R-R23: De Javu
JADI pusat perhatian setiap hari sepertinya membuat Retta kebal dengan tatapan, bahkan cibiran orang-orang padanya. Setiap kali Regha datang ke kelas lalu mengajaknya ke kantin dan juga merangkul pundaknya pasti semua orang—padahal punya kesibukan masing-masing—tetap menoleh ke arah mereka berdua.
Retta masih bingung dengan para perempuan itu. Kenapa mereka ingin sekali mengetahui apapun yang Regha lakukan? Apakah mereka tidak punya kehidupan sendiri? Retta menggerutu kesal dalam hati.
"Retta!" Seruan itu membuat Retta melupakan rasa kesalnya lalu mendongak. Ternyata Regha. Cowok itu berjalan mendekati Retta yang sedang duduk di pinggir lapangan menunggu Regha yang tengah bermain bola basket.
"Kenapa?" tanya Regha setelah duduk di sebelah Retta.
"Nggak apa-apa," jawab Retta, tetapi matanya berkeliling memandang orang-orang yang memperhatikannya. Padahal hubungannya dengan Regha itu sudah sebulan, tetapi kenapa mereka masih menganggap kedekatannya dengan Regha seolah terasa asing?
"Nggak usah dipeduliin tatapan mereka." Retta menoleh kembali pada Regha. Oh ... ternyata cowok ini juga ikut memperhatikan.
"Nih," Retta mengambil botol minum lalu memberikannya pada Regha. Hal ini sudah biasa selama sebulan hubungan mereka. Retta yang akan selalu menunggu Regha latihan basket lalu pulang bersama menuju café untuk belajar bersama.
"Thanks," gumam Regha lalu mengacak rambut Retta yang lantas membuat Retta melotot.
"Gue nggak suka kalo lo ngacak-ngacak rambut gue, berantakkan tau." Retta mencebik kesal.
Regha hanya terkekeh pelan lalu mengangkat bahu tak acuh, seolah dia tak peduli dengan perbuatannya tadi. Dia meneguk botol pemberian Retta, melirik sedikit Retta yang hanya diam. Ide jahil terlintas dipikiran Regha, tangannya bergerak mencubit pipi Retta.
***
"Retta."
Panggilan itu membuat seluruh lamunan Retta buyar seketika. Dia menoleh ke sebelah. Linzy, perempuan itu yang memanggilnya. "Kenapa?"
"Kenapa, lo bilang! Dari tadi gue manggil lo. Tapi lo nggak denger," gerutu Linzy kesal. "Lo ngelamun ya?" tanya Linzy dengan pandangan menyelidik.
"Nggak." Jawab Retta tenang.
"Ngeles aja."
Retta melotot mendengarnya.
"Shena dari tadi manggil lo juga tuh, dia minta anterin ke toilet," ucap Linzy sambil mencatat tugas yang berada di papan tulis.
Seperti biasa, setelah memberikan tugasnya guru pasti akan langsung keluar kelas, dia hanya duduk manis di ruang guru, menunggu salah satu anak mengantarkan tugas-tugas dari teman kelasnya. Menyebalkan. Linzy jadi kesal sendiri.
"Lo jadi ke toilet, Shen?" Retta menoleh ke belakang tempat duduk Shena. Orang kedua yang dekat dengan Retta setelah Linzy.
"Iya, anterin yuk!" Shena mengangguk. "Tadi gue minta anterin sama Linzy, tapi dia bilang lagi mager."
Orang yang disebutkan hanya terkekeh tidak jelas.
"Linzy mah emang selalu males." cetus Retta kesal membuat Linzy mendengus. "Ya udah yuk gue anterin." Retta berdiri, Shena pun. Mereka berjalan keluar kelas.
Jam pelajaran masih berlangsung, membuat sepanjang koridor menuju toilet sepi. Jarak toilet agak jauh dari kelasnya harus berjalan melewati lapangan outdoor.
Mereka berdua berjalan sambil mengobrol. Mengobrol ke hal yang sebenarnya tidak penting. Sudah seminggu Retta bersekolah di sini, dan dia merasa senang karena sudah mendapatkan dua teman yang mengerti dirinya yang memang sukar untuk bergaul.
Awalnya Retta tidak mengenal Shena tapi karena Linzy memperkenalkan Shena pada dirinya, dan juga Linzy yang sudah berteman dekat dengan Shena, membuat dia jadi ikut-ikutan dekat dengan perempuan berambut pendek itu.
Kaki Retta mendadak berhenti, dia dan Shena sudah berjalan di pinggir lapangan untuk ke toilet yang berada di ujung. Tetapi mata Retta terpaku pada suatu hal dan merasa De javu. Di depannya ada Regha yang menerima sebuah botol minum dari seorang perempuan yang duduk di pinggir lapangan. Regha tersenyum sambil mengambil botol minum itu.
Kejadian itu mengingatkan Retta pada hal yang tadi sempat dia lamunkan sebelum Linzy membuyarkan lamunan itu. Kejadian itu persis seperti masa lalunya bersama Regha tapi bedanya perempuan itu bukan Retta, senyum itu bukan untuk Retta.
Dipejamkan matanya, Retta berusaha menghilangkan rasa sakit yang seharusnya sudah tidak ada.
"Ta," Shena menepuk pundaknya, sedikit membuat Retta menghilangkan rasa itu. "Kok lo malah diem sih?"
Retta hanya menggeleng dan meneruskan jalannya. Dia tak mempedulikan tatapan bingung Shena terhadapnya.
Di tengah jalan, Retta kembali menoleh ke lapangan lalu kedua matanya melotot. Untuk kedua kalinya Retta merasa De javu karena sebuah bola melambung tinggi ke arahnya. Refleks, Retta menutup wajah dengan menyilangkan kedua tangan. Dia mencoba menghalau bola yang akan terkena wajahnya.
Menunggu, Retta terus menunggu bola itu tetapi nyatanya tidak ada yang menimpa wajahnya. Dengan gerakan cepat Retta menurunkan tangan, dan terperangah karena seorang cowok berdiri di depannya menangkap bola itu.
"Lo nggak apa-apa?" Dia bertanya sambil tersenyum pada Retta.
"Nggak apa-apa," jawab Retta dengan nada sedikit kikuk, dia masih dibawa alam terkejut jadi bingung harus merespon apa.
Lelaki berambut agak kecokelatan itu melempar bola pada Regha. "Bilangin temen lo, Gha. Kalo ngelempar bola hati-hati."
Regha menangkap bola itu dengan tangkas, tetapi matanya terpekur pada Retta yang menunduk terlihat tidak mau membalas tatapannya.
Retta mendongak saat cowok di depannya mendadak mengulurkan tangan. "Ragel."
Sedikit ada keraguan di diri Retta saat ingin membalas uluran tangan itu, karena dari sudut matanya Retta bisa melihat Regha tengah serius memperhatikannya apalagi di tambah tatapan tajamnya yang seakan menusuk Retta.
Masih dengan ragu Retta membalas tangan itu. "Retta."
Perkenalan itu hanya singkat karena Shena langsung menarik tangannya karena sudah tidak tahan lagi ingin ke toilet.
***
"Tumben nggak ke kantin?"
Retta yang tengah serius membaca novel seketika tersentak karena suara dan kehadiran Zion yang tiba-tiba, dengan tidak sopannya cowok itu duduk di mejanya.
"Lagi males," jawab Retta tak acuh. Dia kembali mencoba fokus terhadap barisan paragraf dalam buku.
"Judes banget, Mbak," komentar Zion diselingi kekehan tidak jelasnya. "Jangan galak-galak, Ta. Nanti nggak ada cowok yang naksir loh."
"Apa peduli lo?" Nada datar dari suara Retta malah semakin membuat Zion tersenyum lebar.
"Bener ya kata Regha, lo galak-galak ngegemesin," ucap Zion dengan sinar jahil di bola matanya.
Terpaksa, Retta menutup buku novel bertemakan percintaan remaja, lalu mendongak menatap dongkol cowok yang duduk di depannya. "Mau lo apa sih?!"
Jelas-jelas, Retta sedang menahan kekesalannya pada Zion yang terlihat sengaja ingin memancing kemarahannya. Sifat cowok ini hampir mirip dengan Regha dulu yang menyebalkan.
"Gue nggak mau apa-apa." Zion menanggapinya dengan santai, dia malah menaikkan kaki sebelah kiri yang menggantung di atas meja. Semakin membuat Retta dongkol setengah mati karena ketidaksopanannya.
"Lo nggak di ajarin sopan santun sama orang tua loh ya?!" Cukup sudah Retta tidak bisa mencoba bersikap sabar di depan cowok ini. Benar kata Linzy, Zion lebih menyebalkan dari siapapun di kelasnya.
"Eum ... gue diajarin nggak ya?" Zion malah bergumam seolah tengah berpikir dengan wajah bodoh. Ingin sekali rasanya Retta memukul kepala lelaki itu dengan novel tebal yang berada di genggamannya.
"Mending lo pergi deh!" Berseru kesal, Retta melotot marah pada Zion yang tersenyum lebar dengan perkataannya.
"Kan gue udah bilang, Ta. Jangan galak-galak, lo malah tambah imut." Zion semakin tersenyum lebar, wajah Retta sudah semakin merah karena menahan kegeraman di hatinya.
Sabar Retta ... sabar ... sabar Retta.
Retta menggumam kata-kata itu dalam hati mengontrol kemarahan yang ingin sekali meledak sekarang. Menghela napas, Retta menatap tak peduli Zion dan kembali membuka buku novelnya.
Zion yang kembali tak diacuhkan oleh Retta mengangkat kedua alisnya bingung dengan sikap Retta yang bisa cepat mengendalikan emosi.
"Lo beneran males ke kantin?"
Retta hanya mengangguk.
"Atau karena nggak mau ketemu Regha?"
Lantas pertanyaan itu membuat Zion mendapat tatapan tajam Retta.
"Zion!"
Seruan itu membuat kedua insan yang memiliki kepribadian berbeda itu menoleh. Retta sedikit tersentak karena yang memanggil Zion ternyata adalah Regha. Dengan cepat Retta mengalihkan pandangannya kembali ke buku.
"Woi, Gha." Zion balas berseru lalu bangun berdiri dari mejanya, sebelum cowok itu melangkah bergabung dengan Regha dan Arven, Zion sempat berbisik di telinga Retta.
"Satu hal yang harus lo tau, Regha masih sayang sama lo."
Perkataan Zion berhasil membuat Retta membisu, terdiam cukup lama.
Kemudian Retta menoleh lagi pada Regha yang berdiri di ambang pintu, dan lelaki itu hanya menatap datar dirinya. Tapi dia tahu ada kemarahan yang terlihat jelas di bola mata hitam itu.
TBC(09-11-17)
APING
_______
Asikkk akhirnya Ragel nongol juga😋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro