Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

nervous

Bagian 42 |
and all you did was look my way

Mohon maaf tidak jadi up malming karena ada gangguan🙏🙏

Vote dan komen teruss✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

"Iya, Yah. Ini temen Anna. Namanya mm.. Kelvin." Kinan buru-buru berdiri di samping Gio yang mengangkat salah satu alisnya tinggi. Melihat Kinan dengan menahan senyum. Dan siapa pun tahu Kinan sedang bergerak tidak nyaman. Berkali-kali juga menghindari tatapan mata Ayahnya.

Lalu, Gio berdeham dan beralih melihat ke arah Adam, mengulurkan tangan kanannya. Dan dengan sopannya menyalami tangan Adam. "Kelvin, Om." Gio memperkenalkan diri. Seperti yang Kinan ucapkan tadi.

Nama Gio sudah terdengar buruk di telinga Adam. Siapa lagi yang membuatnya seperti itu jika bukan Rama. Dan Kinan tidak ingin membuat semuanya tambah runyam. Tentunya Kinan juga harus berhati-hati, 'kan?

Adam tersenyum. "Saya Adam, Ayahnya Anna. Udah lama di sini?" tanyanya dan meletakkan buku hitam kecil yang sedari tadi Adam bawa-bawa ke atas meja samping akuarium kecil.

"Belum lama Ayah pulang kok, Yah Kelvin ke sini." Kinan dengan cepat menjawab.

Mendengar jawaban putrinya, Adam manggut-manggut. "Mau ikut lunch sekalian di sini sama Anna?"

Ditanya seperti itu, Gio melirik ke arah Kinan yang mengisyaratkan Gio dengan gelengan kepala yang pelan. Tetapi Gio mempunyai pikiran lain. "Boleh, Om." Dan melihat Kinan yang kini menatapnya agak kesal. Gio tersenyum tipis.

Adam menggulung bagian lengan dari kemeja putihnya hingga ke siku dan merangkul bahu Gio untuk mengikutinya ke arah dapur. Kinan memerhatikan itu. Bagaimana Ayahnya menanyakan sesuatu kepada Gio dan jawaban Gio malah membuat Adam tertawa.

Setidaknya itu awal yang bagus, 'kan? Kinan berpikir. Meskipun nanti—entah kapan, Ayah akan mengetahui semuanya juga. Maka, untuk kali ini saja Kinan harus menikmati segala yang belum hancur.

Kinan mengikuti mereka berdua. Duduk di samping Gio. Melihat ke arah Gio yang begitu serius mengamati Adam memasak di depannya. Hingga suara Ayah terdengar menginterupsi pikiran Kinan.

"Anna buat nasi goreng?"

Kepala Kinan langsung menoleh ke arah Ayahnya dan mengangguk seraya tersenyum. Terlihat Adam sedang mencicipi nasi goreng yang Kinan buat tadi pagi.

"Enak, kok."

Tuh kan.

"Gak seenak buatan Ayah tapi."

Sambil mengeluarkan bahan-bahan masakan di dalam lemari pendingin, Adam menyahut, "Anna pasti bisa masak yang lebih-lebih-lebih enak dari Ayah kalo Anna mau nyoba terus. Jangan nyerah ya!"

Kinan lagi-lagi mengangguk. Dan melirik ke arah Gio yang sedang tersenyum ke arahnya.

Aglio olio dengan ikan tuna yang akan Adam buat untuk makan siang mereka bertiga. Sepertinya begitu. Gio sedang berusaha menebak. Bahan-bahannya sama seperti yang Anneth pernah buat di rumah.

"Mau aku bantuin, Om?"

Saat suara Gio terdengar, Kinan langsung cepat-cepat menggeleng. "Jangan mau, Yah! Anna pernah liat sekali Kelvin mau bantuin Mamah Anneth masak malah kayak mau ngebakar dapur." Dan tertawa setelah mengatakan itu. Kejadiannya saat pertama kali Kinan menginjakkan kakinya di rumah Gio, Kinan mengingat.

Adam juga ikut tertawa. "Oh ya?"

"Iya. Mamah Anneth jadi marah-marah sama Kelvin." Kinan masih dengan sisa tawanya menjawab.

"Mamah Anneth?" Adam mengernyit dengan tangan yang sibuk menghidupkan kompor.

"Mamahnya Kelvin?" Jawaban Kinan seperti pertanyaan baru untuk Adam.

"Anna manggilnya gitu?"

Kinan melirik ke arah Gio sebentar dan menggigit bibir bawahnya. "Mm.. karena Anna disuruh manggilnya gitu."

Adam melihat Gio kali ini. "Biar saya aja yang masak. Kamu sama Anna tinggal nikmatin aja nanti."

Gio menganggukkan kepalanya.

Ketika Kinan menyadari Adam sedang membelakangi mereka berdua, Kinan mendekat ke arah Gio. "Kinan keceplosan terus ya?"

Gio mengikuti Kinan, mendekatkan kepalanya juga pada gadis itu. "Makanya jangan cerewet," jawab Gio dengan tak kalah pelannya dan menyentil dahi Kinan.

...

Abby mengurungkan niatnya saat ingin membuat Sean kaget dengan kehadirannya di apartemen laki-laki itu, ketika mengetahui Sean sedang berbicara lewat ponsel dengan seseorang di seberang sana, yang Abby pun tidak tahu itu siapa. Terdengar begitu penting.

Dan Abby memilih untuk mendudukkan bokongnya di sofa seraya matanya memerhatikan punggung Sean yang membelakanginya. Sean sedang berada di balkon. Sesekali mengembuskan asap abu-abu dari mulutnya.

"Udah gue bilang dari awal lo emang harusnya diem aja, gak usah ngapa-ngapain!"

"Lo pikir gue bakalan selamanya jadi bayangan lo?"

"Makanya apa-apa dipikirin dulu sebelum bertindak."

Setelah mengatakan itu, Sean langsung memutuskan sambungan. Membalikkan tubuhnya dan melihat Abby yang sedang duduk dengan senyum di bibirnya, menyadari itu Sean menarik kedua sudut bibirnya juga ke atas. Tersenyum tipis. Menghampiri Abby setelah menghancurkan rokok di tangannya.

"Katanya mau gue jemput aja entar, kok malah ke sini?" tanya Sean dan ikut duduk di samping Abby. Meletakkan kepalanya pada pundak Abby juga yang sekarang Abby mengusap sisi wajahnya.

"Udah kangen duluan," jawab Abby dengan senyuman yang belum hilang di bibirnya. "Tadi siapa yang nelpon? Lo keliatan kesel banget."

Kedua mata Sean melihat ke arah Abby sebentar lalu beralih ke arah balkon sana. "Orang yang otaknya gak pernah dipake, By. Giliran baru sadar dia salah, nangis-nangisnya ke gue. Ngeselin, 'kan?"

Abby manggut-manggut. "Iya, ngeselin. Udahan dulu lo keselnya kan udah ada gue." Abby mendekatkan wajahnya pada Sean sambil menaik-turunkan kedua alisnya itu.

Sean terkekeh sebentar sebelum menarik leher belakang Abby untuk lebih mendekat ke arahnya. Mengunci Abby seketika itu juga. Menghapus jarak antara dirinya dengan Abby.

Di saat-saat seperti ini—di saat Sean seperti harus menanggung ketakutan orang lain, Sean mau tidak mau memikirkan hal itu juga. Dan berakhir dirinya mempunyai masalah baru.

Lalu, ada Abby. Seseorang yang mudahnya membuat Sean melupakan walau sebentar semua itu karena kehadiran Abby di dekatnya. Masih mau berada di samping Sean meski Abby tahu betapa tidak baiknya Sean. Betapa memuakkan kehidupannya. Sean juga tidak tahu harus mengatakan apa selain terima kasih pada Abby. Pun mungkin itu tidak pernah cukup.

"Gue ngerasa udah gak punya masalah apa-apa lagi, By pas cium lo," ujar Sean dan itu memang benar. Masalahnya seketika hilang. Beban di pundaknya berkurang. Sean masih mengamati Abby lurus-lurus. Jaraknya begitu dekat hingga Sean bergerak sedikit mereka akan menempel lagi.

"Sama dong." Abby menyahut.

Semenjak putus dengan Rama, Abby menetapkan untuk menutup semuanya. Rama sama saja seperti Ayahnya yang meninggalkan Ibunya meskipun Abby sudah memberikan segalanya untuk Rama. Terlalu terbuka pada Rama hingga ditinggalkan oleh laki-laki itu Abby sudah tidak percaya pada apa pun.

Mengapa seseorang bisa sejahat itu?

Dan Abby berpikir hanya dengan Dean—seseorang yang sudah berada di sisinya dari kecil dan menjadi sahabatnya hingga sekarang yang selalu ada untuk Abby, selalu bisa Abby andalkan, tidak pernah juga meninggalkan Abby.

Meski berkali-kali Dean menolaknya kini Abby tahu, bahwa mungkin jika tidak memiliki hubungan dengan Dean, Abby tidak akan merasakan yang seperti bersama dengan Rama. Abby tidak perlu takut Dean meninggalkannya sama seperti Rama. Begitu lebih baik, 'kan?

Untuk Sean sendiri Abby takut jika sudah terlalu terbuka, Sean akan meninggalkannya juga.

"Jasinda baru pulang dari Korea dan lo tau gue dikasih apa? Sheetmask banyak banget. Pake berdua yuk, abis itu baru deh kita Malmingan." Abby dengan cepatnya mementalkan pikiran yang sudah terlalu lama Abby pendam. Dengan mengalihkan pembicaraan pertama mereka Abby harap Sean juga tidak perlu memikirkan masalahnya juga.

Kening Sean berkerut. "Sheetmask?"

Abby menggangguk dan mengeluarkan segala macam sheetmask di dalam sling bag-nya itu. "Iya! Nih."

Sean memerhatikan satu persatu sheetmask yang Abby bawa dengan warna bungkusan yang berbeda. "Muka gue gak akan kenapa-kenapa, 'kan pake ini?" tanyanya tidak yakin. Sean baru pertama kali juga akan menggunakan itu. Tentu saja Sean ragu.

Tangan Abby mengamit lengan Sean. "Malah bagus, Sean. Percaya sama gue." Dan mengeluarkan senyum meyakinkannya. "Bentar-bentar gue mau liat permasalahan di muka lo dulu." Abby membawa kedua tangannya pada kedua sisi wajah Sean. Menghadapkan pada wajahnya persis. Mengamati wajah Sean baik-baik.

"By, jangan asal nebak." Sean menahan senyumannya memerhatikan wajah serius Abby itu. Dan saat Abby tidak merespons ucapannya, Sean mendekatkan lagi wajahnya pada Abby yang langsung menghindar.

Kepala Abby menggeleng dua kali. "Nanti dulu ciumnya."

Sean manggut-manggut.

"Lo pake yang ini aja. Ini bagus untuk mencerahkan." Abby memilih sheemask dengan bungkus berwana putih dan oranye itu.

"Mencerahkan?"

Kepala Abby mengangguk. "Yep. Gue make yang ini juga. Sekarang lo cuci muka dulu pake facewash yang gue pilihin buat lo itu. Gue tungguin di sini."

Dengan ogah-ogahan, Sean bangkit dari sofa. Abby melihat itu hanya terkekeh pelan dan mengeluarkan ponselnya. Mengetikkan pesan singkat di grup Line bersama teman-temannya itu.

Abby : Sean mau pake sheetmask yang
Jasinda beli dong wkwkw

Andrea : pap dund.

Jasinda : muka gue jadi cerahan anjer
pake itu. Gak salah emang gue beli banyak.

"Cepet amat cuci mukanya? Bener gak sih?" Abby mendongakkan kepalanya saat Sean sudah berada di dekatnya lagi.

"Bener lah. Terus gue harus ngapain?"

"Tunggu di sini jangan ke mana-mana. Sekarang giliran gue cuci muka." Seraya memakai bandana dengan kedua sisi yang menampilkan telinga gajah itu, Abby bangkit. Tidak lupa membawa botol facewash-nya juga.

Sambil menunggu Abby, Sean mengetikkan pesan singkatnya lagi pada orang yang sama yang menelpon Sean. Mengingatkannya sekali lagi bahwa Sean tidak pernah ingin membantunya. Ini benar-benar untuk terakhir kali. Sean juga tidak ingin berurusan dengan siapa-siapa dulu.

Dan Sean tahu dirinya harus cepat bertindak.

...

"Jadi, sekarang lo homeschooling?"

Ditanya seperti itu oleh Geraldi, Mikayla mengangguk. "Yep. Aku juga udah ketinggalan jauh banget, Ral. Papah juga yang ngatur semuanya sih, aku cuma bisa nurut," jawabnya. Siapa pun bisa melihat raut sedih di wajah gadis itu apalagi Dean.

Meskipun Dean yang lebih banyak diam, Dean juga mendengarkan semua yang mereka ucapkan. Mikayla yang memang meminta Geraldi untuk mengantarkannya pada Dean. Dan di sini lah mereka sekarang; di ruang tamu dengan Dean yang malah sibuk menghubungi Kinan.

"Gue mau cabut sekarang. Minta Dean aja yang nganter lo pulang, oke?" Geraldi tersenyum tipis ke arah Mikayla dan bangkit dari tempat duduknya menghampiri Dean yang sedang berdiri di dekat jendela.

Dengan suara yang pelan, tidak ingin Mikayla mendengar. Geraldi berkata, "Untuk kali ini aja sikap lo harus lebih manis sama dia. Lo sendiri juga kan yang mau dia balik lagi? C'mon. Seenggaknya lo nanya apa kek." Dan menepuk bahu Dean dua kali sebelum akhirnya benar-benar pergi. Meninggalkan Dean dan Mikayla di ruangan yang mendadak dingin ini.

Mikayla meletakkan mug putih di tangannya ke atas meja. Berdiri dan perlahan-lahan berjalan mendekat seraya memerhatikan pigura-pigura di dinding. "Kak Gabriel gimana kabarnya? Aku udah lama lho gak ketemu sama dia." Mikayla mencoba mencairkan suasana dengan menanyakan Kakak dari Dean itu Gabriel.

"Gue juga gak tau." Dengan dinginnya Dean menjawab. Mengabaikan ucapan Geraldi tadi.

Kepala Mikayla manggut-manggut. Kemudian, napas pelan ia keluarkan. "Harus berapa kali sih aku bilang maaf ke kamu? Biar sikap kamu gak kayak gini? Mana Dean yang dulu? Mana pacar aku?"

Kali ini, Dean mengalihkan pandangannya. Menatap Mikayla yang sudah memandang ke arahnya lebih dulu. "Seharusnya lo tanya sama diri lo sendiri, La. Kenapa gue malah jadi kayak gini?"

Dengan langkah pelan, Dean mendekat. "Gue sendirian yang harus ngikutin apa yang lo mau. Gue sendiri juga yang harus ngeliat mereka dan mereka gak tau apa-apa. Lo bisa kayak gitu? Gue tau, lo gak akan mau juga."

"Dean, dengerin aku." Mikayla membawa tangannya yang bergetar ke lengan Dean. "Kak Matthew lagi nyari orangnya juga. Kamu harusnya gak usah ngelakuin hal yang gak kamu suka lagi. Makasih juga karena udah nurutin permintaan aku ya." Dan Mikayla lagi-lagi secara sepihak memeluk Dean. Memejamkan matanya rapat-rapat juga.

"Kita seharusnya gak usah ketemu lagi, La. Semuanya gak akan pernah sama juga. Jadi, buat apa ya, 'kan?"

Kata-kata Dean yang satu itu mampu menggoreskan luka di diri Mikayla. Berbentuk garis kecil namun dengan bisanya membuat Mikayla ingin menangis sekarang juga. Mati-matian, Mikayla mengatakan bahwa dirinya masih menyayangi Dean.

Balasan Dean adalah; "Sayangnya gue udah suka sama orang lain."

Mikayla mengerjap. Jangan dia.

"Gue suka Kinan."

...

"Anna sekarang rapi-rapi ya. Jadi kan kita pergi?"

"Jadi dong!" Kinan menjawab dengan begitu antusias. Selain bertemu dengan Kila, di perjalanannya kali ini membuat Kinan lebih banyak menghabiskan waktunya juga dengan Adam. Dan itu membuat Kinan senang. Pastinya.

Kinan saat ini sedang duduk berdua dengan Adam di living room. Menonton film sebelum dirinya bersiap-siap untuk pergi. Terlihat Gio kini sibuk menelpon seseorang. Tangannya sesekali mengusap tempurung Pororo di dalam akuarium kecil. Kedua matanya sesekali melihat ke arah Kinan juga. Tersenyum tipis, Kinan membalas.

"Aku pulang sekarang ya, Om."

Mendengar suara Gio, Kinan yang lebih dulu bangkit dari tempat persinggahannya. Berdiri di hadapan Gio. "Kan Kinan belum mau pergi. Gio nanti aja pulangnya." Kinan cemberut. Berbisik juga saat mengatakan itu.

Gio melirik ke arah Adam sebentar. "Lo kan harus rapi-rapi terus pergi. Gue pulang sekarang ya? Mau malmingan."

Kinan memegang ujung kaus yang Gio kenakan. "Gio malmingan sama siapa? Kan Kinan pergi." Terlihat kini Kinan mengernyit.

"Ya, bukan sama lo lah." Dengan santainya Gio menjawab seperti itu.

Kinan memberenggut. "Gio."

Gio terkekeh pelan melihat ekspresi Kinan. "Sama temen-temen gue, Ki. Sana, rapi-rapi. Ntar kemaleman lho."

"Kinan mau rapi-rapi abis itu mau nganterin Gio ke mobil ya?"

Belum sempat Gio menjawab, suara Adam sudah terdengar lebih dulu.

"Bisik-bisik apa sih?"

Kepala Kinan menoleh ke arah belakangnya. Kinan tersenyum lebar. "Masalah penting, Ayah." Dan menarik pergelangan tangan Gio untuk mengikuti langkahnya menaikki satu per satu anak tangga. Ke arah kamarnya di lantai dua.

Melihat pergerakkan Kinan, Adam berdeham agak kencang. "Ann, mau ke mana?" tanyanya.

Di tangga kelima Kinan menghentikan langkah kakinya. Gio juga ikut berhenti. "Mau rapi-rapi?"

"Mm.. Anna mau bawa Kelvin ikut ke kamar Anna juga?"

Gio menahan untuk tidak tertawa dan memilih untuk berkata, "Geblek sih."

Kinan melotot ke arah Gio. Dan melihat ke arah Ayahnya lagi dengan senyum aneh. "Ah ya, ngapain juga Anna bawa Kelvin ke kamar ya? Hehe. Kelvin tunggu sama Ayah dulu ya. Jangan pulang dulu pokoknya!"

"Iya, bawel. Gue tunggu sama Om Adam."

Kinan melepaskan tangan Gio dan melanjutkan lagi langkah kakinya. Bersiap-siap untuk pergi bersama Ayahnya di hari Sabtu ini. Mengenakan rok putih ketat di atas lutut yang diberikan Anneth untuknya yang menjadi pilihan Kinan. Roknya lucu jika dipadukan dengan flanel kesayangan Kinan. Tidak lupa Kinan membawa tasnya yang sudah Kinan persiapkan baju gantinya di dalam sana.

"Anna mau taro tas Anna di mobil Ayah sekalian mau anter Kelvin ke depan ya, Yah." Kinan berujar saat dirinya sudah berada di living room. Tangannya berpegangan pada meja di sampingnya, Kinan sedang mengenakan sepatu ketsnya itu. Tidak lupa membawa akuarium kecil bersama dirinya.

"Yaudah, gantian Ayah mau rapi-rapi sekarang. Hati-hati, Vin!"

Terdengar aneh ketika ada orang yang memanggilnya selain Gio. Gio hanya menganggukkan kepalanya. "Om juga hati-hati."

Terlihat Adam yang berjalan masuk ke dalam kamarnya. Kinan meraih kunci mobil Ayahnya di atas meja dan Kinan merasakan Gio mengambil alih tas ranselnya. "Besok-besok kalo Gio mau ke sini gak usah lagi lewat dari jendela ya!" Kinan mendongak sedikit ke arah Gio yang berada di sampingnya. Berjalan menuju pintu utama.

"Emang itu yang gue mau."

Kinan menampilkan senyumannya lagi. Membuka pintu mobil Ayahnya dan Gio langsung meletakkan tas ransel Kinan di jok belakang. Kinan menutup pintu mobil Adam dan meletakkan terlebih dahulu akuarium Pororo di dekat tiang rumahnya.

Lalu, Kinan menyamai langkah kaki Gio. Menggapai jari kelingking Gio yang Kinan genggam erat-erat. "Gio, jadi ikut ke Bandung?" Mendongakkan kepalanya lagi untuk melihat secara jelas wajah Gio di sampingnya. Berjalan mengikuti langkah Gio ke arah mobil yang entah Gio parkir di mana.

"Kayak yang gue bilang, semoga aja." Gio menyelipkan senyum tipisnya untuk Kinan, dan melepaskan jari kelingkingnya pada tangan Kinan itu yang Gio gantikan dengan genggaman eratnya. Mobilnya sudah terlihat di depan sana.

Kinan berjinjit, meletakkan dagunya pada Gio yang kini sudah bersandar pada pintu mobilnya itu. "Kalo Gio jadi ke Bandung, Gio mau ngapain?" tanya Kinan dan merasakan tangan kanan Gio mulai melingkar di pinggangnya.

"Mau ngajakin cewek gue malmingan?"

Mendengar itu, senyum Kinan terbit. "Minta ijin sama Ayah dulu tapi."

"Iya. Masuk ke mobil gue dulu sebentar." Gio yang pertama menjauh dari Kinan dan membukakan Kinan pintu mobil belakangnya. Setelah Kinan sudah terlebih dahulu masuk, Gio mengikuti setelah itu.

Seraya memasukkan kunci mobil Ayahnya ke dalam saku roknya itu, Kinan bertanya, "Kinan ngapain ikut masuk ke mobil Gio?" Dan melihat ke arah Gio yang sudah mengamatinya lebih dulu.

"Mau berduaan dulu sama lo di sini sebentar sebelum lo pergi," jawab Gio dan mendekat lagi ke arah Kinan. Yang pertama Gio lakukan ialah membawa tangannya ke atas paha kanan Kinan, jarinya bergerak perlahan. Mengusapnya dengan pola menenangkan.

"Apa sih?" Senyum Kinan terlihat, begitu pun dengan kerutan di dahinya melihat tingkah Gio di depannya.

"Apa ya?" balas Gio.

"Apa?"

Gio tidak ingin menjawab pertanyaan dari Kinan yang satu itu karena Gio lebih memilih untuk menyelipkan helaian rambut panjang Kinan ke belakang telinga kanan gadis itu dan berbisik, "Kalo ada apa-apa langsung hubungin gue, bisa?" Dan memberikan kecupan lembutnya di sana.

Kinan mengangguk. "Bisa."

Mendengar itu, Gio menarik sudut kiri bibirnya sedikit dan menghadap ke arah Kinan sepenuhnya. Sedikit lagi Gio akan mencium bibir Kinan di depannya, suara pelan Kinan terdengar.

"Nggak boleh."

Mata Gio lekat-lekat menatap netra cokelat milik Kinan. Mencium sudut bibir gadis itu perlahan. "Nggak boleh apa? Yang jelas dong ngasih tau gue-nya."

"Gak boleh yang di situ, Gio." Kinan menggeleng dua kali.

Gio menjauhkan wajahnya dari Kinan. Sudut kiri bibirnya lagi-lagi terangkat sedikit. "Kenapa? Takut keinget tuh cowok ya?" Hanya itu yang berada di pikiran Gio saat ini.

Dan ucapan Gio yang satu itu berhasil membuat Kinan memandangnya tak suka. "Enggak. Jangan mulai deh!"

Tangannya yang berada di paha Kinan bergerak lagi. "Jangan mulai apa? Buat lo kesel?" Sebelah alisnya terangkat tinggi, menunggu jawaban Kinan.

"Iya. Jangan buat Kinan kesel, Gio."

Tatapan Gio seketika itu juga melembut. "Sori, ya?"

Kinan mengerjapkan matanya. Lihat, kan? Bagaimana Gio dengan cepatnya merubah mood-nya lagi. His mood swings hurt my head, Kinan merasakan itu. Salah satu hal yang belum Kinan bisa mengerti dari Gio. Kinan memilih menganggukkan kepalanya. "Sini, Kinan cium Gio sekali. Abis itu udahan." Kinan meraih rahang Gio dan mencium pipi kanan Gio. Lama.

Dan Kinan menjauh. Menyadari ada belas lipgloss-nya di pipi Gio itu. Kinan terkekeh sebentar dan menghilangkan bekas itu dari sana. "Kinan pergi sekarang ya?"

"Take care, Ki."

Kinan meraih tangan Gio yang berada di atas pahanya itu. "Kalo Gio jadi, kasih tau Kinan dulu jangan tiba-tiba. Oke?"

Kepala Gio mengangguk. "Mhm-mm."

Saat Kinan masih memerhatikan dirinya, Gio menyentil dahi Kinan itu. "Pulang sana."

"Ish! Sakit!" Kinan mengusap dahinya itu berkali-kali.

"Keluar cepetan!" Gio mendorong bahu Kinan agar segera turun dari mobilnya. Tetapi malah Kinan menciumnya lagi. Gio menjauhkan wajah Kinan dari dirinya itu. "Udahan kalo gak mau gue kayak semalem."

Kinan langsung benar-benar menjauh. Menggigit bibir bawahnya juga. Melihat Gio yang lebih dulu turun dari mobil. Kinan mengikuti. Berdiri di depan Gio dan berjalan mundur perlahan.

"Daaaah, Gio!" Tangan kanan Kinan melambai.

"Daah!" Gio membalas.

Kinan membalikkan tubuhnya, sesekali juga menengok ke arah Gio lagi yang masih mengamati dirinya.

Hingga punggung Kinan tidak terlihat Gio bergerak dari tempat keterdiamannya dan saat ingin membuka pintu mobil, Gio mendengus.

"Anjing!" umpat Gio saat menyadari satu ban mobil di depan kempes, oh bukan setelah Gio perhatikan baik-baik sepertinya itu bocor. Gio sudah berkali-kali parkir di tempat kosong ini dan baru kali ini didapatinya ban mobilnya menjadi seperti sekarang.

Gio mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor Levi. Pada dering ketiga barulah Levi menerima panggilannya itu.

"Lev, lo bisa bawa anak lo ke sini?"

"Ban mobil gue bocor kayaknya."

"Gue gak tau juga siapa!"

"Iya, gue shareloc sekarang."

Gio memilih untuk bersandar pada kap mobil. Mengetikkan pesan singkat pada Levi dan mengirimkan lokasi di mana dirinya berada. Dan saat ada mobil hitam yang melintas di depannya, Gio mengalihkan pandangannya dari ponsel. Itu Dean.

Lucu aja sih cewek yang nyuruh cowoknya buat skincare-an wkwkwkw

Yep, itu dia part 42nya gais. Suka tidak?

Masih penasaran kah? :))

Semoga Om Adam lama ya taunya kalo itu Gio hm

Kodenya udah aku selipin juga gais dipart ini meuehhehe

Sori typo

Pemandangan Abby;")

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro