the weight
Bagian 26 |
you say someday you will change
but I don't wanna wait
Seperti yang aku bilang, aku up lageee. Dan gais plis, baca ulang part 'Running Low' aku udah revisi. Biar kalian gak bingung wkwkkw
seperti biasa jangan lupa vote dan komennya hehehehehe✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
Dean yang pertama bangkit dari bangku dan berdiri di depan Kinan dengan tangan kanan yang sudah terulur di hadapan gadis itu. "Ayo, gue anter lo pulang sekarang," ujarnya.
Kinan mendongak untuk melihat wajah Dean. Kinan menggigit bibir bawahnya. "Kalo Kinan bilang Kinan gak mau pulang sekarang, gimana?" Dan menggapai tangan Dean untuk Kinan genggam dengan erat.
Dean melihat layar ponselnya terlebih dahulu. Dan terlihat di sana jam sudah menunjukkan pukul 05.05 pm. "Lo mau ngapain lagi di sini?" Dean melihat ke arah Kinan lagi. Tangannya belum dilepaskan oleh gadis itu.
Butuh waktu lama untuk Kinan menjawab pertanyaan Dean barusan dan Kinan mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. "Kak Dean, kalo mau pulang duluan, pulang aja. Kinan gak apa-apa kok di sini."
Ketika Dean merasakan tangan Kinan mengendur di genggamannya, Dean menahan tangan mungil Kinan. "Gue gak mungkin ninggalin lo sendirian. Ada apa lagi?" Dean pasti ingin tahu, mengapa Kinan tidak ingin pulang ke rumahnya dan memilih untuk berdiam diri di depan minimarket seperti ini.
Dengan tangan satunya yang bebas, Kinan menyentuh dadanya. "Kinan ngerasa deg-degan banget sekarang. Kinan nggak mau pulang dulu." Dan saat merasa perasaan yang tidak enak seperti ini, pasti ada hal yang tidak Kinan inginkan. Kinan berpikir, lebih baik Kinan menghindar dari sekarang.
Dean menarik tangan Kinan untuk bangkit. "Masuk ke mobil gue, ayo." Kinan menggeleng. "Kita nggak pulang, Nan. Masuk ke mobil gue aja dulu."
Kinan awalnya ragu tetapi tak lama Kinan bangun juga dari tempat persinggahannya itu. Mengikuti Dean di depannya dan masuk ke dalam mobil Dean dengan perasaan yang lebih nyaman dari sebelumnya.
"Lo gak akan ngerasa kedinginan di sini."
Suara Dean terdengar lagi dan dari penglihatan Kinan, Dean mengeluarkan kembali ponselnya dari saku jaket. Men-scroll layar ponselnya juga. Kinan memilih untuk melihat ke arah rear-view. Ayahnya tidak akan tahu kan Kinan ada di sini?
"Kinan," panggil Dean.
Dan itu mengagetkannya, Kinan menoleh ke arah Dean. "Apa, Kak Dean?" tanyanya.
"Jangan ngelamun."
Kinan malah terkekeh sebentar dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kinan gak ngelamun. Tolong iketin rambut Kinan lagi dong, Kak Dean." Dan seperti biasa, Kinan mengulurkan tangan kirinya yang terdapat ikat rambut hitam yang Kinan jadikan gelang. Kinan lebih suka Dean yang mengikat rambutnya. Terlihat lebih rapi juga.
Ketika Kinan sudah memutar tubuhnya, Dean mulai merapikan rambut panjang Kinan sebelum akhirnya Dean ikat dengan hati-hati. "Inget apa yang gue bilang kan?" Dean bertanya memastikan.
"Yang mana tuh?"
"Kalo udah sampe rumah lo harus ngapain?"
Kinan mengangguk pelan. "Iya, Kinan inget."
"Udah gak deg-degan lagi?" Dean bertanya kembali.
"Iya, udah nggak." Sudah merasa nyaman juga di dalam sini. Kinan merasa begitu.
Dean menjauhkan tangannya dari rambut panjang Kinan dan melihat ke arah luar jendela di samping gadis itu. "Rambut lo udah rapi. Gue keluar sebentar." Dan berniat untuk membuka pintu, jika saja suara Kinan tidak terdengar.
"Kak Dean, mau ke mana lagi?"
Dengan telunjuknya Dean arahkan pada depan minimarket. "Ke depan situ doang sebentar. Gue gak akan ke mana-mana," jawabnya dan setelah melihat Kinan sebentar barulah Dean turun dari mobil.
Yang baru Kinan tahu, di sana terlihat Dean sedang berbicara dengan driver ojek online dan Dean sekarang membuka dompetnya, memberikan uang dan menerima satu kantong plastik putih yang entah isinya apa.
"Gue gak lama kan?" Dean bertanya setelah dirinya masuk ke dalam mobil lagi.
Kinan mengernyit. "Kak Dean, order makanan?"
Den mengangguk dan memberikan kantung plastik itu pada Kinan dan diterima baik oleh gadis itu. "Ayam bakar madu kesukaan lo. Abisin nih."
"Makasih ya, Kak Dean. Jadi, sekarang Kak Dean udah punya aplikasi ojek online ya?" Karena Kinan ingat saat belum sedekat ini dengan Dean, Kinan yang meminjam ponsel laki-laki itu tidak ada aplikasi berwarna hijau di sana.
Dean memperlihatkan Kinan layar ponselnya. "Baru gue install tadi. Berguna juga kalo lagi di deket lo."
Perkataannya membuat Kinan tertawa, walau pelan. Lagi. Kinan mulai membuka kotak kardus yang sudah menguar bau ayam bakar madu yang Kinan suka dan belum sempat Kinan menawarkan makanan itu pada Dean, Dean yang lebih dulu mengeluarkan suaranya.
"Gue keluar lagi sebentar ya, Nan. Nyokap nelpon nih. Halo, Mah?"
Hanya itu yang Kinan dengar, karena Dean sudah keluar dari mobil dan berbicara dengan Ibunya. Kinan melihat layar ponselnya yang baru menyala itu. Ada pesan singkat dari Ayahnya.
Anna lagi di mana?
Pulang sekarang, Ayah tunggu.
Read. 05.34 pm.
...
"Sean, turun!"
Sean yang memang sedang duduk di rooftop gedung apartemen dengan kedua kaki menggantung langsung menoleh ke arah belakangnya. Abby sudah terlihat di sana. Sean menarik kedua sudut bibirnya sedikit. "Sini, By. Duduk di samping gue. Liat pemandangan bagus." Iya, dari atas gedung ini memang menyajikan view yang benar-benar bisa memanjakan mata. Buktinya dari satu jam yang lalu Sean juga belum beranjak dari persinggahannya.
Menikmati udara sore dengan langit berwarna merah keemasan dan kendaraan yang berlalu lalang tak ada habisnya. Sebelum akhirnya bayangan-bayangan yang membuat Sean mengabaikan pemandangan di hadapannya itu datang. Menyergapnya tanpa aba-aba. Dan Sean mengalah, semua berputar terus-menerus.
"Sean, gue takut ketinggian. Duduk di sini aja bareng sama gue."
Suara Abby terdengar lagi. Sean agak mengernyit. "Lo takut ketinggian?" Salah satu hal yang baru Sean tahu dari seorang Abby.
Kepala Abby mengangguk dan memilih duduk bersandar pada tembok samping pintu. Tidak berani juga untuk menyeret Sean di sana. Menekuk kedua kakinya yang sekarang Abby peluk. Dan dari penglihatannya, sekarang Sean sedang turun kemudian berjalan mendekat ke arah Abby. Duduk di sampingnya dan Abby langsung mencium pipi laki-laki itu. Padahal hanya dua hari Abby tidak bertemu Sean, dikarenakan juga Sean harus fokus mengerjakan tugasnya. Dan hari ini bertemu dengan Sean, rasanya Abby tidak ingin melepaskan pelukannya di lengan Sean.
"Katanya lo ada acara?" Sean menoleh ke arah Abby dan melihat kini Abby menyandarkan kepalanya pada bahu Sean.
Abby mengangguk. "Ada. Tapi nanti malem kok. Gue udah bawa baju ganti, make-up juga yang gue udah taro di apart lo. Lo yang anterin gue ya? Terus pulangnya jemput juga. Terus kita jalan ke mana gitu. Gue kangen."
Mendengar itu, Sean memasang ekspresi datarnya. Membawa tangannya ke sisi wajah Abby, agar Abby melihat dirinya lurus-lurus. "Ojek-able banget ya gue?"
Abby malah tertawa. "Nggak gitu, Sean. Kita jalan ya. Malam mingguan juga. Kangen sama lo. Kangen banget," kata Abby seraya mencium pipi Sean berkali-kali. Akhirnya Sean memperlihatkan senyumannya juga dan itu tidak lama karena Sean lebih memilih untuk melamun lagi.
Pandangan Sean tertuju pada langit di depan sana. Sebenarnya untuk masalah yang satu itu, Sean sudah lupakan. Sudah Sean kubur dalam-dalam. Kejadiannya sudah satu tahun lalu juga. Tetapi, siapa yang tahu Sean harus dipertemukan oleh ketakutannya sendiri. Menyeretnya kekilasan-kilasan yang memang Sean yang menginginkan hal itu. Boleh kah sekarang Sean menyesal?
Sean menggeleng samar, menjawab pertanyaan di otaknya.
Dan yang terburuk adalah Sean melakukannya dua kali.
Fuckin' great.
"Lo nambah tato lagi ya?"
Sean mengerjap. "Apa, By?"
"Lo nambah tato lagi di leher lo?" Abby mengulang pertanyaannya dan menyentuh tato bertuliskan XI di leher Sean itu.
Menjawab pertanyaan Abby tadi, Sean mengangguk dan menggerakkan kepalanya ke arah kanan. "Iya, cuma dikit." Dan kecil juga. Tidak akan terlihat jelas jika tidak memperhatikannya baik-baik. Sean ikut menyentuh tato barunya itu. Itu angka sebelas dalam romawi.
"By, liat gue."
Abby mengalihkan pandanganya dari leher Sean ke arah netra cokelat laki-laki itu. "Ya? Kenapa? Bentar-bentar, lo jarang banget keliatan serius gini. Jangan bikin gue takut." Tetapi memang benar, Sean jarang sekali memperlihatkan ekspresi seriusnya seperti sekarang. Membuat Abby jadi takut sendiri.
Mendengar perkataan Abby barusan, Sean tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar. "By, ini emang gue mau ngomong serius."
Abby berharap semoga bukan yang gimana-gimana. Abby mengganggukkan kepalanya perlahan. "Oke, apa?" Dan meletakkan dagunya ke atas lutut kiri Sean, memerhatikan wajah Sean baik-baik.
Sedangnya Sean memilih untuk menyandarkan kepalanya pada tembok di belakangnya itu. "Lo tau Elara, kan?" tanya Sean mengawali topik baru.
"Pacarnya Ardi, temen lo? Ya, gue kenal. Kita pernah beberapa kali hang out bareng juga. Kenapa?" Abby semakin ingin cepat-cepat tahu apa yang sebenarnya akan Sean ceritakan padanya.
Sean melihat ke arah Abby sebentar dan beralih ke depan sana lagi. "Elara punya temen namanya Kinan." Yang tidak pernah Sean sangka gadis itu terlalu lucu. Sean juga bisa langsung nyaman berbicara dengan Kinan—karena selalu saja ada yang keluar dari mulut gadis itu, dan Kinan dengan mudahnya membuat orang yang berada di dekatnya langsung mengeluarkan senyumannya juga.
Senyum Kinan benar-benar contagious.
"Itu Kinan yang gue kasih tau fotonya ke elo?"
Sean menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Ya."
"Lo kenal dia?" Abby memberikan Sean pertanyaan lagi. Semakin penasaran.
Masih belum mengalihkan pandangannya ke mana-mana, Sean menjawab, "Gue baru kenalan sama dia. Gak sengaja sih pas gue nunggu sepupu gue di Pertiwi."
Dengan spontan Abby mengatakan, "Pacarnya Dean."
Barulah, Sean melihat ke arah Abby kembali. Raut wajahnya agak berubah, lalu Sean mengenyit. "Pacarnya Dean?" Dan mengulang perkataan Abby, mencoba memastikan. Gila! Sean menambahkan dalam hati. Kenapa tidak terpikirkan oleh Sean saat Kinan malah memanggilnya dengan sebutan 'Dean' di awal perkenalan mereka.
"Iya. Kinan yang itu. Jadi, kenapa sama dia?"
Well, Sean benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.
Dean... pacar Kinan.
...
"Kita tunggu Anna. Jangan pulang dulu."
Liora melihat ke arah Adam lalu menganggukkan kepalanya pelan. Tidak bisa disangkal juga bahwa dirinya sebenarnya takut bila Kinan justru tidak ingin melihat dirinya lagi. Bagaimana jika itu memang kenyataannya? Dari pertama kali menginjakkan kakinya di rumah Adam, Liora merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ini pertama kali juga setelah sekian lamanya, Liora akan bertemu dengan Kinan. Putrinya. Secara langsung.
Adam memberikan segelas air mineral ke Liora dan ikut duduk di samping wanita itu. Adam yang memang menjemput Liora di Bandung. Karena bukannya lebih cepat lebih baik untuk memberitahukan Kinan bahwa mereka telah berbaikkan?
Liora bangkit dari sofa dan berjalan melihat pigura-pigura yang terpampang di dinding itu. Seharusnya ada foto dirinya, mendampingi Kinan dari kecil hingga Kinan besar seperti sekarang. Ya, seharusnya.
"Anna lagi di mana, Dam?" tanya Liora dan melihat Adam di belakangnya yang sekarang sedang memainkan ponselnya itu.
"Pergi ke rumah Dean. Aku mau telpon dia dulu sebentar." Dan Adam dengan ponsel di telinganya, berjalan menjauh dari Liora. Padahal Adam sudah mengirimi Kinan chat tetapi hingga malam seperti ini, Kinan belum juga membalas pesan singkatnya.
Kepala Liora bergerak lagi untuk memerhatikan satu per satu foto-foto keluarga nya di sana. Lalu, ia tersenyum tipis. Makasih ya, Mah. Udah jagain Anna buat aku, batinnya seraya melihat foto Shellyn yang sedang memeluk erat Kinan kecil yang tersenyum lebar. Dan menyesal juga mengapa Shellyn pergi secepat itu juga.
"Anna nggak ngangkat telpon aku, Dean juga."
Mendengar suara berat Adam di belakangnya, Liora berhasil untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. "Mungkin mereka lagi di jalan, Dam." Dan beruntungnya lagi suaranya terdengar normal.
Adam mengganggukkan kepalanya dan meletakkan ponselnya di atas meja dekat akuarium kecil. Melihat Liora di sampingnya. "Iya, mungkin aja," ujarnya pelan. Jeda sebentar lalu Adam melanjutkan, "Udah siap sama kemungkinan terburuk? Aku emang belum pernah bahas ini sama Anna."
Membahas Liora. Membahas keluarga mereka yang utuh, dulu. Membahas Adam yang sering bolak-balik keluar kota juga untuk menemui Liora. Kinan masih terlalu sensitif untuk mengetahui itu. Kemudian, semakin lama semakin Adam sadar, Kinan berhak tahu juga. Dan hari ini Liora juga ingin bertemu dengan Kinan. Lagi-lagi, secara langsung. Kinan yang melihat dirinya.
Liora menarik kedua sudut bibirnya ke atas sedikit, tersenyum meskipun tipis. "Anna mau ngeliat aku aja, aku udah bersyukur." Iya, karena bisa sangat dipastikan Kinan... membencinya.
Adam mengusap bahu Liora, memberikan satu tindakkan langsung agar wanita itu merasa tenang. "Cepat atau lambat Anna pasti bakalan nerima. Apalagi kamu Bundanya sendiri."
"Anna butuh kamu juga," lanjut Adam.
Enggak, Yah. Ayah salah. Kinan yang menjawab itu dan dengan perlahan-lahan mulai menjauh dari pintu utama rumahnya. Yang tidak mereka sadari Kinan sudah lama berada di sana. Mengamati Adam dan—wanita yang tidak Kinan pernah duga sebelumnya, Liora di balik pintu. Kenapa Ayahnya tega pada Kinan?
Dan perasaan memang tidak pernah bisa untuk dibohongi.
Kinan tahu itu. Ayahnya yang ingin membuat Kinan melupakan kejadian di masa lalu, kemudian Ayahnya sendiri lah yang membuat Kinan mengingat hal itu juga. Jadi, mau Ayahnya apa? Kinan harus bagaimana?
Bunda udah nyakitin Ayah, Yah. Udah nyakitin Anna juga. Kinan dipaksa lagi untuk menyaksikan bagaimana hal itu berulang-ulang Kinan alami. Kinan ingin menangis juga, tetapi air matanya menolak untuk keluar. Rasanya jantungnya juga sudah berdenyut sakit. Namun, Kinan berusaha untuk mengabaikan itu.
Karena yang paling penting sekarang, Kinan harus menjauh dari rumahnya. Kinan tidak ingin masuk ke dalam rumahnya. Apalagi bertemu dengan Liora.
Kinan melangkahkan kakinya kembali ke arah minimarket di depan sana. Rasanya memang lebih menyakitkan daripada apa pun. Luka di tangannya saja kalah dengan kenyataan bahwa Adam membohonginya. Bahwa Liora datang lagi.
Setelah sampai, Kinan langsung duduk di bangku panjang. Mengeluarkan ponselnya dari saku celana jins yang ia kenakan. Tangannya bergetar hebat sekarang. Siapa yang harus Kinan telpon? Kinan harus meminta bantuan sama siapa?
Di saat-saat seperti ini, Kinan tidak bisa berpikir. Lalu Kinan menundukkan kepala. Mengucapkan berulang kali "Kinan nggak mau pulang" dan satu tetes air matanya berhasil jatuh. Semakin Kinan tahan juga semakin banyak juga air mata yang turun. Kinan memilih untuk membiarkan.
Hingga Kinan merasakan tubuhnya ditarik ke sampingnya dan Kinan merasakan dekapan hangat seseorang yang sudah sangat Kinan kenali. "Ssstttt jangan nangis. Gue udah di deket lo, Ki."
Hanya itu yang saat ini memang Kinan butuhkan. Kehadiran seseorang.
"Temenin Kinan ya, Gio."
Deannya lagi sibuk jadinya bukan dia yang dateng hiks
Ya, Sean agak kaget gitu ya pas tau Dean pacarnya Kinan. Kenapa tuh anak hm hm
Dan ternyata bunda yang Adam janjiin ke Kinan itu ya.. Bundanya Kinan. Duh Om;"
Part besok bakalan ada yang iya-iya nih🙈🙈
Pertanyaan2 kalian bakalan dijawab dipart besok juga. Yang mana ya itu👀
Kayaknya juga aku bakalan up cepet. Soalnya udah tau mau ngetik apa meuehehehhe
Aku tunggu komen kamu ya. Iya kamu..
Biar aku jadi semangat ngetiknya juga gitu kalo banyak yang komen ehe;3
[ Sean yang lupa beli kuaci
rasa green tea hiks ]
[ Abby ]
[ Om Adam, Ayah Adam, Papa Adam ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro