Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

if i can't have you

Bagian 37 |
everything means nothing if I can't
have you

Yuhuuu Lines datang nich~

Vote dan komen yo✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

"Lo mau ke mana?" Flora langsung menghadang Gio di depannya kini. Bel pulang sekolah memang baru saja berbunyi. Dan saat mata Flora melihat Gio yang ingin keluar kelas lantas Flora langsung mencegah laki-laki itu untuk tidak pergi ke mana-mana.

Sebelum menjawab Gio melirik ke arah Kinan sebentar yang sedang merapikan peralatan sekolahnya itu dan melihat ke arah Flora lagi di depannya yang sedang merentangkan tangannya lebar-lebar. "Pulang?" Sebelah alis Gio terangkat.

Kepala Flora terlihat menggeleng. "Apa-apaan? Enggak boleh! Kita harus ngerjain tugas sekarang. Kan harus dikumpul hari Rabu."

Gio malah mengernyit. "Emang ada tugas ya?"

Flora memutar kedua bola matanya. "Praktek bikin gantungan, Gio. Sial banget kan gue satu kelompok sama lo. Ish!" ujar Flora dan meraih tasnya itu.

Kinan yang mendengar pertanyaan Gio tadi menahan tawanya dan berjalan ke arah Flora. "Kinan pulang duluan ya, Ola." Dan memeluk Flora dari belakang dengan dagu yang Kinan letakkan di bahu Flora. Melihat ke arah Gio lurus-lurus di depannya itu.

Gio terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang beda juga dari wajahnya. Kinan sudah bisa bernapas lega karena bertemunya Sean dengan Gio semalam tidak menimbulkan apa-apa. Kinan menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Gio masih memerhatikannya.

"Balik sama siapa lo? Ojol?" tanya Flora dan melihat ke arah Kinan di bahu kirinya itu.

Kinan mengangguk dengan senyumannya yang belum juga hilang dari wajahnya.

Dan begitu cepatnya Flora menghilangkan senyuman Kinan dengan bertanya, "Kenapa gak pulang sama Kak Dean aja?"

Kinan diam sebentar. Gio berdeham pelan dan memilih untuk duduk di atas meja di dekatnya. Menunggu apa yang akan Kinan jawab.

"Karena Kinan lagi pengen naik ojek aja."

Gio menggelengkan kepalanya mendengar alasan klasik Kinan barusan.

Flora justru memperlihatkan senyumannya. "Lagi berantem ya lo sama Kak Dean?" Kedua mata Flora menyipit.

Langsung saja Kinan melepaskan pelukannya itu. "Apaan sih, Ola? Enggak, ih." Kinan menggelengkan kepalanya dan melihat ke arah layar ponsel. "Kinan pulang duluan. Abangnya udah di depan gerbang nih. Daaah!"

"Daahhh, Kinan. Hati-hati!" Seraya melambaikan tangannya, Flora melihat Kinan yang sudah menghilang dari balik pintu. Lalu, menoleh lagi ke arah Gio di depannya yang sudah lebih dulu mengamati dirinya itu.

"Kita ngerjain tugasnya di rumah gue aja," kata Gio sebelum Flora mengeluarkan suaranya. Kemudian, Gio bangkit. Berjalan mendahului Flora untuk keluar kelas.

Flora menyamai langkah kaki Gio. "Gak ada tempat selain di rumah lo?" tanyanya.

"Kenapa emangnya di rumah gue?" Gio balik bertanya.

Ditanya seperti itu Flora diam. Sebenarnya Flora juga tidak tahu alasan yang tepat untuk tidak mengerjakan tugas mereka di rumah Gio. Flora mengusap lehernya itu. "Bentar-bentar, gue mau ketemu Kak Rama dulu." Dan berlari kecil menghampiri pacarnya di koridor lantai satu yang masih berkumpul bersama teman-temannya itu.

Gio melanjutkan langkahnya menuju ke arah parkiran. Lalu, meletakkan tasnya di atas kap mobil. Memakai hoodie putihnya sambil menunggu Flora yang masih berbicara dengan Rama. Flora menunjuk ke arah Gio dan Rama langsung melihat padanya dengan tatapan tidak suka. Gio tersenyum kecut.

"Harus banget lo minta izin dulu ke cowok lo?" tanya Gio saat Flora sudah berdiri di depannya.

Flora melihat ke arah Rama lagi yang sudah pergi itu. "Dia perlu tau juga gue ke mana, kan?"

Kepala Gio menggeleng. "Trust. Itu yang seharusnya dia tau." Tangan Gio membuka pintu mobil untuk Flora dan berjalan memutar untuk masuk ke dalam mobilnya juga.

"Emangnya lo gak gitu, Yo ke pacar lo?" Flora menyandarkan kepalanya di jok setelah memakai seatbelt-nya. Menengok ke arah Gio.

Gio menarik sudut kiri bibirnya sedikit. "Yang kayak gue bilang tadi; trust. Dan lo tau harus gimana di belakang dia supaya dia gak kecewa sama lo. Gak harus selalu ngabarin juga." Dan mulai mengendarai mobilnya menjauh dari pelataran parkir Pertiwi.

"Berarti kita beda, Yo. Gue milih terus ngasih kabar gue ke mana, dia di mana."

Kepala Gio manggut-manggut mendengar itu. Sebenarnya Gio tidak mau mengambil pusing tentang suatu hubungan jika saja di antara mereka berdua—Gio dengan pacarnya—tahu apa yang harus mereka lakukan.

"Kita mau beli bahan-bahannya dulu kan, La?" Gio menoleh ke arah Flora yang belum mengalihkan pandangannya ke mana-mana.

"Gue udah beli kemaren pas pulang sekolah. Patungan lo sama gue!"

Gio justru mengeluarkan tawanya. "Bagus dong. Nanti gue bayar bagian gue."

Diangkatnya kedua sudut bibir ke atas, Flora melihat jalanan di depannya. "Lucky you. Bersyukur lo satu kelompok sama gue."

Sama seperti Flora, Gio menarik kedua sudut bibirnya. Tersenyum. Hanya itu. Pikirannya melayang kebanyak hal. Salah satunya tentu saja tentang Kinan. Dan tidak ada lagi yang membuka suaranya hingga mereka berdua sampai di rumah Gio.

"Lo mau minum apa, La?" Gio melempar tasnya ke atas sofa dan kedua matanya mengamati Flora yang juga melepaskan tas ranselnya itu lalu duduk di sofa di dekat tas Gio.

Flora mendongak untuk melihat Gio yang berdiri di depan sana. "Apa yang lo punya?"

"Rootbeer, mau?"

Kepala Flora lantas menggeleng dan tak lama bangkit dari persinggahannya. "Gue milih sendiri boleh?"

"Emang lebih bagus lo milih sendiri. Ambil apa aja yang lo mau di kulkas. Gue ganti baju bentar."

Setelah menunjukkan Flora arah ke dapur dan melihat gadis itu mengangguk, Gio berjalan ke kamarnya. Menaikki anak tangga seraya mengeluarkan ponselnya dari saku hoodie. Segera mengirimkan pesan singkatnya untuk Kinan.

Gio : Udah sampe rumah, Ki?
Send. 03.46 pm.

Dan melempar benda pipih itu ke atas tempat tidurnya. Melepaskan hoodie dan seragam sekolahnya itu. Menggantinya dengan kaus yang lebih nyaman. Mengambil ponselnya lagi yang kini sudah muncul notifikasi dari Kinan yang mengatakan bahwa gadis itu sudah berada di rumahnya. Gio tersenyum tipis membaca balasan yang Kinan kirimkan.

Dengan cepat Gio mengetikkan chat lagi untuk Kinan. Tatapannya fokus ke layar ponsel hingga saat kakinya berada di anak tangga terakhir suara Flora terdengar.

"Aku temennya Gio, Tante."

Anneth sudah pulang dari acara bersama teman-temannya ternyata. Gio memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan berjalan mendekat ke arah Flora dan Mamanya yang sedang berbincang itu. Anneth masih membelakanginya.

"Satu kelas sama Gio?" tanya Anneth seraya melepaskan kedua antingnya.

Terlihat Flora mengangguk dan tersenyum. "Iya, Tan. Kita satu kelas, satu kelompok juga." Dan melirik ke arah Gio yang memeluk Anneth itu.

"Hai, Mom," sapa Gio.

Anneth mengusap lengan Gio yang memeluk lehernya itu. "Ajak Flora makan sana, Yo sebelum ngerjain tugas."

"Mama mau langsung istirahat?"

"Iya, Sayang." Setelah menjawab pertanyaan putranya, Anneth melihat ke arah Flora lagi. "Flo, Tante langsung masuk kamar ya. Kalo kamu mau apa-apa, bilang aja sama Gio."

Senyum Flora makin lebar. "Pasti, Tante."

Anneth juga tersenyum kemudian sebelum benar-benar masuk ke dalam kamarnya, Anneth menyempatkan untuk mencium pipi kiri Gio.

"Bisa juga lo jadi Flora yang manis kayak gitu." Suara Gio terdengar. Melihat Flora yang sedang membuka softdrink di tangannya. Gio mengambil alih minuman di tangan Flora dan membukanya dengan sekali sentakkan.

Flora menerima botol minum yang Gio berikan. "Biasanya emang gue gimana?"

"Serem, La."

Mendengar itu, Flora mengangkat jari tengahnya tepat ke arah Gio dan Gio lagi-lagi hanya tertawa.

...

Seharusnya Abby ikut dengan Sean saja sepulang sekolah. Bukannya menemui Ibunya dan membicarakan hal yang menurut Abby tidak penting itu. Membicarakan tentang kekasih Ibunya yang baru yang langsung bisa membuat Abby menggeram tertahan dengan pikirannya tertuju pada gadis itu. Anak dari kekasih Ibunya.

Lebih sialnya lagi, malam ini hujan. Abby menolak untuk ikut bersama Ibunya. Satu mobil dengan mereka. Dan di sini lah Abby sekarang; berusaha menerjang hujan untuk sampai ke depan halte. Mereka memang baru saja dinner bertiga di resto mewah pusat kota. Dengan Abby yang masih memakai seragam sekolah.

Ini hari apaan sih, sial amat gue! Abby menggerutu di dalam batinnya. Tidak ingin repot-repot menghubungi temannya atau Sean atau siapa pun untuk menjemputnya.

Abby mengusap lengannya berkali-kali setelah sampai di halte yang tidak terlalu jauh. Melirik sekilas ke sampingnya. Ada seorang laki-laki juga yang sedang berteduh. Duduk dengan kepala menunduk memainkan ponselnya. Abby menggigit bibirnya. Memilih memerhatikan jalanan yang sudah basah karena hujan.

Hingga suara laki-laki itu terdengar menyentaknya. "Duduk aja di sini."

Abby menoleh. Menemukan Rama di sana. Kedua bahunya perlahan turun. "Gue harus bener-bener ngecek ini hari apa." Abby menggelengkan kepalanya. Tidak menyangka juga dari banyaknya orang-orang di bumi ini dan Abby malah bertemu dengan Rama.

Rama membuka jaket hitamnya. "Senin." Dan menarik pergelangan tangan Abby untuk ikut duduk bersamanya. Memberikan Abby jaketnya juga. "Belakang lo keliatan. Pake nih."

Abby mendengus. "Sejak kapan lo peduli sama gue sih, Ram?" tanyanya begitu menyindir. Bukan maksud Abby mengungkit masa lalunya dengan Rama tetapi memang kenyataannya seperti itu. Rama terlalu cuek padanya.

Tatapan mata Rama melembut. "Lov, pake. Gue masih inget lo alergi dingin."

"Gue lebih alergi sama lo!" semprot Abby tetapi Abby pakai juga jaket yang Rama berikan. Dari penglihatan Abby, Rama malah mengangkat sudut kiri bibirnya. Dan Abby mulai memeluk tubuhnya sendiri dengan erat. Kembali memandang lagi ke arah jalanan di bawahnya.

"Minta jemput sana. Lo gak mau mati kedinginan, 'kan?"

Ketika suara Rama terdengar kembali, Abby menoleh ke arahnya lagi. "Gue belum ngerasa terlalu dingin. Gue juga gak mau ngerepotin orang buat jemput gue ujan-ujan begini."

Kali ini, Rama melihat lawan bicaranya. Mata mereka bertemu. "Lo selalu aja kayak gitu. Kadang lo perlu ditolong juga. Minta bantuan gak bikin diri lo keliatan paling gak bisa berbuat apa-apa kok. Sama gue contohnya. Dulu apa pernah lo nerima apa yang gue—"

"Oh. Lo lagi bahas yang dulu-dulu?" Abby langsung menukas ucapan Rama.

Rama menggeleng pelan. "Mungkin cowok lo lagi khawatir sama lo sekarang. Telpon gih."

Abby mengerjapkan matanya. "Makasih sarannya, Ram."

Satu hal yang Rama ingat hingga sekarang; Abby memang gadis yang keras kepala. "Abriella, lo udah kedinginan. Alergi lo bakalan kambuh. Gue yang anter pulang." Rama sudah akan bangkit jika saja suara Abby yang serak itu tidak terdengar di telinganya.

"Mereka lagi di sana, Ram. Di rumah. Seenggaknya gue mau di sini dulu. Nunggu dia pulang." Abby sebisa mungkin menghindari tatapan mata Rama.

Rama adalah salah satu orang yang Abby bisa dengan gampangnya menceritakan apa pun yang sedang Abby alami, yang sedang Abby rasakan. Rama juga sudah tahu segala hal tentang Abby. Di dekat Rama, Abby dengan mudah menjadi dirinya sendiri. Dulu.

Mendengar itu, Rama mengurungkan niatnya. Jelas saja Rama tahu siapa yang dimaksud Abby. Ia memilih diam sekarang. Sama seperti Abby, Rama mengamati jalanan di bawahnya yang basah.

"Sekali aja, bilang sama gue kalo lo udah bener-bener kedinginan."

Abby hanya mengangguk pelan. Tatapannya mulai berkabut. Sebisa mungkin Abby menahan agar air matanya tidak terjatuh. "Tante Kila udah sembuh?" Dengan cepatnya Abby mementalkan pikirannya dan bertanya pada Rama mengenai Ibunya itu.

Rama mengernyit. "Tau dari mana?"

"Sepupu lo yang di Bandung. Gue masih sering chatting-an sama dia."

"Berryl?" Rama bertanya, memastikan. Sepupu jauhnya yang pernah Rama kenalkan pada Abby.

Kepala Abby mengangguk.

"Mama udah sembuh. Kemarin gue baru pulang dari sana. Cuma kecapean aja."

"Tante Kila masih suka ikut kegiatan bakti sosial gitu ya?" tanya Abby lagi.

Kepala Rama mengangguk. "Mhm-mm."

Abby mengusap samar sudut matanya. Rama sedang melihat ke arahnya juga. Abby menghindar.

"Gue mau nangis sebentar, Ram. Lo jangan ngeliat ke arah gue dulu."

...

Kinan : Kak Dean, mau gantungan
kura-kura gak?🐢🐢🐢
Read. 10.04 pm.

Dean membaca pesan singkat yang Kinan kirimkan itu. Padahal seharusnya di jam sembilan lewat, Kinan pasti sudah terlelap. Dean melihat ke arah teman-temannya yang sedang menunggu nasi goreng yang mereka pesan. Lalu, mengetikkan balasan untuk Kinan.

Dean : Kok belum tidur?
Send. 10.04 pm.

Kinan : Lagi ngerjain tugas hehe
Read. 10.05 pm.

Dean : Kebetulan gue lagi di tempat
nasi goreng depan komplek lo.
Sekalian gue bantuin ya.
Send. 10.05 pm.

Dean bangkit dari tempat duduknya. Tanpa menunggu balasan dari Kinan lagi, Dean memasukkan ponselnya itu. "Gue mau ke rumah Kinan. Bungkusin buat gue satu." Dan memakai penutup kepala di hoodie hitamnya. Setidaknya itu melindunginya dari hujan.

"Rumah Kinan di sini?" Itu Geraldi yang bertanya.

Kepala Angga mengangguk. "Kan emang di sini, Ral. Lo gak denger tadi si Dean bilang makan nasi goreng di deket rumah ceweknya?"

"Ceweknya?" Reksha tertawa. "Apaan anjir. Orang diPHP-in doang." Semakin menjadilah tawa Reksha itu dan melihat Dean sudah masuk ke dalam mobilnya.

"Dean diPHP-in, Sha? Behahaha." Angga juga ikut tertawa sekarang.

"Kayak lo, Ngga." Geraldi yang kali ini mengeluarkan suaranya.

Angga langsung terdiam. "Anying."

Sementara Reksha yang habis-habisan mentertawakan nasib Angga, Dean sudah sampai di depan rumah Kinan. Melihat Kinan yang sedang duduk di karpet depan TV dan memandang ke arah Dean dengan cemberut. "Kan Kinan udah bilang Kak Dean gak usah ke sini. Lagi ujan juga, 'kan?"

Dean melepaskan hoodie hitamnya yang sedikit basah dan meletakkannya di tangan sofa, meninggalkan kaus putih polosnya itu. Kemudian ikut duduk di samping Kinan setelah merapikan rambutnya yang agak berantakkan. "Kan deket. Lo lagi buat apaan?" Kedua mata Dean mengarah pada macam-macam bahan yang terlihat berantakkan itu.

"Gantungan dari semen putih gitu, Kak Dean. Punya Viorent yang beruang udah jadi. Bagus lagi. Punya Kinan yang kura-kura sama kepiting belum. Liat tangan Kinan." Kinan memperlihatkan kedua tangannya yang sudah kotor akibat semen putih basah yang memang harus ia pegang.

"Berantakkan banget." Tangan Dean terangkat untuk merapikan rambut Kinan. Mengikat rambut panjang Kinan agar terlihat lebih rapi.

Kinan sedikit mendongakkan kepalanya. Melihat ke arah Dean yang berada di hadapannya ini. Tidak mengalihkan pandangannya ke mana-mana selain wajah Dean.

"Om Adam udah pulang?" Disela-sela merapikan rambut Kinan, Dean bertanya.

"Ayah pulang jam satu."

Dan Dean melepaskan kedua tangannya itu setelah memastikan rambut panjang Kinan terlihat rapi dari yang sebelumnya. "Gantungannya tinggal di warnain ya? Gue aja sini."

"Beneran?" tanya Kinan dan melihat ke arah Dean dengan mata yang agak membesar. Senyumannya juga Kinan perlihatkan.

Kepala Dean mengangguk. "Iya." Dan tangannya mengambil palet serta cat air berwarna hijau untuk kura-kura.

Kinan berdiri. "Kinan mau bersihin tangan dulu," katanya, lalu berlari kecil untuk menuju dapur. Membersihkan tangannya itu.

Tangan Dean dengan hati-hati mulai menggerakkan kuas untuk memberikan warna pada kura-kura kecil di tangannya. Membuat gantungan milik Kinan sebagus mungkin.

"Kinan udah selesai."

Dean melirik Kinan yang sudah kembali duduk di dekatnya. Membawa gelas berisikan air mineral juga untuk Dean dan satu piring puding berwarna cokelat lengkap dengan fla di atasnya. Dean melanjutkan lagi kegiatannya itu.

"Ayah buat puding nih, Kak Dean. Mau coba gak?" Kinan yang lebih dulu memasukkan satu sendok puding itu ke dalam mulutnya. Dan menyendokkan untuk Dean juga. Dean mengalihkan pandangannya dan menerima suapan puding dingin dari Kinan.

"Jadi, mana kura-kura buat gue?"

Kinan menunjuk kura-kura yang sudah Kinan beri warna hijau dan kuning itu yang berada di atas meja beralaskan koran.

"Kenapa bukan itu aja yang dikumpulin? Itu bagus," komentar Dean dan kembali melihat semen putih dengan bentuk kura-kura di tangannya lagi.

"Yang itu buat Kak Dean aja. Yang kak Dean lagi warnain yang Kinan kumpulin hari Rabu." Kinan meletakkan piring yang masih tersisa setengah puding di sana ke atas meja dan meraih gantungan kura-kura kecil yang sudah mulai mengering. Memasukkannya ke dalam kotak plastik. Kinan tersenyum.

Dean hanya manggut-manggut saja. "Sejak kapan lo deket sama Sean?" Pertanyaan yang satu itu dari kemarin sudah mengganggu pikiran Dean.

"Wah Kak Sean ternyata terkenal ya. Itu.. Kinan gak deket kok sama Kak Sean." Memang begitu kan. Hanya sebatas kenal dan beberapa kali bertemu. "Kenapa emangnya, Kak Dean?" tanya Kinan. Gio juga bertanya seperti itu padanya juga.

"Nggak kenapa-kenapa sih. Cuma agak kaget aja ternyata lo kenal dia juga."

Kinan menyandarkan punggungnya pada sofa. "Dunia sempit banget ya, Kak Dean?" ujar Kinan. Matanya melihat lampu gantung di atas sana.

Dean memilih diam, tidak menyahut. Tetapi menyetujui juga ucapan Kinan.

"Kak Dean, makan samyang yuk. Kinan mau begadang nih. Movie marathon juga kalo Kak Dean mau."

"Tidur, Kinan." Dean meletakkan gantungan kura-kura yang sudah selesai ia beri warna itu. Meletakkannya di atas koran tempat Kinan meletakkan gantungan kura-kura miliknya.

"Kinan laper tau. Nih ya, kalo Kak Dean bisa denger perut Kinan udah meraung-raung," ucap Kinan dan bangkit. "Temenin Kinan beli samyang di minimarket depan."

"Masih ujan. Makan yang lain aja. Ayah masak, 'kan?" Dean ikut bangkit. Merapikan segala peralatan yang tergeletak di bawah lantai itu.

"Biar nanti Kinan aja yang beresin." Tetapi Dean sudah merapikan semuanya. Koran-koran yang sudah tak terpakai juga sudah Dean buang ke tempat sampah. Kinan melihat ke arah luar. "Itu udah gak ujan, Kak Dean. Kinan bisa ngeliat dari jendela."

Dean meraih gelas berisikan air mineral yang tadi Kinan ambilkan untuknya dan melihat ke arah jendela di sampingnya juga.

"Naik mobil aja ya? Biar gak kedinginan lo nya."

Kinan mengangkat kedua sudut bibirnya dan menganggukkan kepalanya itu cepat-cepat. Akhirnya makan samyang keju!

"Kak Dean, mau rasa apa? Carbonara suka? Keju sama kayak Kinan aja? Apa mau yang biasa?" Kinan berceloteh ketika mereka sudah berada di dalam minimarket depan rak berbagai jenis mie itu.

Dean malah menarik ujung rambut Kinan. Mendengar ocehannya yang panjang itu. "Keju sama kayak Kinan," jawabnya dan memainkan ponselnya lagi. Geraldi yang mengirimkan pesan singkat padanya.

Dan Dean merasakan tarikan di sisi kausnya. Ya siapa lagi yang melakukan itu jika bukan Kinan. "Ayo pulang. Kita makan samyang keju!" Kinan tersenyum lebar dan memperlihatkan dua samyang di tangannya. Kinan memilih untuk tidak menggunakan kantung plastik.

"Kok lo yang bayar?" Dean mengernyit.

"Sekali-kali Kinan yang bayar, jangan Kak Dean mulu."

Dean menggelengkan kepalanya. "Tunggu gue di mobil ya. Geraldi minta gue beliin rokok dulu."

"Ada Kak Gerald?"

"Di tempat nasi goreng. Nanti kita ke situ dulu sebentar."

Kinan manggut-manggut. "Kinan tunggu Kak Dean di luar."

"Mhm-mm."

Setelah berada di depan minimarket. Kinan mengedarkan pandangan sebentar. Memang minimarket di komplek rumahnya tidak terlalu ada banyak orang tetapi malam ini hujan yang datang kembali, tidak terlalu deras membuat di sekitarnya begitu sepi. Tak lama, Kinan merasakan ponselnya bergetar. Ada chat dari Ayah. Kinan tersenyum membaca pesan singkat itu. Dan belum sempat Kinan mengetikkan balasan, tubuhnya ditarik ke belakang.

Tidak pernah sekali di hidupnya Kinan dihadapkan oleh seseorang yang membekap mulutnya dan mencekik lehernya. Punggung Kinan membentur tembok di belakang minimarket yang gelap. Napasnya sudah tersengal. Tidak bisa menebak juga siapa orang di depannya sekarang. Memakai pakaian serba hitam dengan masker juga.

Lalu, suara orang itu terdengar.

"Seharusnya dulu itu lo yang mati, Kinan."

Tebak-tebakkan gais. Menurut kalian siapa? :)

Setuju gak kalian kalo Flora-Gio. Rama-Abby. Dean-Kinan? Wkwkwk

Suka gak sama part ini?

Mau lanjut?

Udah part 37, menurut kalian cerita Lines itu gimana sih?🙈🙈🙈

Sori typo

[ Ola ]

[ Rama ]

[ Abby ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro