why
Bagian 12 |
I don't know why I won't admit that
you're all I want
Aku baru selesai ngetik. Ada yang nungguin gak? Wkwkwk
Vote dan komen lagi ya✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
Dean menutup pintu mobil dan memakai jaket hitamnya itu seraya melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kafe 24 jam yang tidak jauh dari apartemennya. Lalu, Dean melihat layar ponsel yang saat ini sudah menunjukkan jam setengah dua belas malam.
Lantai atas.
Meja paling pojok.
Read. 23.30 pm.
Setelah membaca kembali pesan singkat itu, Dean langsung melangkahkan kakinya untuk menaiki anak tangga. Di lantai dasar terlihat hanya beberapa meja saja yang terisi, berbeda dengan lantai atas yang masih saja dipenuhi oleh banyaknya pengunjung—kebanyakan laki-laki yang sedang merokok, Dean mengedarkan pandangannya dan saat matanya melihat seseorang yang sedang melambaikan tangan ke arahnya, Dean segera mendekat ke arah orang itu.
"I thought you didn't wanna come to see me." Matthew—orang yang dari tadi menunggu Dean, membuka suaranya saat melihat Dean yang sudah duduk di hadapannya itu. Lalu, Matthew melempar kotak rokok putih ke depan Dean lengkap dengan pemantiknya.
Dean mengambil satu batang rokok yang langsung ia masukkan ke dalam mulutnya. "Apa yang lo mau tau?" tembak Dean dan membakar rokok itu lalu mengembuskan asap abu-abu pekat ke udara.
Mendengar itu, Matthew memperlihatkan seringainya. Kemudian, ia menundukkan kepalanya seraya mengusap wajahnya berkali-kali dengan kedua tangan. "Kayak yang dulu-dulu. Jadi, gimana?" tanyanya. Mendongak kembali untuk melihat Dean yang sudah terlihat santai menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Menatap lurus-lurus Matthew dengan tatapan tajamnya itu.
Merespons ucapan Matthew tadi, kepala Dean hanya menggeleng. Memberitahukan Matthew bahwa Dean juga tidak tahu.
Seketika itu juga rahang Matthew terlihat mengencang. Diperlihatkannya senyum tipis. "Lo sebenernya nyari tuh orang gak sih?!" sentaknya.
Dean membasahi bibir atasnya dan memperhatikan rokok di tangannya itu dengan pandangan menerawang. Sekali lagi, Dean menggelengkan kepalanya. "Polisi aja masih belum tau, Matt." Lalu, yang Dean rasakan kini, diam-diam perasaan sesak itu menyelusup ke dalam dadanya.
"Makanya itu yang jadi urusan lo, Yan. Bawa tuh orang ke gue!" Suara Matthew sudah terdengar menuntut sekarang. Dan bisa dipastikan Dean akan terkena imbasnya saat keinginan Matthew yang satu itu tidak bisa Dean penuhi. Salah Dean sendiri yang telah menciptakan lubang yang kapan saja bisa menenggelamkan Dean ke dalam sana. "Jangan ngebuat gue ngelakuin hal yang nggak pengen gue lakuin," lanjutnya.
Sebelum menyahuti perkataan Matthew barusan, Dean menarik napasnya dan mengembuskannya perlahan. "Gue juga mau ketemu sama tuh orang kok. Gue ngerasa gue yang udah ngancurin dua orang sekaligus karena dia juga." Meskipun suara Dean terdengar berbisik, tetapi masih terdengar begitu menusuk.
Matthew manggut-manggut, membenarkan dan membawa gelas di depannya itu mendekat ke arahnya sebelum akhirnya ia tegak habis isinya. "Kalo gitu gue tunggu kabar baiknya, Yan," katanya yang kini sudah memperlihatkan senyum tipisnya lagi. Walaupun Matthew ingin sekali menghabisi Dean sekarang juga, tetapi Matthew tahu ia masih membutuhkan Dean. Maka, ia pendam dalam-dalan keinginannya itu.
Dan Dean tidak mengeluarkan suaranya hingga Matthew memperlihatkan foto Kinan dan dirinya di peternakan kuda siang tadi ke depan Dean. Lantas Dean melihat ke arah Matthew lagi. Dean menarik kedua sudut bibirnya membentuk garis tipis. Berbanding balik dengan Matthew yang terlihat begitu santai.
"Lo ta—"
"Jangan dia." Kepala Dean menggeleng, memperingatkan. Memotong ucapan Matthew saat itu juga.
Melihat perubahaan sikap Dean, Matthew mengernyit. "Emangnya kenapa sama tuh cewek? Lo keliatan ketakuan banget."
"Lo nggak tau apa-apa, Matt."
Alis Matthew terangkat sebelah. "Oh. Tapi, kalo gue ngeluarin foto Abby apa respons lo juga kayak gini?"
...
Abby memakirkan mobilnya ke dalam garasi dan langsung keluar dari sana saat melihat Sean yang sudah duduk dianak tangga perkarangan rumahnya. Menginjak rokoknya juga hingga hancur setelah melihat Abby yang mendekat ke arahnya. Dan yang Abby tahu, Sean bau alkohol. Penampilannya juga terlihat berantakkan. "Kenapa lagi sih, Yan?" Abby mulai membuka suaranya dan menarik tangan Sean itu untuk bangkit.
Sebenarnya bukan pertama kalinya Abby harus dihadapkan dengan hal seperti ini.
Sean menyeringai. "Kangen sama lo. Tadi band gue nge-gigs di tempat kemaren. Tapi lo nggak dateng. Lo ke mana aja, Sayang?" racaunya. Itu alasan Sean juga yang langsung menuju ke rumah Abby. Sean tentu saja khawatir, pesan singkat maupun panggilannya tidak dihiraukan oleh Abby.
"Gue abis nganter nyokap ke bandara. Sori gue gak dateng tadi," jawab Abby dan memegang lengan Sean untuk membawanya ke dalam rumahnya itu. Tubuh Sean sudah limbung. Jawaban Abby memang benar. Abby mengantarkan Ashlyn ke bandara yang akan pergi ke Berlin. Meninggalkan Abby, lagi.
Di sampingnya, Sean memperhatikan Abby dan beralih memeluk tubuh ramping Abby dengan satu tangannya dan Abby membuka pintu utama di depannya itu. "Gue kira lo ke mana. Kabarin gue dong, biar gue gak khawatir kayak gini ya?" bisik Sean. Dan Abby hanya menjawab dengan anggukkan kepala.
Setelah sampai di dapur, Sean juga sudah duduk di kursi, Abby menjauh dari Sean. Mengambil gelas kosong yang langsung Abby isi dengan air mineral dan meletakkan gelas itu ke depan Sean yang sedang membuka jaket jinsnya, menyisakan kaus hitam polosnya itu. "Sean, diminum dulu abis itu cuci muka." Setelah mengatakan itu, Abby pergi untuk mencari pil hangover yang Abby harap masih ada.
Sean menegak air mineral itu hingga tandas dan berjalan menuju ke arah wastafel untuk mencuci mukanya. Sean seperti ini bukan hanya karena tidak mendapatkan kabar Abby saja, tetapi ada pikiran yang dengan begitu berhasilnya membuat Sean berada pada titik terendahnya. Lalu, Sean langsung melangkahkan kakinya ke arah kamar Abby yang berada di lantai dua.
"Nyari apaan sih, By?"
Suara Sean di belakangnya benar-benar membuat Abby terkesiap. "Astaga! Bisa nggak sih lo gak ngagetin gue kayak gitu?! Nyebelin banget!" Lalu, yang Abby dengar adalah kekehan dari Sean. Abby mendengus dan mencari kembali pil untuk Sean itu di rak dalam kamarnya.
Sean memperhatikan punggung Abby sebentar. Bagaimana bisa Sean dengan bodohnya masih bertahan dengan seseorang yang hatinya saja masih bingung untuk siapa. Sean menarik sudut kiri bibirnya sedikit. Jika Sean mau, Sean akan membawa Abby ke dekapannya sekarang juga.
"Got it!" Abby dengan senyumannya berujar setelah mendapatkan yang sedari tadi ia cari-cari. Dan Abby kini berbalik untuk melihat Sean yang ternyata sudah berbaring di karpetnya dengan ponsel Abby di tangannya. Anjir, itu hape gue?!
Abby tentu saja langsung panik. Tidak pernah ada yang melihat-lihat ponselnya seperti yang sedang Sean lakukan sekarang.
Menyadari itu, Abby langsung duduk di dekat Sean. "Apa yang lagi lo liat? Kembaliin, ih!" Abby mencoba merebut ponselnya dari tangan Sean namun dengan cepat Sean menghindar.
"Password hape lo nama gue? Seriously?" Sean mencoba menahan senyumannya itu sebisa mungkin. Abby terlihat menyembunyikan wajahnya di kedua tangannya itu. Dan Sean berusaha menyingkirkan tangan Abby dari sana.
"Malu, ah!" Itu yang Sean dengar dari Abby dengan suara yang terdengar tidak jelas.
"Kenapa malu coba? Kan bukan sama orang lain, By. Sama gue."
"Sean." Abby memanggil namanya dengan agak kesal.
"Apa, baby?"
"Kembaliin hape gue." Tangan Abby terulur ke arah Sean.
Sean justru menarik tangan Abby yang terulur itu. Menjatuhkan tubuh Abby untuk berbaring di sebelahnya. Dan Sean membawa Abby juga untuk meletakkan kepalanya ke atas dadanya itu. Memeluk leher Abby dengan kedua tangannya. Terdengar tawa pelan Abby di sana. Sean suka mendengar itu. Lalu, yang Sean lakukan adalah mencium bahu Abby berkali-kali. Dan Sean mendekatkan bibirnya pada telinga kiri Abby kemudian berbisik, "Jadi kapan nih, By?"
"Kapan apanya?"
"Kapan lo jadi milik gue-nya?"
...
"Kak Dean!"
Panggilan di belakangnya membuat Dean seketika itu juga menoleh ke arah sumber suara. Di sana—di koridor lantai satu yang terlihat masih sepi, Kinan sudah terlihat dengan senyuman lebarnya seperti biasa. Dean menutup pintu mobilnya dan membuka penutup kepala dari hoodie hitam yang sedang ia gunakan pagi ini. Berjalan menuju ke arah Kinan dengan perasaan yang, entahlah, Dean saat ini memikirkan foto Kinan yang berhasil Matthew dapatkan. Fuckin' great!
Namun, ketika mendekat ke arah Kinan dan melihat dengan jelas senyuman gadis itu, perlahan-lahan takutnya hilang. Dan yang Dean tahu, Kinan sudah menarik ujung hoodie yang Dean gunakan. "Kemarin Kinan cerita sama Ayah kalo Kak Dean ngajak Kinan ke peternakan kuda. Kinan seneng. Makasih ya, Kak Dean." Kinan langsung berkata seperti itu.
Harusnya gue yang bilang makasih, Nan.
Kepala Dean mengangguk dua kali. Kinan senang. Memang itu yang Dean inginkan. "Mau ke sana lagi?" tanyanya.
Kinan dengan begitu antusiasnya mengangguk. "Mau. Tapi Kinan boleh kasih makan Sergio ya, Kak Dean? Ya? Ya?" Tatapannya terlihat penuh harap. Dean mana bisa menolak itu kan, maka Dean juga menganggukkan kepalanya. Menyetujui permintaan Kinan tadi.
Dan di koridor lantai satu yang sepi dengan Kinan yang berada di sampingnya serta perasaan aneh yang ingin sekali Dean sangkal menemani langkahnya pagi ini. Dean menundukkan kepalanya sedikit untuk lebih jelas melihat wajah Kinan itu saat bertepatan juga Kinan menoleh ke arahnya. Tak lama, Dean mendorong dahi Kinan dengan jari telunjuknya itu. "Lo nggak mau nabrak, kan? Liat ke depan lo," ujarnya yang sungguh berbeda dengan apa yang Dean mau.
Kinan menoleh ke hadapannya seperti yang Dean ucapkan, tetapi tak lama Kinan memperhatikan Dean lagi.
Dean mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi. "Ada apaan di muka gue?" tanyanya.
Terlihat Kinan menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tidak ada yang aneh dari wajah Dean di sampingnya, tambah ganteng malah. Tapi bukan itu yang sedang Kinan pikirkan.. "Nggak ada apa-apa di muka Kak Dean. Kinan cuma lagi nunggu aja."
"Nunggu apa?"
"Kak Dean senyum?" Jawaban Kinan justru seperti menjadi pertanyaan baru untuk Dean.
Dean di sebelahnya langsung berdeham pelan.
Seraya menaiki anak tangga untuk menuju ke kelasnya dan Kinan tidak menduga sebelumnya jika Dean juga mengikuti langkah Kinan—kelas Dean berada di lantai satu sedangkan Kinan berada di lantai tiga, Kinan menggigit bibir bawahnya. "Kinan bingung juga tau ngeliat Kak Dean yang nggak pernah senyum. Eh ya, Kak Dean ngapain ikutin Kinan? Kelas Kak Dean kan di bawah." Raut wajah Kinan kini sudah terlihat bingung.
Sebelum menjawab, Dean menarik ujung rambut Kinan itu yang di Senin pagi ini juga Kinan biarkan tergerai. "Mau nemenin lo aja." Dan Dean mengalihkan pandangannya ke arah kelas Kinan yang hanya ada tiga murid di dalam sana.
"Udah nyampe kelas Kinan nih. Kak Dean, mau ngapain lagi?" Kinan mendekat ke arah pagar pembatas dan melihat di bawah lapangan sana petugas upacara sedang bersiap-siap.
Dean mengikuti arah pandang Kinan. Belum ingin menjawab pertanyaan Kinan itu, Dean malah lagi-lagi memikirkan hal yang bisa-bisanya menarik Kinan masuk juga ke dalam masalahnya. Bagaimana Kinan nanti?
Ini yang Dean takutkan jika dirinya dekat dengan seseorang dan orang itu juga akan merasakan imbasnya. Dean pastinya tidak mau satu per satu orang yang Dean sayangi malah menjauh dari dirinya. Dean menggeleng samar.
Tidak Kinan
atau siapa pun itu.
"Kinan." Suara Dean terdengar lagi, kali ini lebih pelan.
"Ya?"
Dean melihat netra cokelat Kinan lekat-lekat. Sebelum akhirnya mengatakan, "Inget ini ya, lo bakalan aman sama gue."
Sori kalo ada typo bertebaran. Aku belum ngecek lagi hm.
Jadi gimana sama part ini? Suka nggak?
Suka sama scene yang mana?
Sean-Abby?
Atau
Dean-kinan? Wkwkwk
Ada pemain baru lagi nich. Say hai ke matthew🙈🙈
Siapa juga nih yang nungguin Dean sama Kinan jadian? Ehe
Menurut kalian pdkt-an mereka lama gak sih?
[ Matthew ]
[ Kinan ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro