Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

right here

Bagian 47 |
if you need me I'll be here

Chapter lines di wattpad kalian berurutan gak? Kalo enggak, hapus dulu aja dari library ya gais.

Oke, vote dan komen dund✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

Kinan menggigit bibir bawahnya membaca pesan singkat yang Dean kirimkan tetapi tak ada satupun yang Kinan balas. Saat itu Kinan masih bersama dengan Gio. Kinan jadi ingat yang Gio katakan padanya kemarin.

"Udahan aja ya, Ki?"

Udahan?

"Kinan."

Kinan mendongakkan kepalanya melihat ke arah Dean yang berada di depannya itu. Pagi-pagi sekali Dean sudah menjemput Kinan untuk berangkat ke sekolah bersama. Dan di sinilah Dean, berdiri di depan pagar rumah Kinan dengan bersandar pada pintu mobil sedang Kinan berdiri di hadapannya dengan perasaan bimbang luar biasa. Kinan harus bagaimana?

"Udah baca chat gue?" Dean mengeluarkan suaranya lagi. Raut wajah Kinan tidak terbaca. Dean masih mengamati Kinan yang ingin sekali Dean peluk. Rasa khawatirnya semakin menjadi-jadi.

Mata Kinan beralih pada ponsel di genggamannya dan mengangguk pelan. Kinan baru saja membaca pesan-pesan Dean. "Mm.. kemarin itu Kinan bolos. Kinan juga baik-baik aja kok, Kak Dean." Diperlihatkannya senyum yang biasa Kinan keluarkan. Mencoba meyakinkan Dean.

"Lo.. bolos? Sejak kapan?" Sebelah alis Dean terangkat tinggi. Jelas saja pernyataan Kinan menimbulkan banyak pertanyaan.

Kinan memilih menekuri sepatu putihnya dan menjawab dengan suara pelannya. "Kinan bolos cuma kemarin aja kok." Jika bukan karena Gio yang datang tiba-tiba dan tidak membiarkan Kinan memilih, tidak akan mungkin Kinan bolos seperti kemarin. Ending-nya tidak mengenakkan pula.

"Ayah tau?" Dean bertanya memastikan.

Kepala Kinan mengangguk pelan. "Tau. Kinan dimarahin sama Ayah kemarin pas pulang." Dan itu memang benar.

"Ayah lo nyariin lo, Nan. Bingung juga kenapa Ola dateng buat jenguk lo yang ternyata gak ada di rumah."

Mendengar itu, Kinan mengangkat kepalanya kembali. Ekspresi Dean masih tetap sama saja. Datar. "Ola ke sini?"

"Iya, sama gue."

Kinan semakin merasa bersalah sudah membohongi mereka. Membuat mereka mencemaskan Kinan yang sebenarnya baik-baik saja. "Kinan minta maaf." Suaranya mengecil. Diremas ponsel di tangannya itu kuat-kuat.

Tidak ingin melihat wajah sedih Kinan, Dean berujar, "Masuk ke mobil gue sekarang."

Kinan menurut dan masih dengan perasaan bersalahnya, masuk ke dalam mobil Dean. Memakai seatbelt dan melihat ke arah Dean yang sudah berada di sampingnya. "Kak Dean, marah ya?" tanya Kinan takut-takut. Tetapi pasti jawabannya iya.

"Seenggaknya lo bales chat gue. Biar gue gak khawatir banget begini." Setelah mengatakan itu, Dean mulai mengendarai mobilnya menjauh dari rumah Kinan. Kekhawatirannya sama seperti saat mengetahui Kinan tidak pulang ke rumah. Kinan dicelakai oleh entah siapa itu. Kinan... tidak mengabarinya.

"Maaf." Hanya itu yang bisa Kinan katakan. Matanya masih saja memerhatikan Dean yang sedang fokus mengemudi.

Seakan tahu apa yang sedang Kinan rasakan, Dean membuka topik baru kali ini. "Ada tempat makan di jok belakang. Itu sarapan buat lo."

Kepala Kinan lantas menengok ke belakang. Menemukan tempat makan krem yang langsung Kinan ambil. Kinan membuka penutupnya. Isinya Mac and cheese. "Kak Dean yang bikin?"

"Mhm-mm."

"Kak Dean udah gak marah sama Kinan?" Kinan harap begitu.

"Gue gak pernah marah sama lo, Nan." Kali ini, Dean sempatkan untuk menoleh ke arah Kinan di sebelahnya. Dean tidak ingin membuat Kinan merasakan hal yang semakin buruk untuk diri Kinan sendiri.

Perlahan, Kinan mengangkat kedua sudut bibirnya. "Kalo gitu bisa jangan pendek-pendek jawab pertanyaan Kinannya?"

"Oke."

"Tuh kan." Kinan cemberut.

"Mumpung masih di jalan, abisin sarapan lo." Tangan kiri Dean sudah berada di puncak kepala Kinan. Mengusak rambut Kinan juga setelah itu.

Bukankah jika bersama Dean semuanya jadi terasa lebih mudah?

"Makasih, Kak Dean. Pas banget bawain Kinan sarapan soalnya tadi Kinan makan cuma sedikit, Ayah mukanya masih gak ngenakin banget." Kinan cemberut lagi mengingat raut wajah Adam dari semalam hingga tadi di meja makan.

"Makanya jangan buat Ayah lo khawatir lagi."

"Iya, gak lagi-lagi." Kinan mulai menyendokkan sarapan yang Dean buat untuknya ke dalam mulut.

"Gimana sama tangan lo, Nan? Udah baikkan?" Hal penting lainnya yang ingin Dean dengar.

"Kemarin Kinan udah periksa ke dokter lagi, lukanya udah.. mendingan." Diantar Gio sebelum pulang ke rumah. Semoga Gio menarik kata-katanya.

Dan tak lama Dean dengan samar mendengar Kinan bergumam,

"Kinan masih milih buat sama Kak Dean."

...

Gio melihat Kinan yang baru saja keluar dari mobil Dean pagi ini. Sudut kiri bibirnya terangkat sedikit, lalu Gio melangkah menjauh dari pelataran parkir Pertiwi seraya pandangannya tertuju pada ikat rambut hitam milik Kinan yang berada di pergelangan tangannya sekarang. Kinan meninggalkannya di mobil Gio kemarin.

Dan kemarin juga Gio memilih untuk menyudahi semuanya.

Apakah keputusannya sudah tepat? Apa Kinan menerima? Apa Gio menghancurkan semua yang Kinan bangun? Apa dengan seperti ini segalanya menjadi sia-sia? Apa mereka terlalu... jahat? Tetapi, bagaimana dengan dirinya?

Ah, semakin dipikirkan semakin membuat kepala Gio pusing. Sambil berjalan di koridor lantai satu, Gio membuka hoodie hitamnya yang langsung Gio lampirkan ke pundak kiri. Mengeluarkan ponselnya setelah itu. Dan notif pertama yang Gio lihat adalah pesan dari Sean yang memintanya untuk bertemu di tempat biasa.

Belum sempat Gio mengetikkan pesan singkat, kedua matanya melihat Flora yang baru saja keluar dari kelas Rama. Gio mempercepat langkah kakinya untuk menyamai gadis itu. "La, lo udah sarapan?" tanya Gio. Tentu saja bukan itu yang ingin Gio tanyakan pada Flora.

Flora menoleh ke sampingnya dan memandang Gio dengan sedikit tidak suka atau... lebih ke heran. Gio itu jarang sekali memulai pembicaraan dengan dirinya duluan. Pasti ada apa-apa, Flora berpikir. "Lo mau traktir gue karena lo menang taruhan... lagi?"

Seharusnya Flora tidak perlu berbasa-basi seperti ini dengan Gio, Rama pasti tidak suka.

Gio menarik kedua sudut bibirnya. "Anggep aja gitu. Ada yang mau gue tanyain juga. Ayo ke kantin." Gio kali ini melangkah duluan. Dan beruntungnya kantin pagi ini tidak terlalu ramai—hal terpentingnya, Gio tidak melihat Kinan di sini.

"Jadi, apa yang mau tanyain?" Flora mengambil sendok dan garpu yang sudah berada di piring nasi gorengnya. Dalam hati, Flora berharap Rama tidak menemukannya.

Gio menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku. Menatap Flora di depannya lurus-lurus. Padahal sudah lama Gio memendam rasa penasarannya ini. Soft drink di atas meja, Gio putar perlahan.. "Rama pernah cerita sama lo tentang cewek yang... mm, gimana ya gue ngomongnya." Gio mengalihkan pandangan ke arah botol di tangannya itu.

"Juli?"

Mendengar nama itu disebut, Gio melihat Flora dengan agak terkejut. Tetapi secepat kedipan mata, Gio hilangkan itu. "Dia udah cerita sama lo?" Seorang Rama yang tidak mudah terbuka pada orang lain malah dengan gampangnya bercerita pada Flora. Gio mendengus.

"Kok lo kaget banget?" Kerutan di dahi Flora terlihat.

Gio menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. "Dia beneran suka sama lo ternyata." Dan mengeluarkan senyum mengejeknya. Karena dari awal kabar Rama sudah jadian dengan Flora, Gio menganggap Rama hanya ingin memutupi bahwa dia tidak lagi menyukai Kinan.

Flora mengerjapkan matanya berkali-kali. "Lo pikir Kak Rama main-main sama gue?" Suaranya memelan.

"Awalnya gitu. Ternyata gue salah." Kedua bahu Gio terangkat. Mungkin Gio terlalu jahat sudah berbicara seperti itu pada Flora.

"Pikiran lo ke Rama gak pernah ada baiknya ya, Yo. Gue heran." Dengan menunduk, Flora mengatakan itu. Entah dari kapan yang Flora tahu Rama itu selalu saja berkelahi dengan Gio. Dan yang paling buruknya hingga membuat kaki Gio patah.

"Lo udah tau semuanya tentang Rama ya, La?" Dengan cepatnya, Gio menanyakan hal lain.

Gantian, sekarang kedua bahu Flora yang terangkat. Karena Flora juga tidak tahu. "Lo beneran udah buat Juli.. kayak gitu?"

Gio menegakkan tubuhnya. Melihat mata Flora lagi. "Lo pikir gue bakalan mau ngebuat cewek yang gue sayang gak ada lagi? Gue bener-bener mikir gue dijebak sama temen gue. Bisa lo gak usah cerita ke siapa-siapa semua yang lo denger, apalagi ke Kinan?" Itu yang paling Gio takutkan.

Semakin penasaranlah Flora ketika nama Kinan keluar dari mulut Gio tadi. "Apa kaitannya sama Kinan?"

Gio mengembuskan napas pelan. "Dia.. kenal juga sama Juli." Tidak mungkin Gio mengatakan hal lain.

Sejenak, Flora berpikir. "Lo takut Kinan mikir macem-macem tentang lo? Lo.. suka Kinan?"

Dengan bersikap sesantai mungkin, Gio menjawab, "Enggak."

Flora memandang ke arah lain. "Kemaren Kinan gak masuk, lo juga. Ari bilang Kinan sakit tapi pas gue ke rumahnya sama Kak Dean, Om Adam malah bingung. Kinan gak ada di rumah." Gotcha. Masuk akal, 'kan?

"Gue gak tau Kinan ke mana." Gio berusaha mengelak.

"Dan temen lo si Ari tau kalo Kinan sakit? Waw." Tidak salah lagi!

Saat Gio tidak menyahut, Flora melanjutkan, "Gue yang sahabatnya aja gak tau, Yo dia di mana kemaren. Dia gak pernah bohong sampe segitunya. Kalo bener lo yang ngajakin dia bolos, lo udah bawa pengaruh buruk buat dia."

Ah iya, buruk.

"Dan lo tau, Yo gue lebih milih Kak Dean dibanding lo. Kinan pantes kok dapetin cowok yang lebih baik. Kinan banyak sakitnya, dulu. Gue gak mau temen gue ngerasain sakit lagi. Kinan udah ditinggalin sama Omanya, Bundanya juga."

Gue tau, La.

Gio bangkit. Meraih tas ranselnya. "Kinan kemaren gak pergi sama gue," ulang Gio. Lalu, Gio menunduk. Berbisik tepat di samping telinga Flora. "Sekali lagi gue bilang sama lo, La kalo lo mau tau alasan kenapa gue gak mau lo cerita ke Kinan tentang Juli karena Kinan kenal Juli—orang yang Rama sayang. Lo gak mau ngebuat temen lo sedih lagi, 'kan?"

Tanpa ingin mendengar jawaban Flora, Gio menarik langkah pelan dan berbalik lagi. "Oh ya, sebenernya bukan cuma itu aja yang mau gue omongin."

"Apaan lagi?" Flora menoleh ke arah Gio yang berdiri di belakangnya.

"Mending lo jauh-jauh dari Sean."

...

"Udahan aja ya, Ki?"

Gio tahu setelah mengatakan itu, pasti Kinan langsung menolaknya. Tetapi, bukan ini yang Gio mau. Kinan sudah terlalu jauh dan Gio takut terjatuh. Lagi. Kinan tahu tidak ya?

Kinan mengerjapkan matanya. Menggigit bibir bawahnya juga. Kelingkingnya, Kinan lepaskan dari genggaman tangan Gio. Ditariknya senyum tipis lalu, Kinan memilih untuk memeluk Gio. Tidak peduli seragamnya juga ikut basah karena tubuh Gio itu. Di jarak yang memang dekat ini Kinan merasakan bagaimana kencangnya degupan jantung Gio sekarang. "Gak apa-apa kalo Gio mau udahan, tapi Kinan enggak ya?" bisiknya.

"Kan Gio tau cuma ini yang Kinan mau. Tapi, yaudah kalo Gio maunya gitu. Jangan paksa Kinan, Kinan gak akan mau."

Gio mendorong bahu Kinan, pelan. Dengan tangan dinginnya, Gio mengusap pipi Kinan yang terlihat memerah. Menahan kesal, mungkin. "Kinan, pipi lo merah nih. Lucu." Dan memberikan kecupan lembutnya di sana. Lama.

Kinan tidak mengerti mengapa sikap Gio malah menjadi seperti ini. Jika Gio marah, sudah jelas Kinan tahu. Tetapi jika seperti ini, Gio sedang merasakan apa?

"Putusin sekarang dong, Ki. Lama banget. Lo gak kasian sama gue?" Tangan Gio yang tadinya berada di sisi wajah Kinan kini sudah turun ke leher Kinan yang terasa hangat di telapak tangannya. Gio menjatuhkan kepalanya pada bahu Kinan. Menghirup dalam-dalam wangi Kinan yang sudah sangat Gio hapal.

Kinan menggeleng. "Kinan gak mau jauh-jauh dari Gio. Gio kan tadi bilang gitu juga." Belum lama. Gio tidak mungkin melupakan ucapannya secepat itu, 'kan?

Lalu, Kinan merasakan Gio tertawa. "Kinan, gue gak nyuruh lo jauh dari gue. Mana mau gue jauh dari cewek yang gue sayang. Aneh lo, Ki." Gio terkekeh kembali. Kemudian bangkit, menarik tangan Kinan untuk berdiri. Membawa Kinan ke dalam lagi karena Gio sudah merasakan rintik-rintik hujan di tubuhnya.

Di depan pintu, Kinan menahan tangan Gio. Gio berbalik ke arahnya. "Gio mau apa sih sebenernya? Kinan sekarang bingung tau." Dan ketika Gio sudah hampir menghapus jarak mereka berdua, menghimpit Kinan. Kinan menahan tubuh Gio, menantang tatapan Gio di depannya. Kinan jelas saja mau tahu jawabannya apa.

Iya, Gio tahu pasti Kinan bingung luar biasa. Tetapi, sebenarnya Kinan tentu saja sudah sangat paham.

"Mau terus di deket lo. Lo mau juga gak?" Gio menatap lembut Kinan di hadapannya. Memegang pinggang Kinan dan mendorongnya perlahan. Tidak ada jarak lagi, namun Gio merasa Kinan terlalu jauh. Rasanya seperti bermil-mil jauhnya. Mengapa harus menjadi seperti ini?

Tidak diragukan lagi, kepala Kinan langsung mengangguk walau pelan. "Tapi jangan udahan ya, Gio."

Gio menggeleng. "Putusin, Ki."

Bingung gak tuh sama Gio? Wkwkwkw

Gimana sama part ini? Suka gakk?

Apa yang ngebuat kalian penasaran di part ini? :))

Mana teamnya dean? Masih banyak kah?

Team gio? Meuehheeh

Jadi, Kinan-gio udahan belum ya? Hm hm

SORI YAA KALO BANYAK TYPO EHE

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro