Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

señorita

Bagian 20 |
and I hope it meant something to ya

Ya, hari ini aku up gais. Mane nih yang nungguin wkwkw

Vote dan komen dund✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

"Bulannya ngikutin Kinan." Tangan kiri Kinan menunjuk bulan di atas langit gelap sana dengan tangan satunya yang memeluk leher Dean seraya meletakkan sisi kepalanya pada bahu laki-laki itu. Sementara Dean mengemudi dengan pelan dan sesekali mengusap pipi Kinan.

Meskipun terlihat biasa-biasa saja sebenarnya Dean senang. Bersama Kinan seharian, berada dekat Kinan, melihat senyum Kinan yang tidak segan-segan Kinan keluarkan. Kurang apalagi harinya? Dean menggeleng. Tidak ada. Dan memang sudah cukup. Walaupun mungkin, ada di dalam dirinya yang masih belum bisa menerima.

"Lo ngantuk gak? Tidur dulu aja." Dean mengusap kembali pipi Kinan.

Kinan menggelengkan kepalanya dan mengubah posisi duduknya. Menyandarkan punggungnya pada pintu mobil untuk dapat melihat Dean sepenuhnya. "Kinan belum ngantuk." Pandangannya lalu beralih melihat ke arah layar ponselnya. "Ini kan baru jam delapan, Kak Dean."

"Gue kira lo orang yang udah ngantuk pas jam-jam segini."

Masih dengan senyumannya Kinan mengatakan, "Kak Dean bener kok. Tapi kan sekarang lagi ada Kak Dean di deket Kinan. Jadi, Kinan gak ngerasa ngantuk sama sekali."

"Kalo gue di deket lo terus berarti lo gak akan tidur, gitu ya?" tanya Dean dan menoleh ke arah Kinan sebentar.

"Ya, enggak juga ih! Masa Kinan gak tidur."

Dean ingin menarik ujung rambut Kinan saking gemasnya, tetapi jarak mereka terlalu jauh. Jadi, Dean memilih untuk melihat Kinan beberapa detik dan mengalihkan pandangannya lagi pada jalan. Mereka sudah memasuki area komplek rumah Kinan. Tinggal melewati dua blok lagi rumah Kinan akan terlihat dan mereka sudah sampai kini. Dean menghentikan mesin mobil tepat di depan pagar rumah Kinan.

Kinan belum juga ingin bersiap-siap untuk turun. "Kinan sebentar aja mau di sini dulu ya, Kak Dean." Kinan berkata seperti itu dengan tatapan penuh harapnya.

Terlihat Dean mengangguk. "Iya, yang lama juga gak kenapa-kenapa."

Mendengar itu, Kinan tersenyum lagi. Kali ini lebih tipis. Kinan melihat Dean menyilangkan kedua tangannya di kemudi dan meletakkan sisi wajahnya di sana. Memandang Kinan dengan Kinan yang sudah dari tadi memerhatikan dirinya. Kinan masih bisa merasakan detakan jantungnya yang masih saja berdetak cepat.

Lalu, yang Kinan lakukan setelah selesai mengamati Dean adalah menyingkirkan rambut laki-laki itu yang jatuh ke dahinya. Salah satu hal yang Kinan suka. Dan Kinan mendekat ke arah Dean untuk berbisik, "Kinan seneng." Setelah itu, Kinan ingin menjauh dari Dean tetapi tangan Dean menahan lehernya.

"Gue apalagi," balas Dean menatap lekat-lekat netra cokelat milik Kinan. Dan mencium pipi gadis itu. Lama. "Turun dari mobil gue cepetan. Abis itu langsung istirahat." Dean mendorong bahu Kinan pelan.

Kinan memberenggut.

Dean mencoba untuk tidak langsung membawa Kinan yang terlihat lucu itu mendekat ke arahnya lagi. Maka, Dean yang lebih dulu membuka pintu mobil dan berjalan memutar untuk membukakan pintu untuk Kinan. "Kesel banget muka lo. Cepetan turun."

Kinan mau tidak mau turun juga dari mobil Dean. Menutup pintu mobil di belakangnya. Kinan mendekat ke arah Dean dan berjinjit. Memeluk leher Dean dengan tangan kanannya. Tangan kirinya menutupi wajahnya yang sedang membisikan Dean sesuatu di sana.

Tangan kanan Dean melingkar di pinggang Kinan. Menunduk juga sambil mendengarkan ucapan terima kasih gadis itu.

Dan Dean harus merelakan Kinan mulai menjauh dari dirinya. "Yang kayak gue bilang tadi, langsung istirahat. Salam buat Om Adam juga." Sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam mobilnya, Dean menyempatkan untuk mengecup dahi Kinan.

"Dah, Kak Dean!" Kinan melambaikan tangannya.

"Daah!" Dean membalas lambaian tangan Kinan itu.

Kinan tersenyum sekali lagi ke arah Dean dan membuka pagar rumahnya. Langsung masuk ke dalam kamarmya juga. Tidak mengganti pakaian atau membersihkan dirinya terlebih dahulu. Kinan langsung berbaring di atas tempat tidurnya yang nyaman. Memejamkan matanya.

Dan tak lama, Kinan merasakan seseorang masuk ke dalam kamarnya. Mengusap kepala Kinan dan mencium puncak kepala Kinan. Terdengar juga pintu kamar Kinan ditutup kembali. Lalu, satu tetes air mata yang berhasil jatuh menemani Kinan sebelum terlelap.

Maafin Kinan.

...

Bunga matahari beserta pot kecil yang diberikan Dean tidak terlihat di kamar Kinan. Kinan baru saja bangkit dari tempat tidur di jam enam pagi ini dan tidak menemukan bunga itu di dekat jendelanya. Kinan ingat sekali, ia meletakkan bunga itu di sana. Dengan terburu-buru Kinan menuruni anak tangga seraya mengikat rambut panjangnya itu. Tidak mungkin Mba Dewi yang memindahkan dan pasti hanya Ayah Kinan yang tahu.

"Yah.. Ayah," panggil Kinan. Kakinya melangkah menuju arah dapur dan tidak menemukan Adam di sana. Lalu, pandangannya mengarah pada pintu kaca yang menghubungkan dapur dengan backyard. Ternyata Adam sedang berada di dalam kolam renang. Tanpa berpikir lagi, Kinan menghampiri Ayahnya itu. Menggeser kaca besar di depannya dan memilih duduk dengan kaki bersila di pinggir kolam renang, menunggu Adam sampai mengetahui kehadirannya.

Tidak butuh waktu lama, Adam langsung menyadari adanya Kinan dan segera mendekat ke arah putrinya itu. Adam mengusap wajahnya berkali-kali hingga pandangannya terlihat jelas, kemudian menyilangkan kedua tangannya di pinggir kolam renang untuk ia letakkan sisi wajahnya. "Pagi-pagi udah cemberut aja nih anak Ayah. Kenapa?"

"Bunga matahari di kamar Anna kok gak ada? Ayah liat gak?" Kinan justru memberikan Adam pertanyaan juga. Kinan sudah berjanji pada Dean untuk merawat bunga matahari dari laki-laki itu, dan tentu saja saat melihat bunga-nya hilang Kinan panik.

Adam mengernyit. "Bunga matahari yang di deket jendela? Yang di dalem pot item?"

Kepala Kinan dengan cepat mengangguk. "Iya, itu."

Telunjuk Adam mengarah ke samping kanannya. Memberitahukan Kinan letak bunga yang gadis itu cari-cari. "Tuh. Lagi berjemur sama Pororo." Dan ada akuarium kecil di sebelah pot hitam itu juga.

Melihat itu, Kinan langsung mengembuskan napas leganya dan beralih memandang Ayahnya lagi. "Jangan dibuang ya, Yah. Itu Anna mau rawat sampe gede."

Adam hanya merespons perkataan Kinan dengan anggukkan kepala. "Anna kecapean ya semalem sampe gak beresin kamar sendiri? Ayah liat kamar Anna berantakkan banget lho," ujar Adam dengan topik baru. Jam sepuluh malam ketika Adam baru tiba di rumah, Adam langsung menuju ke kamar Kinan yang terlihat sudah terlelap dengan pakaian yang belum Kinan ganti saat pergi bersama Dean.

"Rapi kok kamar Anna," sangkal Kinan.

"Itu karena Ayah yang beresin pagi-pagi sebelum Anna bangun."

Mendengar ucapan Adam barusan, Kinan meringis. "Besok Anna gak akan langsung tidur lagi deh. Beres-beres kamar dulu pokoknya. Janji." Kinan mengeluarkan ekspresi meyakinkannya itu.

Adam menarik kedua sudut bibirnya. "Cepetan sana mandi terus sarapan pake nasi goreng mentega yang udah Ayah bikin."

"Iya, nanti dulu." Setelah mengatakan itu dan melihat Adam yang menenggelamkan kembali tubuhnya ke dalam kolam, Kinan menolehkan kepalanya ke arah bunga matahari di sana. Dan tanpa diminta pun Dean sudah menguasai pikiran Kinan kini. Kinan tidak pernah menduga sebelumnya bahwa Dean akan meminta Kinan untuk menjadi pacar laki-laki itu.

Kinan menggigit bibir bawahnya. Seakan masih bisa merasakan sentuhan Dean di sana. Bagaimana Dean memperlakukan Kinan dengan lembutnya. Kinan kira Dean hanya menganggap Kinan sebagai seseorang yang memang dekat dengan dirinya—teman mungkin. Tetapi ternyata Kinan salah ya.

"Ann."

Suara Adam yang memanggilnya pun berhasil membuyarkan lamunan Kinan. "Kenapa, Yah?" Dan Kinan mencoba bersikap sesantai mungkin. Adam sudah berada di sampingnya lagi.

Dengan senyum tipisnya, Adam bertanya, "Anna mau punya Bunda lagi gak?"

Ditanya seperti itu, lantas senyum lebar Kinan terlihat. "Cie cie. Ayah udah ada calonnya ya?" Kinan terlihat senang, karena baru kali ini memang Adam berbicara dengan Kinan tentang hubungannya setelah sekian lama.

"Ah.. enggak juga."

"Berarti udah?" Kinan menaik-turunkan kedua alisnya. Menggoda Ayahnya itu.

"Anna mau gak?" Adam balik bertanya.

Dengan begitu antusias Kinan mengangguk. "Mau! Kalo Ayah mau." Kinan tidak terlalu menuntut juga dalam hal seperti ini. Jika Ayahnya ingin mempunyai seseorang untuk mendampinginya, mengapa tidak? Kinan akan selalu mendukung keputusan Ayahnya. Apa saja yang dapat membuat Adam bahagia pokoknya.

"Kalo Ayah udah dapet, Ayah kenalin langsung ke Anna ya." Seperti sebuah janji, Adam berkata seperti itu.

Kinan langsung mengingat sesuatu. "Tante cantik yang sering bawain makanan ke rumah kita juga boleh, Yah!"

"Yang mana?" Adam mencoba mengingat siapa yang dimaksud Kinan itu.

"Yang cantik itu lho."

Kepala Adam menggeleng. "Ayah gak inget." Karena bukan hanya satu-dua perempuan saja yang berusaha untuk menarik perhatian Adam terutama di rumah. Belum lagi yang sering membawakan mereka segala jenis makanan dari yang ringan sampai yang berat sekali pun. Bisanya Kinan dan Mba Dewi yang menghabiskan makanan itu.

Kinan juga tidak tahu namanya, hanya tahu wajahnya saja. "Nanti kalo dia ke sini lagi, Anna kasih tau deh."

"Jadi, Anna sendiri gimana?"

"Gimana apanya, Yah?"

Sebelum menjawab, Adam keluar dari kolam renang itu dan memilih untuk duduk di samping Kinan. "Cerita sama Ayah dong Anna udah punya calon yang mau dikenalin sama Ayah mungkin?"

"Calon apaan sih? Enggak ada." Dengan senyum malu-malunya Kinan menggelengkan kepalanya dua kali.

"Yang paling penting Anna tau batasan-batasannya ya, Ann. Ayah gak mau larang Anna yang gimana-gimana kok. Tapi Anna harus cerita sama Ayah ya?" Semua orangtua mempunyai cara tersendiri bagaimana memperlakukan anak-anak mereka. Dan Adam memilih cara yang begitu. Tidak ingin melarang di sini bukan berarti membebaskan Kinan untuk berbuat apa saja. Adam sudah mengatakan berkali-kali pada Kinan juga.

Kinan dengan tidak sadarnya menyentuh bibirnya itu. Lalu, lagi-lagi Kinan menganggukkan kepalanya. "Mm.. sebenernya Anna udah punya pacar." Dengan suara yang pelan sekali Kinan berujar. Tetapi saat bayangan wajahnya terlintas di kepala Kinan, Kinan perlahan memperlihatkan senyumannya.

"Curang ya Anna baru bilang sama Ayah sekarang. Siapa emangnya pacarnya Anna?"

Kinan belum ingin menjawab. Dirinya langsung bangkit. "Nanti juga Ayah bakalan tau. Anna mau mandi sekarang." Dan Kinan langsung menarik langkah menjauh dari Adam. Niatnya ingin langsung masuk ke dalam kamarnya jika saja bel rumahnya tidak terdengar berkali-kali. Kinan berbalik arah menuju pintu utama rumahnya.

"Kinaaaan, lama amat sih buka pintunya doang elah!" Flora langsung menerobos masuk ke dalam rumah Kinan saat pintu baru saja Kinan buka. Tak lupa juga Flora memberikan Kinan satu kotak donat dan itu semuanya rasa green tea kesukaan Kinan.

Kinan menutup pintu di depannya dan memasang ekspresi cemberutnya itu. "Ngapain sih Ola pagi-pagi udah ke rumah Kinan?!"

Flora tidak menanggapi ucapan Kinan itu karena saat Flora menyadari sesuatu, Flora menghentikan langkah kakinya dan menghadap ke arah Kinan. "Pororonya kok gak ada? Gue kangen dia tau!" kata Flora ketika tidak melihat adanya akuarium yang biasanya terlihat di atas meja panjang di sampingnya sekarang.

"Pororo lagi berjemur."

Flora mengkerutkan keningnya.

"Oh ya, Kinan belom bilang makasih buat donatnya. Ke kamar Kinan aja yuk, Ola. Kinan mau mandi juga. Terus Ola sarapan bareng sama Kinan deh." Kinan sudah akan menyambar tangan Flora untuk langsung Kinan tarik ke dalam kamarnya jika saja Flora tidak menghindar.

"Gue udah sarapan sama Bunda tadi sebelum ke rumah lo. Duduk di sini aja, Nan." Flora yang kali ini menarik tangan Kinan untuk duduk di sofa maroon. Flora juga melepaskan slingbag-nya yang ia letakkan di sampingnya itu. Mengeluarkan ponselnya juga.

Kinan meletakkan kardus donat ke atas meja di depannya. "Terus Ola emangnya mau ngapain ke sini?" tanyanya kemudian.

"Mau main aja. Bete gue di rumah sendirian." Saat menjawab, Flora tidak mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang memang sedang ia mainkan.

"Bunda Lily sama Ayah Gino ke mana emangnya?" Itu orangtua Flora.

"Liburan," jawab Flora yang kini dengan bibir yang mencebik ke bawah.

"Ninggalin Ola sendirian?"

Kepala Flora mengangguk. "Mh-mm."

"Pagi, Ola."

Flora yang begitu hapal suara berat yang menyapanya itu, langsung mengalihkan pandangannya ke arah belakang. Terlihat Adam sedang mengeringkan rambutnya itu dengan handuk kecil. Hanya mengenakan celana hitam pendeknya. Tidak salah memang Flora datang pagi-pagi begini. "Pagi juga, Om Adam!" sapa Flora balik dengan nada riang yang begitu kentara.

Adam tersenyum. "Ola, udah sarapan belum? Om udah masak banyak tuh. Ann, ajak Ola sarapan bareng sana."

Kinan menggeleng. "Kata Ola tadi Ola udah sarap—"

"Jangan didengerin omongan Anna, Om. Ayo, sarapan sekarang." Flora langsung menukas omongan Kinan yang belum selesai itu dengan menutup mulut Kinan dengan tangannya. Dan tersenyum ke arah Kinan dengan penuh arti.

Langsung saja Kinan melepaskan tangan Flora dari mulutnya. "Kinan mau mandi dulu."

"Makan aja dulu."

Mendengar ucapan Flora, Kinan akhirnya bangkit. "Ish! Yaudah, ayo." Lalu, berjalan ke ruang makan. Adam sudah tidak terlihat. Pasti sedang mengganti pakaiannya.

"Katanya udah sarapan tapi makannya banyak banget." Kinan langsung menyindir Flora saat dilihatnya Flora yang sedang memasukkan nasi goreng buatan Ayahnya itu ke dalam mulutnya. Saat ini mereka memang sudah berada di meja makan. Duduk bersebelahan juga.

Belum sempat Flora menyahuti perkataan Kinan, suara Adam terdengar lebih dulu. "Ann, Ayah mau kenikahannya Tante Firly sebentar ya. Anna sama Ola dulu di sini." Adam merapikan kemeja putih yang sudah dibalut dengan jas hitam yang melekat pas di tubuhnya. Berjalan mendekat ke arah Kinan.

Kinan menganggukkan kepalanya saja.

"Doain Ayah ya, Ann." Sekarang gantian, Adam yang menaik-turunkan kedua alisnya itu.

Kinan mendongakkan kepalanya agar dapat melihat wajah Ayahnya. "Doain Ayah supaya bisa dapet calon Bunda baru ya?"

"Wah, Anna udah mau punya Bunda lagi nih. Asik! Cepet ketemu ya, Om!" Flora ikut mendongakkan kepalanya. Tersenyum lebar ke arah Adam.

Adam malah tertawa dan mencium puncak kepala Kinan sebelum akhirnya menjauh dari mereka berdua.

"Ah iya, gue hampir aja lupa!" Flora memegang lengan Kinan dengan kedua tangannya itu.

"Apa sih, Ola?"

"Kabar lo jadian sama Kak Dean udah nyebar lho, Nan. Jahat gak ngasih tau gue!"

...

"Untungnya gue gak langsung nampar lo ya!" Abby dengan wajah yang memerah memandang Sean yang sekarang sudah berada di hadapannya. Terlihat Sean sedang menghancurkan rokoknya dengan cara menekan bara yang terlihat itu ke pagar pembatas. Sean memang benar-benar! Malam ini Abby memang sedang sendirian di balkon kamarnya. Sedang memikirkan banyaknya masalah-masalah baru yang datang di hidupnya. Dan Sean yang tidak merasa bersalah sama sekali malah membuang rokoknya itu. Great!

Sean mendekat ke arah Abby dan mengambil alih kotak rokok yang sedang Abby pegang itu lalu memasukkannya ke saku jaket. Abby sudah terlihat kesal di depannya. "Jalan yuk, By." Sean langsung berkata seperti itu.

Kepala Abby lantas saja menggeleng. Pikirannya saat ini benar-benar kalut. Abby mengalihkan pandangannya ke arah jalanan di bawah sana yang tidak terlihat satupun kendaraan yang lewat. Sepi. Dan yang Abby rasakan adalah sentuhan tangan Sean di rambutnya. "Sean, gue lagi gak mau ke mana-mana. Di sini aja."

"Gue boleh cerita sambil meluk lo?" Itu Sean yang bertanya. Menatap Abby penuh harap.

Abby mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah Sean itu. Dan seakan lupa oleh kekesalannya tadi, Abby menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Berjinjit sedikit juga untuk mencium pipi Sean sebentar. "Sini gue peluk lo." Namun, Abby lebih dulu menarik tangan Sean untuk masuk ke dalam kamarnya yang tak kalah dingin dengan udara di balkonnya.

Memeluk Sean dari belakang seraya sesekali mengusap rambut halus laki-laki itu saat mereka sudah berada di tempat tidur Abby dengan Abby yang bersandar pada headboard.

"Mau cerita apa?" Padahal Abby juga punya banyak hal untuk ia bagi dengan seseorang, tetapi Abby lebih memilih untuk memendamnya sendiri. Atau paling tidak menceritakan segala yang ia alami dengan orang yang sudah begitu Abby percaya.

Dan Abby masih takut untuk memberitahukan semuanya pada Sean.

Sean bergerak lagi untuk mencari posisi yang nyaman. Dengan tangan Abby yang mengelus rambutnya itu, Sean memejamkan matanya perlahan. Jika bisa Sean ingin seperti ini sampai besok pagi. "Gue lagi males banget ngerjain tugas, By." Sean mulai membuka suaranya kembali. Dan tentu saja Sean akan menceritakan semuanya dari hal kecil lebih dulu.

"Calon Arsitek gak boleh males dong."

Terlihat Sean menampilkan senyumannya, walau tipis. "Kalo aja gue bisa milih apa yang gue mau." Suara Sean kali ini lebih pelan.

Abby mengerti sekali apa yang sedang Sean ceritakan padanya. Dan Abby lebih memilih untuk diam, mendengarkan lanjutan cerita Sean itu.

"Lo mau tau apa yang gue bawa buat lo, By?" Sean membuka matanya dan melihat ke arah Abby yang sudah lebih dulu memandang ke arahnya. Senyumannya sudah terlihat kembali.

"Jangan aneh-aneh." Kepala Abby menggeleng. Mencoba memperingatkan Sean juga dari tatapannya.

Sean membawa tangannya untuk mengusap sisi wajah Abby di atasnya itu. "Nggak aneh kok." Kali ini Sean menampilkan seringainya. Dan menarik Abby untuk mendekat ke wajahnya. Mencuri ciuman pada bibir Abby sekilas. Kemudian, Sean merasakan pukulan dari tangan Abby dengan tenaga yang tidak seberapa itu di dadanya.

Lalu setelah terkekeh pelan, Sean bangkit. Kali ini ia berdiri di depan Abby yang belum mengubah posisinya sama sekali. Abby memerhatikan Sean yang terlihat membuka jaket hitamnya, meninggalkan kaus abu-abunya itu. Dan yang Abby tahu kini Sean membungkukkan tubuhnya untuk menarik pelan-pelan kedua kaki Abby hingga Abby benar-benar berbaring di tempat tidurnya. Membuat sweater dan celana pendek Abby terangkat.

Abby menggelengkan kepalanya lagi seraya menahan senyumannya itu. Sean sudah berada di atasnya. Dan Abby harus menahan napasnya sambil menutup matanya rapat-rapat saat hidung Sean mulai menyentuh kulit lehernya. Pelan, Sean turun ke dada Abby yang masih tertutup sweater. Abby mengembuskan napasnya. Pelan lagi, Sean turun ke perut Abby. Abby menahan napasnya lagi saat permukaan kulit di kakinya merasakan terpaan hangat napas Sean.

Dan Abby bisa merasakan juga pergelangan kakinya Sean usap perlahan.

"Buka mata lo, By."

Abby menuruti perkataan Sean itu dan beralih melihat ke arah pergelangan kakinya yang sudah terlihat sebuah gelang perak di sana. Abby langsung saja mengubah posisinya menjadi duduk kembali dan melihat juga ada sebuah kotak merah di dekat jaket Sean. Kedua mata Abby mengarah pada Sean sekarang. "Sean, ini apaan?" tanyanya dengan kerutan di dahinya.

"Gelang kaki?"

Kepala Abby menggeleng. "Gue tau ini gelang kaki. Tapi buat apaan?"

"Ya, buat lo pake?"

Abby menggelengkan kepalanya lagi. "Aduh, gue jadi bingung ngomongnya gimana."

Sean terkekeh lagi melihat reaksi Abby. Dari banyaknya perempuan-perempuan yang pernah dekat dengan Sean hanya Abby yang justru terlihat bingung saat Sean memberikannya hadiah. Sengaja Sean membelikan Abby gelang kaki sama seperti yang Sean belikan untuk Ibunya. Yang baru saja Sean temui di rumahnya sebelum ke rumah Abby.

"Ini beneran buat gue?" Abby dengan suara yang terdengar seperti ingin menangis bertanya seperti itu.

Sean mengangguk ringan. "Iya, buat lo. Lo suka?"

Bukannya menjawab, Abby malah mengusap sudut matanya yang berair. "Su--ka." Abby akhirnya menjawab juga dengan terbata.

Masih berdiri, Sean membawa kepala Abby mendekat ke dadanya. Mengusapnya berkali-kali. "Aneh lo. Dikasih beginian malah nangis."

Tangan Abby menarik kaus Sean itu. "Nggak harus kayak gini juga. Gue gak mau ngerepotin lo." Dan Abby lagi-lagi menghapus samar air matanya yang berhasil jatuh. Ini jelas saja mengingatkan Abby pada hal yang masih bisa menekan dirinya hingga ia menangis seperti sekarang.

"Nggak ada yang direpotin di sini, By. Makan yuk?" Sean ingin Abby melupakan sedihnya. Maka, Sean bertanya dengan hal lain. Dan benar saja, Abby sudah terlihat mencengkeram kausnya hingga membuat Sean jatuh ke atas Abby lagi.

"Mau makan lo dulu pokoknya!"

Dan Sean hanya menggangguk. Menyimpan cerita tentang dirinya yang bertemu dengan Kinan beberapa hari yang lalu. Menyimpan rasa bersalahnya juga.

...

"Bisa lo jelasin sekarang?!"

Kinan terkesiap saat dilihatnya Gio sudah berada di depannya. Sudah mengunci pintu di ruang ganti khusus murid perempuan juga. Pagi ini memang pelajaran pertama di kelas Kinan adalah Olahraga dan Kinan yang berniat untuk mengganti pakaiannya—Kinan terlambat sementara semua murid di kelasnya sudah berganti pakaian, harus mengurungkan itu. "Gio, bisa keluar gak? Kinan mau ganti baju dulu," kata Kinan.

Gio dengan lurus-lurus melihat kedua mata Kinan dan perlahan berjalan mendekat ke arah Kinan. Tidak menggunakan bantuan kruk lagi. Gio berjalan agak tertatih. "Denger gak yang gue tanyain tadi?!" sentak Gio kembali.

Mendengar itu, Kinan menatap Gio agak takut-takut. Gio sudah menjadi Gio yang sedia kala. Tidak ada Gio yang tersenyum pada Kinan seperti di kantin beberapa hari lalu. Tidak ada Gio yang baik pada Kinan seperti beberapa hari yang lalu. "Jelasin apa, Gio?" tanya Kinan pelan. Tidak berani juga untuk menatap mata Gio yang kini sudah benar-benar berada di hadapannya.

"Gue tau lo tau itu apa, Kinan. Mikir gak sih lo?" Suara Gio juga tidak kalah berbisik tetapi terdengar begitu tajam.

Kinan menggeleng. "Kinan gak tau, Gio."

"Apa sih yang lo pikirin?" Gio tersenyum kecut sekarang. Lucu, pikirnya. Kinan yang berada di depannya kini bisa-bisanya membuat Gio ingin mengeluarkan sumpah-serapahnya atau minimal memukul wajah orang.

Tangan Kinan menahan dada Gio ketika laki-laki itu mendekat lagi ke arahnya. Mungkin mereka sudah tidak berjarak lagi jika Kinan dengan cepat tidak mengangkat tangannya itu. "Gio terlalu deket." Masih belum ingin memandang lawan bicaranya, Kinan berujar.

"Kak Rama lo gak ada di sini. Gak ada yang bisa bantuin lo, Kinan." Anehnya suara Gio sudah terdengar normal. Tangan Gio yang sudah akan mencapai sisi wajah Kinan itu, langsung Kinan tepis. Gio menarik sudut kiri bibirnya melihat itu.

"Jangan nangis." Gio memilih untuk berjalan menuju ke bangku yang berada di dekatnya dan duduk di sana. Mengamati Kinan yang masih saja belum ingin melihat ke arahnya.

Mungkin Gio tidak tahu bahwa sudah ada air mata yang jatuh pada sudut mata kiri Kinan.

Selama beberapa saat Gio belum juga mendengar suara Kinan, Gio menghela napas pendek. "Oke, gue akuin ini salah gue." Setelah mengatakan itu, Gio bangkit. "Lo tau apa yang harus lo lakuin, Kinan. Jangan buat gue marah, plis." Dan Gio mulai berjalan ke arah pintu.

"Gio." Suara serak Kinan terdengar.

Gio menghadap ke arah Kinan lebih dulu. "Apaan?"

"Tolong iketin tali sepatu Kinan." Salah satu hal yang tidak pernah bisa Kinan lakukan meskipun berkali-kali sudah diajarkan.

Terdengar, Gio berdecak tetapi laki-laki itu juga berjalan ke arah Kinan lagi. "Duduk sini."

Kinan menurut dan duduk di bangku sebelah Gio. Memberi jarak juga supaya Kinan bisa menaikkan kakinya itu. Kinan melihat Gio mulai mengikat tali sepatunya. Wajahnya terlihat datar-datar saja. Kinan menggigit bibir bawahnya menahan tangis lagi. "Makasih ya, Gio. Semoga kakinya Gio cepet sembuh."

Gio tidak membalas apa-apa dan langsung berjalan lagi untuk keluar dari ruang ganti ini. Meninggalkan Kinan sendirian.

"Kinan."

Kinan berbalik arah lagi setelah mendengar suara Dean di belakangnya. Kinan baru saja selesai mengganti pakaiannya itu menjadi baju Olahraga berwarna biru muda khas SMA Pertiwi. Dean terlihat sedang bersandar pada tembok di samping pintu. Dan yang terlihat kini Dean mengulurkan tangan kanannya yang sudah terdapat satu kotak susu cokelat berukuran sedang dan juga roti di dalam kemasan. "Bokap lo bilang lo belum sarapan. Nih, makan dulu."

Tangan Kinan mengambil alih semua itu dari Dean dan tersenyum seperti biasa. Belum sempat Kinan mengeluarkan kata-katanya, Dean sudah lebih dulu menarik langkah menjauh dari dirinya.

"Udah nih cuma gitu aja?" Suara Kinan agak kencang saat bertanya seperti itu.

Dean menghentikan langkah kakinya. Menghadap ke arah Kinan kembali. Sebelah alis Dean terangkat tinggi. "Lo mau gue ngapain lagi emangnya?" Dean bertanya balik.

Iya, Kinan mau Dean ingin melakukan apalagi memangnya? Kinan malah jadi bingung sendiri sekarang. Tidak ada yang terlintas juga di pikiran Kinan saat ini.

"Nggak tau juga sih. Yaudah deh. Kinan mau ke lapangan dulu ya, Kak Dean."

Dean berjalan mendekat ke arah Kinan. "Sarapan aja dulu di sini. Gue temenin. Sekalian gue iketin rambut lo." Dan Dean langsung melihat senyum Kinan terbit lagi. Dean mengambil ikat rambut Kinan pergelangan tangan gadis itu.

Dari penglihatan Dean, Kinan sedang membuka bungkus roti yang Dean beli tadi di kantin dan memakannya perlahan. Dean sendiri sedang merapikan rambut Kinan. "Ngomong aja kalo lo mau ditemenin gue, Nan." Ada nada geli di suara Dean saat mengatakan itu.

Kinan menelan roti di dalam mulutnya terlebih dahulu. Pandangannya masih mengarah pada lapangan di bawah sana. Teman-temannya sedang melakukan Olahraga bebas. "Untung Kak Dean langsung tau."

"Iya, untung gue langsung tau." Dean merapikan lagi helaian rambut Kinan yang mencuat itu. "Dah rapi rambut lo." Dan Dean memilih untuk berdiri di samping Kinan yang masih menghabiskan sarapannya.

"Makasih ya, Kak Dean." Kinan mendongak untuk melihat ke arah Dean seraya tersenyum lebar.

Dean mengangguk.

"Lain kali bilang aja kalo mau ditemenin gue ya?"

Gimana gais dengan part ini? Suka gak?

Kinan pulang-pulang nangis kenapa deh tuh anak. Ada yang tau?

Ada yang tau juga gak si Gio kenapa? Wkwk

Mana nich yang kangen Sean? 🙈🙈

Pertanyaan part ini;

Dean-Kinan udah jadian belum ya hm hm

Sori typo(s)

[ Sean ]

[ Gio ]

[ Siapa nih ehehehe ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro