strings
Bagian 32 |
and when I'm with you I feel better
Asik up cepet lagi. Makasih buat yang komen part kemarin cyin. Vote dan komen lagi bosque✨✨
Aku mau kasih warning⚠️
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
"Nanti Mami beliin mainan yang Aaron suka, tapi janji jangan nangis lagi ya?"
"Sini peluk Mami dulu."
"Ayo, beli mainan yang Aaron mau."
Kinan memegang tali sling bag-nya dengan erat dan masih memerhatikan Ibu beserta anak laki-laki kecil yang sekarang sudah menjauh dari dirinya. Mereka tertawa. Terlihat bahagia. Dan segala pertanyaan dengan awalan 'Bagaimana jika' sudah berkerumul di kepala Kinan kini.
Bagaimana jika anak kecil tadi adalah Kinan?
Bagaimana jika Ibu dari anak kecil tadi adalah Bundanya?
Bagaimana jika Bundanya memperlakukan Kinan seperti Ibu tadi yang memperlakukan anak kecilnya?
Kinan menggeleng. Seharusnya tidak perlu untuk membandingkan dirinya dengan anak kecil tadi. Seharusnya tidak perlu untuk berandai-andai jika Kinan sudah mempunyai Ayah yang begitu menyayanginya.
"An, jangan buat Bunda marah bisa gak?! Bunda capek, Anna gak usah rewel!"
Kinan yang masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar saat itu hanya bisa bersingsut ketakutan di pojok almari di kamarnya dan menangis segukkan. Saat mendengar barang pecah belah itu dibanting Liora, Kinan terlonjak kaget. Berkali-kali.
Oma Shellyn sedang jauh dari rumah. Ayahnya juga sedang bekerja, tidak ada seseorang pun yang memeluk Kinan kecil.
"Anna, Bunda bilang berenti nangisnya!" Bentakkan Liora menggema di rumah besar itu.
"Anna mau sama Ayah!" teriak Kinan dan menutup telinganya rapat-rapat sedang Liora yang mendengar itu langsung menyeret Kinan keluar dari kamarnya secara paksa. Tangis Kinan semakin menjadi.
Kinan tidak mengerti juga mengapa Bundanya setiap hari mengurung diri di dalam kamar dan langsung berubah mengerikan seperti saat melihat Kinan.
Pipi kanan Kinan terlihat memerah dan perih juga, ia melampiaskannya hanya dengan tangisan. Jika ditanya siapa orang yang paling Kinan sayang jawabannya tentu lah Oma Shellyn dan yang kedua yaitu Ayahnya.
Dan semenjak Oma Shellyn pergi meninggalkan Kinan, Kinan merasa seperti sebagian hidupnya pergi juga. Bayangan Liora membentak Kinan dan perlakuannya pada Kinan menjadi pemicu mengapa Kinan sering menyakiti dirinya sendiri. Hingga saat ini.
"Kinan."
Kinan benar-benar terkesiap dan baru sadar bahwa kedua pipinya basah karena air matanya yang berhasil jatuh. Cepat-cepat Kinan mengusap wajahnya. Kinan harap Dean tidak melihat itu. Kemudian, Kinan mendongak ke arah Dean di sampingnya yang baru saja mengambil barang yang tertinggal di dalam mobil.
Sore ini mereka berdua sudah berada di dalam Mal. Sesuai dengan kata-kata Dean kemarin yang mengatakan ingin mengajak Kinan nonton berdua jadilah mereka di sini sekarang. Kinan berdiri dari tempat duduknya. "Udah gak ada yang kelupaan lagi kan, Kak Dean?" Secepat kedipan mata, Kinan bisa bersikap biasa lagi. Memperlihatkan senyumannya juga.
Dean menundukkan kepalanya dan menggeleng. "Udah gak ada. Lama nunggu gue-nya?" Gantian, kali ini Dean yang bertanya dan menarik pergelangan tangan Kinan untuk mengikuti langkahnya. Lalu tak lama tangan Dean beralih menggenggam tangan mungil Kinan. Erat.
Sebelum menjawab, Kinan memandangi tangannya digenggaman Dean itu dan mendongak untuk melihat wajah Dean di sebelahnya. "Enggak lama, soalnya Kinan tadi merhatiin anak kecil lucu banget, Kak Dean. Pipinya chubby lagi kayak bapau gitu." Tawa kecil Kinan terdengar sebentar mengingat anak laki-laki kecil tadi—Aaron.
Selagi Kinan bercerita kedua mata Dean tidak beralih ke mana-mana. Terus memerhatikannya. "Gue jadi inget keponakan gue yang masih TK."
"Yang mainannya ada di apart, Kak Dean ya?" Kinan ingat pernah melihat banyaknya mainan di satu box besar di dekat nakas kamarnya Dean. Dan memilih untuk menonton film kartun saat Kinan menunggu Dean tidur.
Kepala Dean mengangguk pelan. "Iya, dia sering dititipin ke gue jadi banyak barang-barangnya yang ada di gue, Nan. Kapan-kapan kalo dia ke sini gue kenalin ke elo."
"Ajak Kinan nemuin Sergio aja dulu." Kinan mulai mengayunkan tangannya ke depan lalu ke belakang.
"Jangan nangis tapi ya?"
Kinan cemberut mendengar itu. Dean pasti sedang menyindirnya karena kejadian beberapa hari yang lalu. "Kak Dean, juga jangan nyebelin tapi!" Dan mendorong bahu Dean dengan bahunya sendiri. Kinan mendapatkan tarikan di ujung rambutnya. Kinan makin cemberut.
"Tunggu di sini aja. Gue yang pesen tiketnya. Film horror yang itu, 'kan?" Telunjuk Dean mengarah pada poster film yang paling pinggir. Kinan mengangguk dan tangannya terlepas. Sebelum benar-benar masuk ke dalam bioskop, Dean membisikan Kinan untuk tidak pergi ke mana-mana.
Kinan berbalik untuk menunggu Dean dengan bersandar pada besi pembatas. Sebenarnya dari awal Dean menampakkan dirinya di depan rumah Kinan, Kinan ingin menanyakan perihal gadis yang ia temui di Chloe's tetapi sesaat itu pula Kinan sadar; Dean siapanya Kinan?
Jika dia pacar Dean pun, Kinan tidak bisa berbuat apa-apa.
Tetapi pasti bukan. Karena Dean pernah mengatakan pada Kinan bahwa tidak mungkin Dean nekat mengajak Kinan jalan berdua atau mendekati Kinan jika Dean memang mempunyai pacar. Jadi, Abby siapanya Dean?
Dan yang pasti, bukan hanya itu alasan mengapa desakan di diri Kinan semakin menjadi-jadi untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan yang muncul di otaknya.
Kinan mengangkat kedua sudut bibirnya ketika kedua matanya melihat Dean mendekat, Kinan sudah memutuskan untuk bertanya.
"Filmnya mulai dua jam lagi. Mau makan dulu?" Dean langsung memberikan Kinan pertanyaan itu saat berada tepat di depan Kinan.
"Kak Dean, udah laper?"
Alis Dean terangkat sebelah. "Lo?"
Kinan menggeleng. "Belom. Duduk di sini dulu." Tangan Kinan menarik sisi kaus hitam yang Dean gunakan untuk mengajaknya duduk di samping Kinan seraya melihat banyaknya anak kecil yang sedang menaiki kereta berwarna merah itu yang berada di hadapan mereka berdua.
Mendadak pertanyaan yang sudah Kinan rangkai di kepalanya sedari tadi tidak bisa Kinan keluarkan dari mulutnya. Kinan bungkam. Tidak tahu harus memulai dari mana. Kinan menggigit dalam pipinya dan menggerakkan kedua kakinya ke kanan lalu ke kiri. Bergerak tidak nyaman.
"Kemarin pas ketemu di kafe itu gue sebenernya mau nyamperin lo, tapi lo pergi duluan."
Mendengar ucapan Dean barusan, lantas Kinan langsung menoleh ke arah Seniornya itu. Dean tidak bisa membaca pikiran Kinan kan? Kenapa Dean bisa tahu juga Kinan ingin membahas perihal itu.
Kinan menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga sebelum akhirnya menjawab, "Itu karena Kinan gak mau ganggu, Kak Dean. Yaudah Kinan langsung kabur aja."
Dean memandang Kinan dengan alis bertaut. "Ganggu apanya?" tanyanya bingung.
"Mm.. Kak Dean sama Kak Abby?" Kinan mengatakan itu dengan sedikit pelan dan mengalihkan lagi kedua matanya untuk melihat ke depan.
Oh.
"Abby itu sahabat gue dari kecil, Ann."
Ann.
Lagi.
Entah ini hanya perasaan Kinan atau apa, jika Dean yang memanggilnya dengan sebutan itu Kinan merasa agak beda. Mengantarkan sesuatu yang—Kinan tidak tahu harus menyebutnya bagaimana—ke dalam dadanya. Kinan menoleh ke arah Dean yang ternyata masih saja melihat ke arahnya. "Kinan salah dong ya?"
"Lo mikir apa emangnya?"
Duh. Kinan salah bertanya. Seharusnya Kinan lebih harus memikirkan apa yang keluar dari dalam mulutnya tanpa membahayakan dirinya sendiri. Kinan dengan cepat menggelengkan kepalanya.
Namun, Dean tahu apa yang sedang Kinan pikirkan. Maka, Dean berkata dengan mata yang menatap netra cokelat milik Kinan lurus-lurus,
"Lo pernah ngerasa pas lo bukan siapa-siapanya orang yang lo suka, tapi lo harap dia juga bukan siapa-siapanya orang lain?"
Dean memberi jeda sebentar.
"Lo pernah ngerasa? Karena gue lagi ngerasain itu."
...
Sean : Mau gak, By?
Send. 05.12 pm.
Abby : Mau apa?
Read. 05.12 pm.
Sean : Baby? :)
Send. 05.12 pm.
Abby : Gue malah mau yang meluk baby-nya.
Emeshhhh
Read. 05.13 pm.
Sean menangkat kedua sudut bibirnya membaca balasan chat dari Abby. Dirinya sudah berada di depan rumah gadis itu. Menunggu Abby yang katanya sebentar lagi sudah rapi, tetapi malah sempat-sempatnya membalas pesan singkat dari Sean. Kemudian, Sean memilih untuk memasukkan ponselnya ke saku jaket dan bersandar di pintu mobilnya setelah melihat Abby yang terlihat baru saja keluar dari pagar rumahnya.
Abby terlihat tersenyum lebar dan langsung memeluk Sean sebentar sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil sedan hitam laki-laki itu. Memeluk lengan Sean juga. "Gimana Jogja?" Abby membuka topik di antara mereka berdua. Dua minggu terakhir ini memang Sean dengan band-nya pergi ke Jogja untuk mengisi acara di sana.
"Lo gak mau nanyain kabar gue dulu aja?" Sean melihat ke arah Abby sekilas dan memfokuskan lagi matanya ke jalan. Suara Sean terdengar serak sekarang.
Abby memperlihatkan senyumannya lagi. "Oke, gimana kabar Sean Arkatama yang ganteng ini?" Dan mencium pipi Sean sekali. Mengusapnya perlahan juga saat lip gloss berwarna pink-nya tercetak samar di pipi Sean.
"I'm good. Gimana sama Abriella sendiri? Gak macem-macem di belakang gue, 'kan?"
Ditanya seperti itu Abby malah dengan pelannya menampar pipi Sean. Abby menggelengkan kepalanya. "Still survive. Padahal udah capek banget."
"By, santuy aja kali." Sean mengusap kepala Abby dengan satu tangannya yang bebas. "Bertahan lagi sampe besok ya? Buat diri lo bangga sama lo."
"Sampe besok aja?" Abby menarik satu kesimpulan dari omongan Sean barusan.
"Gue bakalan nanyain itu setiap hari. By, bertahan sampe besok ya? Besoknya lagi gue tanya. By, bertahan sampe besok ya? Besoknya lagi bakalan gue tanya. By—"
Sean tidak melanjutkan ucapannya lagi karena tangan Abby sudah menutup mulutnya itu. Abby melakukan itu sambil tertawa-tawa. "Iya-iya gue ngerti. Lo mau ngajak gue ke mana sekarang? Lo gak capek, 'kan?" Abby menyandarkan kepalanya pada bahu Sean.
"Kemaren gue udah istirahat jadi udah gak capek. Temenin gue belanja ya? Nanti gue traktir makan. Terus kita nonton."
Abby mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Mau seharian sama lo," ujar Abby dan menegakkan tubuhnya. Memerhatikan Sean yang sedang mengemudi itu.
"Kangen?"
"Banget." Abby menganggukkan kepalanya.
"Sama dong."
Menanggapi itu, Abby hanya memperlihatkan senyumannya.
"Sean, coba pake kaca mata yang gue beli tadi deh." Abby mengulurkan kata mata yang ia pegang itu ke arah Sean yang sudah duduk di depannya. Mereka sekarang sedang berada di salah satu resto di Mal yang Abby pilihkan itu.
Sean yang sedang memainkan ponselnya pun mengangkat kepalanya dan mengambil alih kaca mata yang berada di tangan Abby. Memakainya langsung dan berkutat lagi dengan ponselnya untuk membalas chat dari temnannya itu. Salah satu hal penting.
"Gimana? Bagus, gak?" Sean bertanya dan melirik ke arah Abby sebentar yang baru Sean tahu sedang mengarahkan ponselnya ke arah Sean dan yang pasti notif dari Instagram yang menyatakan Abby menandainya di salah satu stories milik gadis itu akan terlihat sebentar lagi.
"Ganteng banget." Abby sampai tidak ingin mengalihkan pandangannya ke mana-mana. Dan merasakan usapan tangan Sean yang berada di sisi wajahnya itu sebelum akhirnya Sean meletakkan ponselnya dan melepaskan kaca matanya itu.
"Gue ke toilet sebentar." Sean bangkit dari persinggahannya dan mengusak rambut Abby sebelum akhirnya menarik langkah menjauh dari gadis itu.
Abby memilih untuk memainkan ponselnya untuk mem-posting foto Sean tadi ke akun Instagramnya dan melihat DM yang masuk dari Jasinda dan juga Andrea. Sahabatnya Abby.
Jasinda : Keburu diambil orang, bitch. Nyesel mampus!
Andrea : Sean ganteng amat:( buat gue aja deh, By kalo lo gak mau.
Abby sedang mengetikkan balasan dan terhenti ketika ponsel Sean bergetar. Belum sempat Abby mengambil ponsel itu, matanya tidak sengaja melihat seseorang yang membuatnya terdiam seketika itu juga. Kedua mata Abby mengikuti setiap pergerakkan orang yang berdiri di sana.
Gak mungkin! batin Abby dan semakin yakin bahwa yang ia lihat itu nyata saat mata mereka bertemu. Abby dengan segala keterkejutannya langsung menunduk dan yang harus Abby lakukan adalah menghubungi Dean sekarang juga.
Abby : Angkat telpon aku, plis.
Urgent!!!
Send. 07.12 pm.
...
Dean baru saja mengaktifkan kembali ponselnya dan dari banyaknya notif yang muncul, chat dari Abby yang paling menarik perhatiannya. Dean merasa pasti itu bukan sesuatu yang bagus. Dirinya dan Kinan baru saja selesai menonton film dengan Kinan yang kini sedang berjalan bersisian seraya meminum minuman yang Dean belikan tadi.
Abby : Angkat telpon aku, plis.
Urgent!!!
Read. 07.15 pm.
Dean : Kenapa, By?
Send. 07.15 pm.
"Kayaknya bayangan setannya bakalan ada di kepala Kinan nih sampe besok." Kinan berceloteh dan menggegam erat-erat minuman di tangannya itu. Salahkan Kinan sendiri yang memilih film horror.
"Jangan dipikirin lah."
Kepala Kinan menggeleng. "Gak bisa kalo gak dipikirin. Setannya serem banget-banget-banget." Kinan melangkahkan kakinya pelan-pelan.
"Emangnya, Kak Dean gak takut?"
Suara Kinan di sebelahnya membuat Dean menoleh, kemudian Dean menggelengkan kepalanya. Abby belum juga membalas pesannya itu. Berbagai macam pikiran sudah menyerbu Dean dan yang Dean lakukan sekarang adalah langsung menghubungi Abby.
"Hebat!" Kinan manggut-manggut dan mengedarkan pandangannya ke arah lain. Lalu, melihat lagi ke arah Dean yang meraih tangannya kembali. Dari penglihatan Kinan, Dean sedang menelpon seseorang. Ponselnya sudah Dean letakkan di telinga kiri.
"Mau ke mana lagi?" Dean bertanya, menengok ke arah Kinan yang melihatnya dengan pandangan bingung.
"Kak Dean, lagi mau nelpon dulu? Kinan tungguin."
Tetapi, Abby tidak juga menerima panggilan dari Dean. Dean memasukkan ponselnya ke saku. Menggelengkan kepalanya ke arah Kinan, berharap semoga apa yang Dean tebak itu salah.
"Ada yang lagi Kak Dean pikirin ya?"
Tentu saja jawabannya banyak. Salah satunya ya tentang Kinan sendiri. Jika Dean punya pilihan, Dean akan melepaskan tangannya sekarang juga dan memilih untuk meninggalkan Kinan. Tetapi untuk seseorang yang sudah mempunyai tempat tersendiri di hidup Dean, bagaimana bisa Dean melakukan hal itu?
Tidak ada selain Kinan yang dengan gampangnya menyeret Dean untuk selalu ingin di samping gadis itu.
Meskipun jarak yang membentang antara dirinya dengan Kinan lama-lama semakin jauh. Dan garis-garis itu semakin banyak juga. Dean masih bertanya-tanya bagaimana cara untuk melewati setiap garis yang muncul itu jika terus-menerus Kinan ciptakan setiap detiknya.
Nan, tell me what should I do?
Kepala Dean mengangguk, menjawab pertanyaan Kinan tadi.
"Kalo kita sayang sama seseorang, kita gak boleh bohongin orang itu, kan Kak Dean?" Tiba-tiba Kinan bertanya seperti itu.
"Iya, lo bener."
"Yaudah, Kinan mau jujur—"
"Sebentar, Ann." Dean menukas ucapan Kinan karena ada seseorang yang langsung dengan berhasilnya menarik perhatian Dean. Berdiri di depan sana bersama seseorang yang Dean kenal juga. Dan Dean bisa tahu apa yang Abby ingin katakan padanya. Kenapa harus sekarang?
Kinan dapat merasakan genggaman tangan Dean mengerat. Kinan mengamati Dean di sebelahnya itu.
Dean mengambil langkah pelan dengan detakan jantungnya yang semakin cepat. Ada Kinan di sampingnya saat ini. Dan saat sosok yang Dean lihat balik melihat ke arahnya, secepat itu juga Dean bergerak untuk mendekap Kinan. Menyembunyikan gadis itu di dadanya.
Semoga bukan dia.
Suka gak gais sama part ini?????
Duh, siapa lagi itu yang Dean sama Abby liat?👀 udah pada tau belum?
Penasaran gak?
Clue-nya sih orang penting di cerita ini :)
Gio-Kinan ada di next part gais yang nunggu mereka meuehehe
Siapa yang kangen Sean-Abby?🙈🙈
Ada yang udah bosen sama Lines?☝️
Lanjut?
[ Dean yang melihat si.... uhuk ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro