Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

one those of nights

Bagian 38 |
thought that the world was ours

Kangen?

Vote dan komen yaw✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

Kinan menutup kedua matanya rapat-rapat. Mencoba untuk tidak memikirkan kejadian tadi malam yang hampir saja—jika Dean terlambat datang, mungkin akan membuatnya kehabisan napas karena dicekik terlalu kencang. Dan di hari Selasa ini Kinan memilih untuk tidak masuk sekolah. Hanya berbaring di tempat tidurnya.

Seharusnya dulu itu lo yang mati, Kinan.

Dulu itu lo yang mati.

Dulu.

Mati.

Kepala Kinan menggeleng. Jarinya menyentuh lehernya yang agak membiru. Beruntung Ayah tidak bertanya lebih lanjut mengenai; mengapa Kinan memilih untuk tidak masuk sekolah hari ini. Dan Kinan dengan begitu berhasilnya meyakinkan Ayah.

Tidak ingin membuat Adam khawatir, Kinan juga sudah memohon pada Dean untuk tidak menceritakan hal buruk itu pada Adam. Apalagi Kinan merasa sudah banyak membuat Adam memiliki beban.

"Ki."

Merasa dipanggil, Kinan membuka kedua matanya. Mengubah posisinya juga untuk melihat Gio yang kini sedang mendekat ke arahnya lalu duduk di tepi tempat tidur. Masih mengenakan seragam sekolahnya.

Kinan mendudukkan tubuhnya. "Gio." Dan lantas memeluk leher Gio erat. Memejamkan matanya lagi di sana. Merasakan tangan Gio mengelus rambut panjangnya hingga ke punggung. Kehadiran Gio yang memang Kinan harapkan.

Gio terdiam beberapa saat. Melihat Kinan sakit begini, dirinya juga ikut sakit. "Sori gak bisa ada di deket lo tadi malem. Masih sakit?" Gio perlahan melepaskan tangan Kinan. Menyingkirkan rambut Kinan juga yang menutupi lehernya yang membiru itu. Dengan ibu jarinya dan sangat hati-hati Gio mengusap bekas memar di leher Kinan.

Gio pernah membuat tanda yang sama seperti itu di tubuh Kinan. Dan dalam hal ini, Gio sangat menyesal. Mengingatkan Kinan pada Bundanya dan kini Kinan merasakan hal itu lagi. Terbayang masa lalunya lagi. Gio harus apa?

"Udah gak begitu, Gio." Kinan menjawab dengan mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas.

Mengapa orang bisa dengan mudah menutupi rasa sakit mereka?

Lalu, yang Gio lihat kini Kinan menundukkan kepalanya. Tangan Gio beralih merapikan rambut panjang Kinan dengan segala kemungkinan-kemungkinan buruk yang mengerubungi kepalanya. Siapa yang membuat Kinan seperti ini?

Sebenarnya hanya ada satu nama yang langsung terlintas dipikirannya. Sean. Tetapi.. tidak mungkin. Sean belum mengetahui bahwa Kinan itu pacar Gio. Jika bukan Sean lalu siapa?

"Kinan mau peluk Gio lagi."

Gio mengerjap dan tersenyum tipis. "Sini."

Menenggelamkan wajahnya pada leher Gio dan merasakan usapan tangan Gio di punggungnya sudah bisa membuat Kinan sedikit tenang. Berbeda sekali dengan beberapa puluh menit yang lalu.

Dan sekarang Kinan merasakan kedua matanya mulai memanas. Kinan sendiri yang memilih untuk mengingat kejadian yang dulu. Membuat satu per satu pikiran liarnya berdatangan. Kinan menggigit bibir bawahnya.

Helaan napas berat Kinan kemudian terdengar sebelum Kinan mengatakan, "Menurut Gio siapa yang pengen Kinan mati? Mm.. selain Bunda?"

Diberi pertanyaan seperti itu, Gio langsung menggelengkan kepalanya. "Bunda gak gitu," sanggah Gio. Tuh kan, pasti bayangan-bayangan yang dulu-dulu sudah menyergap Kinan lagi.

"Selain Bunda siapa, Gio?"

Gue juga gak tau, Ki. Gio menjawab pertanyaan Kinan dalam hati. Karena memang Gio belum tahu juga siapa yang berani berbuat nekat begini. Musuh-musuh Gio bahkan teman-temannya pun belum mengetahui Kinan.

"Bisa lo gak usah mikirin itu dulu? Lo mau istirahat lagi?" Gio mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mereka.

"Kinan takut. Kinan harus bilang apa sama Ayah nanti? Kinan udah bohong terus sama Ayah."

Lagi-lagi kepala Gio menggeleng. Satu yang harus Kinan tahu; "Gak akan ada lagi nanti yang nyakitin lo kayak gini."

Tak lama, Gio kembali melepaskan kedua tangan Kinan. Diperhatikannya lekat-lekat wajah Kinan di hadapannya itu. Kinan tidak menangis. "Kinan, bisa lo gak usah macem-macem dulu?" Dengan pelan, Gio berujar.

"Maksudnya?" Kinan jelas saja tidak mengerti apa yang Gio katakan.

"Jangan sok berani keluar malem-malem sendirian?"

Oh.

Kinan mengernyit. "Kinan kan emang berani. Ke minimarket deket kok," sahutnya.

"Bukan masalah deketnya. Banyak orang jahat di luar."

"Kayak orang yang semalem ya, Gio?"

Gio mengangguk. "Iya. Lo gak ngeliat muka dia? Lo inget apa?

"Cuma inget dia ngomong yang kayak Kinan kasih tau Gio."

Iya, tidak mungkin juga orang itu datang dan memberikan jejak untuk membiarkan Kinan mengingat dirinya.

"Gio, pulang sekolah langsung ke sini?" Suara Kinan sudah terdengar normal kembali. Tangannya terulur untuk mengambil ponsel di atas nakas saat benda mungil itu bergetar. Itu dari Rama. Kinan memilih untuk meletakkan lagi ponselnya tanpa ada niatan membalas.

"Mau langsung ketemu lo."

Fokus Kinan sudah pada Gio lagi. Senyumannya terlihat. "Lewat depan?"

"Dibukain pintu sama Mba Dewi tadi."

"Ayah pulang Gio pulang?" Masih dengan senyumannya Kinan bertanya.

Melihat Kinan yang tersenyum itu, Gio juga ikut menarik kedua sudut bibirnya. "Mhm-mm, gue di sini sampe Om Adam pulang. Biar lo gak takut lagi kalo sendirian," jawab Gio dan membaringkan tubuhnya pada tempat tidur Kinan yang nyaman. Masih melihat ke arah Kinan yang sedang duduk dengan memeluk kedua kakinya itu.

"Gio abis berantem sama siapa lagi tuh?"

Pandangan Gio spontan saja mengarah pada tangannya. Di sana memang ada luka memar yang baru Gio buat. "Ah ini. Tadi ada adek kelas songong banget. Lo juga pasti bakalan kesel kalo ketemu dia." Setelah mengatakan itu, Gio menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengingat kejadian di belakang sekolah tadi.

"Gak harus dipukul juga dianya." Kinan meraih tangan kanan Gio itu.

"Tapi gue udah kelewat kesel. Gimana dong?"

Kinan mengembuskan napas pendek. "Gio mau ngeliat Kinan dipukul?"

"Pertanyaan apaan sih itu? Ya, enggak lah."

Kinan memainkan jemari tangan Gio itu dan berkata, "Yaudah jangan mukulin orang. Nanti orang yang sayang sama dia khawatir. Sedih juga."

Mendengar ucapan Kinan barusan membuat Gio langsung memperlihatkan senyumannya. "Gimana bisa gue gak sayang sama lo sih, Ki? Sini gue cium."

Dan memberikan Kinan kecupan singkat di pipi kanan gadis itu.

...

"Hari Sabtu Kinan sama Ayah mau ke Bandung dong!"

Gio meletakkan ponsel Kinan di sampingnya. Tadi sambil berbaring Gio sedang memainkan games bagaimana menyamakan gambar-gambar buah. Tidak menantang sama sekali. Tapi seru juga. "Ngapain?" tanyanya. Melirik ke arah Kinan yang masih saja pada posisinya—duduk seraya memeluk kedua kakinya yang Kinan tekuk.

Dengan mata berbinarnya, Kinan menjawab, "Ketemu sama Tante Kila!" Dan itu yang memang keinginan Kinan dari beberapa bulan yang lalu.

"Nyokapnya Rama?" Alis sebelah Gio terangkat. Mencoba mengingat.

"Tante Kila emang siapa lagi kalo bukan Mamahnya Kak Rama?"

Gio manggut-manggut. Satu hal terlintas di pikirannya sekarang. Ia tersenyum tipis. "Om Adam sama Tante Kila mau rujuk ya?" tanyanya.

Dulu memang Adam dan Kila pernah menikah. Dan Kinan tidak mengetahui apa alasan yang membuat mereka berdua akhirnya berpisah. Itu juga alasan Rama masih menganggapnya seorang adik. Selalu menjaga Kinan. Selalu berada di dekat Kinan.

Kepala Kinan dengan cepat menggeleng. "Enggak, Gio. Cuma mau ketemu Tante Kila aja. Kemarin itu Tante Kila sakit. Kinan sama Ayah belum sempet jenguk." Itu juga kemauan Adam.

"Om Adam gak balikan sama Tante Kila pasti yang paling seneng si Rama." Gio mulai lagi dengan segala pikirannya yang memang tidak pernah tidak buruk pada Rama.

"Seneng kenapa?" Kinan bertanya, mengernyit.

"Lo gak jadi adik dia lagi. Dia suka lo, Kinan."

"Kak Rama sekarang udah jadi pacar Ola. Kak Rama—"

Dengan cepatnya Gio menukas ucapan Kinan. "Coba lo pikir, mungkin Rama jadiin Ola pacar cuma buat orang-orang mikirnya Rama udah gak suka lagi sama lo." Dan mendengus setelah itu.

"Kalo Kak Rama kayak gitu ke Ola, Kinan bakalan marah."

"Lo gak bisa marah," sangkal Gio.

Ekspresi Kinan seketika itu juga berubah agak kesal. "Bisa. Kinan bisa marah sama Gio juga."

"Oh ya?" tanya Gio dengan menahan senyumannya itu.

Kepala Kinan mengangguk mantap. Kedua pipinya sudah agak memerah. "Kinan bisa marah sama Gio kalo Gio mikir yang buruk-buruk mulu tentang Kak Rama. Kalo Gio berantem terus. Kalo Gio pulang malem karena minum apa ya namanya, Kinan gak tau itu apa."

Lucu amat sih lo, Ki.

Gio tidak bisa menahan tawanya kali ini. "Gue nyoba minum begituan karena si Levi. Anak bangsat emang."

Kinan mendorong kaki Gio dengan kakinya. "Gio ngomong kasar."

"Anjir, keceplosan. Jangan diikutin omongan gue tadi ya. Dulu itu emang si Levi yang maksa gue. Eh ternyata enak," kata Gio menjelaskan.

"Ish! Sekarang masih?"

"Enggak kok."

"Kok." Kinan mengulang kata terakhir yang Gio ucapkan. Yang biasanya mengarah pada kebohongan.

Oke, Gio akhirnya menganggukkan kepalanya. "Iya, kadang-kadang doang kalo lagi pengen."

"Gio." Suara Kinan masih terdengar agak kesal.

"Yang enak-enak itu susah buat ditinggalin."

"Eh bukan gak bisa sih. Tapi emang susah," ralat Gio.

Masih dengan raut wajah yang Kinan buat seperti sedang marah itu, Kinan menyahut, "Enggak susah kalo Gio sungguh-sungguh."

Gio berdeham pelan. "Sekarang lo lagi marah ya?"

"Iya!"

Kinan justru melihat Gio menatapnya lurus-lurus. Kinan menggigit bibir bawahnya menahan senyum. "Jangan dilucu-lucuin gitu mukanya!" ujar Kinan dan menutupi kedua mata Gio supaya laki-laki itu tidak melihat Kinan sedang tersenyum kini.

"Tuh kan lo gak bisa marah sama gue." Gio menyingkirkan tangan Kinan. Dan melihat Kinan sudah mengubah ekspresinya lagi.

Secepat itu. Semudah itu. Di dekat Gio, Kinan bisa mengusir apa-apa yang membuat Kinan sedih sendiri. Sekarang saja seakan Kinan lupa dengan kejadian semalam yang hampir saja membunuhnya. Melupakan jika Kinan pernah mendapatkan perlakuan lebih-lebih dari itu.

Tawa Kinan terdengar. "Sekarang kan Kinan emang lagi gak mau marah sama Gio, gak tau kalo besok. Makanya Gio jangan nyebelin ya?"

"Iya, Sayang."

...

"Sori lama, tadi gue ngisi bensin dulu."

Dean menginjak rokoknya hingga hancur. Melihat ke arah Geraldi di depannya yang langsung memberikan Dean amplop cokelat berukuran kecil. Di belakang gedung apartemennya, Dean menunggu Geraldi dan terus-terusan menanyakan satu per satu temannya perihal orang yang semalam berani-beraninya muncul di hadapan Kinan, menyakiti gadis itu pula.

Dean mengeluarkan isi amplop cokelat itu. Ada beberapa foto.

"Temen gue cuma bisa dapetin itu doang dari CCTV minimarket. Lo pastinya gak bisa nebak itu siapa." Geraldi memilih duduk di depan Dean dan mengeluarkan kotak rokok di saku jaket beserta pemantiknya.

"Bisa jadi si Matthew, 'kan? Dia udah tau gue deket sama Kinan. Mungkin dia kesel." Dean mengangkat kedua bahunya dan melihat-lihat setiap foto yang Geraldi berikan tadi.

Geraldi tersenyum masam. "Adeknya masih ngarepin lo. Lo malah ngedeketin si Kinan. Dan gue rasa itu bukan si Matthew. Dia mainnya gak goblok begini," sangkal Geraldi dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ah iya juga. Matthew tidak akan mau repot-repot turun tangan atau menyuruh seseorang untuk langsung menghampiri Kinan dan hampir membuat Kinan kehilangan nyawanya.

Jika bukan Matthew, jadi siapa? Dean mencoba mengingat-ingat siapa yang bisa saja ingin menyelakai Kinan. Dan Dean tidak mendapatkan satu pun nama di kepalanya.

"Menurut lo siapa, Ral?" Tatapan Dean mengarah pada Geraldi yang sedang merokok itu.

Geraldi melihat ke arah lain. Mengembuskan asap abu-abu ke udara dari mulutnya. "I have no clue. Kayaknya emang bukan dari Kinannya tapi dari lo. Atau cowok yang lagi deket sama si Kinan. Bisa aja, 'kan?" tebak Geraldi. Hanya itu yang ada pikirannya.

"Rama?" Dean tidak yakin dengan tebakkannya.

Kepala Geraldi mengangguk. "Bisa aja tuh anak. Musuhnya juga banyak. Gue heran Kinan bisa deket sama cowok bermasalah semua. Lo contohnya."

"Nggak ada yang tau gue deket sama Kinan selain Matthew."

"Lo gak tau aja kali mereka pada tau apa yang lo lakuin," kata Geraldi menyanggah ucapan Dean barusan. "Contohnya pas kepala lo bocor. Lo udah tau siapa yang ngelakuin? Belom, 'kan? Mungkin juga orang yang sama, Yan. Dia udah nyelakain lo, terus dia tau lo deket sama Kinan. Kinan jadi sasarannya sekarang."

Dean diam beberapa saat mencoba mencerna perkataan Geraldi dan menyambungkan peristiwa-peristiwa itu pada kejadian semalam. Dan semua menjadi satu jawaban; mungkin saja.

Sebelum Dean ingin menyahuti perkataan Geraldi tadi, ponselnya berbunyi. Dean meraih benda pipih itu yang tadinya Dean letakkan di sampingnya. Membaca satu pesan yang masuk.

Bisa kita ketemu?
Read. 04.56 pm.

Dean menghela napas pelan, itu Mikayla.

Stuck banget aku buat ngelanjutin jadinya cuma sedikit. Sori ya huhu.

Tebakan kalian siapa gais?

Dari pihaknya Dean atau Gio? Wkwkwkw

Kasian Kinan deket ama cowok yang punya musuh semua;(

Siapa yang ada di team Gio?

Team Dean?

Masih mau lanjut?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro