Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

you make me feel

Bagian 51 |
you make me feel like loving you

follow IG spakel dund
@sparkleinureyes.wp muehehe

Vote dan komen atuh✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

"Bangsat emang lo, Yan!"

Dean yang mendengar itu dari mulut Matthew masih bisa bersikap sesantai mungkin. Pandangannya Dean alihkan pada rumah di belakang tubuh Matthew, itu rumah Mikayla. Dean yang menginginkan untuk bertemu dengan Matthew malam ini—meluruskan segala hal yang Dean sudah tidak ingin terlibat di dalamnya.

"Lo mau ngelepasin Mikayla gitu aja? Otak lo di mana?!" Tentu saja Matthew tidak terima. Adiknya yang selalu menyayangi Dean, lalu ditinggalkan begitu saja oleh Dean sendiri. Dean benar-benar ingin Matthew habisi sekarang juga.

Dean memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Melihat ke arah Matthew lagi, kemudian mengangkat kedua bahunya pelan. "Dia yang mau gue begini, Matt." Dean menyangkal.

"Lo harus temuin dulu orang yang udah buat adek gue begitu! Siapa yang nabrak lo. Bawa dia ke gue. Atau gue bocorin sekarang kartu lo."

Jelas saja itu ancaman untuk Dean. Dan masalahnya adalah; Dean belum ingin ditinggalkan atau membuat orang yang Dean sayangi berbalik membencinya. Tapi, memang akan seperti itu akhirnya. Tidak bisa dibantah lagi. Meskipun Dean berbuat apa pun.

"Pas itu emang gue apes kali. Jadi, nabrak mereka."

Dan paling buruknya bagaimana jika itu memang kesalahan Dean sendiri.

Matthew mendengus dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tentu saja Matthew menemukan sesuatu yang ganjal dengan mobil itu. "Kinan ya?"

Ketika nama itu disebut, Dean memandang Matthew lain. Iya, memang Kinan lah alasan mengapa menunggu kehadiran Mikayla di hidupnya bukannya hal yang penting untuknya lagi. Karena Kinan lah alasan mengapa melihat Mikayla setelah sekian lama sudah tidak terasa sama. Biasa saja.

Karena Dean tidak kunjung menjawab pertanyaannya, Matthew menganggapnya bahwa tebakkannya benar. "Lo denger ya, Yan. Mikayla sampe buta karena tuh orang. Dia mau lo mandang dia sama, tapi lo malah begini. Gue pastiin hidup si Kinan gak akan tenang."

Setelah mengatakan itu, Matthew menarik langkah menjauh dari Dean yang sudah tidak peduli lagi dengan apa yang mau Matthew perbuat. Dean mengeluarkan ponselnya.

"Kamu gak mau masuk dulu?"

Itu suara Mikayla. Dean menoleh. Menemukan gadis itu yang sedang mengenakan scraf untuk menutupi pundaknya yang terbuka. Dean menggeleng. Mikayla berjalan mendekat. Bersandar pada kap mobil Dean di sebelah laki-laki itu.

Mikayla masih memerhatikan Dean yang terlihat begitu sibuk dengan ponselnya. "Aku belum sempet minta maaf sama dia."

Dean diam.

"Seharusnya kamu bisa lebih jujur sama orang yang kamu sayang."

Kali ini, baru lah Dean melihat ke arah Mikayla. Seakan kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu adalah hal tergila yang pernah Dean dengar. "Dan bikin dia sakit?" Sebelah alisnya terangkat tinggi. Bisa dipastikan Mikayla sedang membicarakan Kinan.

Dean tidak ingin Kinan merasa begitu. Dean mana bisa melihat Kinan yang selalu dengan mudahnya mengeluarkan senyuman malah jadi terlihat murung? Mana bisa Dean membuat orang yang ia sayangi merasakan itu.

Terlebih, Kinan sudah mempunyai tempat tersendiri di hidup Dean.

"Kamu beneran sayang sama dia?" Mikayla mencoba untuk terlihat tidak begitu tersakiti, namun kenyataannya Mikayla sudah jatuh sejatuh-jatuhnya.

"Lo pikir gue main-main?" Dean menyahut.

Mikayla mengerti. Salah Mikayla memang. Meninggalkan Dean sendiri. Padahal jika Mikayla pikirkan juga, dirinya tidak ingin membuat Dean memandang Mikayla beda. Seperti kata Matthew tadi. Tetapi malah dia yang ditinggalkan.

Sebelum benar-benar pergi meninggalkan Dean sendiri, Mikayla mengatakan,

"Kamu tau harus ke mana kalo kamu butuh apa-apa."

...

"Ann, sini makan bareng sama Kak Rama."

Kinan menghela napas pelannya. Seharusnya siang ini Kinan menemui Gio. Karena dari semalam hingga sekarang ini pesan singkatnya belum juga Gio balas. Nomornya juga tidak aktif. Gio baik-baik aja gak ya?

Ayah terlihat sedang berbicara di telepon dekat lemari pendingin. Mengusak rambut Kinan ketika Kinan sudah mendekat ke arahnya.

"Selesai makan Kak Rama mau ngomong sama Anna ya." Rama yang duduk di hadapannya, mengeluarkan senyum tipis.

Jika Kinan perhatikan baik-baik, pelipis Rama berwarna keunguan. Kinan menggigit bibir bawahnya. Bisa Kinan pastikan itu tentang Gio. Kinan mengangguk pelan. Tidak berselera untuk makan. Padahal Adam sudah memasak makanan kesukaannya. Iya, Ayam bakar madu.

Rama sudah menceritakan semuanya pada Ayah belum ya? Atau Rama akan memberitahukan Ayah bagaimana Gio itu. Membuat Ayah semakin tidak akan setuju jika Kinan dekat-dekat dengan Gio. Anak bermasalah.

Itu yang sedang Kinan pikirkan.

Gio lagi ngapain ya?

"Kok malah bengong, Ann?" Adam memegang kedua pundak putrinya dari belakang. Meremasnya pelan sebelum akhirnya duduk di samping Kinan.

Kinan menoleh ke arah Adam dengan cemberut.

"Anna, mau Ayah suapin?" Adam sekarang menyendokkan nasi ke piring putih di depan Kinan. Mengambil paha ayam dan juga sayuran. Kinan pasti sedang tidak nafsu makan. Biasanya jika seperti itu Adam akan menyuapinya dan habis juga makanan di dalam piring.

"Yah." Kinan menganggil Ayahnya tidak bersemangat dan menoleh ke arah Rama sekilas. Adam belum menyahut. Memilih memasukkan nasi lengkap dengan lauk yang berada di sendok ke dalam mulut Kinan. Kinan mengunyah makanannya masih dengan cemberut.

"Ram, kamu abis ini mau ke mana?" Adam bertanya dan memasukkan irisan timun ke dalam mulutnya lalu menyuapi Kinan lagi. Kinan menerima suapannya.

Rama terlebih dahulu menegak air mineral. Kepalanya kemudian menggeleng. "Aku gak ke mana-mana kok. Mau nemenin Anna di sini. Kayak biasanya." Dan berdiri untuk membawa piringnya ke wastafel.

Mendengar itu, Adam manggut-manggut. Senyumnya terlihat. "Gak nge-date sama Ola hari ini?"

"Semalem udah, Om. Ola juga lagi pergi sekarang."

Kinan mendengar percikan air di belakangnya. Pasti Rama sedang mencuci piring. Semoga Rama tidak membahas hal yang berhubungan dengan Gio pada Ayahnya. Hanya itu yang Kinan mau sekarang.

"Om pernah denger berita ada balapan liar yang makan korban? Yang kejadiannya di deket sini? Sekitar setahun lalu?"

Kinan menutup matanya rapat-rapat. Keberuntungan belum berpihak kepadanya ternyata. Kinan memilih menunduk sekarang.

Adam terlihat tertarik dengan topik pembicaraan yang Rama ucapkan. "Cepet banget beritanya hilang. Padahal Om mau tau siapa yang meninggal itu, katanya perempuan yang usianya kayak kamu ya, Ram?"

Rama mengangguk, membenarkan. "Orang-orang yang sok ikut balapan liar begitu seharusnya dijauhin kan, Om?" Seakan memang menyindir Kinan, kedua mata Rama tertuju pada Kinan yang masih menunduk.

"Yah, Anna lupa mau bilang kalo—" Ucapan Kinan terhenti karena Adam yang sudah lebih dulu menyuapinya lagi.

"Abisin makanan kamu dulu. Jangan males-malesan makan, Ann."

Score sekarang;
Rama 1 Kinan 0.

"Iya, kamu bener. Temen Om jaman SMA dulu juga ada yang ikut begituan, kaki dia harus diamputasi karena kejepit di mobilnya yang ditabrak. Untung aja Om gak ikut-ikutan." Adam menengok ke arah Kinan yang masih saja cemberut. "Anna, denger kan yang Ayah sama Kak Rama omongin?"

Kinan hanya mengangguk. Tidak ingin membuka suaranya.

"Ah iya, nanti Ayah kasih kamu uang buat belanja keperluan dapur. Kulkas kita udah sedikit banget isinya. Kak Rama yang bakalan anterin Anna ke supermarket. Belanja yang ada dilist ya! Kalo ada sisa, uangnya Anna jajanin gak apa-apa." Setelah mengatakan itu, Adam berdiri. Mengancingkan kemeja putih yang ia kenakan dan merapikannya.

Mengangkat kepalanya, Kinan memandang Ayah dengan bibir yang dicebikkan ke bawah. Menarik ujung kemeja Adam. "Besok aja deh belanjanya, sekalian pulang sekolah. Ya, Yah? Ya? Ya?" Kinan ingin bertemu Gio. Itu alasannya.

"Ann, mau sarapan apa besok kalo gak ada makanan?"

Kinan langsung menjawab, "Beli roti di minimarket depan."

Kepala Adam menggeleng, tak terbantahkan lagi. "Sekarang aja, Ann. Mumpung ada Kak Rama juga. Ayah udah ditungguin temen Ayah nih. Kamu jangan berbuat yang aneh-aneh ya selama Ayah pergi." Dan mengambil dompet hitamnya. Adam mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan yang ia letakkan di atas meja dekat Kinan.

"Ayah mau pergi sekarang?"

"Iya. Abisin makanannya. Satu suapan lagi tuh." Adam mencium puncak kepala Kinan agak lama sebelum benar-benar pergi meninggalkan Kinan dengan Rama.

Kapan Kinan bertemu dengan Gio jika seperti ini? Ada Rama pula.

"Udah baca chat Kak Rama semalem?"

Suara Rama terdengar lagi. Kinan menyandarkan punggungnya pada kursi. Melihat Rama yang berdiri di depannya seraya bersedekap dada. "Udah kok. Terus apa urusannya sama Anna kalo Gio ikut-ikut kayak gituan?" Balapan liar maksudnya. Ekspresinya Kinan buat tidak sepeduli mungkin.

Berbanding balik dengan semalam ketika mengetahui itu, Kinan agak panik. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Gio?

"Urusannya biar Anna gak deket-deket lagi sama si Gio. Sekarang Anna udah bener-bener tau kan dia gimana?"

Seperti yang sudah-sudah, pasti Rama selalu membahas perihal Gio yang begini lah, yang begitu lah tidak ada baik-baiknya. Padahal jika Kinan bisa menyangkal banyak yang Gio lakukan untuk dirinya. Tetapi dalam keadaan seperti ini, diam lebih baik.

"Mhm-mm." Kinan menyahut.

"Kalo ada apa-apa sama Anna karena si Gio, Kak Rama sama Ayah yang paling khawatir. Sekali aja dengerin Kak Rama. Atau Anna mau kalo Kak Rama langsung bilang ke Ayah semua tentang Gio?"

Satu yang harus Kinan tahu, dari awal Rama menginjakkan kakinya di rumah Kinan ini tadinya ingin memberitahukan semuanya pada Adam. Tetapi Rama tahan, menahan juga untuk tidak langsung menceritakan perihal Juli. Tentu saja Rama punya alasan.

Kinan diam.

"Balapan liar yang makan korban tadi, yang Kak Rama ceritain ke Ayah.. itu Gio, Ann."

...

"Kinan, cowok lo ngamuk dari semalem. Gue gak tau harus ngapain biar tuh anak diem. Lo bisa ke rumahnya?"

Kinan menjatuhkan kepalanya di atas meja belajar. Itu Dava yang bilang di telpon tadi. Kinan menutup matanya rapat-rapat. Dirinya baru selesai berbelanja dengan Rama. Lalu, Kinan meraih ponselnya mencoba untuk menghubungi Gio yang nomornya masih tidak aktif.

Dan selang beberapa detik, nama Dava sudah terlihat lagi di layar ponsel Kinan. Kinan lantas saja menerima panggilan masuk itu. Belum sempat Kinan menyapanya, Dava sudah lebih dulu mengatakan,

"Gue udah di depan rumah lo. Lo bisa keluar sekarang?"

Mendengar itu, Kinan menggigit bibir bawahnya dan langsung berdiri. "Kinan keluar sekarang. Tungguin Kinan ya!" Dan sambungan terputus.

Kinan dengan langkah terburu-buru keluar dari kamarnya dan menuruni satu per satu anak tangga. Memelankan laju kakinya saat berada di ruang tamu, Kinan melihat Rama sedang duduk menghadap ke arah TV yang menyala dengan mata yang terpejam. Oh, keberuntungan berada di pihak Kinan sekarang.

Tanpa ingin menyia-nyiakan kesempatan, Kinan langsung berlari ke arah pintu utama rumahnya. Semoga Rama tidak cepat menyadari bahwa Kinan pergi tanpa sepengetahuannya.

"Asli dah, Nan lo kayak baru keluar dari kandang macan." Dava terkekeh pelan, lalu meringis. Sudut kiri bibirnya lebam.

Sambil mengenakan seatbelt, Kinan menyahut, "Kinan emang abis ngelewatin macannya. Eh, bibir Dava kenapa tuh?" Kinan melihat juga warna keunguan di sudut kiri bibir laki-laki itu. Dari sekian banyaknya teman-teman Gio yang paling dekat dengan Kinan ya hanya Dava ini. Teman satu tongkrongan dengan Gio.

"Karena cowok lo nih. Udah gila emang tuh anak," kata Dava yang kini mulai mengendarai mobilnya.

Kinan ikut meringis. "Dari semalem Kinan nelpon Gio tapi nomornya gak aktif. Terus, itu.. Gio kenapa ngamuk emangnya?"

"Dia kalah semalem, Nan. Gue gak tau apa yang dia omongin sama Sean, pulang-pulang malah kayak kesurupan. Gue aja kena tonjokkannya sekali. Beruntung aja sih bonyoknya lagi gak ada di rumah."

Mendengar ucapan Dava barusan, Kinan dapat menarik satu kesimpulan; ucapan Sean pada Gio. Sean pasti marah pada Gio karena Gio kalah. Kinan mengerjap. "Sekarang Gio lagi ngapain?"

"Mending lo langsung temuin dia di kamarnya. Gue mau nyari obat merah dulu. Perih banget nih." Dava menepuk bahu Kinan sekali dan berjalan menuju ke arah dapur, meninggalkan Kinan sendiri. Mereka memang sudah sampai di rumah Gio.

Kinan dengan langkah pelannya, menaikki tangga untuk sampai ke kamar Gio di lantai dua. Pintu kamar Gio tidak terkunci, Kinan dapat melihat kamar yang sudah berantakkan dari sela yang terbuka. "Gio, Kinan masuk ya?" Tangan Kinan membuka sedikit lebih lebar lagi pintu di depannya agar dirinya bisa masuk dan menutupnya lagi perlahan.

"Ki, pulang aja."

Suara yang begitu serak dari Gio terdengar. Sampai sore ini Gio tidak membiarkan gorden jendelanya terbuka. Tertutup begitu rapat. Kinan yang masih berada di depan pintu meringis melihat segala penjuru kamar Gio. Saat ini Gio sedang membelakangi dirinya. Duduk di lantai dengan bersandar pada tempat tidur. "Kinan gak mau pulang, Kinan mau ketemu sama Gio dulu."

"Ketemu sama gue nya nanti ya. Gue lagi gak mau ketemu siapa-siapa sekarang. Kinan pulang aja."

Jika bisa Kinan tebak, Gio sedang menahan kesal. Tetapi suaranya masih bisa Gio kendalikan. Tidak ada bentakkan atau apa pun malah suara Gio terdengar begitu lembut. "Gio—"

"Gue pesenin ojek online ya. Sori gue gak bisa anter lo pulang, Ki."

"Gio, Kinan gak mau pulang!" Justru sekarang Kinan yang emosi. Kedua pipinya terlihat memerah. Kinan berjalan mendekat dan mengambil alih ponsel yang Gio pegang. Memasukkannya ke saku roknya. Kinan memilih langsung duduk di samping Gio yang sudah terlihat kacau. Berantakkan.

Ada satu botol minuman entah apa Kinan tidak tahu namanya yang berada di samping Gio itu. Kinan beralih melihat Gio yang tidak ingin memandang Kinan barang sedetik pun. Ketika tangan Kinan sudah berada di sisi wajah Gio, Gio langsung menyingkirkannya.

"Gue udah bilang, gue gak mau ketemu siapa-siapa. Apalagi elo, Kinan." Dengan pandangan yang masih mengarah ke depan sana, Gio berujar. Apalagi dengan keadaan Gio yang seperti ini.

Sebisa mungkin Kinan tidak ambil pusing dengan ucapan Gio yang berhasil menyentilnya itu. Kinan bergerak untuk mengubah posisi duduknya yang kini sudah berada di depan Gio persis. Gio meliriknya sekilas. Kinan memperlihatkan senyumannya seakan tidak terjadi apa-apa. "Kinan temenin Gio di sini ya. Kalo Gio mau cerita biar Gio—"

Tangan Gio tahu-tahu sudah mencekal pergelangan tangan Kinan. Menghentikan ucapan Kinan tadi. Kali ini menatap lurus-lurus lawan bicaranya. Sudut kiri bibir Gio terangkat ke atas. "Gue gak kenapa-kenapa, Kinan kalo itu yang lo khawatirin. Pulang ya?" Tangannya yang satu lagi mengusap sisi wajah Kinan berkali-kali. Memang dasarnya Kinan yang keras kepala, Kinan menggelengkan kepalanya.

"Yaudah, lo mau apa sekarang?" Gio mengalah.

"Mau nemenin Gio di sini."

Gantian, Gio yang menggeleng kali ini. Kedua tangannya Gio tarik kembali. Saat melakukan itu, Kinan merasa ada yang ditarik paksa juga dari dirinya. Kinan memerhatikan Gio yang diam lagi.

Apa yang sedang Gio pikirkan? Kinan ingin tahu sekarang juga.

"Kinan harus ngapain biar Gio gak diem aja sih?" Kinan benar-benar bingung tentu saja. Kinan tidak tahu harus melakukan apa di situasi yang Gio sendiri saja tidak ingin melakukan apa-apa.

Dan dalam keadaan yang begini, pikiran Gio sudah melayang ke mana-mana. Bisa saja dirinya mengeluarkan kata-kata yang menyakiti Kinan. Maka, dirinya tidak ingin mengatakan apa-apa selain suara di kepalanya yang terus-menerus berteriak.

Tidak boleh dibiarkan. Gio harus membawa Kinan menjauh dari dirinya sekarang juga.

Kinan saat ini melihat Gio sudah berdiri dan mengambil jaket yang berada di dalam almari yang langsung Gio kenakan. Kinan ikut berdiri. Gio menoleh ke arahnya. Mengulurkan tangannya juga. "Ayo, gue yang anter lo pulang."

Tidak ingin menuruti perkataan Gio, Kinan mundur perlahan hingga punggungnya menyentuh tembok di belakangnya itu. Kinan tidak ingin pulang dan membiarkan Gio sendirian. Gio saja sudah melakukan hal yang sama jika Kinan sedang berada di fase seperti Gio ini.

"Di rumah lagi ada Kak Rama, Kinan mau di sini aja sama Gio."

Gio menurunkan kembali tangan kanannya itu dan berjalan mendekat ke arah Kinan. Wajah Gio datar-datar saja. Tangannya sudah terangkat lagi untuk mencapai belakang tubuh Kinan—berniat untuk mengambil ponselnya di saku rok putih Kinan. Kinan menahan pergerakkannya itu.

"Ya, Gio?" Kinan menatap Gio penuh harap.

Anehnya, Gio tersenyum. "Seharusnya lo gak deket-deket sama gue, Kinan. Gue cuma bisa nyaikitin lo doang. Gue udah berkali-kali nyakitin lo. Lo gak takut sama gue? Yang kemaren itu—"

Gio tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan lagi. Kinan mencengkeram tangannya kuat-kuat. Gio bisa merasakan itu. Dua hal penyebab jantungnya berdetak dua kali lebih cepat saat ini;

Satu, dirinya yang menahan emosi. Dan dua, Kinan yang menciumnya.

Coba kemaren Gio menang, gak bakalan dia di cium Kinan;(

Yaaa.. gimana ya... aduh makin ribet emang, dan Kinan yang ngebuat semuanya jadi ribet.

Jadi, gimana sama part ini?

Menurut kalian Kinan itu gimana?
*ini wajib jawab ya wkwkwk*

Suka gak?

Apa yang perlu aku lakuin nich untuk kedepannya? :))

Sori typo

Yang mau ipun 11 sini merapat

Rama

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro