mercy
Bagian 16 |
even though you don't mean to hurt me
you keep tearing me apart
Hai hai Lines dateng nih.
Ada yang kangen gak?🙈🙈
Vote dan komen yaw✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
"Kinan, jangan lari-larian."
Seakan tidak mendengarkan peringatan Dean itu, Kinan tetap berlari ke arah dapur. Sore ini mereka sudah berada di apartemen Dean, seperti yang laki-laki itu ucapkan. "Kinan haus banget, Kinan mau minum," kata Kinan sedikit berteriak dan langsung membuka lemari pendingin di depannya, mengambil dua botol air mineral. Botol yang satunya langsung ia buka dan Kinan habiskan setengahnya.
"Seger banget." Kinan memegang lehernya itu. Rasa dingin di tenggorakkannya Kinan rasakan kini.
Lalu, Kinan mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya yang masih belum ada juga chat dari Rama. Kinan menghela napas pelan.
Dan yang akan Kinan lakukan selanjutnya adalah menghabiskan donat yang diberikan Dean itu. Kakinya melangkah menuju ke arah sofa yang terlihat Dean sedang duduk dengan kedua mata terpejam. Tidak ada sorotan tajam dari Dean, tidak ada tatapan mengintimidasi dari Seniornya itu karena yang ada sekarang wajah damai Dean di depan Kinan. Dengan langkah pelan, Kinan mendekat. Duduk juga dengan perlahan di samping Dean. Kinan terdiam sebentar, mengamati wajah Dean baik-baik.
Sepertinya tidak cukup sekali Kinan harus meneliti wajah Senior itu. Terlebih Kinan... suka memerhatikan Dean secara intens seperti ini. Kemudian, Kinan mendekat. "Kak Dean, kalo ngantuk tidur di kamar aja." Bisikan Kinan berhasil membuat kedua mata Dean terbuka pelan-pelan. Kinan menarik wajahnya menjauh.
"Udah minumnya?" Dean justru memberikan Kinan pertanyaan lain.
Kepala Kinan mengangguk dua kali. Memperlihatkan botol air mineral yang isinya tinggal setengah itu ke hadapan Dean. "Kinan udah minum, nih buktinya!" Senyum Kinan terlihat setelah mengatakan itu.
Dean mengambil alih botol air mineral yang Kinan pegang, meminum air itu hingga tak tersisa. Kinan merasa ada yang aneh dari Dean, karena entah kenapa saat menegak air mineral dari botol saja terlihat Dean begitu menarik. Dean melihat ke arahnya, Kinan mengerjap.
"Itu kan punya Kinan. Buat Kak Dean, Kinan udah ambilin tau," ujar Kinan dan mengulurkan tangannya dengan botol air mineral yang Kinan ambilkan juga untuk Dean.
"Yaudah taro aja di meja, nanti gue minum. Lo mau ngabisin donat lo atau lo mau makan yang lain?" tanya Dean lagi. Dean memerhatikan Kinan malah melihat ke arah Dean lurus-lurus. Dean mengernyitkan dahinya. Kinan belum juga ingin menjawab pertanyaannya itu. "Nan."
"Leher Kak Dean kenapa tuh? Kok ungu?"
Oh.
Refleks, Dean langsung menyentuh lehernya dan mengusapnya perlahan. Bekasnya masih baru. Dean berdeham pelan sebelum akhirnya menjawab, "Kena lemparan hape gue." Seharusnya Dean memberikan jawaban lain, tetapi karena ini Kinan yang bertanya dan tidak ada salahnya juga untuk perlahan-perlahan terbuka pada gadis yang berhasil membuat jantung Dean berdetak tidak karuan saat berada di dekatnya, maka kali ini biarlah Kinan mengetahui sedikit demi sedikit tentang dirinya. Tentang kehidupannya yang jauh dari kata baik-baik saja.
"Siapa yang ngelempar emangnya?" Kinan itu gadis yang terlalu sensitif terhadap sesuatu. Mendengar cerita Dean dan melihat bagaimana bekas itu ada di tubuh Dean saja rasanya Kinan ingin menangis. Pasti sakit.
Mendapat pertanyaan itu, Dean diam beberapa saat. Dean bukanlah seseorang yang gampang terbuka. Mudah menceritakan apa pun yang ia alami atau rasakan. Namun, ini jelas saja berbeda. Kinan yang ingin tahu itu. Dan yang Dean rasakan kini ialah tangan Kinan lagi-lagi mengusap bekas lukanya. Dean mengembuskan napas agak berat. "Tadi pagi-pagi banget gue ke bandara nemuin bokap." Dean mengambil jeda sebentar, melihat Kinan yang masih saja mengusap lehernya. "Mungkin bokap kesel sama gue, jadi... ya lo bisa liat sendiri," lanjutnya.
Baru lah Kinan melihat ke arah mata Dean di depannya itu. "Emangnya Kak Dean lagi ngeliat apa sih di hapenya Kak Dean? Terus emang siapa yang Kak Dean lagi chat? Kinan juga bakalan marah kayak Papahnya Kak Dean kalo Kinan lagi ngobrol berdua sama Kak Dean tapi Kak Dean-nya malah maen hape," cerocos Kinan, kali ini dengan wajah kesalnya.
Alis Dean terangkat sebelah. Ini baru pertama kalinya Dean melihat Kinan kesal seperti itu. Kedua pipi Kinan merah. "Lo sadar gak lo ngomong kayak gak napas gitu?"
"Kinan napas kok. Jangan maen hape lagi pas ngobrol sama orang ya, Kak Dean." Masih dengan wajah kesalnya, Kinan berkata seperti itu. "Eh iya, berarti Papahnya Kak Dean ada di sini dong?" Kinan dengan cepatnya merubah ekspresinya. Tatapannya menjadi begitu ingin tahu.
Dean menggelengkan kepalanya. "Enggak. Bokap gak ke sini."
"Ah, Kinan tau nih. Papahnya Kak Dean ke sini cuma mau ngeliat Kak Dean doang ya?"
Butuh waktu lama Dean menyahuti perkataan Kinan tadi. "Gue harap begitu," jawab Dean akhirnya, pelan. Dan Dean mengubah posisi duduknya yang kini ia berbaring pada sofa. "Minjem hape lo dong, Nan."
Kinan tanpa berpikir lagi mengeluarkan ponselnya itu dari saku seragam, memberikannya pada Dean yang sudah mengulurkan tangan kanannya itu. "Nih. Password hape Kinan 123457." Tanpa menunggu Dean untuk bertanya, Kinan langsung memberitahukan Dean perihal kata sandinya.
Mendengar itu, Dean mengalihkan pandangannya dari layar ponsel ke arah Kinan beberapa detik. "Gampang amat. Kalo ada orang bisa buka hape lo gimana?"
Dengan santainya Kinan menjawab, "Biarin aja, di hape Kinan gak ada apa-apanya ini. Tapi Kak Dean jangan buka yang lain-lain." Setelah mengatakan itu, Kinan membuka kotak donat yang berada di atas meja dan mengambil satu donat yang rasa green tea lagi. Memakannya lagi.
"Yang lain-lain itu apa?" Dengan pandangan yang masih ke layar ponsel—Dean sedang mengirimkan pesan singkat ke nomor Mamahnya yang sudah Dean hapal di luar kepala, Dean bertanya.
Kinan memasukkan gigitan terakhir donat yang berada di tangannya. Mengunyahnya perlahan. "Mm.. galeri Kinan. Kak Dean, gak boleh buka itu." Dengan menyipitkan matanya Kinan melihat ke arah Dean yang masih memainkan ponselnya.
"Ada apaan emangnya? Foto lo pas SMP yang nggak boleh gue liat?"
"Nggak cuma itu. Udah selesai belum, Kak Dean?" Kinan membersihkan jari telunjuk dan ibu jarinya dengan tisu basah yang selalu Kinan bawa-bawa di dalam tasnya. Kedua mata Kinan masih mengawasi Dean.
"Bentar."
"Ih, Kak Dean ngapain? Kinan curiga nih sekarang."
"Gue cuma ngirim SMS kok."
Kinan sudah mendekat ke arah Dean. Kinan ingin memastikan bahwa ucapan Dean itu benar. "Perasaan Kinan udah nggak enak nih. Kembaliin hape Kinan." Renggekkan Kinan terdengar. Foto-foto lamanya memang yang membuat Kinan takut dilihat orang lain. Atau lebih tepatnya Kinan malu.
"Bentar dong, Nan."
"Siniin." Kinan sudah tidak bisa menahan untuk tidak langsung mengambil alih ponselnya dari tangan Dean yang sialnya malah Dean jauhkan tangannya itu sebelum Kinan berhasil merebut ponselnya.
Tetapi, bukan itu yang menjadi permasalahannya sekarang. Karena Kinan kini sudah benar-benar di atas tubuh Dean. "Kembaliin hape Kinan, Kak Dean." Renggekkannya terdengar lagi.
Dean menahan napasnya. Mungkin jika Dean memajukkan wajahnya sedikit saja, mereka sudah tidak akan berjarak lagi. Parfum manis Kinan tercium jelas. Tangan kanan Dean menyingkirkan rambut Kinan yang mengenai wajahnya itu. "Kinan," panggil Dean. Kinan menghentikan aksinya, lalu menunduk melihat Dean di bawahnya itu. "Lo terlalu deket." Dean menambahkan.
Kinan mengerjap. "Apa, Kak Dean?"
Dean membawa tangannya untuk mengusap sisi wajah Kinan dan turun ke leher gadis itu, lalu menariknya pelan untuk mendekat ke arah Dean. Dean memiringkan kepalanya. "Lo terlalu deket," bisiknya tepat di telinga kiri gadis itu. Mengucapkan kalimat yang sama.
"Kembaliin hape Kinan dulu."
"Oke. Ini hape lo. Makasih." Dean memberikan ponsel itu ke si empunya dan Kinan akhirnya menjauh dari dirinya. Duduk pada tempat semula seraya men-scroll layar ponsel entah melihat apa.
"Kinan." Dean menggilnya lagi.
"Ya?"
"Gue mau tidur sebentar. Lo boleh kok ngapain aja, asal jangan ke mana-mana, oke?" Dean harus memastikan Kinan menuruti ucapannya itu. "Maksudnya gue jangan keluar dari apart gue," jelas Dean.
Kepalanya Kinan mengangguk. "Tuh kan bener Kak Dean ngantuk. Yaudah tidur dulu aja, Kinan mau nonton TV."
"Banyak DVD punya keponakan gue tuh di sana." Dengan dagunya, Dean menunjuk ke arah rak di bawah TV-nya itu. "Lo nonton aja yang lo mau. Gue tidur ya?"
Senyuman Kinan terlihat. "Iya, Kak Dean."
...
"Semuanya bukan salah kamu!"
"Sekarang kita cari jalan keluarnya, oke?"
"Nggak akan ada tau soal ini. Aku bisa pastiin."
"Tolong aku, sekali aja."
"Tolong."
"Kak Dean, bangun!" Kinan menepuk pelan pipi Dean itu. Wajah Dean sudah dibanjiri keringat. Kinan tentu saja agak panik melihat Dean yang bergerak gelisah. Pasti Dean sedang mimpi buruk, hanya itu yang ada dipikiran Kinan.
Kinan masih terus mencoba membangunkan Dean dan genggaman erat tangan Dean memberitahukan Kinan bahwa Dean sudah terbangun. Kinan dapat melihat juga kelopak mata Dean perlahan-lahan terbuka. Ketakutan masih ada pada sorot mata Dean di sana. "Kak Dean, nggak kenapa-kenapa kok. Kak Dean cuma mimpi buruk aja. Kinan juga pernah kayak gitu. Kak Dean, mau minum dulu? Kinan ambilin—"
"Gak perlu, Nan," potong Dean cepat sebelum Kinan dapat menyelesaikan ucapannya.
Kinan bisa melihat dengan jelas bagaimana Dean masih terlihat begitu tidak nyaman. Genggaman tangannya saja sekarang mengerat, Kinan juga dapat merasakan itu. Kinan ingat saat Kinan juga mengalami mimpi buruk dan hanya ada Ayahnya di sampingnya, Ayahnya langsung memeluk Kinan hingga Kinan tertidur kembali. Kinan menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya mengatakan, "Kak Dean, sini Kinan peluk."
Kinan tidak ingin berkata-kata lagi atau sekadar menanyakan mimpi buruk seperti apa yang Dean alami beberapa menit yang lalu. Kinan hanya membungkam mulutnya seraya kedua tangannya memeluk leher Dean itu, memberikan satu tindakan langsung untuk membuat Dean setidaknya merasa tenang. Dan Kinan juga lama-lama merasakan bagaimana napas Dean kini sudah mulai teratur.
"Mimpinya muncul bukan satu atau dua kali aja, Nan. Tapi berkali-kali." Dean mulai membuka suaranya kembali. Dan pernyataan Dean memang benar. Semua orang mempunyai ketakutannya masing-masing dan inilah ketakutan Dean. Setiap dirinya tertidur pasti mimpi buruk yang sama menghampirinya. Berulang-ulang. Mimpi yang Dean alami memang mimpi terburuk dari segala mimpi buruk lainnya.
"Kak Dean."
Menanggapi panggilan Kinan, Dean hanya merespons dengan bergumam. "Hm?"
"Seenggaknya itu cuma mimpi, kan? Kak Dean, bakalan baik-baik aja. Kalo mimpinya dateng lagi Kak Dean boleh manggil Kinan supaya Kinan bisa meluk Kak Dean kayak gini."
He doesn't deserve someone like her. Dean langsung berpikir seperti itu. Bagaimana dengan polosnya Kinan berkata begitu dan memang hanya itu yang Dean butuhkan. Seseorang yang mengatakan bahwa dirinya akan baik-baik saja. "Walaupun lagi malem-malem lo bakalan nemuin gue?" Dean tentu saja tidak sepenuhnya benar-benar dengan pertanyaannya barusan.
Tetapi Dean merasakan kepala Kinan mengangguk. "Kalo Ayah ada di rumah terus bisa nganterin Kinan ke sini, Kinan bakalan nemuin Kak Dean," jawab Kinan dengan lancarnya.
Kepala Dean menggeleng "Jangan."
Kinan mengernyit. "Kenapa?"
"Nggak enak lah sama Om Adam."
"Kalo nggak Kinan bakalan dianterin sama—"
"Jangan dia juga," tukas Dean seakan sudah mengetahui nama yang akan Kinan sebutkan itu.
Masih dengan mengkerutkan dahinya, Kinan bertanya, "Emang dia siapa?"
"Siapa?" Dean bertanya balik.
"Abang gojek."
Dean manggut-manggut. "Lo jangan nyamperin gue, gue aja nanti yang nyamperin lo ya?"
Dengan kakunya, Kinan mengusap belakang kepala Dean. "Oke, Kinan harus ngapain nih sekarang?" tanya Kinan kemudian, karena jujur saja Kinan bingung berada disituasi seperti ini.
"Lo nggak perlu ngapa-ngapain. Lo di deket gue aja dulu. Jangan ke mana-mana."
Mendengar itu, Kinan mengangkat kedua sudut bibirnya. "Iya.. iya Kinan di deket Kak Dean. Emangnya Kinan bakalan ke mana?"
"Iya. Lo nggak akan ke mana-mana juga, kan?"
"Bener. Kinan nggak akan ke mana-mana."
"Gue gak mau lo ke mana-mana."
...
Setelah mengantarkan Kinan pulang dan mengobrol sebentar dengan Adam, Dean langsung kembali ke apartemennya. Dan malam ini, Dean baru saja selesai mandi. Masih mengenakan celana pendek dengan kaus putih polosnya serta menggosok-gosokkan rambut basahnya dengan handuk, Dean berjalan menuju ke arah dapur dan tidak Dean sangka sebelumnya di sana sudah ada Abby sedang duduk di depan meja bar dengan senyuman lebarnya, menyambut Dean.
"Kamu udah makan belum? Aku bawain kamu ayam bakar madu nih." Abby mengeluarkan suaranya dan melihat Dean berjalan ke arah lemari pendingin untuk mengambil soft drink di sana. Lalu, duduk di samping Abby. Seketika itu juga, bau khas sampo menguar di indra penciumannya.
Ayam bakar madu? Hm.
"Gimana tadi kalo gue udah makan?" Dean bertanya dan mendekatkan piring putih berisikan nasi dan ayam bakar madu itu ke hadapannya.
Abby menahan senyumannya melihat Dean yang kini sudah menyuapkan makanan yang Abby bawa ke dalam mulutnya itu. "Yaa.. bakalan aku lah yang abisin. Eh iya, kenapa tumben banget sih kamu gak aktifin hape kamu? Ada yang ganggu kamu lagi ya?" Dari tadi pagi hingga malam seperti ini Abby sudah menghubungi Dean tetapi malah operator yang terus-terusan menjawab panggilan Abby itu.
"Hape gue rusak."
Mendengar jawaban Dean barusan, Abby mengkerutkan dahinya. Belum lama Dean membeli ponsel baru. "Kenapa emangnya?"
Dengan singkatnya Dean menjawab, "Bokap." Dan tidak perlu Dean jabarkan lagi pasti Abby sudah sangat paham apa yang Dean coba jelaskan padanya hanya dengan satu kata itu.
Abby terdiam sebentar. Papahnya Dean itu laki-laki yang sangat sibuk dan kemungkinan ada hal penting sampai membuat dirinya jauh-jauh datang ke sini. Abby mencoba menerka-nerka. "Ah, pantesan. Aku baru aja mau mastiin bener atau enggaknya Om Aiden ke sini. Ternyata bener. You okay?" Dikalimat terakhirnya, Abby memelankan suaranya itu.
"Mhm-mm." Dean sedang mengunyah makanan di dalam mulutnya hanya menyahuti pertanyaan Abby dengan gumaman.
Pandangan Abby jatuh pada leher Dean sekarang. Warna merah keunguan terlihat di sana. "Leher kamu kenapa?" tanya Abby kali ini dengan hati-hati dan belum sempat tangannya mencapai leher Dean itu, suara Dean terdengar.
"Gak usah dipegang, By."
Abby menarik tangannya kembali. Banyak yang dipikirkan Abby saat ini. Tidak mungkin bekas karena.. Abby langsung menggelengkan kepalanya samar. Menjauhkan pikiran liarnya itu. "Oke, sakit gak? Mau aku obatin?"
"Nggak perlu." Udah diobatin tadi sama Kinan, lanjut Dean dalam hati. Dan kemudian bangkit dari kursi menuju ke arah wastafel untuk langsung Dean cuci piring yang ia sudah gunakan itu.
Abby memperhatikan punggung Dean di depannya. Ada banyak kesamaan dirinya dengan Dean yang membuat mereka dekat. Dekat dan berjanji untuk tidak meninggalkan satu sama lain. Dekat dan mencoba untuk selalu ada di masa-masa terpuruk masing-masing. Dekat dan sudah sangat mengerti apa saja yang mereka alami. Hingga Abby mulai menjatuhkan hatinya pada Dean, sedangkan Dean tidak—Abby berpikir begitu. Meskipun terlihat Dean sangat-sangat bersikap cuek padanya tetapi Abby tahu Dean masih peduli terhadapnya.
"By, jangan ngelamun. Nih minum."
Suara Dean menginterupsi lamunan Abby, Abby mengerjapkan matanya berkali-kali dan melihat sudah ada mug putih berisikan hot chamomile tea di hadapannya. Abby menoleh ke arah Dean yang sedang menegak soft drink-nya itu. "Thanks," ujar Abby dan membawa kedua telapak tangannya ke mug itu, yang langsung terasa hangat.
Dean hanya menganggukkan kepalanya saja. Dan tak lama setelah Dean tidak mendengat suara Abby itu, Dean menggerakkan kepalanya ke samping. Melihat Abby yang ternyata melamun lagi, entah apa yang sedang gadis itu pikirkan. "By."
Panggilan Dean belum juga membuat Abby menoleh ke arahnya. "Abriella." Dean memanggilnya sekali lagi, kali ini berhasil. Abby langsung melihat ke arah Dean.
"Kenapa?"
Dean mengusap bibirnya dengan punggung tangannya itu. "Gue yang seharusnya nanya, lo kenapa? Ada yang ganggu lo?"
Kepala Abby menggeleng. "Enggak ada."
"Tuh cowok nyakitin lo?" Untuk pertanyaan yang satu itu, Dean melihat ke depannya.
"Sean?" tanya Abby memastikan. Terlihat Dean mengangkat kedua bahunya. Abby menggeleng lagi. "Enggak juga."
"Terus?"
"Aku lagi mikirin kamu," jawab Abby. Akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulutnya. Dean memilih diam. Abby mengeluarkan suaranya kembali. "Dean, kamu bener kan nggak kenapa-kenapa?"
Dean mengubah posisinya untuk menghadap ke arah Abby, menatap netra cokelat Abby lurus-lurus. "Lo pikir gue kenapa?"
Sebenarnya Abby sudah sangat sering mendapatkan Dean yang melihatnya lekat-lekat begini. Tetapi Abby masih bisa merasakan perasaan aneh itu. Abby bergerak tidak nyaman. Demi menutupi kegugupannya itu, Abby meraih mug lalu menyesap teh hangat itu lamat-lamat. "Ada yang mau kamu ceritain mungkin?"
Di depan Abby, Dean berdeham pelan. Lalu, menyisir rambutnya yang sudah agak kering itu ke belakang. "Kinan."
"Apa?" Abby sontak bertanya. Memastikan bahwa pendengarannya tidak salah.
"Gue takut ngelakuin kesalahan, By."
Sori typo cyin, baru selesai banget aku ketik nih.
Gimana sama part ini? Masih suka kan ya?
Apa udah bosen?🙈🙈
Di part ini juga kita kenalan dengan Dean ya sedikit-sedikit ehe
Dipart ini kalian penasaran sama yang mana nih?
Tuh yang kangen Abby-Dean aku udah bikinin wkwkkwwk
Coba satu kata untuk Kinan dipart ini?
Dean?
Abby?
[ Ngaca ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro