Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

three empty words

Bagian 39 |
'cause we can't fix what's broken

Asikk up malem minggu lagi wkwkwkw

Vote dan komen dund gurlsss
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

"Kinan mau keluar, Kak Rama."

Saat mengatakan itu, Kinan tidak menoleh ke arah Rama yang memang sedang duduk di sebelahnya. Pagi-pagi sekali Rama sudah berada di rumah Kinan dan mau tidak mau Kinan akhirnya berangkat ke sekolah bersama Rama juga. Duduk di kursi penumpang dengan keterdiamannya hingga mereka berdua telah sampai tujuan.

Rama melepas seatbelt terlebih dahulu. Menghadap ke arah Kinan sepenuhnya. Melihat leher Kinan lurus-lurus. "Nyesel gak sekarang?" Itu benar-benar sindiran.

Rama sudah tahu dari kemarin malam tentang kejadian yang menimpa Kinan. Kinan juga tidak tahu dari mana Rama mengetahui itu. Kinan yang masih melihat ke sampingnya menghela napas pelan. "Nyesel apaanya sih?" tanyanya dengan tidak bersemangat.

"Masih deket-deket sama Gio?" jelas Rama dan yang sekarang Rama lakukan setelah mengatakan itu adalah menyibakkan rambut Kinan yang menutupi lehernya itu. "Mana coba sini Kak Rama liat."

"Gak usah dipegang." Kinan menyingkirkan tangan Rama dan menghindar. Beruntungnya bekas memarnya sudah tidak sejelas kemarin.

Rama merasa harus menjaga Kinan lebih-lebih lagi. Merasa bodoh juga membiarkan Kinan mendapat perlakuan seperti ini. Seharusnya Kinan tidak boleh merasakan hal yang sama lagi. Cukup dulu saja. "Gio itu musuhnya banyak, Ann. Kak Rama udah bilang ini berkali-kali. Itu resikonya Anna deket-deket sama Gio," kata Rama tanpa mengeluarkan ekspresi apa-apa.

Sangat begitu yakin juga jika memang Gio lah alasan yang menimpa Kinan. Rama agak mengencangkan rahangnya memikirkan itu.

Mendengar ucapan Rama tadi, Kinan menggelengkan kepala. Masih belum ingin melihat lawan bicaranya. "Ini bukan karena deket-deket sama Gio. Tapi emang ada aja orang jahat yang pengen Anna begini," sanggah Kinan dengan tatapan menerawangnya. Mencoba mengingat kembali yang orang itu katakan padanya.

"Anna emang ngapain sampe ada orang yang nyelakain Anna?"

Kinan diam. Tidak mendapatkan jawaban apa-apa di otaknya.

Rama agak mendengus saat Kinan tidak menjawab pertanyaannya. "Nggak tau kan? Pasti karena Gio alasannya."

"Kak Rama, emangnya tau dari mana?" Kali ini, Kinan menoleh ke arah Rama. Dari ucapan Rama, laki-laki itu terdengar yakin sekali dengan hal itu.

"Mereka selalu kayak gitu, Ann. Dulu juga—" Hampir. Rama hampir mengeluarkan perkataan yang tidak seharusnya Rama ucapkan. Merasa masih perlu mengulur sampai Gio benar-benar tidak menepati janjinya.

Entah sudah berapa kali Rama membuat Kinan penasaran dengan ujarannya yang selalu laki-laki itu sembunyikan. "Dulu apa?" Suara Kinan sudah mulai agak bergetar.

"Masuk kelas gih. Udah mau bel, 'kan?" Semudah itu Rama mengalihkan pembicaraan yang telah dirinya sendiri mulai.

Kinan diam beberapa saat melihat ke arah Rama lekat-lekat sebelum akhirnya membuka pintu mobil dan berjalan menjauh dari mobil Rama dengan perasaan yang agak kesal.

"Kinaaaaannn!!!"

Suara Flora terdengar di depan pintu dan menghampiri Kinan yang memang sedang berjalan ke kelas. Memeluk lengan Kinan erat-erat. "Lo ke mana aja, Nan? Gue mau samperin kemaren tapi lo gak bolehin. Ngeselin banget asli ninggalin gue duduk sendirian!" cerocos Flora.

Kinan meringis. "Itu... Kinan kan bilang Kinan gak enak badan. Kinan juga seharian tidur." Setidaknya itu alasan yang paling masuk akal kan untuk saat ini.

"Muka lo keliatan masih pucet tapi." Tangan Flora memegang kedua sisi wajah Kinan, mengarahkan pada wajahnya. Dan memang yang terlihat seperti itu.

"Emang ya?"

Kepala Flora mengangguk. Kinan yang kali ini menarik tangan Flora untuk masuk ke dalam kelas. Tidak ingin melanjutkan obrolan mereka lagi. Takut merembet ke mana-mana juga. Dan ketika Kinan baru saja melangkah masuk suara Erik—teman sekelasnya, terdengar begitu nyaring dari arah belakang.

"Lo-lo pada nanti di kantin kalo makan gak usah bayar ya. Inget tuh!"

Kinan melihat Erik sekilas yang sedang duduk di meja Gio dengan Gio juga di sebelahnya. Lalu, yang Kinan lakukan selanjutnya adalah mengeluarkan hasil karyanya; gantungan kecil berbentuk kura-kura dan juga bentuk kepiting ke atas meja. Flora mengeluarkan punyanya juga.

"Makan doang nih minum kagak?" celetuk Ari yang duduk di depan Kinan.

Terdengar Erik menjawab, "Makan sama minum njir. Oke?"

"Lo ultah ya, Rik?"

"Si Gio menang taruhan haha."

Semua mata memandang Gio. Kinan juga menyempatkan lagi menengok ke belakang. Melihat ke arah Gio yang langsung mengalihkan pandangannya dari mata Kinan.

Hendra yang mendengar itu langsung bangkit dari tempat duduknya. "Astaghfirullah. Eh temen-temen gak baik makan dari hasil menang taruhan. Udah pake duit sendiri-sendiri aja."

"Yaudah gue tetep di jalan setan," sahut Ari dan tertawa setelah itu.

"Gila dasar!" Flora mendengus.

Kinan melihat ke arah Flora dan mengernyit. Gio menang taruhan apa ya? Semoga bukan seperti yang Kinan takutkan, maksud Kinan ikut taruhan yang bisa membahayakan Gio sendiri. Seperti Rama dulu, Kinan mengingat.

Kemudian, Kinan merasakan ponsel di saku seragamnya bergetar.

Gio : Boong itu si Erik.
Jangan didengerin.
Read. 06.36 am.

Kinan : Bodo.
Send. 06.36 am.

...

Gio memutar ponselnya seraya melihat ke luar jendela. Dari lantai tiga kelas paling pojok. Menunggu Kinan yang akan menemuinya. Pertiwi juga sudah membunyikan bel pulang sekolah, Gio tidak perlu begitu khawatir.

Dan senyum Gio perlahan terlihat ketika Kinan sudah berdiri di depan sana. Berjalan ke arah Gio dengan wajah ditekuk. "Kenapa sih?" Lantas saja Gio bertanya dan membawa tangannya untuk menyentuh sisi kiri wajah Kinan.

Menjawab pertanyaan Gio, Kinan hanya menggelengkan kepalanya dan duduk di atas meja berhadap-hadapan dengan Gio.

"Seharusnya lo gak usah masuk hari ini," kata Gio dan mengamati wajah Kinan baik-baik. Dan pelan-pelan menurunkan tangannya ke leher Kinan.

"Gak usah dipegang, Gio." Masih dengan ucapan yang sama saat Rama ingin menyentuh lehernya itu. Lalu secepat kedipan mata, senyum Kinan terbit. "Kinan mau ngasih tugas Kinan yang bikin gantungan itu, jadi Kinan masuk deh," lanjut Kinan. Jika dirinya tidak masuk seperti sebuah kesia-siaan Kinan membuat tugasnya sampai malam.

Membahas gantungan, Gio jadi ingat sesuatu yang ia bawa. Tangannya masuk ke dalam saku hoodie putihnya dan memberikan gantungan yang ia buat itu ke Kinan. "Ini buat lo."

Kinan menerimanya dengan baik. Senyumannya belum juga hilang. "Kok gak yang kura-kura?" tanya Kinan. Padahal Kinan tahu Gio tahu Kinan menyukai kura-kura.

"Yang kura-kuranya lebih bagus dari yang itu. Jadi, gue kasih lo yang itu."

"Ngeselin!" Kinan menendang kaki kiri Gio dengan tenaga yang tidak seberapa. Dan mendekatkan gantungan kecil itu ke depan wajahnya. "Ini bentuk apa, Gio?" tanya Kinan kemudian.

Gio mengetikkan pesan singkat di ponselnya dan menjawab, "Bentuk beruang kutub."

Kinan cemberut. "Gak mirip. Tapi ini mirip Gio tuh," ucap Kinan membawa gantungan yang Gio bilang tadi bentuk beruang ke samping Gio. Mencoba menyamakan.

"Masa?" Gio langsung melihat ke arah Kinan lagi. Memasukkan ponselnya ke saku hoodie.

"Iya!" Kinan mengangguk mantap. Mengamati gantungan di tangannya dan beralih ke arah Gio. Kali ini lebih lama.

Gio di hadapannya kini yang sedang Kinan perhatikan baik-baik, menatap Kinan balik. Entah karena apa Kinan bisa menyukai laki-laki yang selalu berbuat ulah di sekolah itu, sering telat masuk, hampir setiap minggu ada saja kabar Gio berkelahi dengan orang yang Gio anggap menjengkelkan, melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya sendiri.

Tetapi semakin Kinan dekat dengan Gio semakin Kinan tahu Gio mempunyai sisi baik, memiliki senyum yang mampu membuat Kinan jatuh, dekapannya hangat, merasa aman juga berada di dekat Gio.

Iya, Kinan tahu pasti semua orang punyai sisi baik dan buruk. Begitu pun dirinya.

Dan Kinan tidak menyangka juga bahwa laki-laki yang sedang Kinan amati ini menyukainya juga.

Kinan mengangkat lagi kedua sudut bibirnya ke atas dan menendang pelan kaki Gio di depannya. "Gak usah diganteng-gantengin gitu mukanya." Dari penglihatan Kinan, Gio langsung melihat ke arah jendela dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jadi, Gio menang taruhan apa?" Satu pertanyaan yang masih berada di kepala Kinan sejak tadi pagi.

Gio menahan senyumannya. "Lo mau gue traktir? Kuy!"

"Beneran jadinya Gio ikut taruhan?!" Kedua mata Kinan agak menyipit. Menatap lurus-lurus ke arah Gio.

Mendengar itu, Gio berdecak. "Enggak lah. Si Erik tukang boong jangan dipercaya." Ekspresinya sangat meyakinkan Kinan.

Kinan mendekatkan wajahnya pada Gio depannya itu. Matanya masih saja menyipit. Mencari-cari kebohongan di mata Gio dan bertanya, "Gio apa Erik yang boong?"

Ditatap seperti itu oleh Kinan, Gio mengembuskan napas pelan. "Gio," jawabnya.

Dengan mengkerutkan dahinya, Kinan mengubah posisinya seperti semula. "Taruhan apa?"

Gio tampak berpikir. "Apa ya? Lupa." Dengan kedua bahu terangkat Gio mengatakan itu.

"Ish! Bukan karena taruhan buat dapetin cewek, 'kan? Yang kayak dicerita-cerita itu lho."

Untuk ucapan Kinan yang satu itu, Gio tidak bisa menahan untuk tidak memperlihatkan senyumannya. "Kan gue udah punya cewek. Berarti bukan itu."

"Jadi, apa?" Kinan masih penasaran ternyata.

"Gue gak gimana-gimana kok, Ki. Udah gak usah dipikirin." Dengan santainya, Gio berujar.

"Kinan gak mau kalo Gio ikut yang macem-macem ya. Jangan sampe kaki Gio patah lagi." Meskipun Kinan sudah tahu penyebabnya adalah Rama, namun jika Gio berbuat hal yang tidak-tidak kemungkinan akan merasakan hal yang sama juga kan.

Merespons itu, Gio hanya mengangguk. Pandangannya teralih lagi pada jendela di sebelahnya. Memerhatikan langit sore yang bersih di sana. Setelah memikirkan kejadian dua hari lalu dan menghubungkannya pada hal yang Gio curigakan juga sepertinya dia yang paling mendekati jawaban. "Selain dia, siapa aja yang tau kalo kita berdua pacaran?" Gio bertanya tiba-tiba.

"Apa, Gio?"

Gio melirik Kinan. "Lo cerita ke siapa aja kalo kita berdua pacaran?"

"Kinan gak cerita ke siapa-siapa. Kayak yang Gio mau, 'kan?"

"Beneran?" tanya Gio, memastikan.

Kepala Kinan mengangguk. "Mhm-mm. Emang kenapa?" Kinan bertanya balik.

"Gue cuma lagi mikirin tentang orang yang nyelakain lo."

"Gio mikirnya siapa?"

...

"Mikayla?"

Dean memanggil nama gadis yang membelakanginya dengan ragu. Seharusnya Dean tidak perlu menyetujui perkataan Aubrey untuk pulang ke rumah jika Dean dihadapkan lagi oleh masa lalunya yang sudah perlahan-lahan Dean lupakan.

Karena Mamanya hanya bilang ingin berkumpul bersama keluarganya dan Dean tidak berpikir bahwa Mikayla ada di sini juga. Terlebih ada di kamar lamanya saat ini.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama Dean melihat kembali senyum di wajah Mikayla yang sudah menghadap ke arah dirinya. "Kok chat aku gak kamu bales? Aku padahal nungguin lho." Seperti tidak terjadi apa-apa, Mikayla berkata seperti itu. Seolah hal yang dilakukannya pada Dean dulu tidak menimbulkan sesuatu yang membuat Dean tak ingin melihat dirinya lagi.

Dean memilih untuk tetap pada posisinya. Bersandar pada pintu kamar di belakangnya itu. Tidak ingin mendekat juga. Padahal dulu hal pertama yang akan Dean lakukan ketika bertemu dengan Mikayla lagi adalah memeluk gadis itu. Namun sekarang lain. "Ah iya, gue lupa." Dean menyahut.

Mikayla tersenyum, paham betul apa yang sebenarnya Dean rasakan. Jika Mikayla menjadi Dean pun akan Mikayla lakukan hal yang sama.

"Aku ke sini diundang sama Tante Aubrey. Ketemu pertama kali juga sama Tante. Cerita banyak tentang kamu. Kamu apa kabar?"

Di hadapannya, Dean mengamati Mikayla lurus-lurus. Tidak ada yang berubah kecuali warna matanya. "I'm good."

"Bagus dong. Mm.. aku kangen. Udah berapa lama ya kita gak ketemu?"

Mikayla itu mirip sekali seperti Abby dari cara berpakaian, rambut brunette bergelombang. Mereka dulu memang berteman dekat. Dekat hingga semuanya berubah seketika itu juga. Dean menggeleng. "I don't know. You tell me." Bahu Dean terangkat.

"Aku minta maaf." Mikayla berkata pelan. Tujuannya juga bertemu dengan Dean ingin mengatakan itu.

Dean hanya mengangguk, tetapi Mikayla merasa kurang puas.

"Aku tau aku ngebebanin kamu banget karena aku pergi tiba-tiba gitu. Ada yang harus aku... lakuin." Dengan pelan, kedua kaki jenjang Mikayla yang dibalut dengan ankle boots hitam itu berjalan mendekat ke arah Dean. Mendongak sedikit saat sudah benar-benar berada di hadapan laki-laki yang dengan berhasilnya membuat detakkan jantungnya berdegup lebih cepat. "Aku bener-bener kangen banget sama kamu." Dan tangannya memeluk tubuh Dean kini.

"La."

"Sebentar aja." Mikayla mengeratkan kedua tangannya.

Dari Matthew, Mikayla selalu mendapatkan kabar Dean saat Mikayla berada di Berlin dulu. Mikayla juga yang meminta Kakaknya itu untuk selalu menghubunginya.

"Lo ke mana aja? Lama banget perginya." Dean mulai bertanya.

"Cari yang beda dari aku, itu jawabannya."

Dean menghela napas pelan. "Susah ya buat ngabarin?"

"Aku malah mikirin kamu mulu. Kalo kamu tau ya—"

"La, lepas dulu."

Mikayla melepaskan pelukan sepihaknya itu. Dari banyaknya alasan yang membuat Dean berubah, Mikayla menarik satu kesimpulan.

"Aku tau ini gak tepat banget. Tapi kapan aku bisa ketemu sama dia?"

Dean mengerjap. Menundukkan kepalanya dan melihat Kinan yang sudah berada di sampingnya saat ini. Tadi Dean memang sedang memutar kembali bayangan dirinya yang bertemu dengan Mikayla semalam. Dan di sini lah Dean sekarang, di depan loker koridor sekolah dengan Kinan di dekatnya.

"Dean Genta Prayoga." Terlihat Kinan sedang membaca nama lengkap Dean di buku catatan bahasa Jerman laki-laki itu yang akan Kinan pinjam untuk ujiannya dua hari lagi.

Dean menutup pintu lokernya. Mengamati gadis mungil yang dua hari lalu sempat ketakutan. Merasakan sakit juga di lehernya. "Udah gak sakit kan, Nan?" Dean tidak bisa untuk tidak bertanya tentang satu hal penting itu. "Jangan bohong."

"Udah enggak. Bekasnya aja udah ilang tuh." Kinan membuka sedikit kerah seragamnya. Meyakinan Dean.

Di malam itu, Kinan tidak menangis sama sekali. Dean ingat. Kinan hanya terlihat ketakutan dengan tubuh yang bergetar hebat. Dean tidak tahu harus melakukan apa selain mendekap tubuh mungil Kinan erat-erat. Memberikan satu tindakan langsung agar Kinan tenang.

"Kak Dean, Kinan pulang sekarang ya."

"Gue tungguin di depan sampe Om Adam dateng." Dan yang Dean lakukan setelah mengatakan itu ialah menarik tas kuning Kinan.

Kinan langsung saja melepaskan tangan Dean itu. "Jangan ditarik tas Kinannya, Kak Dean." Dan berjalan mengikuti langkah Sean di depannya.

"Good luck buat ulangannya ya!" Kali ini Dean menarik ujung rambut Kinan. Membuat Kinan mendongak ke arahnya dengan agak kesal.

Kinan memasukkan buku catatan Dean ke dalam tasnya sambil terus berjalan.

"Mau gue aja yang nganterin lo pulang? Biar kita bisa ngobrol juga?"

Kinan yang tadinya sedang ingin mengirimkan chat untuk Ayahnya terurungkan. "Mau ngobrolin apa tuh, Kak Dean?"

"Apa aja," jawab Dean dan meraih ponselnya juga. Mengetikkan pesan singkat untuk Adam. Tak lama balasan Adam muncul di notifnya. Dean melihat ke arah Kinan kini, lalu menggenggam pergelangan tangan Kinan untuk mengikuti langkahnya untuk sampai ke mobilnya yang terparkir.

"Padahal Kinan mau berduaan sama Ayah tau." Kinan mengatakan itu sambil tersenyum ketika dirinya sudah berada di dalam mobil Dean. Dean tidak membalas ucapannya. Kinan menghadapkan tubuh ke arah Dean sepenuhnya yang ternyata sudah lebih dulu melihat ke arah dirinya itu.

Kinan menggigit bibir bawahnya. "Kak Dean, kenapa?"

Kepala Dean terlihat menggeleng pelan.

"Kalo Kak Dean mau cerita sama Kinan dulu di sini, Kinan bakalan dengerin. Kinan masih punya banyak waktu kok." Masih dengan senyumannya, Kinan berujar.

"Ceritanya sambil peluk lo boleh?"

Ditahan dulu pelukannya lol

Dari part ini suka sama yang mana gais?

Ada yang gak suka juga?

Mikayla muncul juga nih, say hai

Kodenya udah aku selipin jangan sampe kelewatan pokoknya wkwkwk

Lanjut lagi gak?

Kalo ada yang nungguin cerita ini kan aku jadi semangat ngetik ehe

Sori typo

Meet Mikayla

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro