Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

life of the party

Bagian 40 |
together we can just let go

Main tebak-tebakkan lagi kuy. Terus liat Trailer Lines ya wkwkw

Vote dan komen janlup✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

Dean mengamati Kinan yang terlihat berkali-kali menampilkan senyumannya. Sesekali menengok ke arah Dean. Kinan sore ini sedang memberi makan Sergio di depan sana dengan Pak Theo yang memang bertugas untuk menjaga semua kuda-kuda.

"Siapa namanya?"

Kepala Dean menoleh ke kiri. Di sebelahnya memang ada Adriel. Memerhatikan Kinan juga di sana. "Namanya Kinan, Om." Dean menjawab, beralih lagi melihat Kinan setelah itu.

Adriel manggut-manggut. Ia diam sebentar dan mengatakan, "Kemarin Mikayla ke sini sama Mama kamu, ikut kasih makan Sergio juga. Kangen katanya."

Mendengar itu, Dean menghela napas pelan. Aubrey—Mama Dean, itu memang sangat dekat dengan Mikayla. Dan saat Mikayla pergi yang paling sedih ya Aubrey juga. Menanyakan kabar Mikayla pada Dean berkali-kali. Bahkan menyuruh orang kepercayaannya juga untuk mencari di mana gadis itu berada. Memang sebegitunya.

"Oh," sahut Dean singkat. Enggan untuk membicarakan Mikayla lebih jauh lagi.

"Dulu bukannya kamu ya yang pengen banget Mikayla balik? Kok sekarang malah ngehindarin dia?"

Dean mengernyit. "Om kata siapa?"

"Mama kamu lah. Mikayla cerita juga ke Mama kamu kalo kamu gak mau ketemu sama dia," jelas Adriel.

"Aku udah ketemu sama dia di rumah semalem kok, Om."

"Mama kamu itu jarang keliatan seneng, tapi semenjak ada Mikayla dia jadi beda. Jangan ngerusak kebahagian Mama kamu." Sebelum bangkit, Adriel menepuk bahu Dean dua kali dan pergi untuk menemui Pak Theo di depan sana, menggantikan Kinan yang kini berjalan menuju ke arah Dean.

"Kinan seneng banget. Akhirnya bisa juga ngasih makan Sergio. Makasih, Kak Dean!" ujar Kinan terdengar tulus. Duduk di sebelah Dean dan menerima jus wortel yang Dean berikan.

"Sori baru ngajak lo ke sininya sekarang."

Kinan meletakkan gelas yang tadi ia pegang ke sampingnya dan tersenyum sumringah. "Nggak apa-apa. Yang penting Kak Dean gak lupa sama janji Kak Dean sendiri. Oh ya, tadi Sergionya nurut banget beda sama Pororo yang gak mau Kinan kasih makan," celoteh Kinan.

Terlihat begitu lucu bagaimana Kinan bercerita. Dean bisa mendengar ocehan Kinan tanpa merasa bosan sama sekali. Dan yang Dean lakukan sekarang adalah menyentuh kedua bahu Kinan dan mengarahkan gadis itu untuk membelakanginya. Kinan terlihat kegerahan. Terbukti juga peluh sudah membasahi dahinya.

Seraya mengikat rambut Kinan, Dean mendengarkan lagi suara Kinan yang terdengar.

"Tadi katanya Pak Theo, Kinan boleh ke sini lagi terus kasih makan Sergio. Usap-usap kepalanya Sergio juga. Kak Dean, temenin Kinan ya!"

Kepala Dean mengangguk. "Iya, gue temenin."

Setelah dirasa Dean telah selesai mengikat rambutnya, Kinan mengubah posisinya lagi. Menikmati semilir angin sore yang menerpa wajahnya berkali-kali.

"Lo pernah nanya tentang ini, 'kan?" Dean membuka suaranya dan meyingkirkan rambut yang jatuh di dahinya itu. Memperlihatkan segaris bekas luka di sana.

Kinan menggigit bibir bawahnya dan mengangguk pelan.

Dean mengalihkan pandangannya ke depan sana. Mengembuskan napas yang terkesan berat. Sebelum akhirnya berkata, "Ini karena kecelakaan, Nan. Dan gue inget lo pernah nanya juga kenapa di foto kelurga yang lo liat di apart gue itu gak ada gue-nya." Dean memberi jeda sebentar, melihat Kinan lagi.

Mendengar Dean yang mulai terbuka padanya, Kinan menahan napas beberapa saat.

"Iya, gue bandel gak nurut sama nyokap malah pergi pas mereka mau foto keluarga dan berakhir gue malah nabrak mobil," lanjut Dean.

"Kak Dean gak kenapa-kenapa kan pas itu?" Suara Kinan terdengar pelan.

"Cuma sobek aja di sini." Dean menyentuh kembali bekas luka di dahinya. "Kecelakaan itu juga yang jadi mimpi buruk gue, Nan. Gak pernah bisa ilang. Gue juga ngerasa bersalah."

Kinan semakin kencang menggigit bagian dalam bibirnya.

"Semenjak kejadian itu gue tau gue gak akan bisa lepas gitu aja."

Ketika mengatakan itu, Kinan menatap mata Dean dan benar-benar terlihat penyesalan di sana. Kinan menyentuh lengan kirinya dan memperlihatkan pada Dean bekas lukanya yang berada di sana. Sama seperti punya Dean; bentuk garis memanjang. "Kinan juga punya. Kinan lupa dapet berapa jaitan pas itu. Rasanya sakit banget, Kak Dean." Kedua matanya tahu-tahu sudah terlihat memerah. Menahan tangis.

"Tapi untung aja ada Ayah yang nemenin Kinan. Pas itu juga keliatan Ayah khawatir banget. Kinan baru kali itu ngeliat Ayah nangis." Iya, untuk yang satu itu Kinan tidak akan pernah melupakannya.

"Karena Ayah lo sayang banget sama lo, Nan. Om Adam pasti takut lo kenapa-kenapa."

Kinan manggut-manggut. "Makanya Kinan gak mau ngeliat Ayah nangis lagi. Buat Ayah khawatir lagi." Untuk sekarang ini, Kinan yakin bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa Ayah yang ikut andil. Bukan masalah yang gimana-gimana. Hanya saja, Kinan tidak ingin membebani Ayah lebih.

"Ayo beli es krim!"

Kedua mata Kinan melihat Dean yang sudah berdiri tepat di hadapannya. Kinan mengulurkan kedua tangannya sambil mengulum senyum. "Bangunin Kinan dong."

Dean menuruti permintaan gadis mungil itu. Menarik kedua tangan Kinan hingga Kinan bangun dari tempat duduk. Kemudian berjalan mendahului gadis itu ke arah mobilnya. Lalu, yang Dean rasakan sekarang adalah kedua tangan Kinan memegang bahunya. Masih berjalan di belakang Dean. "Kinan mau es krim stoberi yang ada di cup!"

Kepala Dean menoleh ke belakangnya, Kinan sedang tersenyum lebar. "Kenapa sama yang biasa?" Yang di cone itu.

"Yang di cup lebih banyak isinya. Kinan mau makan es krim yang banyak."

"Oke."

"Dadah Sergio, kapan-kapan kita ketemu lagi!" Kinan menjauhkan satu tangannya pada pundak Dean dan melambaikan tangannya ke arah Sergio di sana.

Kinan benar-benar tidak mengerti dengan apa yang Kinan lewati atau alami atau bertemunya ia dengan orang-orang yang tidak pernah Kinan sangka akan mempengaruhi hidupnya. Dean, contohnya.

Laki-laki yang sekarang Kinan perhatikan dari dalam mobil, baru saja keluar dari minimarket dengan membawa apa yang Kinan ingini tadi.

"Nih, yang lo mau. Di cup."

Tangan Kinan mengambil alih es krim rasa stoberi itu. Tidak keluar dari dalam mobil dan duduk di tempat mereka biasa menghabiskan es krim. Di luar sedang gerimis. Mata Kinan melihat minimarket di depannya.

"Suara orang itu bisa beda dari biasa gak sih, Kak Dean?" tanya Kinan tiba-tiba.

Dean mengamati apa yang sedang lihat kini. "Lo keinget orang itu? Emangnya suaranya gimana?"

Kinan menggelengkan kepalanya. "Kinan... gak terlalu inget suaranya gimana. Tapi sekilas Kinan kayak pernah denger."

"Pas itu ujan juga, 'kan? Mungkin karena itu lo denger suaranya jadi beda?"

Menyetujui ucapan Dean, Kinan mengalihkan pandangannya. Iya, mungkin saja.

Dean mengeluarkan ponselnya. Kinan sedang memakan es krimnya itu. Dean lalu membaca satu pesan singkat yang masuk.

Geraldi : Mikayla ada di apart lo.
Read. 05.12 pm.

...

"Ngapain lagi lo ke sini?"

Sebelum membalikkan tubuhnya menghadap lawan bicaranya itu, Gio mendengus terlebih dahulu dan melihat Rama yang sama sepertinya—masih mengenakan seragam sekolah di sana, terlihat sebuket bunga mawar putih juga di tangan Rama. "Seharusnya gue juga nanya sama lo, Ram. Ngapain lagi lo ke sini?"

Rama terlebih dulu berjalan mendekat. Berjongkok di samping makam bertuliskan Juli Erendira. Meletakkan bunga yang tadi ia bawa. Menutup matanya beberapa saat dan tak lama dirinya berdiri, menghadap ke arah Gio. "Seharusnya dia masih ada di sini kan, Yo? Kalo aja lo gak bunuh dia." Kalimat di akhir, Rama memelankan suaranya.

"Lo masih mikir gue yang udah ngebunuh Juli sedangkan gue sayang sama dia?" Gio menggeleng pelan. Melihat ke arah lain. Tidak mengerti juga mengapa Rama masih saja menyangka bahwa itu Gio.

"Kalo bukan lo siapa lagi emangnya?"

Dan Gio diam. Tidak tahu harus menjawab siapa. Jawabannya saja masih menggantung. Gio mengembuskan napas pendek. Tatapannya berubah menerawang. "Dulu itu gue make mobilnya Sean. Gue gak tau mungkin tuh anak yang mau buat gue mati tapi malah Juli yang kena." Masih belum ingin memandang lawan bicaranya, Gio menjelaskan.

"Karena dia deket-deket sama lo, Yo dia jadi kayak gini. Lo tau siapa yang salah sekarang?" Rama semakin menyudutkan Gio namun memang itu kenyataannya. Gio membawa pengaruh buruk untuk siapa saja.

Dan saat Gio masih dengan keterdiamannya, Rama melanjutkan, "Makanya gue bener-bener gak mau lo deket-deket sama Anna. Gue takut Anna berakhir juga kayak Juli. Ini peringatan gue yang terakhir."

Juli dan Kinan sama-sama gadis yang Rama sayangi. Setelah Juli pergi, hidup Rama tidak sama lagi. Dan ketika tahu Kinan juga dekat dengan Gio tentu saja Rama tidak mengizinkan itu. Terlebih Rama tahu semuanya yang berkaitan dengan Gio.

"Gue sayang Kinan, Ram. Sayang banget. Gue udah nurutin yang lo mau. Apa pernah lo liat gue akhir-akhir ini deket sama Kinan? Enggak, 'kan? Mereka gak bakalan tau juga gue deket sama Kinan. Lo gak usah berlebihan."

Menuruti keinginan Rama; untuk tidak dekat-dekat dengan Kinan—meski Rama tidak tahu bahwa mereka pacaran diam-diam, untuk tidak pernah menemui Sean, dan mengikuti balapan liar yang telah merenggut nyawa Juli.

Dan Gio berusaha untuk mencari tahu setiap sebab yang membuat Juli pergi. Siapa yang merencanakan itu. Tidak pernah juga Gio sendiri yang menginginkan gadis itu berakhir mengenaskan. Penyesalannya sudah terlampau banyak.

Rama tersenyum kecut. "Oh ya? Anna hampir mati kemaren. Bisa lo kasih tau gue itu siapa?" tantangnya.

Diberi pertanyaan seperti itu, kepala Gio menggeleng. "Gue juga gak tau. Tapi gue lagi nyari tau sama temen gue. Kinan gak bakalan ngerasain kayak gitu lagi."

"Sayangnya Anna bisa ngerasain kayak gitu lagi dari lo," sindir Rama dan begitu tepat sasaran.

Gio itu laki-laki kasar yang tidak ada pantas-pantasnya dengan Kinan. Dan Rama tidak segan-segan untuk menyakiti Gio lebih jika dirinya tahu Gio berbuat hal yang tidak-tidak lagi terhadap Kinan.

Dan memang benar apa yang Rama katakan, Gio merasa tersentil juga. Beberapa hari yang lalu juga Gio sempat membuat Kinan kesakitan karena memegang bahu gadis itu terlalu erat. Dan Gio memilih untuk tidak menyahuti perkataan Rama tadi.

"Anna takut banget sama lo, Yo. Lo pernah buat dia ngurung diri di kamar berhari-hari karena lo ngingetin dia sama Bundanya."

Takut.

Kinan takut dengan dirinya. Gio mengingat-ingat itu kapan.

"Lo udah nyakitin dia. Anna udah nyoba buat ngelupain semuanya yang dia alamin dulu tapi dengan gampangnya lo malah ngingetin dia lagi."

Bego banget lo, Yo.

"Anna ketakutan. Terlebih Anna takut sama lo."

Iya, Gio pernah melihat itu dari mata Kinan.

Gio seperti terdorong lagi ke belakang. Memaksanya lagi memasuki lubang hitam yang memang Gio sendiri yang buat. Dalam dan gelap. Gio tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari penyesalan itu.

Satu yang terngiang-ngiang di kepala Gio; Kinan takut padanya.

Gimana sama part ini gais?

Gimana sama trailer lines gais? Wkkwkw

Suka sama part ini gak?

Penasaran gak?

Semoga Malming bisa up lagi soalnya ada yang iya iya❌❌

[ Rama ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro