Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

never be alone

Bagian 23 |
I'll keep you safe

Enjoy gais✨✨

Seperti biasa, jangan lupa vote dan komen yaw
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

"Seriously, Matt lo ngikutin gue sampe ke sini?" Dengan bersandar pada belakang mobil, Dean tersenyum kecut setelah mengatakan itu dan melihat ke arah kirinya. Dean mengira Matthew ingat dengan apa yang sudah Dean ucapkan beberapa hari yang lalu; untuk tidak mengganggu Kinan dan justru laki-laki itu malah menemui Kinan—berbicara dengan Kinan secara langsung, sialnya.

Matthew dengan santainya membakar ujung rokoknya itu. "Gue kebetulan aja lewat sini, terus ketemu sama tuh cewek. Cantik. Pantes lo suka." Lalu, senyum miring Matthew terlihat. Melirik ke arah dalam mobil juga, Kinan ada di sana.

"Bullshit." Dean mendengus. Bisa dipastikan pertemuan Matthew dengan Kinan bukan sesuatu kebetulan seperti yang barusan Matthew katakan. Dan pastinya Dean tidak akan percaya dengan laki-laki di depannya ini. "Gue nggak mau lo deket-deket sama dia," lanjut Dean masih dengan sikap santainya.

Matthew yang Dean tahu adalah seseorang yang harus mendapatkan apa yang dia mau. Apa pun caranya dan berada di dekat Kinan seperti memberikan umpan secara sengaja. Dan kemungkinan terbesarnya, Kinan sudah masuk ke dalam lingkaran yang telah Matthew buka lebar-lebar.

"Lo perlu bantuan gue?" tanya Matthew dengan sebelah alis terangkat tinggi.

Merespons itu, kepala Dean menggeleng. Dean diam sebentar dan mengatakan, "Kalo lo mau tau gue udah berusaha buat gak peduli lagi sama semuanya." Semuanya yang begitu berhasil membuat Dean selalu menerka-nerka untuk berhenti atau tetap menunggu. Semuanya yang membuat Dean stuck di tempat yang ingin sekali Dean hancurkan. Meskipun itu akan menghancurkan dirinya juga.

Mendengar itu, rahang Matthew mengencang. "Karena tuh cewek?" Yang dimaksud Matthew ya Kinan.

"Bukan karena dia aja. Lo gak perlu nemuin dia atau muncul di hadapan dia lagi. Dia bukan cewek gue, Matt. So, fuck off!"

Seringai Matthew kembali terlihat. Walaupun Dean terlihat bersungguh-sungguh saat mengatakan itu, sebisa mungkin Matthew tidak ingin langsung percaya. "Lo tau lo harus ngapain kan, Yan?" Matthew bertanya memastikan.

Dean menegakkan tubuhnya. Menjauh dari mobil juga. "Lo gak perlu ngingetin gue."

"In case you forget; kartu lo ada di gue, Man."

Dean mencoba untuk tidak peduli dan melanjutkan langkah kakinya untuk masuk ke dalam mobil. Melewati Matthew yang tersenyum seraya melambaikan tangannya.

"Dah, Kinan!"

Kinan membalasnya. "Dah, Kak Matthew."

"Kak Dean!"

Panggilan Kinan berhasil membuat Dean membuyarkan lamunannya saat bertemu Matthew di depan minimarket beberapa jam lalu. Saat ini mereka—Dean dan Kinan, sudah berada di restoran cepat saji yang Kinan inginkan itu. Sudah menghabiskan makanan mereka juga.

Tadinya seraya menunggu Kinan untuk memesan es krim lagi, Dean memikirkan ucapan Matthew itu. Yang sialnya tidak bisa Dean singkirkan begitu saja dari otaknya.

"Kinan." Mengabaikan panggilan Kinan tadi, Dean gantian memanggil Kinan yang sekarang sudah duduk di sampingnya.

Kinan mengalihkan pandangannya dari es krim di tangannya itu dan melihat ke arah Dean di depannya yang memandangnya dengan tatapan serius. "Kenapa, Kak Dean?"

Dean menyisir rambutnya ke belakang sebelum bertanya, "Lo inget bokap lo bilang jangan pernah ngomong sama orang yang gak lo kenal?" Mungkin perkataan seperti itu sudah banyak didengar dan Kinan ini harus diberitahukan setidaknya dua kali.

Menganggukkan kepalanya, Kinan menjawab, "Inget! Oh. Gara-gara Kak Matthew tadi ya? Tadi itu ya, Kinan mau nyamperin Kak Dean eh malah tali sepatu Kinan lepas. Untung aja ada Kak Matthew yang bantuin Kinan. Kak Matthew baik kok."

Baik.

Kepala Dean menggeleng pelan. Bagaimana caranya untuk memberitahukan Kinan tanpa membuat Kinan takut? Dean menggapai tangan Kinan dan menggenggamnya erat. "Jangan deket-deket sama dia ya? Lo bisa janji sama gue, kan?" Dean harus memastikan bahwa Kinan mendengarkan ucapannya itu.

Tanpa ingin bertanya lebih lanjut, Kinan menganggukkan kepalanya. "Kak Matthew nggak ngapa-ngapain Kak Dean kan tadi? Kak Dean, gak kenapa-kenapa, kan?" Kinan memperhatikan lekat-lekat wajah Dean di depannya dan Kinan mengembuskan napas lega saat tidak menemukan apa-apa di sana.

Dean mengeratkan genggamannya dan mengusap tangan Kinan dengan ibu jarinya. Memberitahukan Kinan dengan tatapannya juga bahwa Dean baik-baik saja. "Iya, gue gak kenapa-kenapa. Inget yang tadi gue bilang ya, Nan."

Dengan senyuman lebarnya, Kinan manggut-manggut. "Iya, Kinan inget. Kak Dean, mau es krimnya juga gak? Kinan kayaknya gak abis." Tangan Kinan terulur di depan Dean dan Kinan dengan tidak memikirkan apa-apa lagi menyandarkan kepalanya pada bahu Dean itu.

Tangan Dean mengambil alih es krim yang Kinan pegang. "Siapa suruh mesen es krim lagi sih?" Dan memasukkan sendok es krim itu ke dalam mulutnya.

"Es krim yang dibeliin Kak Dean tadi kan beda sama yang di sini tau! Kinan mau nyoba yang beda juga." Telapak tangan Kinan masih mendingin dan dengan jailnya Kinan meletakkannya pada leher Dean yang langsung terkesiap saat itu juga. Kinan tertawa pelan.

"Dingin ya, Kak Dean?" Masih dengan bersandar pada bahu Dean, Kinan mendongakkan kepalanya.

Dean menunduk. "Tau apa yang lebih dingin?"

"Sikap doi? Eh sikapnya, Kak Dean!" Semakin lebarlah senyum Kinan setelah mengatakan itu.

Dengan gemasnya, Dean menarik ujung rambut Kinan dan mulai menghabiskan lagi es krim yang Kinan pesan.

"Sambil nunggu Ayah lo, lo mau ke mana?" Dean membawa tempat untuk menampung sampah yang menjadi tempat makanan mereka berdua dan langsung membuangnya ke tempat yang sudah disediakan. Lalu, mereka berjalan menuju mobil Adam yang terparkir.

Seperti yang Kinan sering lakukan, Kinan menarik jaket Dean dan berjalan di samping laki-laki itu. "Kinan mau bawa pulang Pororo."

Dean menundukkan kepalanya agar bisa dengan jelas melihat wajah Kinan. "Baru sehari dia di apart gue." Dan Dean memilih untuk merangkul leher Kinan dengan tangan kanannya.

Kinan merapikan rambutnya yang berantakkan dan mendongakkan kepalanya itu. "Karena baru sehari Kinan udah kangen sama Pororo. Kinan tarik lagi deh omongan Kinan yang bilang Kak Dean boleh bawa Pororo seminggu."

"Nggak bisa gitu lah."

"Ih, bisa."

"Enggak."

"Bisa, Kak Dean." Entah karena apa Kinan malah tertawa setelah berkata seperti itu dan melihat Dean di sampingnya. Untuk sampai ke mobil Adam yang harus mereka lakukan adalah menyeberang jalan. Karena tadinya mereka tidak mendapatkan lahan parkir.

"Jalannya pelan-pelan aja, Kak Dean. Atau enggak tunggu jalanannya bener-bener sepi dulu deh." Kinan mengeratkan lagi tangannya pada jaket Dean itu.

"Bilang aja mau jalan-jalan dulu."

Kepala Kinan menggeleng. "Bukan mau jalan-jalan. Kinan udah nyaman banget kayak gini. Makannya jangan cepet-cepet sampe ke mobil."

"Nyaman ya?"

"Iya, udah nyaman jangan ditinggalin tiba-tiba. Nanti sakit."

Mendengar itu, Dean mengeratkan pelukan di leher Kinan hingga Kinan benar-benar menyentuh dada Dean di depannya seraya tertawa di sana.

...

Kinan langsung masuk saat Dean baru saja membuka pintu apartemennya. Padahal baru satu hari Pororo jauh dari dirinya, tetapi Kinan merasa sudah ditinggal oleh kura-kura kesayangannya itu sangat lama. Kinan berjalan pelan-pelan seraya matanya menelusuri satu persatu sudut ruangan dan tidak menemukan akuarium kecil dengan tutup berwarna kuning itu. Jangan sampai apa yang Kinan takutkan menjadi kenyataan.

Masih dengan langkah pelannya, Kinan mendekat ke arah Dean yang sedang membelakanginya itu. Dean saat ini sedang berada di depan lemari pendingin. Dengan tangan kanannya, Kinan menarik-narik jaket yang Dean gunakan. Dean berbalik, Kinan mundur selangkah. Kepala Kinan mendongak sedikit. "Kak Dean, kok Pororo-nya gak ada? Kak Dean, gak jual kan ya?" tembak Kinan. Jangan sampai benar.

Menjawab pertanyaan Kinan, Dean malah mengulurkan botol air mineral di tangannya. "Minum dulu nih," katanya.

Kinan menerima botol itu dan menggenggamnya dengan kedua tangannya. "Dijual gak Pororo-nya? Kalo dijual dapet berapa?" Masih penasaran, Kinan bertanya lagi.

"Minum."

Gak nyambung! Kinan membantin dan akhirnya meminum juga air mineral yang Dean berikan. Menegaknya pelan-pelan hingga tersisa setengah bagian. Kinan mengembalikan kembali botol itu ke Dean yang masih memperhatikannya.  "Di mana Pororo-nya Kinan?"

Sebelum menjawab, Dean menghabiskan sisa air mineral yang Kinan minum tadi. Sambil menutup botol minum di tangannya, Dean menjawab, "Di kamar gue."

"Di mana tuh, Kak Dean?" Kinan mengamati Dean yang kini menunjuk ke arah pintu hitam di sana. Kinan menoleh lagi untuk melihat Dean di depannya. "Kinan boleh masuk, kan?"

Dean hanya menganggukkan kepalanya saja. Tak lama Kinan mulai menarik langkah menjauh dari dirinya, Dean masih memperhatikan hingga Kinan tak terlihat lagi. Kinan sudah masuk ke dalam kamarnya. Sebenarnya Dean tidak pernah ingin ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya itu—jelas Abby pengecualian. Dan Kinan berhasil membuat Dean tidak perlu memikirkan apa-apa lagi. Langsung mengiyakan.

Dan andai saja Kinan memilih untuk membiarkan.

Dean mengeluarkan ponselnya, men-scroll layar untuk melihat notif yang muncul. Dan Dean bisa bernapas lega saat dirinya tidak menemukan pesan singkat dari temannya itu. Ternyata begini ya rasanya tidak harus mununggu sesuatu yang memang tidak pasti? Seharusnya Dean melakukannya sejak awal. Lalu, Dean meletakkan ponselnya di atas meja bar.

Melepaskan jaketnya juga yang Dean letakkan pada sandaran kursi. Kemudian memilih untuk menghampiri Kinan yang terlihat sedang mengetukkan jarinya pada akuarium. Dean mengamati Kinan di belakang gadis itu.

"Ketuk kacanya dua kali jika Pororo kangen Kinan." Kinan menunggu kura-kuranya yang diam saja seraya melihat ke arah Kinan. Kinan mendengus.

"Dia masih mau di sini kali."

Kinan agak terkesiap saat mendengar suara Dean yang sekarang sudah berada di sampingnya. Menghimpit Kinan dengan tangan Dean yang Dean letakkan di pinggir meja tepat di samping Kinan. Dan Kinan melihat Dean bisa bersikap sesantai mungkin dengan Kinan yang mati-matian mengatur detakan jantungnya. Duh, jantung Kinan.

"Kak Dean." Suara Kinan terdengar pelan sekali.

Sepertinya Kinan salah sudah memanggil Dean karena ketika Dean menunduk untuk melihat ke arahnya, Kinan bukan harus mengatur detak jantungnya yang terasa cepat itu, tetapi Kinan juga harus menahan napasnya. Dean-sangat-sangat-dekat-dengan-dirinya. Semoga Kinan baik-baik aja.

"Ya? Lo mau bawa pulang Pororo-nya?"

Kinan mengerjapkan matanya mendengar suara Dean. Kinan terlalu fokus melihat wajah Dean di hadapannya sampai Kinan lupa apa yang ingin sekali Kinan katakan. "Apa, Kak Dean?" tanyanya. Jika Kinan mau, Kinan sudah akan menarik leher Dean untuk Kinan peluk sekarang juga. Kenapa susah banget sih?! Kinan lagi-lagi membantin.

"Lo mau bawa pulang Pororo-nya?" Dean mengulang pertanyaan yang sama.

Kinan mengernyit. "Emang tadi Kinan bilang gitu ya?"

Mendengar itu, Dean tidak bisa untuk tidak menarik ujung rambut Kinan sekarang juga. Ekspresi Kinan lucu. Dan Dean yang belum ingin menjauhkan tangannya dari rambut Kinan, kini bergerak untuk mengusap leher Kinan dengan tangan dinginnya. "Liat gue," bisik Dean.

Kinan menurut. Mendongak lagi dengan usapan ibu jari Dean di lehernya. Dan Kinan merasakan Dean menundukkan kepalanya perlahan.

"Kinan," panggil Dean dan Kinan hanya diam saja. Mengabaikan degupan jantungnya yang sudah sangat cepat itu. "Lo mau kita kayak gini?" Dean melanjutkan. Tatapannya tidak pernah lepas dari netra cokelat milik Kinan di depannya.

Kinan tidak mengerti apa yang sedang Dean bicarakan, karena yang Kinan tahu nama Dean sudah terngiang-ngiang di kepalanya sekarang. Membuat Kinan pening.

"Lo inget pertama kali kita ketemu?" Sorotan mata Dean melembut. Tangan satunya yang bebas perlahan naik ke pinggang Kinan. Mengusapnya juga.

Melihat Kinan yang masih diam saja, Dean mengeluarkan suaranya lagi. "Lo inget?"

Kinan masih tetap dengan keterdiamannya.

Dean menunduk lagi. "Inget pas pertama kali gue cium lo?"

Entah apa yang sedang Dean pikirkan. Bersama Kinan selama apa pun tanpa dekat dengan Kinan, Dean merasa masih mengganjal. Dan apa yang Dean harapkan lagi memangnya? Kinan bukan hanya bisa memorak-porandakkan hidupnya namun Kinan juga dengan begitu gampangnya menarik Dean untuk tidak jauh-jauh dari gadis itu.

Lalu, ini salah siapa?

"Mau gue ingetin?" Dean mengangkat salah satu alisnya tinggi. Dan perlahan tapi pasti Dean bisa merasakan hangat napas Kinan. Menerpa halus wajahnya sebelum akhirnya Dean menunduk dan menenggelamkan dirinya di helaian-helaian rambut Kinan, kemudian ke leher gadis itu.

Dia bukan cewek gue, Matt. So, fuck off!

Dia bukan cewek gue.

Bukan cewek gue.

Kinan.

Dean harap Kinan tidak mendengar itu.

"Lo beneran mau kita kayak gini, Nan?" Dean mengulang lagi pertanyaan awal. Menghirup dalam-dalam wangi Kinan yang sudah Dean simpan dalam ingatan. Menggerakkan hidungnya dari leher Kinan hingga ke garis rahang gadis itu. Dean hanya ingin meyakinkan Kinan sekali lagi saja. Karena Dean tahu, Kinan menginginkan hal yang sama.

Terbukti juga saat Dean menarik kepalanya menjauh dari leher gadis itu yang sudah Dean berikan kecupan-kecupan lembutnya di sana, dan mencium bibir Kinan, Kinan langsung menyambutnya. Manis. Dean melihat Kinan juga perlahan-perlahan menutup matanya. Dan Dean melakukan hal yang sama. Menarik tengkuk Kinan pelan untuk semakin dekat dengan dirinya. Really.. really.. close.

Kinan, can you just be honest with me?

Seperti ciuman awal mereka, Dean memperlakukan Kinan selembut mungkin. Dan Kinan dengan kakunya membalas setiap perlakuan Dean padanya. Sebelum menjauh sebentar, Dean menggigit pelan bibir bawah Kinan itu. Lenguhan Kinan terdengar.

Kinan lalu membuka kelopak matanya dan menemukan Dean yang masih menunduk dengan tatapan lembutnya itu. Kinan mengusap bibirnya yang basah dengan ibu jarinya. Dean menciumnya lagi untuk yang kedua kalinya. Kenapa juga di depannya sekarang Dean lebih terlihat menarik sih? Kinan sampai pusing sendiri. "Kak Dean, kan Kinan udah bilang—"

"Gue lupa."

Kinan cemberut. "Bohong." Dan memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Dean yang beruntungnya berada persis di sebelah Kinan.

Dan Kinan ingin menarik ucapannya barusan karena posisinya tidak sepenuhnya beruntung saat Dean mendekat ke arahnya lagi. Kinan kira Dean akan melakukan apa karena yang Kinan lihat sekarang Dean membaringkan tubuhnya di sebelah Kinan. Menutup matanya.

Dean bisa merasakan Kinan ikut berbaring di sebelahnya. Dan benar saja ketika Dean membuka matanya itu Kinan sudah berada persis di sampingnya. "Apa gue gak boleh deket sama lo, Nan?" Dan merasakan juga kedua tangan Kinan memeluk lehernya untuk mendekat ke arah gadis itu. Dean menenggelamkan lagi wajahnya pada leher Kinan. Memejamkan matanya lagi.

"Gak boleh," jawab Kinan dengan gelengan kepalanya.

"Yaudah, lepasin tangan lo."

Kinan menggeleng lagi. "Nggak mau."

Dean belum ingin menyahuti perkataan Kinan lagi dan merasakan usapan tangan mungil Kinan di rambutnya. Berkali-kali. Rasanya nyaman. "Mau lo apa?" Dean akhirnya mengalahkan keinginannya itu. Ia sudah berada di atas Kinan. Sudah mengangkat kepalanya. Melihat secara intens wajah Kinan di bawahnya. Dengan tangan Kinan yang masih memeluk lehernya itu.

Kinan memang tidak mengeluarkan suaranya namun pergerakkan tangannya di leher Dean yang seakan menyuruh Dean mendekat lagi ke arahnya bisa Dean rasakan. Dean menggelengkan kepalanya dua kali. "Lo gak boleh cium gue," ucap Dean dengan tatapan yang Dean buat seserius mungkin. Setajam mungkin. Kinan menantang tatapan Dean.

Di bawahnya, Dean memperhatikan Kinan yang terlihat malah menahan senyumannya itu. Menggigit bibir bawahnya juga. "Lo gak boleh cium gue, Kinan." Dan selang beberapa detik Dean justru merasakan kembali bibir manis Kinan. Walaupun Kinan membalasnya begitu kaku.

Kinan sudah memiliki Dean.

"Jangan buru-buru." Dean mengatakan itu saat Dean berhasil melepas pagutannya di bibir Kinan. Dan mencium Kinan lagi. Seperti yang Dean bilang; tidak terburu-buru.

"I want to take things slow with you."

Slow. Dean mencium leher Kinan sekali. Slow. Dean mencium garis rahang Kinan. Slow. Dean mencium kedua pipi Kinan.

Really.. really.. slow.

...

"Kak Dean!"

Dean langsung menghancurkan rokoknya itu dengan cara menginjaknya setelah melihat Kinan yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Di hari Senin ini Pertiwi sudah membunyikan bel pulang sekolah. Dean tadinya sedang menunggu Kinan di parkiran dengan teman-temannya yang lain, yang sibuk dengan ponsel masing-masing.

Kinan duduk di sebelah Dean.

"Mau pulang sekarang?" Dean membuka suaranya dan mengambil alih botol minum yang Kinan pegang. Tenggorokkannya terasa kering.

Kinan melihat ke arah depannya di sana ada Geraldi, Angga dan juga Reksha. Kinan menoleh ke arah Dean dan mendekat ke arah laki-laki itu. Dengan tangan kirinya yang menutupi wajahnya, Kinan berbisik di telinga Dean. "Kinan gak bisa pulang sama Kak Dean dulu. Kinan udah ditungguin sama Kak Rama." Kinan lalu meringis pelan.

Seraya meletakkan botol minum milik Kinan ke dalam tas ransel gadis itu, Dean menyahut, "Ya terus kenapa? Bilang aja lo pulang bareng sama gue."

Kepala Kinan menggeleng dan membisikkan Dean balasannya lagi. "Masalahnya Ayah mau ketemu juga sama Kak Rama jadi Kinan harus bareng sama Kak Rama. Kak Dean, mau langsung pulang juga kan?" Kinan menjauh dan melihat Dean yang lebih dulu memperhatikannya.

Menanggapi itu, Dean menggeleng. "Mau nongkrong bareng sama temen-temen gue dulu. Pulangnya nanti."

Kinan manggut-manggut dan melihat jam di layar ponsel Dean. Berbisik lagi. "Line Kinan kalo udah sampe rumah ya? Biar Kinan tau aja." Lalu, Kinan memperlihatkan senyuman tipisnya.

Respons Dean hanya anggukkan kepala.

Kinan tidak puas dengan itu maka, Kinan berbisik lagi. "Kak Dean, jangan malem-malem mainnya ya? Kalo misalkan Kak Dean laper, ajak Kinan makan juga ya nanti malem? Makan nasi goreng di depan komplek rumah Kinan itu enak. Tapi enakkan buatan Ayah deng. Tapi enak serius."

"Maen bisik-bisikkan aja nih. Gak tau apa ya tetangga jadi kepo." Itu suara Reksha. Tatapan masih fokus ke layar ponsel. Reksha melirik sebentar ke arah Kinan dan Dean di depannya.

"Ih, kayak judul lagu tau, Kak Reksha!" Kinan menyahut.

"Apaan tuh?"

Kinan menurunkan tangannya yang sekarang berada di pundak Dean. "Bisik-bisik tetangga. Tetangganya Kak Reksha suka bisik-bisik juga gak?"

"Tetangga gue senengnya bisik-bisiknya pas tengah malem, Nan."

Kinan mengernyit saat Reksha dan Angga malah tertawa. Kinan melihat ke arah Dean, Dean juga melirik ke arahnya. Kinan berbisik lagi. "Inget yang Kinan bilang ya, Kak Dean. Nasi goreng di depan komplek rumah Kinan enak! Kinan mau nemuin Kak Rama dulu ya. Dah."

Belum sempat Kinan bangkit, Dean mencekal pergelangan tangannya dan ikut berisik seperti yang Kinan lakukan. "Hati-hati ya!" Setelah itu baru lah Kinan benar-benar berdiri. Dan sekali lagi tersenyum untuk Dean.

Sambil berjalan menuju ke arah lapangan basket indoor, Kinan mengeluarkan ponselnya. Rama bilang Kinan menunggu Rama di sana saja. Kinan membaca chat Ayahnya yang menanyakan Kinan sudah pulang atau belum. Kinan langsung saja membalasnya.

"Kak Rama!"

Mendengar suara yang tidak asing lagi, Kinan menghentikan langkah kakinya. Itu Flora yang memanggil Rama tadi. Kinan tersenyum dan berniat untuk mendekat ke arah mereka berdua, tetapi Kinan langsung mengurungkan itu saat dilihatnya Rama merengkuh tubuh Flora dan yang paling tidak Kinan sangka sebelumnya Rama mencium temannya itu.

Kinan mengernyit dan mundur perlahan hingga punggungnya menyentuh seseorang yang baru Kinan tahu itu Gio.

"Pulang bareng gue aja."

Ya.. gimana ya.. ternyata Rama sama Flora ya gitu hm

Gimana gais sama part ini? Suka?

Suka yang mana?

Gak suka kah? Sama yang mana?

Kodenya banyak banget tuh gais di part ini. Ada yang tau yang mana aja? Uhuk

Ini cerita aku mau buat gak terburu-buru aja sih jadi gini deh alurnya🙈🙈

Shippernya Kinan-Dean gimana gais pendapat kalian tentang scene mereka? wkwkwk

Lanjut nih?

That "Mau gue ingetin?" Face

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro