Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R26: Putus Harapan

UNTUK kesekian kalinya, Regha memijat pelipisnya karena keramaian yang membuat otaknya terasa ingin pecah. Kebisingan di Mall sangat menganggu, karena Zion dirinya harus terjebak di sini. Mengikuti cowok itu untuk bermain di Timezone. Zion memang sudah tidak waras!

Zion memaksa dirinya dan Arven untuk mau menemaninya jalan-jalan karena kegabutan cowok itu. Hari sabtu ini Regha benar-benar merasa sial. Lebih sial karena dia punya teman spesies macam Zion.

Di sebelahnya, Arven tampak tenang duduk sambil membaca buku di pangkuan, dia terlihat tidak terganggu sama sekali dengan suasana yang ramai.

"Shit!!" Entah ke berapa kali Regha mendengar Zion yang mengumpat karena permainan yang sedang dia mainkan. Bola yang seharusnya jatuh ke dalam lubang kata bonus. Tetapi seketika meleset dan terjatuh di lubang angka sepuluh.

"Lo emang lagi sial, Yon," ucap Regha semakin merasa pusing karena sifat kekanak-kanakkan Zion. "Udahlah gak usah main permainan itu lagi."

"Ah... berisik lo!" Kesal Zion karena dia mencoba kembali permainan itu, namun lagi-lagi bola itu tidak masuk tepat sasaran. "Argghh... bolanya kenapa sih sama gue. Dendam banget kayaknya."

"Tau ah... Yon, kepala gue pusing denger lo yang marah-marah melulu." Arven mendadak berdiri, menutup buku tebalnya. "Mending gue ke toko buku dibanding ngeliat lo yang makin gila."

Karena ucapan Arven gerakan Zion terhenti saat ingin menggesek kartu di mesin permainan. "Lo berdua nggak seru banget!"

"Kita berdua nggak suka tempat rame kayak gini, Yon," ujar Regha kemudian ikut berdiri dari kursi yang sudah satu jam dia duduki.

Zion menghela napas lelah, dua temannya ini sepertinya memang harus dibiasakan untuk datang ke tempat ramai. Kalau mereka berdua selalu begitu terus, hidupnya tidak akan pernah seru dan monoton.

"Lo berdua harus terbiasa pergi ke tempat rame kayak gini." Tangan Zion merangkul bahu dua sobatnya yang sudah dua tahun berteman dengannya. "Hidup itu harus dibawa enjoy jangan selalu dibawa serius."

"Kayaknya karena permainan itu ngebuat otak lo jadi bener, Yon," ledek Regha terkejut dengan ucapan Zion yang sangat luar biasa bijak tidak seperti biasanya yang cenderung bodoh.

"Zion teguh," ucap Zion dengan bangga melepas rangkulannya lalu menepuk dadanya dengan bangga.

Bersamaan, Arven dan Regha memutar matanya malas kemudian menoyor kepala Zion. Lalu mereka berdua berjalan meninggalkan cowok itu yang termangu.

***

"Lo emang bisa baca buku setebel itu, Ven?"

Zion terperangah dengan Arven yang mengambil tiga buku sekaligus dan yang lebih mencengangkan adalah tebal buku itu hampir sama seperti dua batu bata yang disusun.

"Bisalah, tinggal dibaca aja. Apa susahnya." Arven menanggapi Zion dengan raut datarnya yang biasa lalu kembali menatap buku-buku yang ingin dia beli.

"Maksud gue emang lo nggak pusing baca buku setebal itu?"

Dengan kesal Arven menoleh pada Zion yang tidak henti-henti bertanya. "Kalo lo biasa baca. Lo nggak akan ngerasa pusing."

Zion tertawa karena Arven yang mulai kesal padanya. Memang paling menyenangkan membuat Arven kesal. Lalu Zion mengambil salah satu buku di sana, dan membukanya. Dia geleng-geleng kepala melihat tulisan yang sangat banyak.

Apa enaknya baca buku seperti ini? Lebih seru baca komik.

Namun, tiba-tiba mata Zion terpaku pada seseorang yang sedang berdiri di tempat khusus buku-buku novel. Zion terdiam menatap perempuan itu bersama seorang cowok di sebelahnya.

"Ven!" Zion menyenggol bahu Arven sambil berbisik pelan. "Arven!"

"Apa sih?!" Arven menutup buku yang sempat dia baca dengan kasar. "Lo ganggu tau nggak?!"

"Marah-marah melulu, lo!" Gantian sekarang Zion yang membentak. "Lo liat perempuan itu." Tunjuk Zion yang lantas membuat Arven melihat titik yang di tunjuk Zion. "Itu Retta kan?"

Mata Arven menyipit melihat perempuan dari kejauhan dan tak berapa lama pupil matanya melebar. Itu Retta bersama Ragel! Arven mengalih pandangannya pada Regha yang agak jauh jarak darinya.

Cowok itu tengah berdiri santai sambil bersandar bersama dengan buku yang dia pegang.

"Gimana nih?" tanya Zion berbisik. "Kalo Regha sampe liat, habis udah."

"Lo udah selesai nyari bukunya, Ven?"

Arven dan Zion tersentak. Regha menarik diri dari sandaran di tembok lalu berjalan mendekat. Buru-buru Zion meletakkan buku tadi, berjalan mendekati Regha sebelum dia sampai di samping Arven.

"Udah, Gha," jawab Arven dengan perasaan was-was dan dengan cepat menghampiri Regha. "Mending langsung ke kasir. Dan sekalian ke tempat makan, Zion udah laper katanya."

Zion mendelik pada Arven. Kapan dirinya mengatakan kalau dia sedang lapar?

"Oh... yaudah." Regha menggangguk lalu memutar tubuhnya menuju kasir. Arven dan Zion menghembuskan napasnya lega.

***

"Tumben lo ngajak gue makan di luar Mall, Yon?"

Pertanyaan Regha dengan pandangan heran membuat Zion meneguk ludah susah payah. Kenapa posisinya yang paling terintimidasi di sini? Beda sekali dengan Arven yang terlihat cuek-cuek saja.

"Gue lagi nggak pengen makan di sana, Gha. Lebih nyantai nongkrong di café kayak gini," jawab Zion seadanya, mata Regha masih menyipit tidak percaya tetapi akhirnya hanya mengendikan bahu.

Untuk menghindari Regha melihat Retta, Zion mengusulkan untuk pergi ke tempat makan. Tetapi bukan tempat makan yang berada di kawasan Mall, tempat makan yang dipilih Zion berada tepat di luar, berada di seberang jalan depan Mall.

Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga agar Regha tidak melihat Retta yang jalan bersama Ragel di hari sabtu yang indah ini.

"Lagian juga kita udah lama nggak nongkrong di café," kata Arven sambil menutup buku yang dia baca, menghindari tatapan heran Regha yang sejak tadi tidak pernah lepas karena rasa penasaran.

"Oh iya, Gha... lo udah lama nggak ngajak kita berdua ke café nyokap lo," ucap Zion sambil menyuap spaghetti ke mulutnya.

"Nanti kapan-kapan gue ajak ke sana," respon Regha. Dia menyesap coffe latte miliknya. Namun, pandangannya jatuh pada seseorang yang sedang duduk sendirian di pojok dekat jendela.

Regha menyipit melihat perempuan itu. "Retta?"

"Hah?" Zion terkejut. "Lo bilang apaan, Gha?"

"Itu Retta kan?" ucap Regha lalu tanpa sadar berdiri dari kursi.

Arven menengok ke belakang, seketika matanya terbelalak melihat keberadaan Retta yang tak jauh dari mejanya. Dia menginjak kaki Zion memberi kode untuk menoleh ke belakang juga.

"Tapi nggak usah nginjak kaki gue juga," desis Zion tanpa suara. "Santai aja, Gha. Emangnya kenapa kalo ada Retta?" tanya Zion menyikapi dengan santai meski dia merasa was-was.

"Dia sendirian?" kata Regha heran kemudian kembali duduk, matanya tak lepas memandang Retta yang hanya diam sambil meneguk ice chocolate kesukaannya.

Samar-samar Arven, mengernyitkan dahi heran karena kesendirian Retta. Bukankah dia bersama Ragel. Tetapi kemana cowok itu?

Arven berusaha tak peduli dan kembali membuka buku yang dia bawa.

"Ragel." Regha mendesis menyebut nama itu dengan emosi yang tertahan.

Lantas Arven menutup bukunya kembali. Dan lagi-lagi menoleh ke belakang, terkejut melihat Ragel yang tiba-tiba sudah duduk di depan Retta.

Regha berdiri, Zion ikut berdiri lalu menahan bahu Regha saat melihat dia sudah ada ditingkat ingin menonjok siapapun. "Lo nggak bisa emosi di sini, Gha. Ini tempat umum," kata Zion memberitahu.

"Minggu kemarin gue udah tahan emosi ngeliat dia nganterin Retta. Tapi sekarang nggak lagi!" Regha melepas tangan Zion di bahunya lalu melangkah namun terhalangi oleh tubuh Arven yang mendadak berdiri.

"Gini, Gha... kalo lo berantem di sini sama Ragel. Gue yakin Retta nggak akan bisa maafin lo dan makin benci sama lo."

Ucapan Arven berhasil membuat Regha termangu diam, mengolah kata-kata itu dalam pikiran. Setelahnya, dia menghela napas membalas tatapan Arven. "Tapi gue nggak bisa ngeliat dia sama cowok lain."

"Gue tau," Arven mengangguk, mengerti perasaan Regha. "Lo masih sayang sama dia. Nggak suka ngeliat dia sama cowok lain. Tapi lo nggak bisa asal nonjok cowok yang jalan sama dia, itu malah makin ngebuat Retta nggak akan bisa maafin lo."

Regha tersenyum sehabis mencerna ucapan Arven. "Gue paham, Ven." Regha menepuk pundak. "Thanks udah ngingetin."

Mengangguk sambil tersenyum Arven kembali duduk. Regha masih berdiri diam saat melihat Retta yang meminta izin untuk ke toilet pada Ragel. Sesaat senyum pahit Regha muncul melihat kepergian Retta, lalu sebuah ide terlintas dipikirannya.

"Gue ke toilet dulu," pamit Regha pada kedua temannya.

***

Retta keluar pintu toilet lalu mendekati wastafel di dalam toilet untuk mencuci tangan. Tengah serius dengan tangannya yang dibasuh air keran, tatapan Retta teralihkan pada sebuah kertas yang sedikit basah karena terkena air.

Namun, meskipun begitu tulisan itu masih sangat terlihat jelas.

Apa gue nggak boleh berharap kalo lo bisa kembali ke gue, TaBisa maafin gue? -AR

Retta terdiam membaca pesan itu. AR.

Regha?

Regha ada di sini?

TBC(18-11-2017)
       Aping

__________

Maaf ya seharusnya kemarin hari kamis aku update tapi karena tugas sekolah aku numpuk banget jadi waktu aku untuk nulis nggak ada

Dan baru bisa update sekarang itu juga tadi malam aku ngebut nulisnya :)

Maaf sekali lagi, semoga part ini nggak aneh wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro