atar, ketua pembina ekskul yang memang terkenal dengan mulutnya ceplas-ceplos, membuat Regha tak kaget lagi mendengar pertanyaan itu.
Sedangkan Farah, terlihat salah tingkah. Retta bisa melihat pipi perempuan itu memerah.
"Kita abis nganterian materi ulangan ke ruang guru tadi, Kak. Maaf telat," ucap Regha menjawab pertanyaan Atar.
"Mereka mana mungkin pacaran sih, Kak," celetuk Zion tiba-tiba. "Regha aja belum bisa move on dari mantannya."
Regha menoleh ke belakang lalu memelotot karena Zion yang tertawa terbahak-bahak.
Memang teman paling baik!
Linzy juga ikut tertawa. "Hahahaha... lagian juga Kak Atar, Regha mana mau sama cewek kayak dia."
Ucapan sinis Linzy membuat semua orang bersamaan menoleh kepadanya. Termasuk Retta. Dia tidak percaya Linzy mengatakan kata-kata kasar seperti itu.
"Lo jangan ngomong kayak gitu, Zi!" Retta menyenggol bahu Linzy. Menurut Retta Linzy keterlaluan.
Linzy mengendikan bahunya merespon ucapan Retta. "Biarin."
Farah sama sekali tidak bereaksi apapun. Tampak tak acuh.
"Udah-udah," Suara Atar kembali terdengar menenangkan keadaan yang menjadi tegang seperti ini. "Linzy, Zion, Jangan ngomong kayak gitu! Mungkin kalian malah yang lagi pacaran?"
Kedua orang yang disebutkan, memelotot mendengarnya.
"Enak aja, Kak Atar! Mana mau saya pacaran sama orang badan rata kayak dia!"
Ucapan itu menambah kekesalan Linzy pada Zion. Kalau saja saat ini tidak ada orang, dia yakin tangan Zion sudah biru karena cubitannya.
"Udah-udah kalian berdua berantem terus. Gue cuma mau bilang sama kalian semua untuk bawa kamera saat pergi study tour," ucap Atar.
"Kamera itu kalian gunain untuk motret objek-objek yang ada di sana." lanjut Atar dia membuka makalah yang tergeletak di meja.
"Kalian semua pasti paham maksud gue."
Serempak para anak didiknya mengangguk sebagai jawaban. Semua anak-anak di sana terlihat antusias dan bahagia. Tentu saja pengecualian untuk Regha dan Retta.
"Dan satu lagi," Atar menutup makalah itu dan kembali meletakkan di meja. "Kali ini kelompok lu kan yang ngumpulin tugas, Gha?" tanya Atar memandang Regha.
Regha mengangguk mantap. "Iya, Kak Atar."
"Oke, lu diskusiin sama kelompok lu. Kira-kira tema apa yang mau kalian pake."
Sekali lagi, Regha mengangguk sebagai jawaban.
Diskusi kelompok Retta tercenung. Dirinya kan bagian dari kelompok Regha. Oh... Tuhan jangan bilang hari ini dia harus berdiskusi kelompok bersama Regha?
TBC(12-12-17)
___________
Yahhhh... bukan part study tour XD
Maaf kan aku, part itu nanti ya minggu depan wkwk.
Thank you
Aping🍫
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro