imagination
Bagian 17 |
a feeling I just can't describe
Yang ini bisa kebaca kan ya? Wkwkwk
Vote dan komen lagi dund
kawan-kawan✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
"Anna, ada yang nyariin tuh di luar."
Kinan yang sedang membalas chat dari Flora di malam ini pun langsung bangkit dari tempat tidurnya. Berjalan menuju ke arah pintu kamar dan menemukan Mba Dewi di sana. "Siapa tuh, Mba?" tanya Kinan dan mengetikkan pesan singkat lagi kepada temannya itu sambil tertawa-tawa.
"Mas Dean. Temuin langsung sana udah ditungguin. Mba ke dapur lagi ya."
Mendengar nama itu disebut, Kinan langsung menjauhkan ponselnya itu dan menahan senyumannya. Lalu, Kinan berjalan di belakang Mba Dewi untuk menuruni anak tangga. "Masih ada susu putih nggak, Mba? Anna mau minum itu sebelum tidur," katanya.
Mba Dewi menoleh ke arah Kinan sebentar. "Masih kok. Nanti Mba bikinin buat Anna ya."
"Makasih, Mba." Kinan memberikan senyuman lebarnya kepada Mba Dewi dan agak berlari menuju ke arah pintu utama. Memakai sandalnya juga untuk menemui Dean yang sudah berada di depan pagar rumahnya. Sedang duduk di kap mobilnya seraya memainkan ponsel.
Kinan mendekat. Dean masih saja fokus ke layar ponselnya hingga suara Kinan terdengar barulah Dean menjauhkan ponselnya itu. "Cie hape baru," ujar Kinan dan berdiri di depan Dean dengan tatapan yang mengarah pada benda mungil warna abu-abu itu.
Dean tidak membalas ucapan Kinan, karena dirinya langsung mengulurkan ponselnya kepada Kinan. "Masukin nomor hape lo," katanya.
Kinan menerima baik ponsel Dean itu. Dengan cepat Kinan memasukkan nomor ponselnya. Lalu, Kinan melihat ke arah Dean yang masih saja memerhatikan dirinya. "Sekalian id Line Kinan juga nggak?" Kinan mengatakan itu seraya tersenyum lebar.
Kepala Dean mengangguk. "Boleh." Di hape Dean yang sedang Kinan pegang memang semuanya serba baru. Dari nomor ponsel, id Line dan semua yang berhubungan dengan aplikasi chat-nya. Untuk ponsel baru ini Dean harap tidak ada nomor nyasar di tengah malam yang mengirimnya pesan singkat tidak jelas lagi. Walaupun sebenarnya Dean tahu kebanyakan yang mengechat-nya itu jika tidak adik kelasnya ya.. perempuan yang Dean sering temui di pub. Hm.
"Oke, Kinan masukkin."
Seraya menunggu Kinan memasukkan id Line-nya itu, Dean mengamati Kinan di hadapannya. Kaus kebesaran berwarna kuning dengan celana pendek yang tertutupi kausnya itu. Rambutnya juga masih tergerai. Bukan tanpa alasan juga Dean menemui Kinan malam ini. Selain karena ia ingin meminta nomor Kinan secara langsung, Dean jadi memikirkan ucapannya sendiri yang ia katakan kepada Abby. "Kok belum tidur, Nan?" Dean membuka suaranya lagi.
Dengan kedua mata yang tidak beralih ke mana-mana selain layar ponsel Dean, Kinan menjawab, "Masih jam delapan tau, Kinan belum ngantuk juga. Nih hapenya Kak Dean."
"Gue gak ganggu lo, kan?" Dean bertanya lagi, memastikan. Kemudian, memasukkan ponselnya ke saku jaket.
Dengan cepat Kinan menggelengkan kepalanya. "Enggak. Duduk di depan rumah Kinan aja yuk, Kak Dean." Kinan sudah menarik ujung jaket Dean itu.
"Iya, lo duluan. Nanti gue nyusul. Ada yang mau gue ambil di dalem mobil."
Kinan membawa tangannya menjauh. "Oke. Kak Dean, mau minum apa? Mau minum susu juga gak?"
Dean baru saja turun dari kap mobil dan akan membuka pintu di sampingnya itu, langsung menoleh lagi ke arah Kinan. "Apa?"
"Minum susu mau?"
"Air putih aja," jawab Dean dan membuka pintu mobil di depannya.
"Jangan lama-lama."
"Iya, nggak lama."
"Jangan bikin Kinan nunggu juga."
Untuk ucapan Kinan yang satu itu, Dean menghentikan pergerakkannya dan memilih untuk menghadap ke arah Kinan lagi. Diam sebentar, lalu mengatakan, "Nungguin gue pasti kok, Nan."
Mendengar perkataan Dean barusan, Kinan menahan senyumannya sebisa mungkin. Kinan meremas ponsel yang sedang ia pegang itu dan berbalik untuk masuk ke dalam rumahnya. Senyum yang Kinan tahan, akhirnya terlihat juga saat membuka pintu rumah.
Sedangkan Dean sendiri kini sedang mengambil satu bunga matahari lengkap dengan pot kecil. Penjual bunga di dekat apartemen Dean yang memberikannya, padahal niat pertama Dean membeli ya memang untuk Kinan. Katya—nama florist yang memberikan bunga matahari itu secara cuma-cuma karena Dean sudah membantu dirinya untuk memindahkan pot-pot berisikan banyak tamanan dari mobil ke tokonya. Tadinya Dean menolak, Dean sudah membawa uang juga. Tetapi karena Katya memaksa, Dean menurut.
Mungkin hal itu memang sederhana, tetapi bagi Dean membantu seseorang dan melihat senyuman orang itu karena dirinya sendiri, Dean jadi ikut senang. Dan Dean akui, Dean adalah seseorang yang jarang sekali ingin berinteraksi dengan banyak orang di sekitarnya. Tetapi, demi membuat Kinan menampilkan senyumannya setelah melihat Dean membawakannya bunga matahari kemarin, Dean mau melakukan hal yang jarang ia lakukan itu.
See? Bagaimana Kinan dapat mengubah hidupnya. Meskipun—lagi-lagi, dalam hal sederhana.
"Kak Dean, sini!" Suara Kinan terdengar. Dirinya sudah duduk di teras dengan satu gelas berisikan susu yang Kinan inginkan dan satu gelas air mineral untuk Dean.
Dean duduk di kursi sebelah Kinan. Belum sempat ia mengeluarkan suaranya, Kinan lebih dulu berujar, "Waaah, bunga mataharinya cantik banget." Bisa dilihat dengan jelas kedua mata Kinan yang berbinar itu. Memandang takjub bunga berwarna kuning yang mirip dengan kaus yang Kinan gunakan.
"Bisa ngerawatnya gak? Kalo bisa gue kasih lo." Dean meletakkan pot kecil itu di atas meja depan Kinan, lalu mengambil gelas berisikan air mineral yang ia minum hingga setengahnya.
Kinan melihat ke arah Dean lalu melihat ke arah bunga di depannya. "Kinan sering kok ngeliatin Oma buat ngerawat bunga. Pokoknya ini buat Kinan ya, Kak Dean!"
Dengan ringannya, Dean menganggukkan kepalanya. Ya emang gue beli buat lo, Nan.
"Ini bisa ngasilin kuaci juga nggak?"
"Apa?"
"Ah nggak jadi. Kinan beli aja deh kuaci di minimarket besok." Kinan mengusap pot hitam itu dengan kedua tangannya. "Kak Dean, malem-malem gini emang mau nganterin Kinan bunga ini ya?"
"Ah, enggak juga."
"Jadi, mau ngapain lagi?"
"Hari Sabtu jalan sama gue, mau?"
...
Di hari Kamis pagi Pertiwi benar-benar heboh. Apalagi murid-murid di kelas Kinan. Bukan apa-apa, hanya saja karena Gio—pentolannya Pertiwi, anak jagoan yang berani berkelahi dengan Senior-Seniornya, anak langganan guru BK, anak yang sering sekali menjadi pusat perhatian itu; entah karena penampilan dan kelakuannya, anak yang diskros kini terlihat berjalan di koridor lantai 3 menuju ke arah kelasnya dengan kruk di kedua tangan. Kabar buruknya, kaki kiri Gio patah. Sedang masa penyembuhan, tapi Gio nekat masuk sekolah. Gabut juga lama-lama di rumah. Makan, tidur dan main game. Toh masa skrosnya juga sudah berakhir.
Levi, teman Gio yang siap membantu Gio jika saja Gio kesulitan untuk menaiki anak tangga sudah terlihat di samping Gio sambil sesekali menahan tawanya itu. Jelas saja ini lucu menurut Levi. "Jagoan apaan begini? Bonyok juga kan lo akhirnya. Sok-sokan masuk segala lagi!"
"Gue kangen lo, Lev. Makanya gue masuk."
"Geli gue. Najis!" cerca Levi.
Menanggapi itu, Gio tertawa. Dan entah Gio sadar atau tidak tawanya mengundang murid-murid perempuan untuk melihat ke arahnya. "Nggaklah, goblok. Gabut gue di rumah. Mana gue gak dikasih jatah. Cewek gue gak pengertian banget emang." Setelah mengatakan itu, Gio menghentikan langkah kakinya dan melihat sudah banyak murid berada di kelasnya. Gio memilih untuk tidak langsung masuk melainkan mendekat ke arah tembok pembatas. Memperhatikan lapangan di bawah sana.
"Cewek lo yang mana?" Levi bertanya dengan pandangan yang mengarah sama seperti Gio.
Seringai Gio terlihat. "Yang itu lah."
Mengerti maksud Gio, Levi mengangkat kedua sudut bibirnya. Pasti si Sandra anak cheers itu. "Makin-makin aja tuh cewek."
Gio tidak lagi menanggapi ucapan Levi tadi karena fokusnya sekarang mengarah pada Rama yang sedang berjalan bersama teman-temannya di koridor lantai satu. "Bangsat emang si Rama!" umpat Gio dengan pandangan yang masih terus memperhatikan Rama di bawah sana.
"Kalo lo udah tau dia bangsat ngapain juga lo malah ladenin?"
Mendengar itu, Gio mendengus keras. "Dia maennya keroyokan, njing bareng temen-temennya! Lo gak tau banyaknya kayak apa. Gue ngeladenin aja kaki gue patah apalagi gak ngeladenin. Lewat kali gue." Gio masih ingat malam itu saat dirinya sedang mengemudikan mobilnya sendirian dalam keadaan mabuk—itu salah satu kebodohannya, tiba-tiba dirinya dihadang oleh mobil lain. Gio keluar dari mobilnya lalu dikeroyok oleh banyaknya orang-orang itu. Salah satu yang Gio masih ingat ada Rama juga di sana. Brengsek!
"Salah lo sendiri ngebuat temen-temennya masuk rumah sakit. Bego sih lo!"
"Kalo mereka gak ngusik gue, gue gak akan ngusik balik," sahut Gio pelan. Di bawah sana Rama terlihat sedang tertawa-tawa bersama teman-temannya itu. Gio memegang kruknya kuat-kuat. Mengalirkan kemarahannya itu. "Kalo bisa pengen gue samperin sekarang. Gue abisin di lapangan. Sayang aja kaki gue lagi kayak gini," lanjutnya.
Levi menggelengkan kepalanya. "Tahan dulu lah, Yo. Si Rama gue yakin—"
Ucapan Levi terhenti saat mendengar suara nyaring dari gadis yang kini terlihat menghampiri mereka berdua dengan tatapan tidak percayanya. Kinan.
"GIO!"
Gio menundukkan kepalanya sebentar. "Astaga! Nih cewek," desisnya.
"Hai, Levi!" sapa Kinan seraya menampilkan senyum lebarnya saat Kinan sudah berada di depan mereka berdua.
Senyum tipis Levi terlihat. "Halo, Adrianna Kinandita," balasnya.
Kinan memerhatikan Gio dari atas sampai bawah dan berakhir pada kedua mata Gio yang sudah menatapnya duluan. "Kinan mau ngomong berdua dulu sama Gio, Levi masuk kelas duluan aja gak apa-apa kok. Nanti biar Kinan yang nganterin Gio ke kelasnya." Ketika mengatakan itu, tatapan Kinan masih lurus melihat ke arah Gio di depannya. Dan saat Kinan tidak mendengar suara Levi, barulah Kinan melihat ke arah teman Gio itu.
Levi mendekat ke arah Gio dan berbisik, "Punya Rama nih, jangan lo embat juga apalagi lo kasarin." Setelah mengatakan itu, Levi mengeluarkan senyum tipisnya untuk Kinan dan melenggang pergi menuju ke kelasnya. Dan ucapan Levi berhasil membuat Gio diam menatap Kinan yang sudah melihat ke arahnya lagi. Dengan senyuman yang selalu Kinan keluarkan.
"Kok Gio udah masuk sekolah sih?"
Gio melirik ke bawah, di sana sudah tidak ada Rama. Gio menarik sudut kiri bibirnya sedikit. "Suka-suka gue lah."
"Emang kakinya Gio udah sembuh?" tanya Kinan lagi.
Diberi pertanyaan seperti itu, Gio menarik napasnya dan mengembuskannya perlahan. "Ya lo liat sendiri aja gue masih pake beginian. Udah sembuh belom menurut lo?" Gio mengangkat salah satu kruknya itu.
Omongan sinis Gio, membuat Kinan memandangnya agak takut kali ini. Kinan menggigit bibir bawahnya. "Kinan kan cuma nanya." Suara Kinan langsung mengecil.
"Pertanyaan lo gak bermutu banget, Kinan."
"Pertanyaan yang bermutu emang gimana? Coba kasih tau Kinan." Tatapan Kinan berubah menjadi ingin tahu. Gio ini memang kebangetan galaknya. Beruntungnya Kinan sabar, jika tidak dari beberapa menit yang lalu sudah Kinan tendang kaki Gio yang diperban itu. Kenapa juga teman-teman Kinan malah suka sama Gio sih?! Udah galak, suka berantem, marahin Kinan mulu bisanya.
Kepala Gio menggeleng. "Nggak ngerti lagi gue sama lo."
"Gak ada yang nyuruh Gio buat ngertiin Kinan kok!" Dan suara Kinan sudah mulai agak kesal lagi. Bete juga sih lama-lama kalau Kinan sudah baik sama ini anak manusia tetapi malah dibalas sinis.
"Tuh tau."
Kinan mengerjap. "Tau apa?"
Sabar, sabar. Gio mengulang kata itu berkali-kali dalam hati. Masih memandang Kinan tanpa ada senyum sama sekali.
"Baru masuk udah marah-marah mulu. Jadi cepet tua lho nanti Gio, mau?" Telunjuk Kinan mengarah pada wajah Gio itu dengan senyumannya yang semakin lebar. Biar Gio tidak kaku-kaku amat lah. Seperti di dekat murid-murid perempuan lain, Gio selalu dengan mudahnya mengeluarkan senyumannya itu. Berbanding balik saat bersama Kinan seperti sekarang.
Gio menyingkirkan telunjuk Kinan itu dari depan wajahnya. "Lo jangan bikin gue kesel makanya."
Oh. Kinan langsung mengerti. "Emangnya Kinan buat Gio kesel ya? Kinan minta maaf deh," ujar Kinan dengan ekspresi bersalahnya.
Bukannya merespons permintaan maaf Kinan itu, Gio justru mulai menggerakkan kruknya. "Minggir."
Kinan memang memberikan Gio jalan, namun dengan cepatnya kedua tangan Kinan sudah berada lengan Gio. Hendak membantu laki-laki itu untuk berjalan. Takut-takut Gio kesulitan atau apa. "Sini biar Kinan bantuin Gio. Gio mau ke kelas, kan?" Kinan bertanya memastikan.
Gio diam lagi. Melihat tangan Kinan lalu wajah gadis itu secara bergantian. "Kinan." Panggilan Gio terdengar seperti sentakkan. Kinan mendongak sedikit. "Lo jangan pegang-pegang gue kayak gini dong. Nanti kalo cewek gue liat gimana?"
Dengan polosnya Kinan menjawab, "Ya.. gak gimana-gimana."
"Sandra bakalan cemburu. Gue gak mau dia marah. Gue bisa ke kelas sendiri."
Sebelum melepaskan tangannya pada lengan Gio, Kinan mengeratkan kedua tangannya itu. Dengan menahan marah Kinan mengatakan, "Yaudah sih, niat Kinan kan baik cuma mau bantuin Gio aja! Sana urusin tuh ceweknya Gio! Terserah!" Lalu, menghentakkan kakinya sekali dan masuk ke dalam kelasnya.
"Dih, kok jadi dia yang marah?" gumam Gio, bingung dan memerhatikan Kinan yang sudah duduk di bangkunya. Melihat Gio dengan tatapan kesalnya itu kemudian beralih menoleh ke arah Flora di sebelahnya.
Gio dengan hati-hati melangkah masuk ke dalam kelas. Kedua matanya tidak pernah lepas dari Kinan yang mencuri-curi pandang lagi ke arahnya, tentu saja masih dengan tatapan kesalnya itu. Ucapan Levi seketika itu juga terngiang di kepala Gio.
Punya Rama nih, jangan lo embat juga apalagi lo kasarin.
Gio duduk di bangkunya. Melihat punggung Kinan. Meja Gio memang ada di barisan paling belakang. Paling pojok. Sudut kiri bibir Gio lagi-lagi terangkat sedikit. Gue kalo maen alus kok, Lev.
...
Seraya bersandar pada pintu mobilnya, Sean mengetikkan pesan singkat untuk seseorang di sana. Mengatakan bahwa Sean sudah berada di dekat Pertiwi. Setelah pesan itu terkirim, Sean lalu mengedarkan pandangannya ke depan gerbang, terlihat murid-murid banyak yang berhamburan di sana. Jelas saja, ini memang waktunya pulang sekolah. Sean memerhatikan satu-satu murid yang keluar itu, berharap penglihatannya menemukan sosok yang sedang Sean tunggu kehadirannya.
"Macet lagi, ngeselin banget sih tas!"
Mendengar suara itu, Sean menoleh lagi ke depannya dan menemukan murid perempuan yang sedang duduk di trotoar sambil membenarkan tas ranselnya. Sean mengamatinya sebentar. Sebelah alisnya terangkat tinggi saat Sean menyadari sesuatu. Sean membungkukkan tubuhnya. "Pulpen lo jatoh nih," kata Sean dan melempar bolpoin dengan tutup bergambar salah satu tokoh disney. Rapunzel.
"Ah, ini emang pulpen Kinan untung aja gak diambil." Kinan langsung saja menangkap pulpen kesayangannya dan segera mengambil tisu basah di dalam tas.
Mendengar ucapan Kinan barusan, sontak saja Sean memandang ke arah Kinan tidak percaya. Apa katanya? Untung tidak Sean ambil pulpennya? Sean menggeleng-gelengkan kepala. "Buat apa juga gue ngambil pulpen begitu?!" sahut Sean dan berdecak. Tatapannya tidak beralih ke mana-mana selain ke arah Kinan yang sekarang sedang membersihkan pulpennya itu dengan tisu basah.
Kinan mendongakkan kepalanya untuk melihat laki-laki dengan tato di lengannya itu. "Ini pulpen Kinan beli dari tabungan sendiri tau. Dua puluh ribu harganya." Kinan mengangkat jari telunjuk serta jari tengahnya ke arah Sean. Pandangannya beralih lagi pada tasnya yang rusak itu.
"Mahal amat. Dari SMA dulu ampe kuliah sekarang pulpen gue harganya cuma goceng."
Kinan melihat ke arah Sean lagi. "Tutupnya gambar Rapunzelnya juga?" tanyanya.
Kepala Sean lantas menggeleng. "Nggak ada lah."
Mengetahui itu, Kinan mendengus dan melihat ke arah tasnya kembali. "Yee, gak usah ngomong tadi."
Sean menahan tawanya kali ini. Ia berdeham pelan dan bertanya, "Kenapa tuh tas lo?" Yang menjadi pusat perhatian Sean sekarang adalah tas ransel putih yang sedang Kinan pangku itu.
Tanpa melihat lawan bicaranya, Kinan menjawab, "Macet resletingnya. Kinan udah benerin gak bisa-bisa. Dikasih oli aja kali ya?"
"Sini."
Kinan tahu-tahu sudah melihat Sean mengulurkan tangan kananya. Melangkahkan kakinya juga untuk mendekat ke arah Kinan. Kinan otomatis memundurkan tubuhnya itu cepat-cepat. "Eh mau ngapain sih? Kakak tato jangan deket-deket," kata Kinan dengan takut-takut.
"Lo mau gue benerin gak tas lo?" Sean masih saja mengulurkan tangan kanannya itu.
"Kata Ayah Kinan jangan deket-deket atau ngobrol sama orang asing. Tapi karena ini keadaan darurat yaudah nih. Tolong benerin ya Kakak tato." Ekspresi Kinan berubah secepat angin sore yang menerpa lembut wajahnya. Kinan kini memperlihatkan senyuman biasa yang selalu Kinan tampilkan.
Sean berjalan mundur hingga punggungnya menyentuh pintu mobilnya. Mulai membenarkan resleting macet di tas ransel Kinan. "Ini mah harus dilem biru," ujarnya. Kedua matanya belum beralih ke mana-mana selain tas putih di tangannya kini.
"Kinan gak punya lem biru."
Sahutan Kinan, Sean respons dengan gelengan kepala. "Maksud gue lempar beli yang baru," jelasnya sambil terkekeh pelan.
"Jangan dilempar juga. Tas ini kan Kinan beli sendiri." Hasil tabungannya. Kinan rela tidak jajan di sekolah selama dua hari. Tidak apa-apa juga harga tasnya murah yang penting Kinan membelinya dari uangnya sendiri. Kinan menjadi tidak sabar juga untuk cepat-cepat masuk kuliah lalu bekerja. Ayah pasti seneng.
"Yaudah sih gak usah nangis." Sean mendengar suara Kinan sudah seperti anak yang sedang menahan tangis. Sean melihat Kinan sekilas lalu beralih melihat ke arah tas putih itu lagi.
"Siapa yang nangis?"
Sean tidak menyahuti perkataan Kinan itu dan tak lama memberikan tas Kinan ke si empunya. "Nih udah bener."
Kinan lantas saja berdiri dan menepuk bagian belakang roknya sebelum akhirnya mengambil alih tas putihnya itu yang sekarang ia peluk. "Assssikkkkkk. Makasih Kakak tato." Senyum lebarnya terlihat.
"Nama gue Sean."
"Dean?"
Sean lagi-lagi menggelengkan kepalanya. "Sean pake S."
Eh apa tadi? Dean?
Kinan manggut-manggut. "Oke, Kak Sean pake S."
"Lucu juga lo." Seringainya Sean keluarkan sekarang.
Setelah mendengar itu, Kinan terdiam sebentar. Lalu, ia mengernyit. Sean? Dean? Kinan lalu melihat ke arah Sean kembali. "Kak Sean, lagi nunggu siapa? Mau Kinan panggilin nggak orang yang lagi Kak Sean tunggu? Itung-itung sebagai rasa terima kasih Kinan. Eh iya, Kinan kenal kok banyak murid-murid di Pertiwi. Sebutin aja namanya." Masih dengan senyumannya, Kinan berkata seperti itu.
Sean berdeham pelan. Ia berpikir sebentar dan satu nama muncul di otaknya. "Ardi. Kenal kan pasti? Panggilin dia coba." Tetapi, tentu saja bukan Ardi yang sedang Sean tunggu kehadirannya.
Raut wajah Kinan berubah sedikit tidak suka. Kinan juga meringis pelan saat mendengar nama itu. "Jangan Kak Ardi deh. Yang laen aja, plis."
"Yaudah gak jadi."
"Bener nih gak jadi?" tanya Kinan memastikan.
"Iyaa nggak jadi."
"Oh ya, Kinan belum kenalan. Nama Kinan, Adrianna Kinandita." Hampir saja Kinan melupakan hal penting yang satu itu jika bertemu seseorang yang baru di hidupnya.
Dengan santainya Sean menyahut, "Iyaa gue tau."
"Kok tau?"
"Tuh." Dagu Sean menunjuk ke arah badge yang berada di seragam Kinan. Terdapat nama lengkap Kinan di sana.
Kinan mengikuti arah dagu Sean itu. "Iya juga." Kinan manggut-manggut lagi.
"Anna!" Panggilan dari arah kanannya membuat Kinan menoleh. Di sana Rama sudah terlihat sedang berdiri di depan mobilnya dengan wajah datarnya itu. Kinan melambaikan tangan kanannya ke arah Rama dengan senyum sumringah lalu melihat ke arah Sean yang ternyata sudah lebih dulu memerhatikan dirinya.
"Kinan pulang dulu ya, Kak Sean pake S. Daaah!" Kali ini lambaian tangannya, Kinan beri untuk Sean. Tak lupa dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.
"Bye, Adri!" Sean agak berteriak saat mengatakan itu karena Kinan yang dengan cepatnya mengambil langkah menjauh dari dirinya.
Sean melihat punggung Kinan yang semakin lama semakin tak terlihat. Masuk ke dalam mobil hitam yang sudah ada Rama di sana dan Sean langsung berpaling, kemudian mengumpat tertahan.
Fak!
Kenapa dah tuh si Sean ((:
Abby-Seannya nanti ya sekarang Kinan-Sean dulu ehe
Asik dah Gio muncul. Akan jadi apa ya dia kira-kira? Hm hm..
Yang ngeship Dean-Kinan belum goyah kan ya?
Mau Dean ajak kemana dah tuh anak🙈🙈
Seperti biasa, siapa yang suka part ini?
Penasaran sama yang mana kalian gais?
Lanjut gak nih?
Coba tunjukkan emot kalian buat part ini gais
[ Sean pake S ]
[ Gio ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro