Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R20: Canggung

"KAK Retta mau cokelat?"

Retta yang tengah serius memandang MC yang sedang membawakan acara di atas panggung, beralih menatap Emilly yang duduk di sebelahnya.

"Cokelat?" Dahi Retta mengerut.

Emilly mengangguk, mata bulatnya terlihat lucu, kedua sudut Retta jadi terangkat. Tangan gadis kecil itu mengulurkan sebungkus cokelat yang berbentuk bulat bewarna gold.

"Kakak mau gak?" Emilly mengulang pertanyaannya.

"Mau dong! Siapa yang nggak mau cokelat." Retta menerima cokelat itu dengan senang, nada suaranya mengikuti keceriaan Emilly saat bertemu dengannya tadi.

Emilly tersenyum semakin lebar, menampilkan sederet gigi susu putihnya. "Kak Retta suka cokelat?"

Menganggukan kepala, sebagai jawaban. Retta mencubit pipi Emilly karena gemas. Ekspresi yang ditunjukkan Emilly membuatnya tidak tahan untuk menjawil pipi anak kecil itu.

"Bang Ega juga suka banget sama cokelat." Emilly memberitahu dengan nada riang yang biasa, lalu dia menoleh pada abangnya yang duduk di sebelahnya. "Iya, kan Bang Ega?"

Regha tersentak lalu mengangguk kaku. Sebenarnya sejak tadi dia tidak lepas memandang interaksi antara Retta dan adiknya. Memerhatikan bagaimana wanita itu tersenyum, tertawa mendengar suara Emilly yang terkadang suka cadel.

Regha berusaha mati-matian untuk memasang wajah biasa saja, tidak terpengaruh dengan senyuman Retta. Padahal dulu senyum itu selalu muncul hanya karenanya. Dan mata itu selalu menyipit saat tertawa bersamanya. Tapi kini, semuanya pun tahu hal itu telah berubah.

"Kalo Milly suka cokelat?" Suara Retta kembali terdengar bertanya pada Emilly.

Emilly mengangguk sangat semangat. "Iya! Tapi Milly lebih suka cokelat putih."

Gadis kecil itu kembali menyengir, Retta terdiam beberapa saat lalu mendongak. Matanya langsung bertemu dengan mata hitam pekat milik Regha. Tak butuh waktu lama Retta langsung mengalihkan pandangannya pada hal lain.

Dia sudah tidak terkejut dengan Regha yang menyukai cokelat. Karena memang Retta sudah mengetahui itu.

Masih dengan ingatan yang tertanam di kepala, Retta masih sangat ingat kenangan saat mereka berdua suka membeli cokelat bersama lalu bertengkar memperebutkan cokelat itu, yang akhirnya selalu dimenangkan oleh Retta. Tetapi ujung-ujungnya, Retta akan memberikan sebagian cokelat itu pada Regha.

Kenangan itu sangat manis seperti cokelat yang Retta suka. Namun, terkadang ada cokelat yang manis awalnya dan terasa pahit akhirnya. Mungkin itu penggambaran yang sangat pas untuk kenangan dirinya dan Regha.

***

Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 10 malam dan pesta itu belum selesai. Ingin sekali Retta pulang ke rumah, berbaring di kasur empuknya lalu tidur. Rasa kantuk itu tidak bisa di kendalikan lagi, Retta benar-benar tidak kuat di sini. Dia ingin pulang dan tidur.

Tapi Retta tidak enak jika meminta pulang pada ayahnya, karena ini adalah pesta perusahaan rekan bisnis ayah. Itu sangat memalukan jika Retta mengajak ayah pulang lebih awal dibandingkan rekan bisnis yang lain.

Lagipula sekarang ayahnya tengah mengobrol dengan ayah Regha. Membicarakan hal-hal yang Retta tidak mengerti.

"Milly ngantuk mama, mau pulang!"

Terdengar suara Emilly yang merengek pada mamanya. Gadis kecil itu telah turun dari kursi di sebelah Retta, berjalan mendekati kursi mamanya yang ada di sebelah Regha.

Tante Seli, mama Regha mendudukkan anaknya di pangkuan. "Tadi kamu ditawarin pulang bareng mbak Nina, nggak mau."

Pengasuh Emilly lebih dulu pulang karena harus membereskan beberapa mainan Emilly yang masih berantakan di ruang bermain gadis kecil itu.

"Tadi kan Milly lagi ngoblol sama kak Retta."

"Ngobrol, Milly." Regha membenarkan ucapan adiknya yang terkadang suka cadel.

Emilly menatap kesal Regha, sedangkan orang yang ditatap kesal tak acuh.

Emilly yang memang sebenarnya sudah waktunya jam tidur, semakin terus merengek meminta pulang.

"Berhenti dong sayang nangisnya," ucap mama Regha menenangkan. "Yaudah Milly pulang sama Bang Ega. Nanti Milly bobok ditemenin Mbak Nina dulu ya."

Emilly mengangguk, menyetujui.

"Yaudah Regha. Bawa adik kamu pulang." Perintah Seli pada anaknya.

Menuruti perintah mamanya, Regha berjalan mendekati Emilly menggandeng tangan gadis kecil itu, Emilly melepaskan gandengan, dan malah merentangkan tangannya.

Regha mengerti apa maksudnya. "Nggak. Kamu berat."

Emilly cemberut, bersiap untuk menangis kembali. Regha menghembuskan napasnya kasar lalu berjongkok membelakangi Emilly. Dan anak kecil itu pun langsung memeluk leher Regha dari belakang.

Retta tersenyum tipis melihat kejadian itu.

"Kamu juga mau ikut pulang, Retta?"

Seketika Retta tersadar. "Ehh ... apa Tante?"

Seli tersenyum, sorot mata teduh yang mengingatkan Retta pada ibunya. "Kamu mau pulang? Sekalian aja sama Regha, nanti dia nganterin kamu pulang ke rumah kamu."

"Eum ... nggak usah, Tante?" Retta menolak halus.

"Nggak papa, sayang." Seli semakin lembut menatap Retta. "Tante tau kamu juga udah keliatan capek."

Retta kebingungan menatap ayahnya lalu tante Seli bergantian. Jelas-jelas Retta tau apa yang akan terjadi jika dia bersama Regha dalam satu mobil, terasa sangat canggung.

"Nggak papa kan Nak Regha kalau mengantar Retta pulang?"

Sesaat Regha terdiam, mendengar pertanyaan Fahmi, ayah Retta. Tak lama dia tersenyum. "Nggak papa Om, lagian kan dulu saya sering jemput Retta."

Kata-kata terakhir Regha sontak membuat Retta menoleh pada cowok itu, tapi yang dia dapati Regha yang sedang tersenyum tipis--sangat tipis.

***

Tidak ada percakapan, obrolan maupun hal lain yang dilakukan, menciptakan keheningan yang menyesakkan.

Retta diam, memilih menatap luar jendela. Melihat gelapnya jalan yang diterangi lampu jalan yang berjejer. Sedangkan pihak sebelahnya, mengatup bibirnya rapat-rapat, mencengkram setir dengan erat.

Mengendalikan diri, jantung Regha berdetak tak terkendali. Semua penjelasan yang ingin Regha jelaskan tertahan di tenggorokan. Membekukan suasana yang tak mengenakkan.

"Dua tahun lalu." Akhirnya kata-kata itu meluncur dari mulutnya.

Regha menoleh pada Retta dan ternyata perempuan itu juga balas menatapnya. "Nggak usah bahas itu, Gha."

Mata hitam itu berkilat menatap Retta yang memalingkan muka, penjelasan yang ingin dijelaskan kembali tertahan. Regha yakin dirinya tidak akan fokus mengemudi jika seperti ini, lebih baik berhenti.

Dia memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, membuat Retta kebingungan. "Kenapa berhenti?"

"Gue nyesel, Ta," ujar Regha jujur. Sungguh Regha tidak bisa terus-menerus menganggap asing perempuan itu.

Cukup lama terdiam, Retta tersenyum. Bukan! Bukan senyum yang biasa dia tujukan pada Regha. Senyum sinis itu berhasil membuat Regha terpaku.

"Nyesel?" Retta tertawa hambar. "Lo nyesel karena nggak bisa permaluin gue depan temen lo. Gitu kan?"

Regha menggeleng cepat, tak percaya jika perempuan itu mengira dia akan mempermalukannya depan teman-temannya. "Gue nggak pernah..."

"Niat lo emang itu, Gha. Nggak usah berkelit." Tatapan tajam Retta pada dirinya membuat dia bungkam. "Lo sedih karena rencana lo gagal iya kan?"

"Lo salah, Ta gue nggak--"

"Cukup, Gha!" Retta hampir berteriak, bibirnya kembali tertutup kala mendengar lenguhan Emilly yang tertidur di kursi belakang.

Retta menoleh ke belakang, gadis kecil itu tertidur pulas, terdiam sebentar. "Jangan bahas itu lagi, Gha." Lanjutnya, memalingkan muka.

Regha mengamati perempuan itu, bagaimana perubahan wajah Retta yang tak tertentu kadang tidak berekspresi, kadang sedih dan muram.

Melepaskan sealtbelt-nya, Regha mengubah posisi menghadap perempuan itu. "Gue masih sayang sama lo, Ta."

Mendengar itu tubuh Retta menegang, mencengkram ujung dress-nya kuat-kuat. "Buat apa lo ngomong gitu?"

"Karena gue pengin lo tau, gue masih sayang sama lo."

Bibir itu tergigit, Retta tidak tahan membahas hal yang meruntuhkan kembali hatinya yang sudah hancur. "Lo bohong, Gha. Rasa sayang lo itu nggak ada."

Tangan Regha hampir menyentuh kepalan tangan Retta jika saja wanita itu tidak menepisnya. Regha tidak tahan dengan posisi ini, dia tidak bisa melihat kilatan kebencian itu dari Retta. Senyuman itu selalu lenyap saat Regha mendekatinya.

"Kenapa lo nggak percaya sama gue, Ta." Lirihan suara itu dari dalam hati Regha. "Gue masih sayang sama lo."

"Karena lo sendiri yang ngebuat gue nggak percaya lagi sama lo." Suara Retta tidak ada bedanya dengan Regha, pecah menahan sakit. "Lo yang ngehancurin kepercayaan gue."

"Lo jadiin gue mainan lo sama temen-temen lo, dan sekarang lo minta gue untuk percaya sama lo." Kristal bening itu jatuh mengikuti hati Retta yang sudah runtuh.

"Itu sulit, Gha." Retta sudah tidak tahan untuk menahan tangis, hatinya ikut teriris semuanya sudah hancur. Hubungan mereka, kenangan mereka, dan juga hati mereka.

"Jangan nangis di depan gue, Retta." Regha tidak kuat melihat perempuan itu menangis. Keadaan ini tidak bisa membuat dirinya memeluk perempuan itu. Retta pasti akan semakin jauh darinya.

Retta mendongak membalas mata Regha yang penuh dengan penyesalan. Mata itu memerah, air mata itu membendung dipelupuk, dan semua itu karena dirinya, karena Regha yang menyakitinya.

"Gue nggak bisa ngeliat lo nangis." Lanjut Regha, tangannya terulur, menghapus air mata di pipi Retta.

Menangkup tangan Regha di pipinya, Retta membalas tatapan cowok itu. "Lo mau gue nggak nangis lagi kan, Gha?"

Regha mengangguk, tangannya bertukar posisi mengenggam tangan perempuan itu di pipi. Retta tersenyum, membuat Regha mengeratkan genggaman tangannya.

"Jauhi, gue."

Kalimat itu singkat, tapi berhasil meruntuhkan harapan Regha, menghapusnya tanpa sisa.

Retta menarik tangannya dari genggaman Regha dan segera memalingkan wajah ke jendela.

Regha membisu di tempat, selama dua tahun perempuan itu sudah menjauhinya, meninggalkannya lalu setelah kembali apa Regha bisa tetap menjauhinya? Menganggap Retta tidak ada, menganggap asing wanita itu? Mencoba untuk melupakan dia?

TBC(02-11-17)
   

_______

Duhhh nggak nyangka udah dua puluh part. Makasih ya, yang udah baca cerita ini sampai sini aku terharu wkwk.

Maaf kalo part ini nggak bisa bikin baper

Makasih
APING

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro