R-R15: Cafe
SETELAH kepergian kedua teman Regha, Retta memandang Regha yang tengah berbaring. Akhirnya dirinya yang akan menjaga Regha di UKS. Retta bisa bernapas lega, dia sempat terkejut dengan pertanyaan Davel tadi dan karena bingung Retta memilih untuk tak mengacuhkannya.
Apa Retta menyukai Regha? Tentu saja tidak, tapi entah kenapa ada yang salah saat Retta ingin melemparkan jawaban itu tepat di depan wajah Davel. Dia merasa 'rasa tak sukanya' pada Regha sudah terhapus sejak minggu lalu ketika cowok itu menolongnya.
Dan sekarang Retta harus apa jika ada yang bertanya dengannya? Tidak! Tidak Retta tidak menyukai Regha, dia hanya sudah mengganggap Regha seperti temannya. Iya, Regha temannya. Hanya itu.
Tidak mungkin dari kata 'tidak suka' jadi kata 'suka'.
Retta bergerak duduk di kursi sebelah ranjang. Memandang wajah Regha yang belum terbangun. Regha tampan? Tentu. Tapi dulu, Retta ingin sekali mencakar wajah tampan itu. Ingin menampar lesung pipi itu kala tengah muncul. Membenturkan kepala Regha agar sikap menyebalkannya hilang.
Tetapi kenapa sekarang, rasanya Retta selalu ingin tersenyum melihat wajah itu. Jantungnya berdetak tak menentu.
Mata itu mengerjap beberapa kali sontak membuat Retta menarik kepalanya menjauh. Tak lama mata hitam indah itu terlihat. Retta mematung.
Regha menyipit menyesuaikan cahaya yang menelusup, ketika sudah normal, dia tersenyum pada Retta. "Lo yang nungguin gue?"
"Iya," Retta mengangguk kaku. "Kepala lo masih pusing?"
Bergerak bersandar, Regha mengangguk. "Sedikit."
Tangan Retta meraih gelas yang sudah berisi teh manis hangat di nakas lalu menyerahkannya pada Regha. "Nih, minum."
"Thanks," gumam Regha pelan.
Menunduk, Retta memilin kedua tangannya. "Makasih ya, Gha untuk topinya. Dan juga maaf karena itu, lo jadi dihukum.
Regha terkekeh sebentar, "Nggak pa-pa, santai aja."
"Gue merasa bersalah banget, karena lo dihukum, lo jadi pingsan." Retta semakin menundukkan kepala, dia sangat merasa bersalah pada Regha.
"Di rok lo ada apaan sih?"
Sontak pertanyaan Regha, membuat Retta mendongak cepat menatapnya. "Hah?"
"Di rok lo ada apaan?" Regha mengulang pertanyaan.
"Nggak ada apa-apa," jawab Retta heran, pertanyaan Regha tidak ada hubungan dengan ucapan Retta sebelumnya membuatnya bingung.
"Terus, kenapa kepala lo nunduk terus dari tadi?"
Terdiam, Retta mengalihkan pandangan. Dapat dirasakan pipinya yang memanas karena ucapan pendek itu.
"Kan lo udah bangun. Gue balik ke kelas, ya?" Retta bangun berniat berbalik keluar tetapi tangannya di tahan. Terpaksa, Retta kembali menatap Regha. "Kenapa?"
"Thanks, udah nungguin gue." Sorot lembut Regha membuat Retta terdiam beberapa saat. Regha tersenyum padanya membuat jantung Retta berdetak tak jelas.
***
Kemacetan itu tak dapat dihindarkan, mobil Regha terjebak di antaranya. Retta menghela napas, kesal karena kemacetan itu lama sekali berlalu. Bosan menunggu, Retta menoleh pada Regha. Dia seketika tersentak karena Regha ternyata sedang menatapnya.
Salah tingkah, Retta beralih pandangan ke hal lain. Bodoh banget sih! Kenapa dirinya jadi salah tingkah? Retta seperti merasa labil dengan perasaannya, bilangnya tidak suka tetapi kenapa hatinya berteriak kalau dia suka pada Regha?
"Bosen ya?" tanya Regha yang membuat Retta menoleh kembali. "Gue punya permainan."
"Permainan?" Dahi Retta mengerut.
"Iya, permainannya gampang kok. Lo tinggal nyari hubungan ke benda yang lawan main sebutin."
Kerutan dahi Retta semakin banyak, dia tidak mengerti dengan penjelasan Regha.
"Misalkan, lawan main lo bilang lebah, lo harus cari sesuatu yang berhubungan sama lebah contohnya; Madu. Madu berhubungan sama lebah kan?"
Retta mengangguk, sekarang dia mengerti dengan cara permainan yang diusulkan Regha. "Oke. Siapa duluan yang mulai?"
"Jawabnya harus cepet ya!" ucap Regha terdengar serius. "Lo duluan, yang ngasih pertanyaan."
Lagi-lagi Retta menganggukan kepala saja. "Musik?"
"Gitar." Sedetik kemudian Regha langsung menjawab pertanyaannya membuat Retta harus memikirkan sesuatu yang susah.
"Jerapah?"
"Daun."
"Televisi?"
"Siaran."
Retta cemberut menatap Regha, kenapa cowok itu mudah sekali menjawabnya. Padahal Retta sudah mempercepat intonasi suaranya agar mempersulit Regha. "Udah-udah sekarang lo."
"Siap-siap ya, gue bakal cepat ngomongnya."
Retta mengangguk tegas, menunjukkan raut muka menantang.
"Lemari?" Regha memulai.
"Baju."
"Kaca?"
"Cermin."
"Jaket?"
"Kulit."
"Bentar! Bentar!" Retta menahan pertanyaan lain yang akan terlontar dari mulut Regha. "Kok lo cepet banget sih ngomongnya, tadi gue nggak secepet itu!" Retta melotot kesal.
"Kan tadi gue udah kasih peringatan awal-awal." Regha menanggapi dengan santai. "Jadi terserah gue dong."
Retta cemberut. "Yaudah lanjutin."
"Terang?"
"Cahaya."
"Raja?"
"Ratu."
"Pangeran?"
"Putri."
"Regha?"
"Retta." Detik selanjutnya, bibir Retta terkatup rapat, menyadari dia salah mengucapkan kata. Mereka sama-sama terdiam, menciptakan keheningan. Tidak peduli bahwa mobil sudah bergerak kembali di jalan raya.
Regha berdehem, tersadar. Sedangkan Retta mengerjap beberapa kali, lalu memalingkan wajah. "Kenapa jawabannya itu?"
"Karena...," Retta berpikir, mengolah kata-kata yang tepat untuk menjawab. "Karena ... gue kira lo nyebut nama lo, dan gue jadi ikut-ikutan nyebut nama gue."
"Bukan karena lo berpikir nama gue berhubungan sama nama lo?"
Retta membisu, tidak mampu mengeluarkan balasan.
Regha terkekeh. "Nggak usah dianggap serius. Itu kan cuma permainan."
***
Regha tengah berkonsentrasi pada bukunya, mengerjakan soal yang dibuat Retta untuknya. Sebelumnya Retta mengajarkan Regha lebih dulu, bagaimana cara menyeselesaikkan soal-soal itu. Minggu kemarin Retta juga mengajarkan Regha dengan cara seperti itu.
Salah satu pelayan café datang mengantarkan pesanan Regha dan Retta, meletakkan di meja.
"Gue lanjutin nanti di rumah." Regha menutup bukunya, membuat Retta kebingungan.
"Dih kok? Ditutup bukunya?" kening Retta mengernyit melihat Regha.
"Gue selesain nanti di rumah, Ta," ucap Regha santai, meraih gelas minumannya, lalu menyedot isinya.
"Nggak bisa lo selesain sekarang!" Wajah tegas Retta tak diacuhkan oleh Regha, cowok itu malah tetap menyesap minumannya.
"Gha!" Retta mengerang kesal.
"Nanti bisa dilanjutin di rumah, Retta." Regha mengucapkan kata-kata itu dengan kelembutan yang nyata, sehingga membuat Retta terdiam. "Nih mending minum." Regha menyodorkan gelas yang berisi ice chocolate pesanannya.
Mendengus. Retta mengambil gelas itu.
"Lo suka cokelat, tapi kemarin gue kasih lo cokelat, cokelatnya malah lo kasih ke orang lain."
Sindiran halus Regha membuat Retta berhenti menyesap minumannya, dia tidak kaget dengan Regha yang mengetahui makanan kesukaannya. Karena minggu kemarin, dirinya sendiri yang menunjukkannya dengan cara menyesap ice chocolate sampai tiga gelas.
Entahlah Retta itu haus atau apa, minggu kemarin. Yang Retta tahu dia memang tidak bisa menolak apapun tentang cokelat.
"Karena kemarin gue nggak tahu kalo itu cokelat dari lo, lagian juga gue kan cuma jaga-jaga, kali aja itu cokelat udah di kasih racun." Retta memutar sedotan di gelas, sebelum kembali menyesapnya.
"Lo mikir sampai sejauh itu?" Alis Regha tertaut.
"Ya kan cuma antisipasi." Retta mengendikan bahu tak acuh.
"Ikut gue ke atas, yuk?" Regha sudah berdiri dari kursi mengulurkan tangan pada Retta.
"Kemana?" tanya Retta sambil mengerutkan kening.
"Ke atas."
Retta belum selesai, mempertanyakan maksud dari perkataan Regha, tetapi cowok itu sudah lebih dulu menggamit tangannya.
Jantung Retta seperti ingin keluar dari rongganya saking berdegup dengan cepat. Oh Tuhan, Retta tidak bisa seperti ini.
Regha membawanya ke sebuah ruangan, di sana ada tangga besi yang meliuk panjang. Regha menuntun tangannya menaiki undakkan tangga itu satu persatu. Dan ketika sudah berhasil berada di atas, angin kencang langsung menerpa wajahnya.
Ternyata Regha membawanya ke rooftop cafe itu. Pandangan Retta menelusuri setiap sudut lantai teratas cafe milik orang tua Regha itu, teralis besi menjulang di setiap pinggir, menjadi pembatas.
Besi itu setinggi lehernya, Retta bisa melihat apapun dari atas sini. Mobil dan motor terlihat kecil menyerupai semut. Gedung-gedung yang menjulang tinggi di depan Retta. Ini pemandangan yang sangat indah, dia sampai tidak bisa menutupi rasa kagumnya.
"Ini bagus banget, Gha." Retta memutar tubuhnya menghadap Regha, cowok itu tengah duduk di salah satu kursi yang sengaja diletakkan di sini. Dua kursi tunggal, sofa panjang dan jangan lupa meja bundar kecil yang terletak ditengahnya.
"Gue tau, lo pasti suka kalo gue bawa ke sini." Regha berdiri berjalan mendekati Retta.
"Tapi kenapa di sini nggak ada orang?" tanya Retta heran, Retta memang tidak pernah melihat rooftop cafe seperti ini secara langsung. Tapi Retta pernah melihatnya di internet.
Dan biasanya yang Retta lihat, rooftop itu juga digunakan untuk para pengunjung cafe.
"Di sini khusus untuk keluarga gue, dan juga orang-orang yang dekat sama gue," jelas Regha untuk pertanyaan Retta. "Nggak ada seorang pun yang pernah ke sini, ya kecuali keluarga dan juga lo."
Perkataan terakhir Regha berhasil membuatnya membisu. Dari ucapan itu, Retta meresapi, Regha tidak pernah mengajak kedua temannya, tetapi cowok itu malah mengajaknya. Jadi selain keluarganya, hanya dirinya yang Regha ajak ke sini.
"Tapi lebih bagus lagi kalo lo ke sini pas sunset, lihat pemandangan malam."
Retta tersadar, "Sunset?" Retta sangat suka melihat matahari terbenam, moment-moment matahari yang meninggalkan horizonnya lalu menciptakan warna jingga yang indah.
"Iya," Regha mengangguk. "Nanti kapan-kapan gue ajak lo lagi ke sini." Regha tersenyum.
Retta menatap lekat mata hitam teduh itu, seolah terhanyut Retta ikut tersenyum manis. Regha berhasil membuat Retta seperti orang bodoh yang takut dengan perasaannya sendiri.
TBC(21-10-17)
___________
Maaf misalkan alurnya keliatan kecepetan. Soalnya ini kan chapter kilasan masa lalu Regha jadi aku nggak mau terlalu rinci banget. Cuma di ambil inti-intinya aja. Dan juga makasih yang udah baca ceritanya sampai sini.
Aping🐼
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro