Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R25: Farah?

UPACARA, satu kata yang membuat hari senin yang cerah harus terlihat suram karena berlangsungnya kegiatan itu. Satu kegiatan yang paling malas untuk dilakukan, karena menguras kesabaran, kelelahan berdiri, dan juga keringat yang bercucuran tak henti.

Apalagi sang topi yang selalu dicari keberadaannya. Contohnya sekarang kelas Retta sedang ricuh dengan anak-anak yang kehilangan topinya, ataupun kelupaan bawa seperti yang pernah Retta lakukan dulu.

"Woi, liat topi gue di kolong meja nggak?!"

"Njir topi gue kok nggak ada sih."

"Ini kenapa topi gue jelek banget?! Ada yang tuker nih pasti?!"

"Ehh... ada yang punya gesper dua nggak?! Gesper gue udah nggak muat masa!"

"Makanya pinggang jangan dilebarin kayak lapangan."

Memasang topinya di kepala, Retta menggeleng frustasi dengan kebisingan kelasnya. Kelasnya benar-benar sudah seperti pasar yang penuh dengan diskonan belanja.

"Lo bawa topi, Ta?" Mendadak Zion berdiri di depannya sambil bertanya.

"Emang kenapa?" tanya Retta balik dengan ketus.

"Biasanya lo suka lupa bawa topi," bisik Zion. "Dan dengan baiknya Regha bakal minjemin topi ke lo. Benarkan?"

Kata-kata terakhir itu berhasil membuat Retta melayangkan tatapan tajamnya pada Zion dan bukannya merasa bersalah atau takut Zion malah tertawa terbahak.

Cowok gila!

Ingin sekali rasanya Retta mencakar wajah Zion karena kesal. Tapi Retta berusaha meredam emosinya, lalu tangannya menarik tangan Linzy dan Shena keluar kelas menuju lapangan bersiap untuk upacara. Lebih baik menghindari sikap cowok menyebalkan seperti Zion.

***

Walaupun sudah dilindungi topi, tetap saja Retta merasa sinar mentari pagi bisa menembus masuk ke dalam kulit kepalanya. Keringat sudah memenuhi setiap inci dahinya. Dia sudah lelah berdiri di sini.

Linzy orang yang berdiri di depannya. Tidak henti-hentinya mengibaskan tangan ke wajah seolah saat dia melakukan itu rasa gerah dan juga panas bisa hilang begitu saja.

"Panas banget." Oke Retta sudah menghitung sepuluh kali Linzy mengucapkan kata itu. Linzy terus menggerutu kepanasan. Memangnya hanya dia yang kepanasan, semua orang yang berdiri di sini juga mengalami itu. Dasar Linzy.

Kapan amanatnya selesai? Retta bertanya dongkol dalam hati. Perkataan-perkataan yang keluar dari mulut Pak Tomo sama sekali tidak masuk ke gendang telinganya.

Merasa lelah, Retta menoleh ke samping kanannya. Barisan untuk perempuan kelas XI-IPA2. Matanya sontak melebar melihat orang yang berdiri tepat di sampingnya.

Perempuan itu?! Perempuan yang memberikan botol minuman pada Regha saat di lapangan. Perempuan yang duduk menunggu Regha bermain basket. Mendadak rasa panas bergumul di hatinya saat mengingat itu.

Berusaha tak peduli, Retta kembali fokus pada Pak Tomo yang masih saja belum selesai berbicara. Namun yang tak di sangkanya, perempuan itu limbung lalu terjatuh tepat di depan Retta membuatnya melangkah mundur dan memekik kaget.

Barisan itu jadi kacau, teman-teman kelasnya mengerubunginya. Retta terpaku diam menatapnya. Guru-guru yang berdiri di belakang, menyuruh kerumunan itu untuk kembali ke barisan.

Retta masih terpaku, sampai suara guru terdengar menyuruh seseorang membawa perempuan ini ke UKS. Retta masih berdiri kaku. Tetapi mendadak kepala Retta mendongak saat seorang lelaki muncul di depannya, lalu berjongkok di depan perempuan itu.

Seruan para perempuan terdengar saat lelaki itu meraih lekukan kaki dan juga kepala bagian belakang sang perempuan. Retta semakin dibuat bergeming berdiri di sini karena lelaki itu adalah Regha.

Regha mengangkatnya, mengangkat perempuan itu tepat di depan Retta!

Kepala gadis itu bersandar di dada Regha. Retta membisu melihatnya.

Mata hitam itu membalas menatap mata cokelatnya. Dua orang itu sama-sama terdiam, menatap kedalaman mata masing-masing.

Hingga Regha memilih pergi membawa perempuan itu, meninggalkan Retta yang terdiam bisu dengan rasa sesak yang datang menghampirinya.

"Alahh... itu mah modusnya Farah aja supaya digendong, Regha."

"Iya, pake pura-pura pingsan segala."

"Dasar cewek kegatelan mana ada setiap upacara selalu pingsan."

Cibiran dan kata-kata ketus dari para perempuan yang menatap kepergian Regha sambil menggotong wanita itu sendirian membuat Retta mengetahui namanya. Farah, nama perempun yang terjatuh pingsan tadi.

Dan juga dari cibiran itu Retta tahu bahwa bukan kali ini saja Regha menggendong Farah yang terjatuh pingsan.

Tangan Retta mengerat genggaman di roknya. Dadanya semakin sesak oleh rasa yang sangat Retta benci. Memangnya kenapa kalau Regha menggendong wanita itu? Kenapa dia harus kesal? Memangnya dirinya siapanya Regha? Retta hanya masa lalu Regha.

"Bisa banget modusnya ya, Farah."

Lagi-lagi Retta mendengar cibiran itu tapi yang membuatnya terkejut adalah karena Linzy yang mengucapkan kata-kata itu sambil bertepuk tangan.

"Kok lo ngomong gitu sih, Zi?" Retta mengernyit heran walaupun dia merasa sesak melihat Regha yang menggotong Farah tapi dia tidak suka dengan cibir-cibiran yang seakan mengatakan Farah hanya pura-pura terjatuh pingsan tadi.

"Emang itu kenyataannya." Linzy menoleh pada Retta yang berdiri di belakangnya. "Mana ada sih, Ta? Orang yang selalu pingsan saat upacara? Itu cuma akal-akalan dia."

"Tapi nggak seharusnya lo ngomong kayak gitu," ucap Retta menatap Linzy serius.

"Tapi emang bener kok, Ta." Shena ikut menimbrung dalam obrolan. "Dia selalu pingsan saat upacara dan selalu Regha yang gendong. Kan itu aneh."

Selalu Regha yang gendong? Kembali termenung, Retta diam dengan kebingungan.

***

Berdiri diam, di depan pintu UKS. Retta ragu untuk masuk ke dalam karena takut jika Regha ada di sana, menunggu perempuan itu. Kalau saja bukan karena Linzy yang sedang menahan pusing di kelas. Retta tidak akan mau ke sini.

Mendadak, tadi sehabis upacara Linzy mengeluh sakit kepala. Dan karena tidak tega Retta menawarkan untuk mengambil obat pusing di UKS. Dan karena sifat sok pahlawannya itu, membuat Retta terjebak ke dalam masalahnya sendiri.

Dengan perlahan, Retta memutar kenop pintu UKS lalu mendorongnya pelan. Seketika Retta langsung terpaku memandang Regha yang duduk di samping ranjang, tempat wanita yang bernama Farah berbaring.

Mungkin mendengar pintu yang dibuka membuat kepala Regha mendongak, bertemu dengan wajah kakunya. Berusaha terlihat biasa saja, Retta mengabaikan tatapan Regha. Mengatur detak jantungnya yang berdetak di luar kendali.

Rasa pahit itu menyelinap masuk tanpa izin saat perkiraan Retta ternyata benar, Regha menunggu perempuan itu. Memangnya Farah itu siapa? Kenapa Regha harus susah payah mengangkat lalu menemaninya?

Memejamkan mata, Retta membuang pertanyaan-pertanyaan tak penting itu dari pikiran. Dan lebih fokus mencari obat di laci yang terletak di pojok ruangan.

"Lo nyari apa?" Suara Regha yang tepat berada di belakangnya menghentikan kegiatan Retta menggeledah laci itu.

"Nyari obat," jawab Retta singkat dan kembali fokus pada hal yang dilakukannya dan berusaha melupakan keberadaan Regha yang berdiri di belakangnya.

"Lo sakit?" tanya Regha dengan sepercik nada khawatir di suaranya.

"Nggak," Retta menggeleng. "Linzy yang sakit."

"Mau gue bantuin?"

Tawaran Regha langsung dijawab gelengan kepala oleh Retta. "Nggak usah."

Retta masih saja tidak menoleh pada Regha di belakangnya, dia terus mencari obat namun tak kunjung dia temukan. "PMR-nya pada kemana? Seharusnya kan ada yang jaga di UKS?"

Sebenarnya sudah sejak tadi, Retta ingin mempertanyakan ini, tapi entah kenapa selalu sulit saat dirinya mencoba bersikap biasa saja dengan Regha.

"Gue suruh mereka pergi."

Kontan jawaban itu sukses membuat Retta memutar tubuhnya menghadap Regha. Terperangah dengan jawaban itu. "Apa?"

"Gue nyuruh mereka pergi," ulang Regha.

Retta terdiam selama beberapa detik. Namun, saat sebuah jawaban melintas di pikirannya, senyum sinis itu terukir. "Lo nyuruh petugas PMR pergi, supaya lo bisa berduaan sama cewek itu kan?"

Sekarang giliran Regha yang terperangah dengan kesimpulan Retta. "Gue nggak pernah punya niat..."

"Nggak usah bohonglah, Gha." Retta tertawa sinis. "Dia siapa lo? Pacar baru lo?"

"Dia bukan siapa-siapa gue," jawab Regha dengan raut datar.

Nada datar Regha diabaikan Retta dia kembali memutar tubuhnya mencari obat itu. Saat sudah menemukan obatnya di laci kedua, Retta mengambilnya dan berniat pergi.

Namun, lengannya di tahan Regha. Membuatnya terpaksa kembali menoleh pada cowok itu.

"Ada hubungan apa lo sama Ragel?"

Pertanyaan itu membuat kening Retta mengerut. "Itu bukan urusan lo."

"Itu emang bukan urusan gue. Tapi..."

"Tapi apa?" potong Retta cepat. "Di antara kita udah nggak ada hubungan apa-apa, Gha. Jadi gue bebas berteman sama siapa aja dan juga cowok manapun."

Retta sudah hampir berniat melepas tangan Regha yang menahannya. Tapi Regha sudah lebih dulu melepasnya karena menyadari Farah yang tersadar.

Retta membisu, menatap Regha yang membantu perempuan itu bersandar lalu memberikan segelas teh manis yang tergeletak di nakas.

"Lo udah merasa baikkan?"

Pertanyaan Regha membuat perempuan itu tersenyum. "Masih sedikit pusing. Tapi gue udah nggak pa-pa, kok."

"Istirahat di sini dulu aja, nggak usah ikut belajar kalo lo masih pusing."

Retta terdiam melihat interaksi kedua orang itu. Seperti ada sesuatu yang membakar dirinya karena rasa sesak yang memenuhi setiap sudut rongga dadanya.

Sepenting itukah wanita itu sampai Regha terlihat khawatir padanya?

Retta jadi merasa seperti kambing di sini?

Dengan perasaan panas yang menjalari, Retta melangkah pergi lalu membanting pintu UKS dengan keras.

TBC(14-11-17)
     Aping

_____________

Maaf kalo part ini gak jelas
Semoga suka :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro