onoffonoff
Bagian 58 |
careful, slowly, darling what's the hurry?
Mampir ke cerita baru aku dongsss..
cerita temen bandnya Sean nich namanya Jevan eheheheh tengkyu✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
Kinan menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya yang polos itu. Embuskan napasnya terdengar berat. Apalagi ini? Kenapa harus sekarang? Kenapa Ayahnya tahu di saat semuanya sedang tidak baik-baik saja?
Dengan tangan kanannya, Kinan berusaha mencapai ponselnya yang berada di atas nakas. Melihat panggilan Gio yang ia abaikan. Lalu, Kinan terdiam. Antara ingin menghubungi Gio dan memberitahukan semuanya atau tidak sama sekali. Dan yang Kinan pilih adalah melempar ponselnya menjauh.
Memejamkan kedua matanya.
"Ann, Ayah mau tanya. Kelvin sama Gio itu orang yang sama ya?"
Mendengar itu, tubuh Kinan seperti tersiram air dingin. Tersadar, Kinan melihat ke arah lain selain mata Ayahnya. Diam-diam, Kinan mengumpat berkali-kali dalam hati. "Ayah tau dari Kak Rama ya?" Siapa lagi memangnya yang memberitahukan itu.
"Jawab aja pertanyaan Ayah tadi," sahut Adam. Masih datar-datar saja. Lalu, kakinya melangkah masuk.
Kinan di tempatnya berdiri, meremas sisi roknya. Memang harus seimbang, 'kan hari ini? Tadi Kinan merasa senang, dan untuk tidak menyenangkannya ya ini. Kinan tersenyum masam. Ikut berjalan masuk ke dalam rumahnya juga.
Apa yang akan terjadi, akan terjadi. Kinan duduk di depan Ayahnya. Melepaskan tas ranselnya yang Kinan letakkan di sebelahnya. Siap mendengarkan apa yang ingin Ayahnya katakan.
"Jadi, iya atau enggak?"
Kinan menunduk. "Ayah udah tau jawabannya, 'kan?" tanyanya balik. Lalu menggigit bibir bawahnya.
"Iya atau enggak?" Adam mengulang pertanyaan yang sama.
Mau tidak mau Kinan mengangguk.
Adam menarik napas dalam. "Kak Rama emang yang udah cerita semuanya." Semuanya hingga Adam berpikir memang seharusnya menjaga Kinan lebih. Anna-nya jangan sampai kenapa-kenapa. "Kalo Ayah gak tau mungkin Anna udah lebih ngerasa kenapa-kenapa kali ya."
Rama menceritakan bagaimana Kinan mendapatkan hal buruk berkali-kali sampai Adam merasa ada benda tumpul yang mengenai dadanya. Putri satu-satunya yang Adam punya jangan sampai kenapa-kenapa.
"Itu bukan karena Gio, Yah." Kinan membantah. Kepalanya menggeleng, meyakinkan Adam.
"Anna tau dari mana?"
Kinan diam. Tidak tahu juga. Tetapi pasti bukan karena Gio. Tak lama Adam bangkit. Kinan mendongak.
"Yah," panggil Kinan dengan suara yang agak serak.
"Masuk ke kamar kamu sana, An. Mandi terus makan bareng sama Ayah. Ayah mau masak dulu." Adam melanjutkan langkahnya menjauh dari sofa maroon itu.
"Ayah."
"Dean kurang apa sih, Ann?"
Kinan diam lagi. Ayahnya tiba-tiba mengatakan hal yang tidak pernah Kinan duga sebelumnya. Kinan menggeleng, lalu dipaksanya senyum tipis itu terlihat. "Ayah bisa bilang sama Kak Dean buat gak ninggalin Anna, Yah?" tanyanya.
"Masuk ke dalam kamar kamu sekarang."
"Bisa Yah?"
Kinan membuka matanya. Mengerjap berkali-kali. Ayahnya pasti tidak bisa. Tidak mau juga. Kinan meraih lagi ponselnya tepat di saat bersamaan panggilan dari nomor yang tak dikenalnya tertera di layar. Dengan tidak memikirkan apa-apa Kinan menerima panggilan itu, mendekatkan ponselnya pada telinga kanannya.
Mendengar sapaan di seberang sana membuat Kinan menahan napasnya. Kedua matanya langsung terasa panas ketika orang itu mengatakan,
"Ann, Bunda mau ketemu Anna. Besok—"
...
"Hape lo gak aktif ya? Gue telpon berkali-kali gak bisa."
Kinan agak terkesiap saat mendengar suara laki-laki di belakangnya. Malam ini, Kinan baru saja membuang sampah yang sudah menumpuk di dapur. Di depan pagar rumahnya, ketika hendak masuk suara laki-laki itu terdengar. Kinan berbalik. Sean terlihat di sana. Tersenyum saat melihat ke arahnya.
Masih di tempatnya berdiri, Kinan mengedarkan pandangannya. Tidak ada siapa-siapa. Hanya Sean yang sedang berdiri membelakangi mobil hitamnya itu dengan kaus hitam dan juga celana jins berwarna senada. Kinan tersenyum kaku. "Mm.. iya, Kinan sengaja gak aktifin hape. Banyak nomor salah sambung yang nelpon Kinan soalnya hehe. Kak Sean, ngapain di sini?" Terlihat begitu gugup. Tidak bisa menyamarkan itu.
Sean melihat ke arah rumah Kinan lalu bergantian mengamati Kinan lagi. "Ngopi bareng di kafe depan yuk?" ajaknya.
Mendengar itu, Kinan mengusap lehernya berkali-kali. Menggigit bibir bawahnya juga. "Kinan gak—"
"Jam sepuluh pulang," tukas Sean seakan mengerti apa yang ada di pikiran Kinan.
Kepala Kinan menggeleng.
"Jam setengah sepuluh?"
Masih menggeleng. Kinan melihat ke dalam rumahnya. Sekarang memang masih jam delapan malam.
"Jam sembilan kita pulang."
Kinan harus bagaimana ya untuk menolaknya? Tidak ada ide di dalam kepalanya untuk saat ini. Terlalu berantakkan juga di dalam sana. Semoga Kinan mengambil keputusan yang tepat. Kinan mengangguk.
Sean berjalan mendekat ke arahnya. Diraihnya pergelangan tangan kanan Kinan. Tanpa paksaan. Kinan tidak sempat menghindar. Terlalu tiba-tiba. Dan setelah mereka berjalan beberapa langkah, Sean melepaskan tangannya itu. "Jalan aja ya, Dri? Kafenya deket kok dari rumah lo." Senyumannya lagi-lagi terlihat.
Kinan hanya mengangguk, sibuk dengan pikirannya yang melayang keberbagai arah. Bercabang hingga menghasilkan sebuah tanya; untuk apa Sean datang menemuinya? Tetapi jika itu mengenai Gio bukannya bagus? Kinan akan mengetahui sedikit demi sedikit apa yang laki-laki itu lakukan.
Hari Sabtu kemarin ketika Gio mengantarkannya pulang dari supermarket—memeluknya, keesokkan harinya Gio beda lagi. Memberi jarak lagi dari Kinan. Hari itu juga Kinan melihat mobil Sean terparkir tidak jauh dari rumah Elara. Mungkinkah karena itu Gio menghindarinya? Karena Sean sudah tahu?
Tetapi, apa Gio tidak tahu?
Sean yang menyadari Kinan yang banyak diam, menoleh ke arah sampingnya. Mungkin Kinan sedang bertanya-tanya mengapa Sean mengajaknya untuk mengobrol seperti ini. Dan dengan jailnya, Sean mempercepat langkah sedikit. Langsung berhenti tepat di depan Kinan, kepala Kinan sukses membentur dadanya. Sean tertawa pelan.
"Ngeselin." Kinan mengusap dahinya dan merapikan rambutnya.
"Lo kayak orang banyak pikiran. Diem mulu lagi." Sean mulai berjalan di samping Kinan kembali. Menunduk sedikit untuk melihat gadis itu. Dan barulah Sean menyadari sesuatu.
"Lo abis nangis?"
Mendengar pertanyaan Sean barusan, Kinan mendongak. Melihat ke arahnya. Bagaimana Sean tahu?
"Mata lo bengkak banget. Jangan lah lo nangis karena cowok."
Kinan refleks meninju lengan Sean dengan tenaga yang tidak seberapa. "Bukan karena cowok woo!" katanya. Yang benar itu karena Kinan mendengar suara Bundanya. Kinan menangis sejadi-jadinya tadi hingga Ayah masuk ke dalam kamarnya dan langsung memeluknya, menenangkannya.
"Terus kenapa?"
"Kepo."
Sean terkekeh lagi. Hanya itu, lalu melanjutkan langkahnya yang pelan-pelan dengan Kinan yang berada di sebelahnya. Mereka hanya tinggal menyeberang jalan, dan sampai di kafe yang Sean inginkan itu. Sean menarik pelan belakang sweater yang Kinan kenakan. Kinan menoleh, Sean menukar posisi dengan Kinan, kemudian baru lah mereka berjalan ke depan kafe dengan Sean yang berada di sampingnya, memantau jalanan. Kinan tersenyum. Entah kenapa. Mungkin lucunya begini; Kinan akan menangisi kebodohannya nanti.
"Ada yang lucu?" tanya Sean dan menarik kursi di depannya. Duduk berhadap-hadapan dengan Kinan.
Kinan menggelengkan kepalanya. Merapatkan kedua bibirnya. Lalu, tawanya tidak tahan Kinan keluarkan membuat Sean mengernyit. "Kak Sean, mau ngapain nih?" tanyanya.
Sean malah bangkit. "Diem dulu lo di sini." Wajahnya terlihat agak panik.
Tentu saja Kinan mengernyit. Melihat Sean yang menarik langkah menjauhinya. Tidak tahu ke mana. Kinan memainkan jari-jarinya dan membuka buku menu di depannya. Dominan kopi dan juga banyak dessert yang membuat Kinan ingin memesan semuanya.
Pandangannya, Kinan alihkan pada depan jalan sana. Sean terlihat. Berjalan mendekat. Berdiri di samping Kinan. Lalu, berjongkok dengan satu kaki yang Sean tekuk. Membawa tangan kiri Kinan dan menempelkan plester yang Sean beli tadi ke pergelangan tangan Kinan yang terluka. Ada tiga garis luka di sana. Kinan melihat ke arah lain. Sean berdiri. Duduk di tempatnya lagi.
"Ini gak yang kayak Kak Sean pikirin," kata Kinan pelan.
"Gue gak mikir yang gimana-gimana, Dri. Santai aja, gue gak akan ngomong apa-apa. Lo mau minum?"
Kepala Kinan mengangguk. "Kinan mau nyobain minum kopi dong."
"Samain kayak gue aja ya?"
"Oke."
Sean mengangkat satu tangannya, memanggil pelayan untuk datang. Sementara Sean memesankan minuman untuk mereka, Kinan menunduk. Malu luar biasa. Tangannya mengusap plester yang Sean tempelkan tadi. Mengapa tidak terpikirkan bahwa lukanya akan terlihat. Kinan menyesali itu.
"Oh iya, gue belom jawab pertanyaan lo." Sean berdeham dan melanjutkan, "Gue ngajak lo malem-malem ngopi begini karena.... mm, bentar gue inget-inget dulu."
Kinan menggeleng-gelengkan kepalanya menahan senyum. "Cepetan ngomong. Kinan bakalan dicariin sama Ayah nih."
"Anak rumahan kayak lo emang gak cocok ya jalan sama gue."
"Makanya jangan lama-lama. Ayo, ngomong." Kinan merapatkan sweater kebersarannya itu di kedua tangannya. Menunggu Sean untuk mengucapkan sesuatu.
Beberapa hari lalu, Kinan lupa itu kapan. Dean datang padanya memberitahukan Kinan perihal apa yang harus Kinan ketahui juga. Salah satunya tentang Abby. Pacar Sean itu. Hanya itu yang Kinan tahu. Dan Kinan berpikir tentang hal yang sama berhari-hari.
Sean terlebih dahulu menghela napas pelan. Melihat jalanan di arah kirinya itu. Bukan tanpa alasan mengapa Sean yang tadinya sedang berkumpul bersama teman-teman band-nya—membicarakan jadwal mereka pergi ke Bandung untuk mengisi sebuah acara di sana beberapa hari lagi, malah pikirannya ke mana-mana. Maka, Sean langsung berpamitan. Mengendarai mobilnya untuk sampai ke rumah Kinan dengan hal yang mengganggunya di sepanjang perjalanan.
Gila! Sean mengumpat. Hanya karena Gio dirinya menjadi seperti ini.
"Dri, kayaknya gue bakalan mati sebentar lagi."
Kinan tidak tahu harus berkata apa ketika kata-kata itu keluar dari mulut Sean. "Kak Sean, kenapa?" Hanya itu yang bisa Kinan tanyakan.
Kepala Sean menggeleng. Matanya melihat ke arah Kinan sekarang. "Gio. Mungkin lo harus dengerin kata-kata dia."
Kinan semakin mengernyit.
"Oke, gue tau lo bingung. Bingung banget malah ngedenger gue yang ngomong ngelantur begini. Tapi gue bener-bener benci sama si Gio. Bego banget tuh anak sampe gue gak tau lagi harus ngapain dia. Bener-bener goblok. Sori-sori gue ngomong kasar." Diselipkannya senyum tipis di sana.
Kinan meremas jari-jarinya. "Kenapa sama Gio?"
Sean menyandarkan punggungnya. Pandangannya tidak teralihkan ke mana-mana selain Kinan di depannya itu. Untuk pertama kalinya Sean bertemu langsung dengan Kinan, berbicara pada gadis itu Sean tahu Sean akan berada di dalam masalah. Masalah pada dirinya sendiri.
Kinan seperti seseorang yang seharusnya dilindungi. Kinan seperti seseorang yang tidak pernah boleh ditinggalkan. Kinan seperti seseorang yang tidak boleh disakiti. Anggap Sean gila karena memikirkan itu, tetapi memang begitu kenyataannya.
Dan pasti berbeda dengan Abby, jangan salah paham. Sean mengerjap dan mengatakan kata-kata yang semakin membuat Kinan bingung.
Sudah dua orang yang mengatakan itu.
Mereka kenapa?
Kinan harus percaya dengan siapa?
Ntah apa yang aku ketik wkwkwk;( maaf gais
Kodenya keras banget di part ini wooeeee
Bacanya pelan-pelan aja dan temukan jawabannya :))
Gio-Dean gak ada dipart ini sengaja biar kangen gitchu
Next part kayaknya bakalan ada darah2nya nih👀 kayaknya
Semoga sukaaa
Mau baca part selanjutnya gak?
Sean cocok gak sama kinan? Lolololol
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro