Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R-R14: Topi

"APA?!" Mata Retta melotot mendengar ucapan Vera. Baru saja dia sampai kelas karena bangun kesiangan dan tiba-tiba Vera memberitahu kalau hari ini upacara.

Masalahnya bukan apa-apa, Retta tidak membawa topi, biasanya kan upacara di sekolahnya dilakukan dua minggu sekali. Minggu pertama upacara, lalu minggu kedua Tadarusan. Dan minggu kemarin sudah upacara, dan seharusnya minggu ini Tadarusan. Oh Tuhan ... Bagaimana ini?

"Lah, kan minggu kemarin dikasih tau sama Bu Lina, lo gimana sih?" Vera menanggapi kehisterisan Retta dengan santai.

Retta tak percaya, bagaimana bisa Vera biasa saja, tidak peduli dengan Retta yang sudah panik harus berbuat apa.

"Gue nggak bawa topi." Perkataan Retta yang menjelaskan kenapa dia tadi jadi panik karena upacara dadakan ini membuat Vera ikut melotot.

"LO NGGAK BAWA TOPI!" Vera jadi ikut teriak, bangun dari bangkunya, berjalan bolak-balik di depan Retta, membuat Retta semakin pusing.

"Jadi gue harus apa, Ver?" Pertanyaan Retta dianggap angin lalu oleh Vera, cewek itu terus menekuni kegiatannya sekarang jalan mondar-mandir seperti setrikaan.

"Kita beli ke koperasi."

Usulan Vera malah membuat Retta memutar matanya malas, bodoh banget sih temannya ini. "Koperasi buka-nya jam delapan, Ver. Sedangkan sekarang masih jam tujuh."

"Yah ... terus lo pakai apa?" Vera jadi bingung ditambah kasihan dengan keadaan Retta. "Kalian semua punya dua topi, nggak?!"

Vera berteriak bertanya pada semua teman kelasnya yang duduk di bangku masing-masing menunggu disuruh turun untuk upacara--dan tentu ada yang duduk berkelompok, bergossip.

NGGAK

Semua pun menjawab serempak dengan jawaban yang sama.

"Woy anak laki, biasanya kan kalian punya topi cadangan?" Vera meneriaki anak laki-laki yang tengah duduk di pojok kelas berkerumun. "Pinjemin satu dong buat Retta."

"Yahh sorry, Ver nggak ada." Jawab mereka, lagi-lagi jawaban yang sama.

"Bohong, biasanya kan kalian suka nyolong punya orang."

"Astagfirullah, omongan lo Ver," Didoy berpose sok alim dengan tangan yang mengusap dada seolah ucapan Vera sangat menyakitkan dirinya. "Kita udah tobat kali, sedikit lagi ujian jadi anak SMA. Masa masih suka ngambil punya orang."

Vera memutar bola matanya, Didoy emang lebay.

"Terus gimana dong." Retta semakin panik saat mendengar spekear kelasnya menyuruh seluruh siswa untuk turun.

"Ehm ... gimana, ya?" Vera bergumam sambil terus berpikir. Sedangkan Retta semakin panik dan bingung, teman kelasnya sudah berbondong-bondong keluar kelas sambil membawa topi. Retta harus apa?

Pasti Retta akan mendapat hukuman karena tidak membawa topi, hukumannya pun tidak main-main. Bayangkan saja sudah dijemur saat upacara, lalu anak yang tidak membawa topi akan kembali dijemur--berdiri sambil hormat pada tiang bendera.

Retta tidak terlalu memusingkan dengan hukuman itu, tapi yang membuat jadi beban adalah point negatif yang akan Retta dapatkan. Sungguh, Retta belum pernah mendapatkan point negatif selama ini, dan itu akan mencorengkan nilai raport-nya. Ya walaupun Retta tahu point negatif-nya tidak terlalu besar.

Menghela napas, Retta tidak bisa melakukan apapun lagi, lebih baik pasrah saja. "Ya udah biarin aja, paling kena hukum."

"Lo yakin?" Kedua alis Vera naik.

Retta mengangguk, wajah lesunya membuat Vera semakin merasa bersalah karena tidak bisa membantu apapun. "Ya udah, yuk."

Vera menarik tangan Retta keluar kelas, lorong kelas sembilan sudah penuh dengan anak-anak yang bersiap menuruni tangga.

Memandang, semua orang membawa topi dan juga sudah ada yang memakainya, membuat Retta kembali menarik napas pasrah. Retta merutuki dirinya yang kurang fokus minggu kemarin.

Masih sangat Retta ingat, saat Regha menolongnya yang terkena kuah panas. Meminjamkan seragam dan kaus putih miliknya, Retta tidak bisa menghilangkan memori itu dari otaknya. Karena baru kali itu Retta tersenyum pada Regha dan mengucapkan terima kasih dengan kesungguhan.

Retta jadi merasa sangat canggung jika berada di dekat Regha, minggu kemarin pulang sekolah Retta mengajarkan cowok itu sesuai janjinya. Tapi sepertinya Regha sama sekali tidak memikirkan perbuatan yang dia lakukan pada Retta, hanya menganggap sebuah pertolongan biasa pada orang lain.

Semua pemikiran Retta buyar seketika, saat merasakan sesuatu di kepalanya. Tepat di lorong kelas tujuh dan delapan, Retta mengambil benda itu dari kepala, sontak matanya melebar, ternyata benda itu topi.

Berbalik ke belakang, Retta terkejut ketika mendapati Regha-orang yang menaruh topi di kepalanya-dia tersenyum. Masih kaget dengan situasi, membuat Retta tidak merespon apapun, dia mematung menatap Regha.

Retta tersadar. "Topi lo..." ucapan Retta menggantung karena Regha sudah pergi meninggalkannya bergabung dengan kedua temannya.

"Lo pakai aja!" teriak Regha dari kejauhan.

Retta menatap lamat-lamat topi milik Regha, tak butuh lama kedua sudut bibi Retta terangkat. Lagi-lagi Regha menolongnya.

"Itu tadi beneran Regha?" Mendengar itu Retta berbalik menghadap Vera, mulut perempuan itu terbuka seakan-akan dia shock berat melihat apa yang Regha lakukan pada sahabatnya.

***

Mendengar Komandan Upacara yang memberi perintah untuk memberi hormat pada sang bendera merah putih, membuat Retta mengangkat tangannya sesuai perintah.

"Kemana topi kamu, Regha?"

Terdengar suara Pak Tono-guru di bidang kedisplinan-yang sedang menegur Regha, membuat Retta menoleh ke belakang, posisi Retta yang tidak terlalu depan juga tidak terlalu belakang membuatnya bisa melihat Regha yang menunduk karena ditegur Pak Tono. Rasa bersalah itu langsung menyergapnya.

Regha pasti akan kena hukuman karena dirinya.

"Saya lupa bawa, Pak," jawab Regha tenang.

"Bukan karena kamu cucu pemilik sekolah kamu akan bebas dari hukuman Regha. Kamu akan tetap kena hukuman sesuai peraturan," kata Pak Tono tegas. "Pindah ke belakang."

Regha mengangguk, mengerti. Kepalanya mendongak, dua pasang mata itu bertemu. Retta mengucap 'maaf' tanpa suara, Regha hanya tersenyum sambil mengangguk.

Setelah itu, Regha berjalan ke belakang, sesuai peraturan.

***

Mengetuk jari di permukaan meja, pikiran Retta melayang kemana-mana. Jam kosong di kelasnya, gurunya tidak masuk dikarenakan sakit dan juga tidak ada tugas yang menunggu. Vera juga tidak ada di sebelahnya, dia mengantar Siska ke toilet.

Retta memikirkan Regha, pasti cowok itu ada di lapangan berdiri kepanasan. Tidak tahu harus membantu apa, Retta jadi semakin merasa bersalah dengan cowok itu.

Seluruh perhatian Retta kembali, saat Vera telah kembali ke kelas dengan membawa makanan. Melihat itu Retta memutar matanya malas, katanya mau ke toilet tapi nyasar ke kantin.

Mengerti raut muka Retta, Vera terkekeh. Duduk di bangkunya, dia menyerahkan botol minum pada Retta.

Retta menerimanya dengan alis tertaut. "Buat apaan?"

Sekarang Vera yang memutar matanya malas. "Lo kasih minuman itu ke Regha, kasian tau di kepanasan di lapangan. Itu kan karena lo."

Retta melotot, enak saja Vera menyalahkannya. Meskipun ucapan perempuan itu benar, Retta tidak terima disalahkan.

"Udah kasih sana."

Retta mengangguk, bangkit berdiri. Mungkin dengan minuman di tangannya bisa mengurangi rasa bersalah Retta pada Regha. Iya, dan sekalian Retta akan mengucapkan terima kasih pada Regha karena sudah menolongnya lagi.

Koridor sepi, Retta melangkah berjalan menuju tangga yang akan memperlihatkan langsung luas lapangan sekolahnya dari lantai dua.

Memegang besi pembatas yang berada di depan dadanya, Retta bisa melihat Regha yang tengah berdiri tegap mengangkat sebelah tangan. Retta tersenyum.

Mengangkat kepalanya, mata Regha langsung bersitatap dengan cokelat terang miliknya. Tatapan intens Regha membuat pipi Retta memanas.

Wajah Regha sangat pucat, dengan segera Retta menuruni tangga menghampiri lelaki itu.

"Muka lo pucat," kata Retta sambil menyerahkan botol minuman pada Regha.

Menerima botol minuman itu, Regha tersenyum tipis, bibir pucat Regha membuat dia membisu. Kenapa bibir cowok itu sangat pucat?

"Lo belum sarapan, ya?" tanya Retta.

"Iya, belum sempat tadi pagi." Lagi-lagi Regha tersenyum tipis terhadap ucapannya.

"Masih lama di hukumnya?"

"Setengah jam lagi."

Retta memandang lekat wajah cowok itu yang sudah dipenuhi peluh keringat. Rambutnya basah karena keringat yang bercucuran tak henti.

"Lo nggak pa-pa?" Retta jadi khawatir, sepertinya ada yang salah dengan cowok ini.

"Emang gue kenapa?" Regha terkekeh geli, bersikap santai seperti biasa lalu meneguk isi botol minuman yang Retta berikan tadi.

Retta menunduk malu, dia merasa gugup menatap Regha secara langsung. "Gue mau bilang, makasih untuk topi..."

Retta menghentikan ucapannya secara mendadak. Mata dan mulutnya terbuka lebar karena melihat Regha yang terjatuh pingsan. "REGHA!"

Mendekati Regha, Retta terduduk menepuk pipi cowok itu berulang kali. "Gha! Regha! jangan bercanda Gha!"

Tapi tetap tak ada respon, mata Regha terpejam. Seketika Retta panik, berteriak meminta tolong.

"REGHA!" Pekikan itu membuat Retta menoleh ke belakang, ternyata Davel yang berteriak di sebelahnya ada Arven. Dia berdua begitu shock lalu berjalan cepat menghampiri Regha yang berbaring di pangkuan Retta.

"Dia kenapa?!" Melihat raut wajah Davel yang siap menonjok siapapun membuat Retta menelan ludah susah payah.

"Dia...pingsan." Retta menjawab dengan sulit.

Retta meringis, melihat bola mata Davel yang membulat sempurna, takut keluar tiba-tiba.

"Lo?!" Telunjuk Davel mengacung tepat di depan wajahnya, sontak membuat Retta menahan napas.

"Udah Dav, bantuin gue bawa Regha ke UKS, jangan nyalahin orang." Arven menghentikan Davel yang terus menyalahkan keadaan Regha pada Retta.

Pandangan tak bersahabat yang diberikan Davel padanya, tidak diacuhkan oleh Retta. Dia mengikuti mereka berdua yang membawa Regha ke UKS.

"Kenapa dia bisa pingsan?" tanya Davel seperti bertanya pada dirinya sendiri setelah meletakan Regha di ranjang UKS.

"Katanya dia belum sarapan." Retta memberitahu hal yang memang dia ketahui dari Regha sebelum cowok itu pingsan di depannya.

"Gue aja yang nemenin Regha di sini," usul Retta membuat kedua cowok yang tengah menatap Regha lamat-lamat beralih padanya.

"Nggak usah, lo balik aja ke kelas." Retta mengernyit, kenapa Arven jadi ikut-ikut terlihat tidak suka padanya? Dia tidak pernah mengerti dengan kedua sahabat Regha ini.

"Gue nggak bermaksud buat ngusir lo." Membaca raut wajah Retta, membuat Arven memberi penjelasan.

"Ehmmm...beneran gue aja nggak pa-pa." Retta kembali menawarkan untuk menemani Regha.

"Lo khawatir sama Regha?"

Pertanyaan dari Davel membuat Retta menoleh. Dan cowok itu tengah tersenyum, Retta dibuat bingung dengan sikap Davel yang suka berubah-rubah seperti bunglon. "Ya iyalah gue khawatir. Dia kan pingsan karena nolong gue."

"Bukan karena suka?"

Ucapan Davel berhasil membuat Retta terdiam.

TBC(19-10-17)
MAKASIH
Aping🐼

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro