running low
Bagian 24 |
and maybe I will never feel
you gave me something so real
Aku udah revisi. Baca ulang part ini ya, biar gak bingung aja ke depannya hehe
Enjoy gais✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
"Miss me?"
Dean baru saja pulang sekolah dan berniat untuk berjalan ke dapur untuk minum. Tetapi, ketika mendengar suara perempuan yang sudah agak lama tidak Dean dengar lagi secara langsung, Dean terdiam di tempatnya berdiri. Memandang perempuan yang sedang duduk bersandar pada meja bar dengan kaki yang disilangkan juga rokok yang berada di tangannya. Semakin Dean mendekat semakin terlihat juga bahwa ada Abby di sana.
Langsung saja Dean menyapa, "Hai, Mom." Lalu duduk di samping Ibunya dan mencium pipi kiri Aubrey. Belum sempat Dean menjauh, Aubrey lebih dulu menahannya. Memeluk leher Dean erat-erat dan membisikkan Dean betapa rindunya Aubrey pada putranya itu.
Di tahun ini, kali pertama Aubrey meninggalkan Berlin dan langsung menemui Dean. Putranya yang jauh dari dirinya. Putranya yang lebih memilih untuk tidak tinggal bersamanya. Dan meskipun begitu, Aubrey menerima keputusan anak keduanya itu. Seharusnya juga Aubrey bersama Aiden, namun suaminya itu mengatakan dirinya akan menyusul beberapa hari lagi.
"Kamu belum jawab pertanyaan Mama." Masih belum ingin juga melepaskan pelukannya itu, Aubrey mengeluarkan suaranya lagi.
Dean memejamkan kedua matanya. Berada di pelukan Mamanya itu tentu saja membuatnya nyaman. Terlebih, pelukan seperti ini tidak sering Dean dapatkan. "Yang mana?"
"Kangen?"
Oh.
Kepala Dean mengangguk dan merasakan usapan lembut di kepalanya hingga ke bahunya itu. Lalu, Dean mengubah posisinya. Bersandar pada pundak Aubrey hingga bisa melihat Abby di depannya. Abby tersenyum.
"Kamu juga ganti nomor dan gak ngasih tau Mama?"
Saat suara Mamanya yang terdengar agak tidak percaya itu terdengar, Dean mengalihkan pandangannya dari Abby. "Ah iya, aku lupa. Masukkin nomor Mama aja ke sini." Dean bangkit dan mengeluarkan ponselnya dari saku seragam. Memberikan benda pipih itu ke Aubrey sebelum akhirnya Dean menjauh untuk berjalan ke dekat Abby.
Seraya menuangkan air mineral ke dalam gelas yang lebih dulu Dean ambil, Dean mengatakan, "Lo gak ngasih tau gue dulu? Serius?" Tentu saja dengan berbisik.
Abby menoleh ke arah sampingnya. Melihat Dean yang memang lebih tinggi dari dirinya itu. "Tante Aubrey mau ngasih kejutan buat kamu. Ya, aku gak kasih tau kamu lah," jawab Abby dengan senyumannya yang ia keluarkan setelah itu.
"Gimana kalo—"
"Nggak usah bisik-bisik gitu deh. Mamah masih bisa denger oke?"
Dean menghentikan ucapannya ketika Aubrey menginterupsi dirinya dengan Abby. Dean memilih untuk menghabiskan air mineral di dalam gelas lalu mengambil ponselnya yang sudah Aubrey letakkan di atas meja.
"Kamu pasti tau kan, Darling. Walaupun kita jauh-jauhan Mama gak pernah setiap detik aja ngelewatin semua yang berhubungan sama kamu? C'mon. Kita pernah janji juga gak ada yang bakalan kita tutupin." Aubrey memberikan Dean satu tarikan senyum manis.
Jelas saja Dean tahu itu. Seperti ada kamera pengawas di hidupnya selama ini. Dan yang pasti Aubrey lah yang meminta orang-orang yang—sebelumnya belum pernah Dean temui secara langsung, untuk mengawasinya, menjaganya.
Dean manggut-manggut. "She's about to die, Mom. Kalo itu yang mau Mama denger." Meskipun masih terlihat begitu santai, Dean merasakan detak jantungnya yang agak cepat. Mencoba menghalau juga kilasan-kilasan itu.
"Dean!" Itu Abby. Suaranya terdengar membentak. Mencoba memberitahukan Dean untuk tidak melanjutkan ucapannya.
Aubrey berdiri. Tersenyum ke arah Abby. "It's okay, Sayang." Lalu, beralih melihat Dean sekilas. "Tante sama Dean mau ngobrol sebentar dulu di kamarnya ya, Lov. Bisa kamu buatin Tante chamomile tea yang kamu suka banget itu? Tante mau coba."
Mendengar itu, Abby menganggukkan kepalanya. "Oke, Tante." Dan melihat Dean yang lebih dulu masuk ke dalam kamarnya. Membawa minuman kaleng yang Dean ambil dari lemari pendingin.
"Makasih, Lov." Barulah setelah mengatakan itu, Aubrey melangkahkan kakinya menuju ke arah kamar Dean di sana. Dan melihat Dean yang sudah berdiri dengan bersandar pada tembok untuk memperhatikan jendela di depannya yang gordennya terbuka dengan lebar.
Aubrey memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Dean. Memandang putranya itu. "Dean, Sayang. Mama tau apa yang kamu rasain."
"Aku udah berhenti, Mah." Dean mengeluarkan suaranya sebelum Mamanya berbicara lebih lanjut. Pandangannya tidak Dean alihkan ke mana-mana. Menerawang, menembus kaca di jendela kamarnya hingga ke langit oranye di depan sana.
"Sini, duduk di samping Mama." Aubrey menepuk tempat di sebelahnya. Menunggu Dean yang langsung melihat ke arahnya juga dan meletakkan kaleng soda di tangannya itu ke atas nakas dan duduk di samping Aubrey yang langsung mendekap Dean.
"Ini baru hari pertama lho Mama ke sini dan malah ngeliat kamu marah-marah." Aubrey mulai mengusap bahu Dean hingga ke lengan laki-laki itu. Mencium kepala Dean juga berkali-kali.
"Aku gak marah."
"Emangnya apa itu kalo bukan marah? Mama maunya kan Mama seneng-seneng bareng kamu, terus sama Papa. Oh ya, kakak kamu juga bakalan ke sini nanti. Kumpul deh kita sekeluarga. Itu buat kamu seneng gak?"
Kepala Dean mengangguk.
"Yaudah, cerita yang buat kamu seneng deh. Mama mau denger dong. Nanti gantian setelah kamu cerita, baru Mama."
Entah kenapa, mendengar ucapannya Mamanya itu pikiran Dean langsung tertuju pada Kinan. Senyuman gadis itu seperti bisa Dean lihat sekarang.
"Aku udah move on."
...
"Seharusnya Kinan seneng kan ya?"
Gio yang mendengar itu langsung saja menganggukkan kepalanya. Melihat sekilas ke arah Kinan yang sedang mengamati ke arah luar jendela di sampingnya dengan pandangan kosong. Gio tahu pertanyaan Kinan itu mengarah pada kejadian sebelum Gio menyeret Kinan dengan paksa ke dalam mobilnya, Kinan baru mengetahui bahwa Rama dan juga—tidak pernah Kinan duga sebelumnya, Flora ternyata sudah sangat dekat. "Iyalah, lo harusnya seneng," sahut Gio yang kini memfokuskan kembali matanya ke depan. Saat ini Gio memang sedang mengemudi.
Mendengar tanggapan Gio, Kinan langsung mengalihkan pandangan ke arah laki-laki itu. Sebenarnya Kinan tidak menyangka juga akan diantar pulang, walau dengan cara dipaksa. Bersama Gio. Kinan berharap tidak ada hal yang Kinan takutkan. Karena tidak menutup kemungkinan juga semuanya dapat terjadi kan? Kinan menggigit bibir bawahnya. "Kinan sekarang deg-degan. Itu kenapa ya, Gio?" Dan Kinan membawa tangan kanan untuk menyentuh dadanya. Merasakan degupan jantungnya yang terasa agak cepat.
Gio melihat Kinan kali ini lebih lama dan menarik kedua sudut bibirnya ke atas lalu dengan mata yang mengamati jalan, Gio mengatakan, "Lo takut sama si Rama?" Sebenarnya bukan itu yang ingin Gio katakan.
Merespons pertanyaan Gio, lantas kepala Kinan menggeleng. Bukan takut yang gimana-gimana, hanya saja Rama bisa berbuat yang lebih-lebih dari yang sebelumnya dan Kinan tentu tidak ingin itu terjadi. Terlebih, Kinan pastinya akan ikut sakit. "Kak Rama itu sebenernya baik tau. Cuma ya gitu.. terus Kak Rama pernah bilang juga sama Kinan kalo Kak Rama sayang sama Kinan. Gak mau Kinan kenapa-kenapa."
Dengusan Gio terdengar. "Kinan, lo pernah mikir kalo dia beneran suka sama lo?" Sudut kiri bibir Gio terangkat setelah mengatakan itu.
"Mm.. enggak. Kak Rama udah punya pacar juga. Gak mungkin kan Kak Rama suka Kinan? Terus Kak Rama juga—"
"Kinan, lo sadar gak?!" tukas Gio sebelum Kinan dapat menyelesaikan ucapannya itu dan mungkin Gio tidak tahu bahwa nadanya benar-benar terdengar seperti bentakan membuat Kinan seketika terdiam. Memandang Gio agak takut.
Gio langsung saja menoleh ke arah Kinan yang kini sudah terlihat sedang memerhatikan jalan dari jendela di sampingnya. Lagi. "Sori.. sori. Gue gak bermaksud buat ngebentak lo." Suaranya Gio buat selembut mungkin. Raut wajahnya terlihat benar-benar menyesal.
"Nggak apa-apa kok, Gio."
Kinan mengucapkan itu tanpa berniat untuk melihat ke arah lawan bicaranya. Membuat Gio semakin merasa bersalah. Bego! Bego! Bego! umpat Gio dalam hati. Bagaimana bisa ia membetak Kinan seperti itu meskipun dirinya juga tidak sadar nadanya terlalu tinggi.
"Lo laper? Lo mau makan dulu?" Demi mencairkan dinding beku di antara mereka beberapa saat lalu, Gio berujar kembali.
Baru lah Kinan menggerakkan kepalanya menghadap ke arah Gio lagi. "Kinan mau langsung pulang aja. Kinan juga mau makan bareng sama Ayah yang pasti udah masak." Saat menjawab itu, senyuman yang biasa Kinan perlihatkan mengembang di bibirnya. Seperti tidak terjadi apa-apa beberapa menit yang lalu.
Gio diam-diam mengembuskan napas leganya. "Mm.. Ayah lo baik-baik aja? Maksud gue, Ayah lo sehat kan?"
Dengan cepatnya Kinan menganggukkan kepala. "Kinan mau cerita sama Gio kalo Ayah Kinan sekarang udah mau nyariin Kinan bunda baru." Dan terlihat semakin lebar senyum Kinan itu. Mengingat ucapan Adam minggu lalu.
"Oh ya? Bagus buat lo dong. Bakalan gak sendirian lagi nanti di rumah." Gio ikut tersenyum. Bukan lagi senyum meremehkan atau senyum masam yang selalu ia tampilkan melainkan senyum tulus. Senyum seperti Kinan.
Kepala Kinan lagi-lagi mengangguk. Jika sudah membicarakan Adam, kebahagiaan Kinan bertambah. "Iya, biar Ayah gak sendiri juga. Terus ada yang buatin Ayah sarapan sebelum Ayah berangkat kerja. Walaupun Ayah bisa semuanya sendiri sih."
Gio manggut-manggut. "Lo kangen Bunda?"
Butuh waktu agak lama Kinan menanggapi pertanyaan Gio itu dan seraya mengangkat kedua bahunya, Kinan menjawab, "Kinan nggak tau. Tapi Kinan kangen sama Oma. Menurut Gio, Oma bakalan kangen sama Kinan juga gak?" Kali ini, Kinan menghadap ke arah Gio sepenuhnya.
"Pasti lah."
Kinan harap begitu. "Sekarang dada Kinan sakit." Ngilu juga rasanya. Tapi Kinan tidak ingin menangis kok.
Mendengar suara Kinan yang terdengar agak serak itu, Gio mengembuskan napas pelan. "Jangan nangis. Gue janji nanti gue yang bakalan nganterin lo ke makam Oma."
Mendengar ucapan Gio barusan, kedua mata Kinan langsung berbinar. Penuh harap. Lihatkan, bagaimana cepatnya Kinan mampu mengusir kesedihannya hanya karena mendengar itu. "Bukan karena terpaksa?" tanya Kinan memastikan. Wajahnya juga Kinan dekatkan ke arah Gio.
Dengan tangan kirinya, Gio menjauhkan wajah Kinan dari dirinya. "Bukan, Kinan. Ini gue sendiri yang mau," jawabnya. Yang dengan begitu berhasilnya membuat senyum Kinan terbit lagi.
Belum sampai di rumah Kinan, Gio menghentikan mesin mobil. Padahal hanya tinggal satu blok lagi rumah Kinan akan terlihat. "Gue gak bisa nganterin lo sampe depan rumah." Suara Gio terdengar.
Kinan memandangnya tidak percaya. "Padahal Kinan capek jalan lagi tau." Lalu, membuka seatbelt dengan raut wajah cemberutnya. Memasang wajah sedih setelah itu, mungkin saja Gio akan luluh.
"Ya mau gimana lagi? Lo mau jalan apa diem aja di sini?"
Gagal deh.
"Iya-iya, Kinan jalan." Kemudian, Kinan turun dari mobil Gio. Melipat kedua tangannya di jendela mobil yang kacanya tadi Kinan turunkan. "Makasih, Gio. Gio, pulangnya hati-hati ya. Daaah!" Kinan lalu melambaikan tangannya dan menarik langkah menjauh.
Gio diam tidak membalas. Yang Kinan tidak tahu, Gio belum juga pergi hingga punggung Kinan tidak terlihat lagi dari pandangan. Kurang bodoh apa Gio sekarang?
Sementara Kinan berjalan dengan bersenandung. Kakinya menendang krikil-krikil kecil di atas aspal. Emangnya muka Ayah serem ya sampe Gio gak mau nganterin Kinan sampe depan rumah? Itu yang sedang Kinan pikirkan juga.
"Kok gak nunggu Kak Rama, Ann?"
Saat suara Rama terdengar, Kinan langsung mendongakkan kepalanya. Terlihat Rama yang sudah berdiri di depan pagar rumah. Memegang ponselnya juga. Kinan dengan pelan-pelan, menoleh ke arah belakangnya dan memang tidak terlihat mobil Gio di sana, Kinan melihat ke arah Rama lagi. "Anna lupa, terus Anna pesen ojek online deh!" Sebisa mungkin meyakinkan Rama.
"Mana ojeknya? Hape Anna juga gak aktif." Rama membuka pagar hitam di belakangnya. Membiarkan Kinan masuk dengan dirinya yang mengikuti Kinan setelah itu.
Duh! Kinan meringis. "Tadi Anna ketemu temen Anna di depan komplek jadi, Anna turun di sana. Kalo hape.. itu, Anna aktifin mode pesawatnya. Hemat baterai hehe." Setidaknya itu masuk akal kan?
"Ayah!" Ketika kedua mata Kinan melihat Adam yang baru turun dari tangga, Kinan langsung berhambur ke pelukan Ayahnya. Ingin menghindar juga dari segala macam pertanyaan Rama.
Dan itu berhasil.
...
"Gak usah nge-chat Kinan lagi. Kinan udah di sini." Kinan berdiri di samping Dean yang bersandar pada pintu mobil. Dean sedang menunduk untuk melihat layar ponsel dengan hoodie abu-abu yang penutup kepalanya Dean gunakan. Malam ini, setelah mendapat pesan singkat dari Dean yang mengatakan bahwa Dean lapar dan Dean ingin makan nasi goreng berdua dengan Kinan, Kinan tanpa berpikir lagi langsung menyetujui—karena itu juga yang sebenarnya Kinan tunggu-tunggu. Senyumannya tidak segan-segan Kinan keluarkan, memberitahukan betapa senangnya dia.
Dean menoleh ke arah Kinan dan menunjukkan layar ponselnya kepada gadis itu. "Gue lagi gak nge-chat lo." Dan menarik ujung rambut Kinan dengan gemasnya. Lalu, mengetikkan pesan singkat yang belum selesai.
Di sampingnya, Kinan mendengus. Kinan terlalu berharap. Beruntungnya tidak sakit-sakit amat lah. "Oh," sahut Kinan singkat dan memilih untuk bersandar pada bahu Dean seraya melihat Dean yang masih saja membalas pesan singkat yang Kinan perhatikan memang bukan ke dirinya. Kemudian Kinan menjauh saat Dean memasukkan ponselnya ke saku hoodie.
Dan Kinan langsung saja mengulurkan tangan kanannya yang terdapat ikat rambut hitam yang Kinan jadikan gelang itu ke arah Dean. Dean masih saja diam. "Tolong iketin rambut Kinan."
Dean memegang kedua bahu Kinan berniat untuk mengubah posisi gadis itu, tetapi Kinan menahannya. "Kinan mau kayak gini aja," kata Kinan yang sebenarnya hanya ingin melihat wajah Dean lebih dekat. Dean mulai merapikan rambut Kinan dengan Kinan yang belum juga ingin mengalihkan pandangan dari wajahnya. Tangan kanannya juga perlahan memegang sisi hoodie yang Dean kenakan.
"Kenapa?" Tentu saja Dean bingung. Diperhatikan sebegitunya oleh Kinan. Dean melirik sekilas ke arah mata Kinan dan kembali lagi melihat rambut panjang Kinan yang sekarang sedang Dean ikat.
"Kak Dean, lebih irit ngomong ya dari biasanya. Mau cerita sama Kinan kenapa gak?" Itu yang membuat Kinan ingin mengetahui diamnya Dean. Dean memang tidak pernah secerewet Kinan, tetapi malam ini Kinan merasa ada yang beda. Semoga Kinan salah.
Mendengar itu, Dean mendorong dahi Kinan dengan jari telunjuknya. "Sok tau."
"Kinan biasanya kalo gak mau ngomong itu pas ada yang buat Kinan kesel. Contohnya dulu pas Kak Dean gak ngabarin Kinan, ngilang tiba-tiba kayak setan difilm-film horor. Kinan jadinya puasa ngomong." Kinan mengatakan itu dengan menggebu-gebu. Ingat lagi bagaimana kesalnya Kinan saat itu. Supaya Dean tahu juga sih.
Dean mengernyit. "Kapan tuh?"
"Itu lho yang hape Kak Dean rusak." Membuat Kinan menunggu dan setiap detiknya melihat ke arah ponselnya. Padahal Kinan bukan siapa-siapanya Dean, seharusnya Kinan juga tidak boleh kesal ketika Dean memilih untuk tidak menghubunginya. Tapi tetap saja Kinan kesal. Titik.
Seperti nama seseorang yang setiap saat ada di layar ponsel dan tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa adanya kabar lagi. Pasti ada rasa kehilangan kan?
"Lo terlalu jujur," sahut Dean dan menjauhkan kedua tangannya setelah Dean selesai merapikan rambut panjang Kinan itu.
Kinan mendongakkan kepalanya lagi untuk lebih jelas melihat mata Dean di hadapannya. "Kinan salah lagi ya?" Kinan yang kali ini mengerutkan keningnya.
"Enggak juga. Ayo kita makan nasi goreng." Dean sudah akan membuka pintu mobil jika saja tangannya tidak dicekal oleh kedua tangan mungil Kinan.
"Kak Dean, kita jalan kaki aja deket kok!" Dan Kinan menarik lengan Dean untuk berjalan bersamanya. Bersisian.
Dari sudut matanya, Dean diam-diam memerhatikan Kinan yang sedang bersenandung kecil. Melangkah ringan. Seperti tidak ada beban. Lalu, sesekali menoleh ke arah Dean dengan senyum biasa Kinan perlihatkan. Senyum terus ya, Nan. Entah sudah berapa kali Dean mengatakan itu.
Kinan mendongak, teringat sesuatu. "Di jidat Kinan ada jerawat. Liat deh, Kak Dean." Setelah dilihatnya Dean juga menengok ke arahnya, Kinan mendekatkan dahinya itu. Memperlihatkan kepada Dean satu jerawat yang muncul di tengah-tengah ke dua alisnya yang baru saja muncul sore tadi. Kinan baru sadar juga saat bercermin.
Dan ketika dilihatnya Dean mengangkat jari telunjuknya, Kinan langsung memegang tangan Dean itu. "Jangan dipegang ih!" ujarnya dengan wajah yang Kinan buat seserius mungkin. Tetapi secepat angin malam yang menerpa halus wajahnya Kinan tersenyum lagi. "Lucu kan?" tanya Kinan seraya menaik-turunkan kedua alisnya.
Dean mengangguk. "Iya, lucu."
Kinan jadi ingat saat melihat sebuah tweet yang muncul di timeline-nya dan mengatakan; having scar and acne doesn't define you. Itu yang membuat Kinan biasa-biasa saja sekarang jika ada satu-dua jerawat yang muncul di wajahnya. Sebelumnya Kinan pasti akan galau, memikirkan bagaimana cepat-cepat ia harus menghilangkan jerawat itu dan malah berakhir jerawatnya semakin banyak.
Ayahnya selalu mengatakan perbanyak minum air mineral dan ingat jangan keseringan makan junk food. Untuk yang satu itu Kinan sering melanggar. Jangan sampai Ayah tau!
Kemudian, Kinan membawa tangan Dean yang berada di genggamannya untuk Kinan lingkarkan di bahunya. Dan Kinan merasakan Dean mengeratkan rangkulannya itu. Kinan menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Dean pasti tidak melihat itu.
"Kak Dean."
"Hm?"
Kinan malah menyahut, "Nggak jadi."
"Kinan." Sekarang gantian, Dean yang memanggil nama gadis itu.
Cepat-cepat Kinan mendongak. "Apa?"
"Gue lupa."
"Nyebelin!" Kinan tidak bisa untuk tidak mendorong bahu Dean dengan bahunya. Tetapi Kinan tertawa juga.
Tak berapa lama, Kinan yang lebih dulu melepaskan tautan tangan mereka berdua. "Sampe deh!" ujarnya dan memilih langsung duduk di tempat yang memang sudah disediakan. Dean duduk di sebelahnya.
"Abang nasi goreng, Kinan mau yang pedes banget nget dong satu." Lalu, Kinan mengalihkan pandangannya ke arah Dean di sampingnya yang sekarang sudah mengeluarkan ponselnya kembali. "Kak Dean, mau yang pedes juga gak?"
Dean melihat Kinan sebentar. "Gue yang biasa aja."
"Ketauan nih sekarang Kak Dean gak suka pedes." Dan Kinan langsung mengatakan lagi kepada penjual nasi goreng apa yang Kinan dan Dean pesan.
Dan Dean baru menyadari sesuatu. "Ayah lo gak marah lo makan pedes banget gitu?"
Kinan menggeleng. "Jangan dikasih tau Ayah." Dan Kinan justru melihat tatapan Dean yang menyipit. Kinan langsung mengulurkan jari kelingkingnya. "Janji dulu, Kak Dean," lanjut Kinan.
"Janji." Dan Dean menautkan kelingkingnya di sana. Kinan mengeluarkan senyum lebarnya. Dean berkutat lagi pada ponselnya. Dan selang beberapa saat Dean merasakan tangan Kinan mulai menyingkirkan penutup kepala yang Dean gunakan. Merapikan juga rambut Dean yang pasti sudah terlihat berantakkan.
"Siapa tuh yang lagi Kak Dean chat? Cie cie." Kinan mengeluarkan suaranya lagi. Namun tetap saja, pandangan Dean masih belum juga teralihkan.
Kinan memberenggut. "Kak Dean, tau gak sih CIE itu ada kepanjangannya?!" Suara Kinan terdengar agak kesal.
"Apaan?" Masih belum juga ingin melihat ke arah Kinan.
"Cause I'm Envy. Eh tapi itu bukan Kinan ya!" ralat Kinan secepat mungkin.
Setelah mendengar itu, baru lah Dean melihat ke arah Kinan yang sudah terlihat cemberut di sampingnya. Membawa tangan Kinan yang berada di bawah meja untuk Dean genggam dan Dean letakkan di atas pahanya. "Gue lagi nge-chat nyokap, Nan." Tangan satu Dean masih memainkan ponselnya itu.
Diam-diam Kinan mengembukan napas leganya. "Oh. Kinan mau minjem hape Kak Dean dong sebentar." Tangan kiri Kinan terulur dan Dean langsung memberikan apa yang Kinan mau. Kinan mulai memainkan benda pipih itu. "Di galeri Kak Dean cuma ada foto mobil doang?" Kinan melirik Dean sekilas.
"Emang lo pikir ada apaan?"
"Fotonya Kak Dean mana?" Kinan masih mencari, tapi Kinan tidak menemukan satu pun foto Dean di sana.
Dean menghela napas pendek. "Nggak ada. Gue gak suka foto."
Kinan mengernyit dan melihat Dean dengan mata yang menyipit, Dean membalas tatapannya. Kinan mulai membuka kamera dan mengarahkan layar ponsel Dean ke wajahnya. Tersenyum lalu klik. Foto selfie Kinan sudah ada di ponsel Dean. "Bagus nih! Sini deh Kak Dean, duduknya deketan lagi sama Kinan."
Dengan mengarahkan kamera ke arah mereka berdua, Kinan mengatakan, "Sekali foto sama Kinan ya. Senyum!" Dan klik. Kinan berhasil mengabadikan foto mereka berdua.
"Ish! Dibilang senyum juga. Tapi, nggak apa-apa deh, Kinan bagus di sini." Kinan mengganti locksreen ponsel Dean dengan foto mereka berdua dan mengembalikan ponsel Dean dengan senyum merekahnya. "Dah nih." Dean menerima ponselnya itu bertepatan dengan nasi goreng mereka yang sudah jadi.
"Ini nasi gorengnya buat Neng Kinan yang pedesnya banget nget. Yang satu buat Mas pacar." Pak Opi namanya, penjual nasi goreng yang berujar. Dan meletakkan piring cokelat itu di depan mereka berdua. "Kok Ayah gantengnya gak diajak, Neng?"
Seraya mengambil sendok dan garpu, Kinan menjawab, "Kinan kan mau nge-date sama Kak Dean. Jadi, Ayah gak Kinan ajak. Abang nasi goreng jangan ngasih tau Ayah ya!"
Pak Opi hanya mengangkat kedua ibu jarinya dan mulai melayani lagi pelanggan yang datang.
Benar yang dikatakan Kinan. Nasi gorengnya enak ditambah penjualnya ramah. Dean akan mengajak Kinan lagi nanti untuk makan di sana. Dean memerhatikan Kinan yang baru saja menutup gerbang rumahnya. Melambaikan tangannya ke arah Dean yang berada di dalam mobil.
Belum ingin beranjak, Dean melihat layar ponselnya yang kini sudah ada foto dirinya dengan Kinan. Dean mengamati foto itu agak lama.
Bisa kita kayak gini terus, Nan?
Sori typo, nanti bakalan aku revisi.
Jadi, gimana sama part ini gais?
Bertele-tele? Alurnya ngebosenin? Atau apa? Komen aja, biar aku bisa perbaiki di part2 selanjutnya :)
So, mau lanjut?
[ Gio yang entah baju di mana hm ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro