like to be you
Bagian 18 |
can I kiss you or not?
Akhirnya malming aku up. Nungguin gak? Nungguin gak?
Sori lama ya hiks. Vote dan komen lagi dund✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
"Jangan ngeliatin dia."
Kinan yang mendengar suara Rama di hadapannya pun langsung mengalihkan pandangan ke arah mata Rama lurus-lurus. Istirahat kali ini Kinan memang ditemani oleh Rama, sedang Flora dan Viorent yang katanya mau menemui Kinan tetapi hingga saat ini kedua teman Kinan itu belum terlihat juga. Tadinya Kinan sedang melihat ke arah Dean dan Gio yang bertepatan duduk di belakang Rama. Kinan bingung yang dimaksud Rama dengan 'dia' itu siapa. Kinan memilih untuk memasukkan mie ayam yang Kinan ingini sejak pelajaran berlangsung itu ke dalam mulutnya.
Kantin lantai satu ini memang kebanyakan senior-senior Kinan. Jarang sekali anak kelas 1 dan 2 yang terlihat kecuali Gio. Kinan melihat ke arah laki-laki itu lagi. Gio yang sedang duduk di atas meja kantin, tertawa-tawa juga bersama teman-temannya dan yang pasti ada Sandra di sana. Tanpa Kinan duga sebelumnya Gio menoleh ke arah Kinan yang anehnya sekarang Gio malah memperlihatkan senyumannya itu, Kinan menundukkan kepalanya cepat-cepat dan menggenggam erat-erat sumpit di tangannya. Dasar bunglon! cerca Kinan dalam hati.
Dan tak jauh dari meja Gio sudah ada Dean. Entahlah, Dean menyadari kehadiran Kinan atau tidak tetapi yang pasti Kinan melihat Dean terus-terusan memainkan ponselnya itu, sesekali juga menyahuti perkataan teman-temannya lalu berkutat lagi dengan benda pipih itu. Dan Kinan dengan bodohnya mengeluarkan ponsel dari saku seragam, namun Kinan tidak menemukan satu pun notif dari Dean di layar ponselnya.
"Anna."
Mendengar suara Rama yang memanggilnya, Kinan langsung meletakkan ponselnya di atas meja. Melihat ke arah Rama lagi. "Apa, Kak Rama?"
Sebelum menjawab pertanyaan Kinan itu, Rama dengan perlahan menolehkan kepalanya. Melihat ke arah belakangnya itu dan tidak berlangsung lama, Rama memerhatikan Kinan kembali. "Emang bener ya, Anna jadi ikut ekskul baseball?" tanyanya. Hampir saja Rama lupa ingin menanyakan hal ini kepada Kinan.
Diberi pertanyaan seperti itu, Kinan mengernyit samar. Seingatnya, Kinan memang belum menceritakan pada Rama perihal Kinan sudah mendaftarkan diri di ekskul apa. Kemudian, kepalanya mengangguk. "Ah iya, Anna belum ngasih tau Kak Rama kalo Anna jadinya masuk ekskul baseball. Tapi Kak Rama tau dari mana emangnya?" Kinan bertanya balik.
"Ola. Jadi, kapan mulai ekskulnya?" Rama memberikan Kinan pertanyaan lain. Sebenarnya Rama lebih memilih Kinan untuk masuk ke dalam ekskul basket bersama dirinya. Rama bisa dengan leluasa juga menjaga Kinan. Hanya itu yang Rama pikirkan.
Kinan dengan senyum lebarnya, menjawab, "Minggu depan!" Kinan tentu saja senang. Bertemu teman-teman baru di ekskulnya. Mencoba pengalaman baru juga. Ditambah ada seseorang yang membuat diri Kinan semangat. Kinan melihat ke arah belakang Rama lagi.
"Ayah setuju?"
Pertanyaan Rama kali ini, membuat Kinan langsung menghilangkan senyuman lebar di wajahnya itu. Kepalanya lagi-lagi menangguk. "Kata Ayah, Anna boleh kok masuk ekskul apa aja yang Anna mau." Dan itu memang benar. Kinan mendengar kalimat itu dari Adam sendiri saat Kinan pertama kali mendaftarkan diri diekskul baseball.
Rama manggut-manggut. "Chat Kak Rama ya, kalo misalkan Anna mau dianter buat ekskul. Nanti Kak Rama tungguin sampe selesai, biar Anna gak pulang sendiri," kata Rama seraya menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum tipis.
Kinan yang mendengar itu langsung saja berujar, "Jangan!" Dan itu kelewat cepat. Hingga Kinan bisa melihat Rama mengubah ekspresinya. "Maksud Anna, Kak Rama gak perlu anter-jemput Anna pas ekskul. Anna ada temennya kok," ralat Kinan. Wajahnya, ia buat semeyakinkan mungkin dan berharap Rama berubah pikiran. Tetapi justru Kinan mendapatkan pertanyaan lain dari Rama yang berhasil membuat Kinan membungkam mulutnya.
"Kenapa emangnya kalo Kak Rama yang anter-jemput?"
Kinan tidak mempunyai alasan lain di otaknya sekarang. Ia menggigit bagian dalam bibirnya sebelum akhirnya mengucapkan, "Ya.. nggak kenapa-kenapa juga." Gagal sudah apa yang telah Kinan rencanakan. Sebenarnya Kinan juga tidak terlalu ingin Rama ada di dekatnya terus-menerus. Bukan karena apa-apa, hanya saja tidak harus selalu berada di samping Kinan.
Rama mengembuskan napas pelannya. "Kita udah pernah bicarain ini kan, Ann? Anna pasti inget. Ini bukan buat Kak Rama sendiri. Buat Ayah Anna, buat diri Anna yang terpenting. Kak Rama cuma pengen jagain Anna aja." Dari penglihatan Rama sekarang Kinan mencoba menghindari kontak mata dengan dirinya. "Kak Rama gak mau Anna kenapa-kenapa juga," lanjut Rama.
Ucapan Rama berhasil membuat Kinan terdiam beberapa saat. Seharusnya Kinan senang dan tak perlu khawatir lagi jika ada Rama yang selalu ada untuknya. Yang selalu ada saat Kinan sedang butuh-butuhnya. Namun, ada satu hal yang masih saja mengganjal dan Kinan mencoba mencari tahu lagi. "Anna masih belum ngerti," ujar Kinan masih belum juga ingin melihat ke arah lawan bicaranya. Kepala menunduk.
Hingga saat ini belum ada yang ingin memberitahukan Kinan alasan-alasannya.
"Sama yang mana? Tanya aja, bakalan Kak Rama jawab."
Kinan menggelengkan kepalanya. "Kak Rama selalu gak mau jawab pertanyaan yang udah Anna tanyain berkali-kali." Respons Rama tetap sama; menghindar.
"Yang mana?"
"Karena apa?" tantang Kinan.
Rama yang sekarang mengalihkan pandangannya dari mata Kinan. "Ann—"
Tuh kan.
Kinan bangkit. "Anna mau ke toilet dulu." Setelah mengatakan itu, Kinan langsung menarik langkah menjauh dari Rama.
Satu hal yang Kinan tidak suka dari Rama ialah laki-laki itu masih tetap saja menyembunyikan hal—yang mungkin, penting dan berhak Kinan ketahui juga. Kinan membuka pintu toilet dan langsung memutar keran di wastafel. Membasuh wajahnya. Menghapus air mata yang jatuh berkali-kali. Lalu, melihat pantulan dirinya di cermin. Mengambil tisu di saku seragamnya dan mengusap wajahnya yang basah itu.
Lo selalu baik-baik aja. Kinan selalu baik-baik aja.
Iya kah?
Kinan sendiri saja masih belum yakin.
Kemudian, Kinan berjalan ke arah pintu. Semoga Rama tidak mengikutinya hingga ke sini. Dan terkesiaplah Kinan melihat laki-laki yang sudah berdiri di depannya ketika Kinan baru saja membuka pintu. "Gio?"
Gio tidak menyahuti perkataan Kinan itu, karena Gio langsung berkata, "Pulang sekolah temuin gue di lantai dua. Kelas yang paling pojok."
...
"Gio." Kinan memanggil laki-laki yang terlihat sedang duduk di atas meja sambil bermain dengan ponselnya. Kinan menyetujui untuk menemui Gio selepas pulang sekolah di kelas yang berada di lantai dua. Kelas Kinan saat kelas 10. Merasa tidak direspons, Kinan melangkah mendekat ke arah Gio yang masih saja menunduk itu. Hingga ketika Kinan mencapai pintu kelas, Gio baru membuka suaranya.
"Tutup pintunya." Gio mengatakan itu dengan pandangan yang tetap fokus pada layar ponsel.
Lantas, Kinan melihat pintu di sampingnya dan melihat Gio di depan sana secara bergantian. "Nggak usah ditutup, Gio." Kinan melangkahkan kakinya lagi. Tidak biasanya juga Gio memanggilnya apalagi sampai tersenyum padanya saat istirahat tadi. Kinan patut curiga jika seperti ini. Karena tidak pernah sekali pun dari kelas satu hingga sekarang Gio bersikap baik padanya di sekolah. Mengobrol dengan Kinan saja rasanya malas.
"AC-nya nyala kok jadi lo gak akan kegerahan. Tutup aja pintunya."
Mendengar ucapan Gio barusan, Kinan berhenti berjalan lagi. "Kenapa harus ditutup juga? Kayak gini aja."
"Tutup. Pintunya. Kinan," balas Gio dengan penekanan disetiap kata yang keluar dari mulutnya. Masih belum ingin juga melihat Kinan yang sudah terlihat kesal di sana.
Mau tidak mau Kinan menuruti perkataan Gio itu, Kinan berbalik dan menutup pintu kelas rapat-rapat. Memastikan juga Gio dapat mendengar itu.
"Gio lagi ngapain?" Rasa penasaran Kinan mengalahkan amarah yang ingin sekali Kinan lampiaskan kepada Gio yang berada di sebelahnya. Kini Kinan memang sudah duduk di samping Gio dengan kepala yang Kinan miringkan supaya bisa melihat apa yang membuat Gio tidak mengalihkan pandangannya selain layar ponselnya itu.
Gio justru menolehkan kepalanya dan mengulurkan ponselnya itu ke arah Kinan. "Gue lagi main game. Mau coba?" Tidak ada sentakkan atau perkataan yang bisa membuat Kinan kesal, malah Gio terlihat lebih santai meskipun ketika melihat Kinan masih saja dengan tatapan yang agak membuat Kinan takut.
Kinan memerhatikan layar ponsel Gio di depannya. "Susah gak?" tanyanya dan mengambil alih ponsel Gio dari tangan laki-laki itu. Lalu, yang Kinan rasakan kini Gio mendekat ke arahnya hingga lengan mereka bersentuhan.
"Enggak susah. Sini gue ajarin." Gio menarik pergelangan tangan Kinan yang sedang memegang ponselnya itu. "Kalo lo mau jalanin mobilnya teken gasnya. Yang ini rem. Lo bisa lah ya buat ngendaliin stirnya. Coba tuh." Dan melepaskan tangan Kinan itu perlahan.
Jika sedang baik seperti ini Gio keliatan manis kok. Coba sikapnya baik terus seperti sekarang. Tidak galak, tidak suka berkelahi, dan yang paling penting tidak suka marah-marah sama Kinan, pasti bakalan banyak lagi yang suka. Sayang saja, Gio itu anak yang menganut 'senggol dikit bacok' melalui tatapannya. Ya, sayang saja. Kemudian, Kinan mencoba mempraktikkan yang Gio sudah ajarkan padanya tadi. Mencoba game di ponsel laki-laki itu. "Kinan kayak lagi belajar nyetir mobil." Senyuman Kinan lalu terlihat.
Seraya masih mengamati Kinan di sebelahnya, Gio menyahut, "Coba mobil beneran dong. Nebeng mulu." Itu sekaligus sindiran.
Kepala Kinan menggeleng dua kali. "Kinan belum dibolehin sama Ayah tau."
"Karena lo-nya aja kali gak mau? Mau gue ajarin?" Pertanyaan itu langsung terlontar begitu saja dari mulut Gio.
Mendengar itu, Kinan langsung menengok ke arah Gio dengan cepat lalu melihat kaki laki-laki itu yang masih diperban. "Sama kaki Gio yang lagi kayak gitu?"
Gio berdecak. "Ya nanti lah kalo kaki gue udah sembuh."
Kinan fokus lagi pada layar ponsel di tangannya. Tak lama Kinan menggelengkan kepala. "Enggak deh. Kinan takut." Membayangkannya saja Kinan ngeri.
"Lo gak akan pernah bisa kalo lo takut mulu."
"Mhm-mm." Kinan merespons perkataan Gio tadi hanya dengan bergumam.
Gio tidak membuka suaranya lagi. Pandangannya Gio alihkan ke arah depan sana atau lebih tepatnya melihat ke arah peta dunia yang berukuran besar itu. Sebenarnya bukan tanpa alasan Gio menyuruh Kinan untuk menemuinya. Hal yang tidak pernah juga Gio lakukan. Tetapi gadis itu harus tahu sesuatu. Kemudian, Gio memerhatikan Kinan kembali. Dari sisi wajahnya yang tertutup rambut panjang lalu jatuh ke leher Kinan yang langsung membuat Gio penasaran. Ada plester di sana. "Leher lo kenapa tuh?" Meskipun Kinan sudah berusaha menutupi, tetapi warna merah keunguannya masih dapat dilihat jelas oleh Gio dari jarak sedekat ini.
Dan yang Kinan tahu tangan Gio menyingkirkan rambut panjang Kinan yang berusaha menutupi lehernya itu. "Jangan dipegang." Kinan menghindar saat tangan Gio menyentuh lehernya.
Gio menarik tangannya kembali. Ia mengernyit samar. "Abis dicupang siapa lo?"
"Ini bukan karena ikan cupang, ini karena dicakar pororo."
Kerutan di dahi Gio semakin terlihat "Pororo siapa?"
"Kura-kura punya Kinan ih!" Sudah terdengar agak kesal sekarang suara Kinan. Tidak bisa fokus juga dengan game yang sedang ia mainkan.
Gio langsung saja mengeluarkan kekehannya. Lalu tersenyum masam. "Ya kali karena kura-kura. Lo pikir gue bego apa?"
Kinan tidak ingin membalas perkataan Gio itu karena yang Kinan lakukan adalah mendekatkan ponsel Gio ke arah laki-laki itu. "Gio, kok ini jadi kayak gini sih? Kinan mau main dari awal lagi aja." Mobil yang Kinan kendarai terlihat menabrak tiang.
Gio mengatur ulang game di ponselnya seperti yang Kinan ingini. "Udah tuh."
"Gio, mau ngomong apa? Kinan udah mau pulang nih." Kedua kaki Kinan yang menggantung bergerak ke depan lalu ke belakang. Kali ini Kinan mencoba fokus untuk mengendari mobilnya lagi.
"Lo laper gak? Mau gue beliin makan di kantin dulu?"
Kinan merasa Gio sedang mengulur-ngulur waktu, maka Kinan dengan gregetnya memanggil nama laki-laki itu dengan sedikit kesal. "Gio."
"Ya kali aja kan lo laper. Gue beliin makan gak mau." Gio mendengus dan melihat Kinan memutar kedua bola matanya.
Setelah itu, Gio menarik napas dan mengembuskannya dengan pendek. "Lo tau siapa yang bikin kaki gue sampe kayak gini? Bikin gue masuk ke RS juga. Tau siapa?" tanyanya, kini dengan nada yang serius.
Kinan mengenggam erat-erat ponsel Gio dengan kedua tangannya yang Kinan jatuhkan dikedua pahanya itu. Menatap mata Gio di depannya. "Siapa?"
Sudut kiri bibir Gio terangkat sedikit. "Coba sebutin cowok yang deket banget sama lo."
"Kak Rama?"
Dan semakin lebarnya senyuman Gio. Lalu tangannya sudah berada di atas kepala Kinan. Mengacak-acak rambut gadis itu hingga berantakkan. "Tumben langsung nyambung," katanya. Kemudian Gio terkekeh sebentar.
Kinan di sebelahnya mengernyit dengan perubahan sikap Gio di sampingnya dan langsung merapikan lagi rambutnya itu. "Sabar.. sabar. Semoga Kinan bisa nahan buat gak langsung nendang kakinya Gio. Amin."
"Coba kalo berani tendang kaki gue."
"Enggak jadi deh." Kinan sudah agak menjauhkan kepalanya dari Gio. Takut saja tiba-tiba tangan Gio melayang ke wajahnya. Walaupun itu tidak mungkin juga sih. Tetapi Kinan harus tetap berjaga-jaga.
"Kak Rama lo itu gak ada baik-baiknya, Kinan. Kalo lo mau tau aja sih. Kalo bisa lo usah deket-deket sama dia."
Kinan terdiam sebentar. "Gimana bisa Kinan gak deket-deket sama Kak Rama sih?"
"Emang gak bisa?"
"Enggak."
Tetapi pasti Kinan salah mengartikan ucapan Gio tadi.
...
"Dor!" Kedua tangan Kinan sudah berada di pundak Dean yang sedang menghadap ke depan itu. Berdiri di dekat pagar pembatas lantai tiga, depan kelas Kinan. Sudah memakai hoodie hitamnya dan juga memegang tas ransel putih Kinan.
Dean berbalik dengan tangan yang menggenggam tangan Kinan yang Dean ambil dari pundaknya itu. Terlihat Kinan sudah tersenyum lebar di depannya. Dean dengan gemasnya menarik ujung rambut Kinan. Bisa-bisanya membuat Dean menunggu seperti ini. "Dari mana aja, Nan?" tanya Dean, kemudian memberikan Kinan tas ranselnya yang langsung Kinan pakai.
"Kinan tadi abis nemuin temen sekelas Kinan yang super duper nyebelin banget. Kak Dean, pasti kalo ketemu dia juga bakalan kesel kayak Kinan. Padahal baru masuk anaknya, tapi bisa banget buat Kinan pengen tendang kakinya. Ish!" Kinan berceloteh sambil berjalan bersisian dengan Dean yang mendengarkan ceritanya itu. Kepala Kinan lalu mendongak melihat ke arah Dean sebentar. "Eh iya, namanya Gio. Kak Dean, kenal nggak?"
Alis Dean terangkat sebelah. "Gio?"
Kinan mengganggukkan kepalanya dua kali. "Mhm-mm."
"Enggak."
Senyum Kinan terlihat kembali di wajahnya. "Bagus deh kalo gitu, jangan sampe Kak Dean kenalan sama Gio. Nanti Kak Dean ketularan bandelnya Gio lagi."
Dean terlihat manggut-manggut dan ketika mereka sudah berada di koridor lantai satu, Kinan berjalan menghadap ke arah Dean di depannya. Berjalan mundur. "Kak Dean, gak lama kan nunggu Kinannya?"
"Enggak. Lo aus?" Dean memberikan Kinan pertanyaan lain.
"Aus!"
"Beli minum dulu mau?"
"Mau!"
"Sama es krim stoberi mau?"
Kinan mengangguk antusias. "Mauuuu! Kinan juga lagi kesel sih. Ayo Kak Dean, beli sekarang. Keburu abis nanti!" Lalu, Kinan menarik lengan Dean. Seperti yang selalu ia lakukan. Tidak melepaskan lengan Dean juga dari sekolah hingga ke minimarket depan. Dan melepaskan kedua tangannya saat mereka sudah mencapai mobil Dean di parkiran. Dean hanya membiarkan.
"Besok jangan lupa ya." Dean membuka suaranya. Mereka sudah berada di dalam mobil. Dean juga belum ingin mengendarai mobilnya cepat-cepat untuk menjauh dari parkiran Pertiwi. Ada yang ingin Dean bicarakan juga bersama dengan Kinan.
Kinan di sebelahnya yang sibuk menjilati es krim storberi kesukaannya itu menoleh ke arah Dean yang lebih dulu melihat ke arahnya. "Jangan lupa besok Kak Dean mau ngajak Kinan jalan?" tebak Kinan dengan senyum lebar sampai memperlihatkan gigi-gigi kecilnya itu.
"Pinter."
Ekspresi Kinan langsung berubah. Kinan cemberut sekarang. "Yeee, itu nyindir Kinan ya?!"
"Lo ngerasa kesindir?"
Kedua bahu Kinan terangkat. "Emangnya Kak Dean mau ngajakin Kinan ke mana?" Setelah itu, Kinan menjilat lagi es krim di tangannya. Lupa akan kekesalannya beberapa detik yang lalu.
"Ke mana aja." Dean menjawabnya dengan asal.
Kinan mengernyit. "Ke mana aja itu ke mana?"
"Ke mana-mana."
Kinan cemberut lagi. "Nyebelin banget sih jawabannya!" Dan itu dengan nada yang kesal. Biar Dean merasa juga.
"Lo kesel?"
"Coba liat baik-baik muka Kinan." Kinan bergerak untuk mengubah posisinya untuk menghadap ke arah Dean sepenuhnya.
Dean melakukan hal yang sama. Sisi kepalanya Dean sandarkan ke jok. Mengamati wajah Kinan lekat-lekat. Dean bisa melakukannya dengan jangka waktu yang lama jika Kinan ingin. "Lucu?"
Kinan menggeleng. "Ih, ini Kinan lagi kesel tau!"
"Emang ya?" Karena yang terlihat di depan Dean sekarang ialah seorang gadis yang dengan bisanya membuat jantung Dean berdegup tidak karuan sedang melihat ke arah Dean dengan wajah lucunya itu ditambah pipinya yang memerah.
"Muka Kak Dean nyebelin banget. Rasanya Kinan pengen gigit sekarang!"
Sekarang?
Lagi-lagi, sebelah alis Dean terangkat tinggi. "Itu yang gue rasain juga pas ngeliat lo. Gue gigit boleh?"
Dengan gelengan kepala serta senyum yang Kinan tahan, Kinan menjawab, "Enggak." Dan langsung mengalihkan pandangannya dari wajah Dean itu.
Dean ingin menyahuti perkataan Kinan, tertunda ketika Dean merasakan ponselnya bergetar dan di sana ada notif dari Matthew. "Sebentar, Nan." Dean melihat ke arah Kinan sekilas lalu dengan cepatnya mengetikkan balasan untuk Matthew itu. Lagi-lagi ancaman yang Dean dapat. Dan yang membuat Dean mengencangkan rahangnya adalah ada foto Kinan lagi yang Matthew kirimkan.
Itu juga yang membuat Dean terus fokus ke ponselnya bahkan sampai istirahat sekalipun. Matthew memang tidak pernah ingin membuat hidup Dean tenang semenjak Dean pindah ke Pertiwi. Dean menghela napas pelan. Shit! Shit! Shit! umpat Dean berkali-kali dalam hati.
"Gue langsung nganterin lo pulang aja ya, Nan." Dean membuka suaranya kembali dan menonaktifkan ponselnya yang ia masukkan ke saku hoodie.
Dan Dean menghentikan pergerakkannya saat ia ingin memutar kunci mobil ketika dengan pelannya Kinan berkata, "Kinan gak mau ninggalin Kak Dean dulu kalo Kak Dean masih keliatan kesel." Kinan menurunkan kaca dari jendela mobil dan membuang es krimnya yang hanya tinggal cone-nya saja ke tempat sampah yang kebetulan tidak jauh dari mobil Dean terparkir.
Dean mengembuskan napas pelannya. "Gue gak kesel, Kinan."
Kinan bersedekap dada dan melihat jendela mobil di sebelahnya. "Kinan tau kok mana orang yang lagi kesel mana orang yang enggak. Kinan mau nemenin Kak Dean dulu pokoknya. Jangan pulang dulu."
Kinan dan sifat keras kepalanya. Dean memerhatikan Kinan lama. Dan entah mendapat keberanian dari mana, Dean membawa tangannya untuk membuat Kinan melihat ke arahnya juga. Apa ini terlalu cepat? Terlalu cepat untuk Dean membiarkan Kinan masuk ke dalam kehidupannya? Mengetahui semuanya yang Dean rasakan dan Dean alami?
Tangan Kinan mencengkeram sisi hoodie yang Dean gunakan saat dirasakannya hangat napas Dean menerpa lembut wajahnya. Dean menatap mata Kinan lalu turun ke bibir gadis itu dan semakin eratlah cengkeraman tangan Kinan ketika Kinan merasakan bibir Dean menempel di ujung bibirnya. Kinan menutup kedua matanya rapat-rapat.
"Oke, lo bener gue kesel sedikit. Lo temenin gue di sini dulu." Dean memberi jeda dan kembali berujar, "Kinan, karena lo gampang nginget sesuatu dan selalu inget itu terus-terusaan, tolong inget ini ya."
Suara Dean lembut sekali saat mengatakan itu. Kinan masih saja menutup kedua matanya. Dan tangan Kinan menarik hoodie Dean untuk membuat Dean mendekat lagi ke arahnya. "Apa?" tanya Kinan dengan tak kalah berbisik.
"Dean sayang Kinan."
Anak orang digantung mulu, Yan;")
Sori banget yang nungguin part Sean-Abby aku tunda dulu ya. Karena akan ada yang iya iya-_-
Gimana sama part ini gengs?
Suka sama scene yang mana?
Kinan-Rama?
Kinan-Gio?
Kinan-Dean?
Lanjut gak cyin?
Kalian penasaran sama yang mana di part ini?
Keluarkan emot kalian untuk part 18 coba? :))
Sori banyak typo
[ Rama ]
[ siapa yang udah nonton aladin? ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro