Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

satisfied

Bagian 33 |
please don't lie, we got too much to lose and pretend he means nothing to you

Ini lagu Shawn yang paling relate banget sama Lines. Dengerin deh wkwkwkw

Vote dan komen lagi yoo✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

"Jadi, dia bangkit dari kubur gitu? Ih, crispy banget! Ampe takut gue."

Tak!

Reksha merasakan satu jitakan yang mendarat manis di kepalanya. Itu Angga yang melakukan. Gila aja! Crispy dikira gorengan kali! Angga mendengus. "Creepy, woi njing!" teriaknya di telinga kiri Reksha yang berada di sampingnya.

Jam istirahat kedua hanya Angga, Dean dan Reksha yang terlihat berkumpul di kantin. Sedang Geraldi, pergi entah ke mana.

"Yaelah, typo dikit ae. Jadi beneran gak, Yan? Halu lu ya?" Reksha menatap ke arah Dean lurus-lurus. Temannya itu semalam bercerita mengenai seseorang yang baru Dean temui saat pergi bersama Kinan. Seseorang yang sudah lama tidak terlihat seperti hilang ditelan bumi.

Yang ditanya malah sibuk sendiri dengan ponselnya, Dean merasa harus memastikan bahwa apa yang dia lihat memang benar seseorang yang dulu ia cari-cari. Dan dengan cara membuka pesan-pesan dari temannya lah jawaban yang Dean butuhkan.

334. Masih sama aja, Yan.
Read. 12.34 pm.

338. Bisa lo tebak?
Read. 12.34 pm.

343. Gak ada info baru.
Read. 12.35 pm.

Dean men-scroll layar ponsel hingga mencapai chat yang paling terakhir. Membaca pesan singkat itu pelan-pelan.

347. Seharusnya lo liat sendiri.
Read. 12.35 pm.

349. Bener dia. Waktu lo nunggu gak sia-sia.
Read. 12.35.

349. Gue udah dapet alamatnya.
Read. 12.35 pm.

Tanpa mengatakan apa-apa, Dean langsung bangkit dari bangku di kantin lantai satu ini. Meninggalkan kedua temannya yang mengernyit bingung dengan kepergiannya yang tiba-tiba.

"Woi, Nyet lo mau ke mana?!" Teriakkan Angga tidak digubris oleh Dean. Angga makin bingung sendiri.

Reksha menyandarkan punggungnya di kursi. "Menurut lo beneran.... dia, Ngga?" Reksha menyipitkan kedua matanya seraya melihat punggung Dean yang sudah menghilang. Tetapi, tidak ada yang tidak mungkin, 'kan?

"Dia siapa?" Itu suara Geraldi yang baru saja duduk di tempat Dean tadi, melihat ke arah Angga dan Reksha secara bergantian. Sebelum menemui teman-temannya, Geraldi juga melihat Dean yang langsung pergi.

Reksha menoleh ke arah Geraldi dan mendengus. "Tumben lo kepo!" Dan setelah itu cengirannya terlihat ketika Geraldi memasang wajah menahan kesalnya mendengar sahutan Reksha.

"Gue serius, Sha. Siapa?" Geraldi bertanya lagi.

"Cewek yang Dean cari."

Seharusnya Geraldi sudah tidak kaget lagi. Tetapi sesudah mendengar jawaban Reksha, raut wajah Geraldi agak berubah dan Angga melihat itu.

"Sebenernya lo udah tau dari awal, Matt?" tembak Dean langsung. Tentu saja semua ada kaitannya dengan Matthew. Dean yang memang meminta Matthew untuk menemuinya dan Matthew menyetujui. Di sinilah mereka sekarang, belakang sekolah.

Seringai Matthew terlihat. Dean sudah tahu ternyata. "Gue lagi ngebantu lo, Yan. Lo harusnya berterima kasih sama gue." Malah jawaban seperti itu yang Matthew berikan.

Dan Dean sudah sangat paham apa yang Matthew katakan kepadanya itu. Tidak perlu Matthew perjelas lagi. Ada penyesalan dirinya kini. "Gue gak pernah minta bantuan lo. Seharusnya lo urusin aja urusan lo sendiri."

"Urusan Mikayla itu urusan gue."

Dan saat nama gadis itu disebut, Dean seketika itu juga bungkam. Mengalihkan pandangannya dari Matthew. Sudah berapa lama Dean tidak mendengar nama itu lagi, Dean sampai tidak ingat. Semuanya begitu rapi ditutupi. Disangkal terus-menerus dan berusaha untuk dilupakan. Meski akhirnya kembali ke permukaan.

"Gue mau ketemu sama dia." Dean berkata dengan pelan. Yang kemarin ia lihat di dalam mal itu Matthew dan Mikayla. Jelas saja di situasi yang tidak memungkinkan untuk mereka bertemu dengan Kinan—yang entah karena apa, Dean harus menjaga perasaan gadis itu, Dean belum ingin menbayangkan apa yang terjadi selanjutnya dan memilih untuk tidak mengikutsertakan Kinan dulu.

"Jangan terlalu gegabah, Yan. Kasian nanti cewek lo."

Tentu saja itu sindiran. Yang dimaksud Matthew itu Kinan.

"Kalo lo tau, Matt seharusnya emang lo gak usah ikut campur. Terutama tentang Kinan." Dean berbalik untuk masuk lagi ke dalam Pertiwi. Mengabaikan ucapan Matthew yang masih terdengar samar di telinganya.

"Mikayla emang nggak mati."

Gue juga tau. Dean menyahut dalam hati dan memelankan lagi langkahnya saat kedua matanya menemukan Kinan yang lebih dulu melihat ke arahnya. Duduk di tangga dekat pagar pembatas, memerhatikan murid-murid yang sedang bermain futsal di lapangan sana. Dean mendekat. Duduk di samping Kinan.

"Mau ikut dengerin?" Kinan memberikan Dean satu earphone-nya dan Dean menerima itu. Mendengarkan lagu yang Kinan putar terus-menerus. Kinan mendengarkan lagu Like I Need You dari radio yang Ayahnya putar ketika mengantarkan Kinan sekolah. Dan Kinan suka.

Dean mengamati Kinan dari samping yang sedang menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Entah apa alasan Kinan tersenyum, Dean terlalu fokus memerhatikan Kinan. Gadis yang dengan mudahnya memperlihatkan senyuman manis tetapi siapa yang tahu Kinan menyimpan hal yang sangat berbanding balik dengan sikap Kinan yang biasanya.

Bisakah Dean mengatakan dirinya beruntung saat Kinan mau membagi rahasianya?

"Kinan." Dean memanggilnya dan menekan lengan Kinan dengan jari telunjuknya itu. Kinan menoleh ke arahnya.

"Kenapa, Kak Dean?"

"Pulang sekolah mau makan donat green tea?" Dan menceritakan hal yang belum pernah Dean buka sebelumnya jika Kinan mau. Jika Kinan ingin.

Kepala Kinan terlihat mengangguk perlahan. Tidak ada alasan juga untuk menolak ajakan Dean yang satu itu.

"Kemarin pas lo mau jujur itu apa, Nan?"

Kinan tidak menduga bahwa Dean masih ingat kata-kata Kinan yang satu itu. Kinan menggigit bagian dalam pipinya. "Kinan lupa." Dan mencoba mengelak.

"Masa?" Dean bertanya lagi. Memastikan.

"Iya, Kinan lupa. Nanti kalo udah inget Kinan kasih tau."

"Mana nih Kinan yang gampang inget?"

Kinan memilih untuk mengalihkan pandangannya dari Dean beberapa saat dan melihat Dean lagi. Kinan menahan senyumannya. "Kinan udah inget nih, Kak Dean."

"Apa tuh?"

"Sini Kinan bisikin."

Dean terlebih dahulu melepas earphone di telinga kiri dan mendekat ke arah Kinan bertepatan dengan matanya yang melihat Gio di depan sana.

...

"Gue gak mau ke situ lagi."

"Iya, gue udah janji juga sama si Rama."

"Tapi gue gak mau lagi jauh-jauh dari Kinan."

"Yoi, thanks buat infonya ya, Dav."

Kinan hanya mendengar Gio mengatakan itu dan terlihat sekarang Gio menjauhkan ponselnya dari telinga kirinya. Kinan mengamati Gio yang sedang duduk di tepi kolam renang sebelum akhirnya memberanikan diri untuk melangkah mendekat—tentu saja dengan segala keberanian yang sudah Kinan kumpulkan sejak dirinya masuk ke dalam rumah Gio ini.

"Gio, malem-malem gini berenang?" Saat sudah duduk di samping Gio dengan kedua kaki yang Kinan peluk, Kinan langsung bertanya. Dari penglihatan Kinan, rambut Gio masih basah dan ada handuk putih yang melingkar di leher laki-laki itu.

Kinan bertanya seperti tidak terjadi apa-apa. Seperti pembicaraan kemarin malam hanyalah angin lewat yang tidak perlu lagi dibahas, tetapi tidak dengan Gio. Sebenarnya Gio agak kaget juga melihat Kinan yang berada di dekatnya kini. Jika diperhatikan baik-baik, ada raut kekhawatiran di wajahnya. Kinan ke sini dianter siapa? Dan Gio mengalihkan pandangannya menembus air kolam renang di bawahnya itu. Enggan menjawab pertanyaan Kinan.

Mengetahui pertanyaan pertamanya tidak direspons, Kinan melanjutkan, "Padahal Kinan tau kalo Gio online, tapi chat Kinan gak dibales. Gak enak tau digituin. Gio aja pasti bakalan marah kalo Kinan gak bales chat Gio."

"Gue lagi males buka Line." Untuk pertanyaan Kinan yang satu itu, Gio menjawabnya dengan cepat.

Kinan mengerjapkan matanya berkali-kali, Gio masih belum ingin melihat ke arahnya. Untuk seorang Kinan yang sudah cukup lama menganggap Gio sebagai bagian dari hidupnya, sikap Gio yang seperti sekarang membuat Kinan tersentil. "Kemarin Kinan jalan ke mal sama Kak Dean, nonton film horror." Entah apa yang sedang Kinan pikirkan hingga kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Mendengar cerita Kinan barusan, Gio menghela napas pendek. Dan baru lah Gio menoleh ke arah Kinan tanpa ekspresi sama sekali. Datar. "Lo udah beneran suka sama dia?"

"Kinan cuma mau jujur sama aja Gio."

"Sori ya, Ki kalo gue gak bisa ngajak lo keluar kayak dia." Karena hanya dengan cara seperti itu lah Gio bisa memiliki Kinan. Selalu menjaga jarak dari Kinan untuk membuat gadis itu aman.

Kinan diam beberapa saat. Mengamati Gio yang menatap matanya lurus-lurus. "Kinan sama sekali gak bermaksud ngebuat Gio mau ngajak Kinan kayak Kak Dean." Kepala Kinan menggeleng pelan. "Maafin Kinan ya, Gio."

Kali ini Kinan bisa melihat senyum Gio, tetapi bukan senyum yang biasa Kinan lihat. Senyum Gio beda.

"Berapa kali lo harus minta maaf sih, Ki? Dan mikir semuanya bakalan kayak semula lagi? Gak capek?" Alis Gio terangkat sebelah.

"Kinan harus gimana kalo gitu?"

Gantian, Gio yang diam. Seharusnya tidak rumit begini. Seharusnya tidak perlu sesulit ini. Jika saja Kinan tidak bertemu dengan Dean. Jika saja Dean tidak muncul di hadapan Kinan. Dan berakhir Gio yang akan selalu ada untuk gadis itu. "Sayangnya gak ada yang perlu lo lakuin, Kinan. Jangan ngebuat semuanya tambah ribet."

Seperti yang sudah-sudah Gio ucapkan. Seperti yang selalu Gio ingatkan kepada Kinan.

Kinan mengigit bibir bawahnya. Menekan dalam-dalam kata-kata yang sebetulnya tidak ingin Kinan keluarkan namun mulutnya berkhianat saat dengan mudahnya Kinan mengatakan, "Kalo misalkan Gio yang capek bilang Kinan ya, Gio. Kalo Gio mau ngelepasin semuanya juga bilang dulu sama Kinan supaya nanti—"

Ketika tangan Gio memegang kedua pundak Kinan erat-erat, Kinan langsung menghentikan ucapannya. Wajah Gio datar lagi. Tatapan Gio menajam lagi. Melihat mata Kinan lekat-lekat. "Kenapa gampang banget lo ngomong kayak gitu, Ki? Sedangkan gue aja gak pernah sekalipun mikir begitu." Tidak pernah ingin juga memikirkan hal yang baru saja Kinan ucapkan.

Dan Kinan merasakan tangan Gio melonggar, berganti dengan usapan lembut di kedua sisi wajah Kinan. Membuat ketakutan di diri Kinan hilang perlahan-lahan digantikan dengan degupan jantungnya yang berdetak lebih cepat saat dengan pelannya Gio mendekat dan memiringkan wajahnya.

"Lo pernah janji sama gue, Ki. Tepatin dong. Buat diri lo bisa dipercaya. Gue belum mau berenti, gak mau juga."

Setelah mendengar bisikan Gio itu, yang Kinan tahu kini Gio mengecup lembut lehernya. Merasakan napas Gio di permukaan kulitnya. Kinan akan menghentikan Gio jika Gio bergerak lebih jauh lagi dan itu yang Kinan langsung lakukan saat Gio akan mencium bibirnya. Kinan mengelak. "Gak gitu caranya, Gio." Kepala Kinan lagi-lagi menggeleng.

Gio mengerti.

"Kinan, apa lo bakalan marah kalo tau gue cium cewek laen di belakang lo?"

Mata Kinan mulai memanas. "Gio gak akan ngelakuin itu, 'kan?"

"Begonya gue gak bisa, Ki!"

Yang Kinan takutkan akhirnya muncul juga; Gio membentaknya. Lagi. Entah sudah berapa kali. Dan kedua tangan Gio mengerat kembali di bahu Kinan membuat Kinan meringis. Kinan menunduk dalam-dalam tidak ingin melihat wajah Gio itu.

Maka, tersentaklah Gio saat melihat Kinan agak kesakitan. Bego! Bego! Bego! umpat Gio dalam hati. Bagaimana bisa Gio sampai melewati batas itu. Menyakiti Kinan, lebih. Padahal Gio sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih bisa menahan. Untuk tidak menyakiti gadis itu.

"Kinan," panggil Gio pelan. Kinan masih menunduk. "Gue terlalu kenceng megang bahu lo ya? Maaf.. maaf banget." Dan Gio langsung membawa Kinan ke pelukannya. Mengusap punggung Kinan berkali-kali. Membisikkan kata maaf berulang-ulang.

Kenapa bisa-bisanya Gio memenangkan amarahnya itu. Gio menyesal tentu saja. Dari sekian lama, Gio malah tidak bisa mencegah hal itu lagi.

"Gue gak bermaksud buat ngebentak lo tadi, sori. Jangan takut, Ki." Karena di dekapan Gio, tubuh Kinan sudah bergetar. Semakin menyesal lah Gio sekarang.

Dengan tak kalah pelan Kinan menyahut, "Sikap Gio yang kayak gitu ngingetin Kinan sama Bunda."

Kinan memilih untuk tidak melihat Gio karena Kinan juga tidak ingin membenci Gio. Sikap Gio persis sekali dengan Bundanya dulu. Tatapan matanya. Bentakkannya. Perlakuannya pada Kinan.

Tangan Gio mengusap rambut panjang Kinan lambat-lambat. Gio menggeleng. Menyangkal perkataan Kinan tadi. "Enggak, Kinan. Maaf ya. Gue gak akan kayak gitu lagi. Gak akan ngebuat lo takut lagi. Sori banget."

"Kinan gak suka. Kinan gak mau Gio kayak gitu."

"Iya, gak lagi-lagi."

Kinan menutup matanya rapat-rapat. "Jangan buat Kinan takut sama Gio kayak Bunda." Cukup Bundanya saja yang memperlakukan Kinan buruk, jangan Gio.

"Gue tau gue salah, gue minta maaf. Jangan nangis, ya." Suaranya, Gio buat selembut mungkin.

"Kinan."

Kinan diam.

"Maaf."

Gue gak akan maafin diri gue sendiri, Ki kalo sampe ngelakuin hal itu lagi ke elo.

...

Kedua mata Gio mengarah pada kamar Kinan yang lampunya sudah redup. Gio masih merasa bersalah akibat perlakuannya pada Kinan tadi. Dibuangnya rokok yang tinggal setengah itu ke atas aspal dan Gio menginjaknya hingga hancur. Menutup pintu mobilnya yang ia parkir agak jauh dari rumah Kinan tetapi masih bisa dijangkau oleh matanya.

Kinan pasti sudah tertidur di jam setengah dua belas malam begini.

Namun, Gio harus memastikan sendiri bahwa Kinan baik-baik saja. Seperti kemarin-kemarin, Gio memilih untuk masuk ke dalam kamar Kinan dari jendela gadis itu. Gio akan mengingatkan Kinan untuk mengunci jendela kamarnya besok pagi. Ceroboh banget emang nih anak. Bagaimana jika orang lain yang masuk ke dalam kamar Kinan.

Setelah berhasil masuk dan pelan-pelan menutup jendela kamar Kinan, Gio mengamati Kinan yang benar saja sudah terlelap. Posisinya Kinan sedang membelakangi Gio. Perlahan, Gio ikut merebahkan tubuhnya di samping Kinan. "Sleep tight, Ki." Gio mengatakan itu pelan sekali, tetapi tak lama Gio merasakan Kinan bergerak.

"Gio, ngapain di sini?" Ketika bertanya seperti itu, Kinan sudah menghadap ke arah Gio sepenuhnya. Mengusap kedua matanya berkali-kali agar melihat wajah Gio lebih jelas.

Dengan tangan yang Gio bawa ke bahu Kinan, Gio menjawab, "Mau nginep." Dan mengusap bahu Kinan perlahan dengan ibu jarinya. Memfokuskan pandangannya pada bahu Kinan itu. Masih sakit kah?

"Gak boleh." Kepala Kinan menggeleng.

Kali ini, Gio melirik mata Kinan. "Bodo. Tidur lagi cepet." Setelah itu, Gio menarik tangannya dan memilih untuk meraba pergelangan tangan Kinan yang tidak terdapat apa-apa di sana, Gio menghela napas lega. Biasanya beda. Namun, Gio bersyukur Kinan tidak melakukan hal macam-macam.

"Kinan udah gak bisa tidur gara-gara Gio." Sekarang, kedua mata Kinan sudah terbuka lebar-lebar. Mengamati Gio yang mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas.

"Lo mau kesiangan besok?"

Lagi-lagi kepala Kinan menggeleng. "Gio abis dari mana?" Sedikit tercium bau rokok dari kaus yang Gio kenakan. Kinan mengusap hidungnya kini. Memberikan pertanyaan baru untuk Gio.

Gio berdeham pelan. "Nongkrong sama temen."

"Di mana? Pulangnya malem banget." Walaupun Kinan tidak tahu ini jam berapa tetapi bisa dipastikan jika dirinya sudah tertidur tentu saja sudah sangat malam.

Gio mengeluarkan ponselnya dari saku jaket. "Baru jam setengah dua belas, belom malem banget lah," sanggahnya, kemudian meletakkan ponselnya di atas nakas. Lalu, menghadap ke arah Kinan lagi.

"Tapi menurut Kinan ini udah malem banget. Gio gak ke tempat yang macem-macem, 'kan?"

"Enggak."

Kinan tersenyum tipis dan mengingat sesuatu. "Gio, mau numpang makan di rumah Kinan lagi?" tanya Kinan dengan senyuman yang perlahan semakin lebar.

"Boleh. Om Adam masak apa?"

"Kinan ke bawah dulu ya." Kinan sudah mulai menyibakkan selimut putih tebalnya itu dari tubuhnya, jika saja tangan Gio tidak menahannya dengan cepat.

"Eh, gak usah. Gue cuma bercanda. Gue udah makan sate ayam, ditraktir Levi tadi." Gio meralat ucapannya dan memang benar apa yang dirinya katakan.

"Beneran?" Kinan bertanya memastikan.

"Mhm-mm."

Kinan mengubah posisi bantalnya hingga terasa nyaman lagi. Tatapannya belum beralih ke mana-mana.

"Lo gak kenapa-kenapa, 'kan?" Gio kembali melirik bahu Kinan. Semoga sudah tidak sakit.

"Iya, Kinan gak kenapa-kenapa. Gio beneran mau nginep?"

"Beneran. Gue jagain lo di sini. Di deket lo kayak gini," jawab Gio yang sekarang memperlihatkan senyumannya, meyakinkan Kinan.

Kinan tidak membalas, justru dirinya sekarang benar-benar bangkit dari tempat tidur.

"Mau ngapain? Kok bangun lagi?"

Menjawab pertanyaan Gio, Kinan mendekat ke arah meja belajarnya. "Mau ngambil botol minum Kinan."

Dan memberikan botol minum kuning yang sebelum tidur sudah Kinan isi dengan air mineral ke tangan Gio. "Suara Gio udah serak banget, minum dulu nih. Supaya besok pagi tenggorokkan Gio gak sakit juga."

Gio menurut. Mendudukkan tubuhnya dan meminum air mineral yang Kinan berikan. Sebenarnya memang Gio sudah merasakan tenggorokkannya sudah kering.

"Gue beneran mau tidur di sini," kata Gio setelah meletakkan botol bergambar Rapunzel itu ke dekat ponselnya.

"Yaudah." Kinan telah berada diposisinya yang semula. Sudah merasa nyaman juga. Memperhatikan Gio kembali di kamarnya yang gelap ini.

"Tadi lo bilang gak boleh."

"Kinan berubah pikiran takut Gio diomelin Mama Anneth kalo pulang malem begini tau." Kedua mata Kinan terlihat terpejam lalu terbuka lagi. Kantuk sudah mulai menyerangnya, namun Kinan masih ingin melihat Gio di depannya.

"Gue bisa lewat jendela biar gak ketauan," sangkal Gio yang entah untuk keberapa kalinya.

"Kalo jatoh kaki Gio sakit lagi nanti," sahut Kinan masih berusaha untuk tetap membuka kedua matanya.

"Jangan sampe jatoh lah. Sini, gue usap-usap kepala lo biar cepet tidur." Tetapi Gio tahu, Kinan sudah mengantuk dan baru beberapa detik tangan Gio mengusap sisi kepalanya, Kinan sudah memejamkan matanya rapat-rapat.

"Jangan ke mana-mana." Yang Kinan lakukan adalah memegang tangan Gio dibalik selimut.

"Gue di sini."

"Kinan tidur ya, Gio." Kinan berkata sepetti itu sebelum akhirnya pergi ke mimpinya.

"Iya, Ki." Gio merasakan pegangan tangan Kinan melonggar. Gio merapikan rambut Kinan itu.

"Kalo lo mau, besok-besok gue bakalan terus-terussan di deket lo. Gak ada backstreet-backstreet an lagi."

Entah Kinan mendengarnya atau tidak.

Sikap Gio emang temperamental, kasar ke Kinan beda sama Dean yang gak sekalipun bentak si Kinan jadi ya... Kinan suka sama Dean hm....

Itu satu dari banyaknya alasan sih hehehe

Jadi, gimana sama part ini?

Ayo tebak Mikayla siapanya Dean?🙈🙈

Mana nih shippernya Kinan-Dean?

Kinan-Gio?

Suka?

Mau lanjut?

Ini gak akan rumit pake banget kok walaupun ada pemain baru lagi ehe santuy

Yeah, the funny thing is; orang terdekat yang malah paling bisa banget nyakitin hm

Sori typo

Fotonya Gio kebanyakan gak pake baju;(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro