Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

if you're not the one for me who is

Bagian 52 |
love me, tell me that you'll stay

Kangen gak? Huhu
oh ya ada revisi sedikit di part sebelumnya ya

Vote dan komen✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

Kinan menciumnya.

Itu yang Gio tahu. Tidak bisa dipungkiri juga untuk perlakuan Kinan yang tiba-tiba seperti ini membuat jantung Gio berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Dan Gio merasa sebagian kemarahannya tadi menguar perlahan-lahan. Melupakan juga bahwa tadi hampir saja Gio ingin mendorong Kinan menjauh dari hidupnya.

Memutuskannya.

Lalu, tangan Kinan yang mencengkeram lengannya perlahan mengendur, berganti memeluk leher Gio. Gio masih dengan keterdiamannya. Tidak melakukan apa-apa. Sebelum Kinan melepaskan pagutannya itu, Gio sudah lebih dulu membuka matanya. Memerhatikan Kinan dengan sudut kiri bibirnya yang terangkat sedikit. Kinan masih saja memejamkan matanya hingga suara Gio terdengar mengatakan,

"Gak jago lo cium gue-nya."

Duh. Kinan langsung menggigit bibir bawahnya itu dan menyembunyikan pipinya yang memerah di leher Gio. Tidak ingin membuka kedua matanya cepat-cepat. Kemudian yang Kinan tahu, tangan Gio sudah memeluk pinggangnya. Membuat tidak ada lagi sekat maupun jarak di antara mereka berdua. Benar-benar menempel. Dan sesekali Kinan merasakan Gio mengecup kepalanya.

"Gue harus ngomong kayak gitu dulu ya supaya lo mau cium gue?" Kekehan Gio terdengar setelah mengatakan itu.

Kepala Kinan dengan cepat menggeleng. "Jangan marah-marah lagi. Jangan usir Kinan lagi. Pokoknya jangan kayak gitu lagi ya, Gio?" Yang tidak ingin Kinan temani, malah ingin Kinan menjauh dari dirinya. Yang tidak ingin Kinan berada di dekat dirinya. Kinan benci ketika Gio bersikap seperti itu padanya.

Tetapi, Kinan juga tahu ada saatnya seseorang ingin sendirian. Tidak dengan seseorang yang paling dekat dengan dirinya. Benar-benar sendirian. Namun Kinan pernah mendapati hal yang lebih-lebih dari ini jika Kinan meninggalkan Gio sendiri dengan semua masalahnya.

Menanggapi ucapan Kinan tadi, Gio mengangguk. Makin mengeratkan kedua tangannya di pinggang Kinan. "Lo dianter sama siapa ke sini? Gak sendirian, 'kan? Gak ada yang gimana-gimana, 'kan?" Karena jelas yang lebih Gio khawatirkan bukan dirinya melainkan Kinan.

Kinan lebih dulu menjauh dari tubuh Gio. Menyandarkan lagi punggungnya pada tembok belakang dengan tangan yang kini sudah memainkan rambut Gio di hadapannya persis. "Kinan dianter sama Dava. Untung aja Kak Rama lagi tidur, jadi Kinan bisa ke sini nemuin Gio." Kinan menatap lurus-lurus mata Gio yang sudah lebih dulu memandangnya.

Gio diam beberapa detik. "Jangan pergi ke mana-mana sendirian ya, Ki. Bisa lo janji sama gue?"

Dengan senyumannya yang Kinan perlihatkan, Kinan menganggukkan kepalanya.

"Langsung chat gue aja kalo lo mau minta ditemenin, oke? Gue bakalan bener-bener marah kalo lo gak dengerin omongan gue." Tanpa ekspresi, Gio berbicara seperti itu. Gio hanya ingin Kinan mengerti bahwa dirinya sedang tidak bermain-main sekarang. Karena juga Gio tahu, bisa saja orang-orang itu menyakiti Kinan lebih.

Kinan mendengus pelan. "Kalo kepepet gimana?"

Gio makin menunduk. "Telpon gue, Kinan."

Ditatap seperti itu, Kinan mengerjap. "Kalo Gio nya lagi gak bisa dihubungin?"

"Telpon Dava? Telpon Kak Rama? Inget kata-kata gue. Jangan sok berani." Dan Gio menyingkirkan tangan Kinan yang berada di pundaknya itu. Meremasnya perlahan ketika Kinan hanya diam saja.

"Kinan."

"Iya, ih."

Gio mengusak rambut Kinan sebelum akhirnya menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Memerhatikan langit-langit kamarnya. Melupakan bahwa tadi dirinya akan menarik paksa Kinan untuk keluar dari kamarnya ini.

"Sekarang Kinan yang mau ngomong." Kinan sudah duduk di tepi tempat tidur.

Melirik sekilas ke arah Kinan di sampingnya, Gio mengangguk. "Dari tadi juga lo ngomong."

Kinan yang kali ini merasa geram dengan sikap Gio. Kedua kakinya Kinan naikkan. Menahan sisi wajah Gio agar benar-benar melihat ke arahnya. "Gio, jangan ngomong yang kayak tadi lagi ya?!"

Mendengar itu, Gio mengernyit. "Yang mana?"

Perlahan, Kinan menggigit bibir bawahnya kembali. "Yang sebelum Kinan.. cium Gio itu lho! Pokoknya Kinan gak mau denger kayak gitu lagi." Kepalanya menggeleng dua kali.

"Tapi emang bener, 'kan?" Sebelah alis Gio terangkat tinggi.

Memang benar Gio hanya bisa menyakiti Kinan. Gio sering membuat Kinan takut. Kinan pasti berbohong padanya saat Kinan bilang Kinan sama sekali tidak takut pada Gio. Iya, pasti begitu.

"Kinan, gue udah berkali-kali—"

Tidak ingin mendengar kelanjutan dari perkataan Gio, Kinan benar-benar sudah berada di atas tubuh Gio itu dengan tangan yang membekap mulut Gio.

"Enggak, Gio!" sentak Kinan. Kesal sih mendengar ucapan Gio yang tidak benar sama sekali. Lalu, menyingkirkan tangannya.

Tahu apa reaksi Gio? Laki-laki itu malah memperlihatkan senyumannya yang tadi entah dia sembunyikan di mana. "Lucu banget sih lo kalo lagi marah. Pengen gue cium lagi." Dan tangan Gio menarik tengkuk Kinan agar mendekat kepadanya.

Kinan menahan tangan Gio itu. "Gio, ini Kinan lagi gak bercanda. Gio dengerin kan yang Kinan bilang?"

"Enggak."

Kinan menahan napasnya sebentar. "Gio."

"Iya, Kinan. Gue denger." Kepala Gio manggut-manggut.

"Apa?" Kinan lebih mendekat lagi ke arah Gio.

"Apa ya?"

Mendengar sahutan Gio barusan, Kinan mendengus.

Gio memerhatikan Kinan yang sedang terlihat kesal. Mungkin yang sekarang ini benar-benar kesal. "Sini, deketan lagi sama gue." Tangan kanannya sudah menyentuh paha Kinan itu.

Jika saja Kinan tidak menahan tangan Gio, bisa dipastikan sudah bergerak ke mana-mana. "Nggak boleh." Kinan memilih untuk membawa tangan Gio ke belakang punggungnya.

"Lo pikir gue mau ngapain?"

Kinan menggeleng lagi. "Tangan Gio gak boleh kayak gitu."

"Lo tau, Ki? Gue tadinya mau mutusin lo. Gak pengen lo deket-deket lagi sama gue."

Ekspresi Kinan berubah.

"Tapi lo segini gemesinnya. Lucu banget. Jangan buat gue begini dong."

"Kinan salah ya?"

Enggak lah, Sayang.

"Iya, lo salah." Malah ucapan seperti itu yang keluar dari mulut Gio.

"Kinan harus apa?"

Gio menarik sweater abu-abu yang Kinan kenakan. "Cium gue lagi. Gue ajarin sekarang yang bener."

Dengan tenaga yang tidak seberapa dan kekehan pelannya itu, Kinan meninju dada Gio yang berada di bawahnya. Berusaha menyembunyikan kegugupannya juga. "Itu mah maunya Gi—"

Keadaan berbalik sekarang, Kinan masih dengan keterkejutannya merasakan bagaimana Gio mencium bibirnya. Rasa bersalah. Rasa senangnya. Bergabung menjadi satu dan menciptakan hal yang membuat Kinan tahu; Kinan tidak boleh seperti ini. Kinan terlalu jahat. Dirinya pun tahu dia tidak pantas untuk dipiih juga.

Pasti Gio akan menyesal jika tadi dirinya sudah membawa Kinan menjauh. Mengatakan hal yang bisa menyakiti Kinan. Tidak menginginkan Kinan untuk dekat-dekat dengan dirinya lagi. Untuk membuat Kinan tetap menetap, Gio memang harus menyakiti yang lain.

Kinan merasakan Gio menahan tengkuk Kinan untuk lebih mendekat padanya. Sedang tangan satunya sudah mulai bergerak masuk ke dalam rok putih Kinan itu. Kinan meraih tangan Gio dan menggenggamnya.

"Gio," panggil Kinan pelan ketika Gio melepaskan dirinya. Menggelengkan kepalanya lagi.

Gio menarik rahang Kinan mendekat dan menciumnya sekali lagi. Kali ini lebih lama dari sebelumnya dan semakin dalam. Tangan Gio yang bebas mulai masuk ke dalam sweater Kinan. Mengusap permukaan kulit halus Kinan perlahan. Membuat tubuh Kinan bergerak di atasnya.

Kemudian, Gio yang menjauh pertama. Lalu mengambil ikat rambut hitam milik Kinan dan Gio pakai di pergelangan tangannya. Mengelus sudut bibir Kinan dengan ibu jarinya itu.

"Ki."

Kinan memilih untuk menjatuhkan tubuhnya lagi. Memeluk Gio. "Hm?"

"Yang tadi lo cium gue."

"Kenapa?"

"Itu first kiss gue, Kinan."

...

Kinan memasukkan permen karet ke dalam mulutnya dan membuang bungkusnya pada tempat sampah di koridor lantai satu. Pagi-pagi sekali di hari Rabu ini Kinan sudah sampai di Pertiwi. Berjalan sendirian untuk mencapai kelasnya. Sesekali Kinan menyentuh bibirnya itu.

"Jangan ngelamun."

"Ish! Kak Gerald, bikin Kinan kaget tau." Kinan tidak jadi untuk menaikki anak tangga. Memilih duduk di bangku panjang samping loker. Geraldi sudah lebih dulu duduk di sampingnya.

Untuk pertama kalinya, Kinan melihat Geraldi terkekeh. Itu hanya sebentar. "Beruntung banget lo gak jadi jatoh tadi," katanya dan memasukkan ponselnya itu ke dalam saku seragam. Menoleh ke arah Kinan.

"Tadi Kinan lagi gak ngelamun. Eh iya, hari ini jadwal Kak Gerald piket ya? Jadinya Kak Gerald udah dateng pagi-pagi gini?" tanya Kinan dengan topik pembicaraan baru.

Geraldi lebih dulu menyandarkan kepalanya pada kursi, tatapan belum beralih ke mana-mana selain Kinan. Geraldi mengangguk. Hanya itu.

Kinan menggigit bibir bawahnya. Entah harus mengatakan apalagi. Dan memilih untuk menekuri sepatu putihnya itu.

"Dean udah cerita sama lo tentang mantannya?" Beberapa saat kemudian, Geraldi membuka suaranya kembali.

Merespons pertanyaan Seniornya itu, Kinan mengangguk pelan. "Kinan juga udah ketemu sama Kak Mikayla. Tapi Kinan masih... gak ngerti sama kata-kata Kak Mikayla soal Kak Dean." Kata-kata itu dengan lancarnya keluar dari mulut Kinan. Kinan menggerakkan kedua kakinya ke kanan lalu ke kiri. "Kak Dean juga gak mau cerita apa-apa sama Kinan." Kemudian, Kinan mengangkat kedua bahunya.

"Dia udah ngomong, tapi mungkin elo yang gak ngerti."

Mendengar itu, Kinan mengernyit. Menengok ke arah Geraldi lagi. "Maksudnya?"

Dengan telunjuknya itu, Geraldi mendorong dahi Kinan pelan. "Lo inget-inget coba apa yang Dean sama Mikayla pernah bilang sama lo. Terus sekarang lo masih nge-PHPin si Dean?"

Kinan menggeleng. "Ih, siapa juga yang nge-PHPin Kak Dean? Kinan itu ya—"

"Lama amat jadiannya? Kasian temen gue."

Mendengus pelan, Kinan menggeleng lagi. Kali ini lebih pelan. "Kinan gak bisa."

"Berarti kalo bisa lo mau?" tanya Geraldi lagi.

"Mm.. nggak tau deh. Kayaknya Kak Mikayla masih sayang banget sama Kak Dean. Seharusnya Kak Dean balikan aja ya?"

"Lo setuju emangnya mereka balikan?

Kinan menggigit bibir bawahnya dan memilih untuk bangkit. Mengeluarkan satu bungkus permen karet dan mengulurkan tangannya ke arah Geraldi. "Mau?"

Geraldi langsung mengambilnya. Membuang bungkusnya sembarangan dan memasukkan permen karet rasa anggur itu ke dalam mulut. Mengunyahnya perlahan.

Kinan memutar kedua bola matanya. "Kak Gerald, kan Kinan udah pernah bilang kalo buang sampah jangan sembarangan lagi."

"Lupa."

Tangan Kinan sudah akan menyentuh bungkus permen karet di samping kaki Geraldi jika saja Geraldi tidak menginjak bungkusnya dengan sepatunya itu. Mengambil sampahnya sendiri dan meremasnya, lalu melemparnya ke tempat sampah. Masuk dengan mulus.

Kinan yang melihat itu, memandang Geraldi takjub. Kinan tidak pernah bisa melakukan itu. "Wahh, keren! Oh ya, awas ya kalo sampe Kinan tau Kak Gerald buang sampah sembarang lagi. Kinan mau masuk kelas sekarang. Dah!"

"Kalo bisa lo harus secepatnya jadian sama Dean. Gue cuma mau ngasih tau lo aja. Awas jatoh lagi." Setelah mengatakan itu, Geraldi bangkit. Berjalan menjauh dari Kinan seraya memainkan ponselnya.

Kinan melanjutkan langkah kakinya lagi. Berjalan ke lantai tiga dengan pikiran yang sudah bercabang. Karena ucapan Geraldi dan juga tentang Gio. Kinan mengeluarkan ponselnya. Tidak ada notif yang masuk dari orang-orang yang Kinan tunggu-tunggu.

Setelah berada di lantai tiga, Kinan berbalik arah yang berlawanan dari kelasnya menuju ke kantin. Kinan ingin membeli susu cokelat hangat terlebih dahulu. Dan terlihatlah Flora di sana. Duduk sendirian dengan wajah ditekuk.

"Ola!"

Flora mendongak. Melambaikan tangannya. Memanggil Kinan untuk mendekat.

"Kok gak Line Kinan sih Ola udah dateng. Kirain Kinan bakalan sendirian di kelas. Muka Ola kenapa? Kok sedih?"

"Kak Rama marah sama gue ya, Nan?" Setelah bertanya seperti itu, Flora meletakkan ponselnya di atas meja. Masih cemberut. Chat-nya tidak ada satupun yang Rama balas.

Kinan meringis. "Kinan gak tau. Pas kemaren Kak Rama ke rumah Kinan juga gak cerita apa-apa sama Kinan. Nanti Kinan bicarain baik-baik sama Kak Rama deh."

Flora bergelayut di lengan kiri Kinan. "Tengkyuuu banget ya, Nan. Galau tau gak sih gue dicuekkin gini! Dikira enak kali gak dikasih kepastian begini. Gue sedih banget asli."

"Alay banget sih, Ola. Udah deh, mau Kinan traktir susu cokelat anget gak? Kinan lagi seneng hari ini tau hehe." Berbanding balik memang dengan yang Flora rasakan.

"Oh gitu lo ya sekarang gak mau cerita-cerita sama gue. Lo seneng karena apa?"

Kinan menyingkirkan tangan Flora dari lengannya. Tersenyum malu. "Kinan nanti ceritanya, Kinan mau pesen susu cokelat dulu, oke?"

Flora hanya mengangguk saja dan mencoba mengirimkan Rama chat sekali lagi.

Seraya menunggu susu cokelatnya dibuatkan, Kinan mengambil ponselnya lagi. Masih tidak ada chat yang masuk. Kinan menoleh ke arah depan sana. Terlihat Gio yang baru saja melintas menuju ke arah kelas. Kinan mendekat. Terlihat Dean juga di sana.

Mereka berbicara entah apa. Kinan masih mengamati Gio dan Dean di depan kelasnya. Semoga bukan karena apa yang Kinan takutkan. Lalu tak lama Dean pergi. Gio melihat ke arahnya. Tersenyum tipis ke arah Kinan. Kinan tidak mengerti.

Kinan harus segera mencari tahu, 'kan?

...

"Kinan."

Kinan agak terlonjak kaget mendengar suara Dean di belakangnya. Kinan baru saja meletakkan minyak kayu putih ke dalam rak. Itu untuk Flora tadi. Dan saat ini Pertiwi sudah membunyikan bel pulang sekolah. "Kak Dean, juga mau minyak kayu putih?" tanya Kinan yang entah kenapa sudah merasa tidak nyaman. Berdua dengan Dean seperti ini.

Aneh ya? Bagaimana waktu begitu bisanya mengubah semuanya.

Kepala Dean menggeleng dan memilih duduk di atas bangkar. Menarik Kinan untuk ikut duduk di dekatnya juga.

"Pas malem Minggu kemaren lo ke mana?" tanya Dean langsung. "Sekitar jam sembilanan?" lanjutnya.

Kinan berusaha mengingat. "Mm.. itu Kinan di rumah aja. Gak ke mana-mana. Emangnya kenapa Kak Dean?"

Diam-diam Dean mengembuskan napas leganya. "Nggak ikut ke arena balapnya si Sean?" Suaranya masih terdengar normal.

Arena balap Sean. Ada Gio juga.

"Kinan aja gak tau kok itu di mana. Kinan mana boleh pergi ke tempat kayak gituan sama Ayah. Kinan di rumah." Kinan memerhatikan Dean di sebelahnya yang sepertinya sedang mengingat-ngingat sesuatu.

Dan ketika tangan Kinan sudah akan mencapai dahi Dean yang terdapat lebam itu, Dean menahannya. "Nggak usah dipegang ya, Nan. Ini nggak kenapa-kenapa kok." Dan berusaha menutupi lukanya itu dengan rambutnya.

"Emangnya kenapa, Kak Dean nanyain itu?" Tentu saja Kinan ingin tahu.

"Kayaknya mereka udah tau semuanya, Kinan. Lo gak perlu deket-deket sama Gio lagi."

Kinan mengerjapkan matanya berkali-kali. Dan terkesiap ketika Dean menarik pergelangan tangannya untuk mengikuti langkah Dean. "Maksudnya, Kak Dean apa?" Mereka yang dimaksud Dean itu siapa?

"Gue gak akan pernah biarin lo sendirian, Kinan. Ayo, gue anter pulang." Itu yang terpenting. Matthew sudah tidak ingin mendengarkan ucapan Dean lagi.

Semuanya menjadi tidak seperti apa yang Kinan inginkan. Dean tadi membicarakan hal ini kepada Gio, kah? Gio yang mengamuk itu juga karena hal ini, kah?

Kinan melihat Dean yang sedang memakaikannya seatbelt. Terlalu terburu-buru. Mereka memang sudah berada di dalam mobil. Kinan menahan lengan Dean. "Mereka itu siapa, Kak Dean?" tanyanya dengan suara yang pelan.

Dan jawaban Dean membuat Kinan menjatuhkan kedua bahunya.

Konflik buat Kinan-Gio ada di next part :))

Yang kangen Sean-Abby juga ada di next part..

Part ini emang makin rumit ya cyin..

Suka gak?

Suka scene yang mana?

Follow dund ig nya sparkel eheheeh

(Link in bio)

Sori typo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro