Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

i don't even know your name

Bagian 29 |
you'll never know what you did to me

Kembali kerutunitas awal, up malming ehe

Enjoy.. sori typo✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

Gio merasakan tubuhnya terdorong ke belakang hingga membentur tembok. Pertiwi sudah beberapa menit yang lalu membunyikan bel istiharat. Tadinya Gio berniat setelah dari toilet di lantai tiga ini, dirinya akan langsung menuju ke kantin lantai satu tetapi Rama di depannya sekarang membuat Gio mengurungkan itu. "Apaan lagi sih, Ram?" Dengan sikap sesantai mungkin Gio menepis kedua tangan Rama di kerah seragamnya itu.

Sungguh berbeda sekali dengan Rama yang seperti ingin menghabisi Gio sekarang juga. Lalu, Rama mendengus. "Gimana rasanya udah ngejilat ludah sendiri?" Sindiran yang Rama keluarkan memang begitu kentara dan tepat sasaran karena bisa dengan jelas Rama liat perubahan di wajah Gio kini.

Tentu saja Gio paham betul apa yang Rama coba katakan padanya. Rahang Gio mengencang. Tetapi beruntungnya, Gio masih dapat menahan untuk tidak melayangkan pukulannya pada Rama. Kemudian, yang Gio lakukan adalah melihat para murid-murid yang berlalu-lalang di belakang Rama itu dengan tatapan yang berbeda-beda ke arahnya. Gio menunduk sebentar. "Kinan butuh gue," katanya pelan seraya mengingat Kinan yang menangis di malam itu.

Mendengar ucapan Gio barusan, Rama berdecak. "Dia gak butuh cowok kayak lo, Yo!" sangkal Rama dengan tatapan meremehkan. Dan Rama tidak percaya bahwa Gio mengatakan itu dengan lancarnya.

"Di awal lo bilang lo gak akan deketin Kinan lagi. Lo inget?" lanjut Rama dan perkataan Gio di hari itu terngiang kembali. Gio yang memang mengatakan itu padanya. Memohon pada Rama juga. Dan bisa-bisanya Gio malah melupakannya bagai angin lalu. Jika sudah seperti itu, Rama harus mengingatkannya kan?

Terlihat kepala Gio mengangguk perlahan. "Ya."

"Dan lo kemaren malah ngajak dia ke rumah lo!"

"Yang kayak tadi gue bilang Kinan butuh gue," sahut Gio masih dengan berusaha untuk tetap tenang. Tidak mungkin juga Gio meninggalkan Kinan sendiri di sana. Dan yang pasti—setelah berdebat dengan pikiran-pikirannya serta mengingat semua konsekuensi yang akan didapat, Gio memutuskan untuk memperbaiki hubungannya dengan Kinan.

"Lo cuma bisa nyakitin dia doang, Yo. Lo sadar gak?!" Sentakkan Rama memang tidak kencang, hanya bisa terdengar oleh mereka berdua. Namun betapa berefeknya itu pada Gio. Dirinya seperti tersentil.

Gio memperhatikan jari-jari tangannya sebentar dan melihat ke arah Rama lagi. "Emangnya lo gak, Ram?" Dan mulai memperlihatkan senyumannya perlahan. Rama langsung terdiam seketika itu juga. "Kalo lo mau tau Kinan berkali-kali cerita sama gue, dia gak suka sama sifat posesif lo. Lo yang larang dia ini-itu. Lo sadar juga?" Gio menambahkan.

"Lo kayak gini karena lo gak bisa dapetin Kinan ya?" Pertanyaan yang sudah lama ingin Gio tanyakan pada Rama akhirnya keluar juga.

Rama ingin tertawa sekencang-kecangnya mendengar itu. Ia menggelengkan kepalanya. "Dia masih gue anggep kayak adek gue sendiri. Dan gue gak mau adek gue deket-deket sama cowok kayak lo."

"Bullshit." Gio tidak percaya itu.

"Terserah lo mau percaya atau enggak. Dan gue cuma takut dia kenapa-kenapa kalo di deket lo. Contohnya... mati di tangan lo mungkin?"

"Bangsat emang ya lo, Ram!" Dan barulah, amarah yang Gio sudah tahan-tahan sejak tadi kini tersalurkan juga dengan pukulannya yang tepat mengenai rahang Rama hingga tubuh laki-laki itu terdorong.

Bagus, Rama berpikir. "Lo kesindir sekarang?!" Yang Rama akan lakukan saat ini adalah membalas pukulan Gio tetapi suara nyaring yang memanggil namanya dan Rama tahu itu Flora, Rama memilih untuk tidak jadi menghantam Gio berkali-kali.

"Kak Rama!"

Flora sudah terlihat di depan sana. Berjalan cepat dengan wajah merah padam. Rama menghela napas pendek dan melepaskan tangannya pada seragam Gio. Pergi begitu saja.

Setelah berada tepat di hadapan Gio, Flora mengangkat jari telunjuknya di depan laki-laki itu. "Lo—" Ucapan yang belum sempat terselesaikan oleh Flora terhenti saat tangan Gio meraih tangannya.

Dengan tarikan di bibirnya membentuk senyum tipis, Gio mengatakan, "Longlast ya, La." Lalu, menarik langkah menjauh juga dari Flora yang masih melihatnya dengan tatapan kesal.

Gio tidak memedulikan itu lagi dan melanjutkan langkahnya untuk menemui teman-temannya di kantin seraya sesekali melihat jari-jarinya yang agak memerah. Kemudian, Gio memelankan kakinya ketika tepat di depannya punggung Kinan terlihat. Tatapannya terfokus pada gadis itu. Seperti biasa, dirinya menjadi orang asing kembali. Gio memilih berjalan di belakang Kinan.

Gue gak mungkin ngelakuin hal kayak gitu sama cewek yang gue sayang, Ram.

...

"Kinan!" Saat kedua mata Reksha menemukan sosok adik kelas yang sangat dikenalnya itu, langsung saja Reskha memanggilnya. Terlihat di depan sana Kinan menoleh dan tersenyum.

Reksha melambaikan tangannya dan dengan agak berteriak mengatakan, "Gabung sini." Bosan juga lama-lama berbicara dengan dirinya sendiri meskipun di depannya ada Geraldi. Temannya itu justru sibuk mendengarkan lagu lewat earphone dan mengetikkan pesan singkat untuk siapa.

Kinan memilih duduk di samping Reksha. Senyumannya juga belum pudar. Kinan melihat Geraldi sekilas dan melihat ke arah Reksha lagi. "Kak Angga kok gak ada?" tanya Kinan kemudian. Karena biasanya mereka selalu bersama-sama kan?

"Angga itu anak OSIS sibuk dia tuh," jawab Reksha dan mengubah posisi duduknya agar bisa melihat ke arah Kinan sepenuhnya.

"Oh." Kinan mengerti.

Reksha mengangkat sudut bibirnya dan menaik-turunkan kedua alisnya itu. "Lo gak mau nanyain satu orang lagi?" Gantian, sekarang Reksha yang bertanya.

Kinan mengeryit. "Siapa?"

Tatapan Reksha beralih ke arah Geraldi. "Siapa yang gak ada di sini, hayoo?" Cengirannya terlihat sekarang.

Kinan diam. Geraldi berdeham pelan.

"Dean." Itu Geraldi yang menjawab.

Dengan tidak nyambungnya, Kinan malah melambaikan satu tangannya ke arah Geraldi. "Hai, Kak Gerald!" sapanya. Senyuman Kinan makin lebar.

Geraldi yang mendengar itu langsung melirik Kinan di depannya. Senyuman Kinan masih terlihat. Sekarang yang Geraldi lakukan adalah mengangkat tangan kanannya dan mendekat ke arah Kinan yang tahu-tahu sudah menutup matanya rapat-rapat, padahal Geraldi hanya menyentuh puncak kepala Kinan dan mengacak-acak rambut gadis itu hingga berantakkan. Seperti pertama kali mereka berbicara satu sama lain.

Setelah merasakan tangan Geraldi yang menjauh dari kepalanya, Kinan membuka kedua matanya dan merapikan rambutnya itu. Memandang agak kesal ke arah Geraldi.

"Lo mau tau gak, Nan?"

Perhatiannya kembali pada Reksha kini. "Apa tuh, Kak Reksha?" Kinan balik bertanya.

Sebelum menjawab, Reksha melihat Kinan lurus-lurus. "Semalem Dean nyariin lo. Ampe uring-uringan tuh anak karena lo gak ketemu. Lain kali kabarin Dean ya?" Kali ini suara Reksha lebih pelan.

Mendengar itu, Kinan menganguk kaku. "Ah, iya."

Reksha menarik kedua sudut bibirnya lagi, tersenyum lebar. "Sebenernya saingan lo itu banyak, Nan. Beuh saking banyaknya gue ampe gak hapal." Setelah mengatakan itu Reksha menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Saingan Kinan? Apa sih maksudnya?" Kinan tentu saja tidak paham. Kerutan di dahinya terlihat lagi.

"Goblok lo, Sha." Geraldi langsung menyambar.

Tidak menghiraukan sindiran Geraldi, Reksha memberikan pertanyaan baru untuk Kinan. "Lo suka Dean gak?"

"Terlalu frontal lo, Tolol." Lagi-lagi Geraldi menyahut.

Reksha berdecak. Kedua matanya memandang Geraldi sekarang. "Biar jelas lah, Ral. Lo mau emang terus-terusan ngeliat temen lo di PHPin? Enggak, kan?" Reksha tersadar bahwa masih ada Kinan di sampingnya.

"Eh maaf, Nan." Cengiran bodohnya, Reksha keluarkan.

"Minta maaf kenapa, Kak Reksha?" Kinan masih belum mengerti mengenai apa yang Reksha dan Geraldi perdebatkan. Dan Reksha juga minta maaf padanya.

Entah Reksha harus merasa senang atau sebaliknya Kinan tidak mengetahui bahwa Reksha tadi sedang menyindirnya. Belum sempat Reksha menjelaskan, suara menggema dari Edo terdengar.

"Reksha!"

Reksha meringis. "Mati gue. Gue tinggal dulu bentar."

Kinan mengamati Reksha yang terburu-buru pergi meninggalkannya dengan Geraldi.

"Lo ngerti yang diomongin Reksha tadi?" tanya Geraldi dan melepaskan earphone dari telinganya. Meletakkan ponselnya juga ke atas meja. Memerhatikan Kinan di hadapannya lekat-lekat.

Ditanya seperti itu, Kinan tentu saja langsung menggelengkan kepalanya pelan. Dan yang Kinan lihat kini, Geraldi di depannya itu membungkukkan tubuhnya. Mendekat ke arah Kinan juga.

"Sekarang lo liat ke belakang gue."

Kinan mengikuti ucapan Geraldi barusan dan Kinan baru tahu bahwa Dean berada di sana. Berdiri seraya bersandar pada tiang tinggi, berbicara dengan temannya yang lain. Kinan menahan napasnya sebentar.

"Dean itu sahabat gue udah lama, Nan. Dia baru aja ngelewatin masa-masa sulit. Lo pasti tau dia sering banget mimpi buruk kan?"

Tanpa mengalihkan pandangannya ke mana-mana, Kinan mengganggukkan kepalanya perlahan. Dan Kinan tidak menyangka sekarang Dean melihat ke arahnya juga. Kinan tersenyum tipis. Iya, Dean sudah bercerita tentang itu kepada Kinan, Kinan masih ingat.

"Gue gak mau ngeliat dia kayak gitu lagi, Nan."

Kinan lagi-lagi mengangguk. Kinan juga tidak ingin melihat Dean merasakan mimpi buruk lagi. Dan Dean di depannya mengatakan "Apa?" Pada Kinan tanpa suara. Kinan hanya menggelengkan kepalanya dengan masih memperlihatkan senyumannya itu. Dean sendiri juga masih mengamati Kinan dari sana.

"Dan pas dia kenal lo, deket sama lo.. gue ngeliat Dean beda banget. Dia lebih mau terbuka sama temen-temennya lagi. Hang out bareng lagi. Itu cuma karena deket sama lo. Dan lo malah buat dia hampir kayak gitu lagi kemaren."

Senyuman di bibir Kinan perlahan-lahan hilang. Kinan tidak pernah bermaksud untuk membuat Dean merasa begitu. "Kinan udah minta maaf sama Kak Dean."

"Dia gak butuh minta maaf lo, Nan. Dan gue kasih tau lo, posisi lo bakalan digantiin kalo lo masih aja ngegantungin dia. Lo mau?"

Butuh waktu lama Kinan menanggapi perkataan Geraldi. Dengan masih melihat ke arah Dean yang juga melihat ke arahnya, Kinan bertanya, "Siapa?"

Geraldi perlahan menarik sudut kiri bibirnya ke atas sedikit. "Lo bakalan tau dia siapa nanti. Sekarang pertanyaannya cuma satu, Nan; lo suka sama Dean atau enggak?"

...

"Gue kesel banget sama Gio, Nan!"

Kinan agak kaget mendengar suara Flora yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya. Flora juga sudah duduk di samping Kinan dengan wajah yang memerah. "Ola kenapa sih dateng-dateng malah ngomel-ngomel?" tanya Kinan dan menggerakkan bangkunya untuk mendekat ke arah Flora. Saat ini mereka memang berada di dalam kelas menunggu guru untuk masuk.

Flora dengan cepat melihat ke arah Kinan. "Lo denger tadi gue bilang apa?"

"Ola kesel sama Gio?" Jawaban Kinan malah seperti memberikan pertanyaan baru untuk Flora.

Kepala Flora langsung mengangguk. Raut kesalnya belum juga hilang. "Nah itu! Kita emang harus jaga jarak terus dari tuh cowok bar-bar. Ish!" Kedua tangan Flora terkepal di atas meja. Membayangkan dirinya yang akan memukul Gio sekarang juga.

Di kelas ini yang membenci Gio sampai sebegitunya ya hanya Flora. Kinan sampai bingung sendiri. "Emang Gio kenapa?" Kinan menggigit bibir bawahnya. Takut-takut Gio melakukan hal buruk. Lagi.

"Dia udah mukul Kak Rama tadi!"

Entah Flora sadar atau tidak saat mengatakan itu, tetapi Kinan masih bersikap tidak tahu apa-apa. "Gio mukul.. Kak Rama?" Kinan mengulang apa yang Flora ucapkan. Ternyata Gio tidak mendengarkan perkataan Kinan kemarin. Kak Rama baik-baik saja gak ya? Gio gak sampe mahatin kaki Kak Rama, kan? Kinan meringis membayangkan itu.

"Iya! Lo inget dia udah janji kemaren-kemaren sebelum dia diskros dia gak akan berantem lagi? Pembohong banget kan cowok begitu!" Dengan menggebu-gebu Flora berujar. Dan tidak disangka, Gio—laki-laki yang mereka berdua bicarakan—terlihat masuk bersama teman-temannya.

"Jangan ngeliat ke arah dia!" Flora menghadap ke arah lain.

Kinan mengikuti arah pandang Flora dan Kinan merasakan ada tangan menyentuh bahunya. Kinan tahu itu Gio.

Dan demi menutupi kegugupannya, Kinan mencari topik baru. "Kak Rama.. pacarnya Ola ya?" Kinan berharap ini waktu yang tepat untuk menyinggung pertanyaan itu pada Flora.

"Kinan." Flora memandang ke arah Kinan tidak percaya. Kedua matanya membulat.

Kinan tersenyum lebar. "Gak apa-apa kok, Ola. Kinan malah seneng. Pantesan aja akhir-akhir ini Kak Rama sibuk banget ternyata sibuknya pacaran sama Ola." Semakin lebarnya senyuman Kinan itu.

Sebelum menyahut, Flora menutupi wajahnya itu dengan kedua tangan. Senyumannya juga perlahan terlihat di wajahnya sekarang. "Lo tau dari mana, hah?! Yah, bukan kejutan lagi dong?"

"Kemaren di lapangan basket pas Kinan mau nyamperin Kak Rama ternyata ada Ola juga. Lagi meluk Kak Rama terus ci—"

"Gak usah dilanjutin deh!" tukas Flora seraya menutup mulut Kinan itu. Melihat ke arah sekelilingnya dan bernapas lega mengetahui teman-teman di kelasnya terlalu sibuk untuk mendengarkan ocehan Kinan tadi.

Kinan langsung saja menyingkirkan tangan Flora itu. "Untung Ola udah punya pacar, Ayah Kinan jadinya aman."

"Om Adam itu masih jadi crush gue, Nan. Jangan bilang-bilang sama Kak Rama ya!" Tatapan Flora, ia buat seserius mungkin.

"Ih, gak boleh gitu Ola."

"Bodo!"

"Sekarang cerita sama Kinan. Eh iya, PJ nya buat Kinan mana? Tadi di kantin Kinan cuma makan roti satu doang. Traktir Kinan mie ayam istirahat kedua pokoknya."

Flora hanya manggut-manggut saja. "Iya-iyaa gue traktir."

"Asik. Cerita sama Kinan sekarang!"

Dan menceritakan tentang dekatnya ia dengan Rama.

...

Gio terkesiap saat Kinan tahu-tahu sudah membuka pintu mobilnya dan duduk di samping Gio dengan wajah datarnya itu. Gio memasukkan kembali rokok ke dalam kotak berwarna putih di tangannya.

Kinan memerhatikan pergerakkan Gio di sampingnya itu. "Kalo mau ngerokok ya ngerokok aja, Gio." Suaranya kini Kinan keluarkan. Iya, Kinan tahu Gio itu perokok aktif. Kinan melihat bibir Gio sudah berwarna keunguan akibat saking seringnya Gio merokok.

"Ya kali." Gio menyahut singkat dan memasukkan kotak putih itu ke dalam tasnya yang ia lempar ke jok belakang.

Kinan masih mengamati Gio hingga jentikkan jari Gio terlihat di depan wajahnya. Kinan mengerjap.

"Kok lo malah ke sini? Tau dari mana juga gue ada di sini?" tanya Gio dan melihat Kinan lalu ke arah belakang gadis itu.

"Emang Kinan gak boleh ke sini ya?"

Gio menggeleng. "Nggak boleh. Masih inget apa aja yang gue bilang?"

"Inget yang Kinan bilang kalo Gio gak boleh mukul Kak Rama?" tantang Kinan.

Mendengar itu, Gio benar-benar melihat Kinan kini. Menggerakkan kepalanya untuk Gio sandarkan ke jok. Helaan napasnya terdengar. "Tau dari mana?" tanya Gio pelan.

"Ola."

Ah iya, tahu dari mana lagi jika bukan Flora. Sebelum menjawab, dengan tangan kirinya, Gio menyelipkan helaian rambut Kinan ke belakang telinga gadis itu. "Salahin si Rama juga lah udah buat gue kesel." Suaranya, Gio buat senormal mungkin. Jari-jarinya masih saja memainkan helaian rambut Kinan. Sesekali melirik ke arah netra cokelat gadis itu.

"Kenapa lagi, Gio?" Pasti ada alasannya Gio memukul Rama.

"Sama aja kok yang kayak kemaren-kemaren. Lo mau langsung pulang?" Gio memberikan Kinan pertanyaan lain dan sentuhannya pada rambut Kinan berubah menjadi usapan lembut.

Kinan menyandarkan kepalanya pada telapak tangan Gio. "Pulang sama Gio?" Tatapannya penuh harap.

Dan dipatahkan oleh gelengan kepala dari Gio. "Nggak bisa, Ki." Gio menyelipkan senyuman tipisnya untuk Kinan. Saat dilihatnya raut wajah Kinan berubah, Gio terkekeh sebentar dan membawa tangan kanannya yang bebas ke kepala Kinan juga "Gue juga mau langsung pulang, gak ke mana-mana. Jangan kesel gitu muka lo." Lalu, merasakan tangan kanannya ditepis oleh Kinan. Namun, itu membuat senyum Gio makin lebar.

"Kinan mau sama Gio."

Siapa yang tidak mau memangnya menghabiskan waktu bersama pacar sendiri? Terlebih sudah pulang sekolah seperti ini. Ayah Adam belum pulang. Kinan bakalan sendirian di rumah.

"Nanti malem facetime gue pake nomor yang gue kasih. Oke?" Gio mengangkat kepala Kinan agar bisa melihat wajah Kinan dengan jelas.

"Gio aja duluan."

Suara Kinan masih terdengar kesal. Gio mengangguk. "Iya-iya gue duluan. Yaudah turun sana."

Dengan berkata seperti itu, Kinan tentu saja tambah kesal. "Ish, sebentar!"

"Mau ngapain lagi, Kinan?" Gio bertanya dengan sebelah alis terangkat tinggi, menunggu jawaban Kinan yang tak kunjung keluar dari mulut gadis itu dan Gio memilih untuk menarik leher Kinan dan membawanya ke dekapannya.

"Udah gue peluk ya. Salam buat kura-kura lo di rumah."

Gio mendengar kekehan Kinan. Kinan juga sudah menjauh dari dirinya dengan senyum yang tidak bisa Kinan tahan lagi. "Daah!" Kinan bersiap-siap untuk keluar dari mobil Gio itu.

"Daah!" balas Gio juga.

"Hati-hati ya, Gio. Kalo ketauan Gio gak pulang, Kinan aduin ke Mamah Anneth." Dan Kinan benar-benar membuka pintu di sampingnya.

"Lo pikir gue bakalan ke mana?" Gio mengernyit.

"Kinan tau pokoknya ke mana."

"Lo gak tau."

"Kinan tahu."

Gio manggut-manggut. "Iya-iya, lo tau. Take care ya!"

Kinan hanya melambaikan tangannya saja. Masih berdiri di tempatnya hingga mobil Gio menjauh dari pelataran parkir. Kinan mengambil ponsel di saku seragam.

Kinan : Kak Rama dimana?
Anna tunggu di depan ya.
Send. 04.05 pm.

Dengan langkah sepelan Pororo, Kinan berjalan ke arah gerbang di depan sana. Rama masih belum juga membalas pesannya. Lima menit lagi nama Rama tidak terlihat di ponselnya, Kinan bertekad akan naik ojek online saja. Tak lama, ponselnya bergetar. Ternyata bukan dari orang yang Kinan tunggu-tunggu. Kinan menggigit bibir bawahnya.

Kak Dean : Liat ke samping kiri lo.
Read. 04.08 pm.

Kinan lebih dulu diam dan menggerakkan kepalanya ke arah kiri. Di sana sudah terlihat Dean yang berdiri tidak jauh dari dirinya dengan hoodie hitamnya itu. Kinan merasakan ponselnya bergetar lagi.

Kak Dean : Mau nemuin Sergio?
Read. 04.09 pm.

Kinan membaca pesan singkat dari Dean berulang-ulang. Pertanyaannya mudah tetapi mengapa sulit untuk dijawab oleh Kinan. Kinan melihat ke arah Dean lagi yang ternyata sudah berjalan mendekat ke arahnya. Dan yang Kinan tahu tangan dingin Dean menggengam pergelangan tangannya, membawa Kinan ikut bersama Dean.

"Kan Kinan belum jawab mau atau enggaknya, Kak Dean." Dengan keberanian yang Kinan kumpulkan, Kinan berujar. Mendongak juga untuk melihat wajah Dean di sampingnya.

"Lo gak mau?" tanya Dean masih berjalan untuk menuju ke arah mobilnya terparkir di depan sana.

Kinan justru diam. Tidak tahu harus menjawab apa. Mengapa juga saat bersama Dean everything seems so.... right. Tidak seharusnya seperti ini kan?

Dan yang Kinan tahu selanjutnya, dirinya sudah berada di dalam mobil Dean dengan Dean yang sedang mengemudi. Pelan-pelan, Kinan menggerakkan kepalanya untuk melihat Dean di sampingnya itu. "Kak Dean... udah gak marah sama Kinan?"

"Kapan gue bilang gue marah sama lo?" Saat menjawab itu, Dean masih memfokuskan matanya ke depan jalan sana.

Kinan lagj-lagi menggigit bibir bawahnya. "Ketauan juga dari sikap Kak Dean kok." Dan mencoba untuk sesantai mungkin, Kinan menyandarkan kepalanya pada jok. Memerhatikan jalanan di depannya juga.

"I'm not. Gue emang begini, 'kan?"

Kepala Kinan menggeleng, entah Dean melihatnya atau tidak. "Kinan mau es krim stoberi. Kinan mau ngasih makan Sergio nanti. Kinan mau selfie berdua sama Kak Dean di sana."

"Mhm-mm."

Respons apa itu? Dean memang selalu seperti ini menanggapi ucapan Kinan, tetapi Kinan merasa beda. Untuk melihat wajahnya saja, sepertinya Dean tidak ingin.

"Pulangnya Kinan mau makan donat rasa green tea. Kak Dean temenin Kinan sampe donatnya abis. Kak Dean gak boleh pulang dulu."

Dean mengangguk dan kali ini Dean melihat ke arah Kinan. Menarik ujung rambut Kinan juga. Tidak bisa menahan lagi untuk tidak melakukan itu. "As you want, Kinan."

Perlakuan Dean yang seperti biasanya yang dapat membuat Kinan tidak perlu berpikir yang gimana-gimana. Jika Kinan mempunyai keberanian lebih sudah Kinan pukul bahu Dean dengan seluruh tenaga yang Kinan punya, karena membuat Kinan merasakan hal seperti ini. "Kinan hampir aja pengen dorong Kak Dean keluar dari mobil."

"Nggak akan bisa lah."

"Iya, makanya Kinan gak jadi," sahut Kinan dan melihat ke arah Dean yang sudah fokus lagi untuk mengemudi.

"Ada telpon penting. Bentar." Dean menepikan mobilnya setelah melihat panggilan dari Agam di ponselnya. Itu temannya yang berada di bengkel.

"Dia mau ngambil mobilnya sekarang juga? Lo gak bisa nelpon si Dika aja buat ke sana? Emangnya dia ke mana? Iya-iya, gue otw."

PIP. Dean mematikan panggilan itu dan mengemudikan mobilnya lagi.

Belum sempat Kinan menanyakan kenapa, suara Dean sudah terdengar lebih dulu. "Temen gue butuh gue di bengkel. Kita ke sana dulu ya, Nan. Gak lama kok."

Kinan hanya menyetujui.

Dan setelah sampai di bengkel yang lumayan besar itu, Dean memberitahukan Kinan bahwa Kinan jangan pergi ke mana-mana. Tunggu Dean menyelesaikan tugasnya dulu. Kinan lagi-lagi hanya mengangguk.

Dengan langkah pelannya dan keingintahuan yang besar, Kinan melihat ke segala penjuru. Kakinya membawa Kinan untuk masuk lebih dalam. Dean terlihat sedang membantu temannya juga di sana.

Di depannya, Kinan melihat ada satu mobil yang menarik perhatiannya itu. Kinan mendekat lagi. Mobil sedan berwarna hitam. Bagus. Kinan mengintip dari jendela isi dalam mobil itu. Kinan lalu melihat ke depan. Kinan diam beberapa saat dan sedikit lagi tangannya menyentuh kap mobil itu, Dean menghentikan pergerakkannya.

"Jangan dipegang, Nan."

Kinan terkesiap seketika itu juga. "Maafin Kinan ya, Kak Dean. Kinan belum pegang mobilnya kok." Suara Kinan sudah terdengar serak seperti ingin menangis. Padahal nada suara Dean tidak ada bentakkan atau apa pun. Dean memberitahukan Kinan dengan amat sangat pelan.

Kinan merasa juga sudah terlalu sering akhir-akhir ini membuat Dean kesal dan sekarang pastinya juga. Kemudian, Kinan cepat-cepat menghapus air mata yang berhasil jatuh. Tetapi Dean melihat itu.

"Kinan, gak apa-apa. Yang punya mobil bilang sama gue, dia gak mau kalo mobilnya ada yang—Kinan, jangan nangis." Dean tidak tahu harus melakukan apa selain membawa Kinan mendekat ke arahnya. Mengusap punggung Kinan yang bergetar, memberikan satu tindakan langsung agar Kinan merasa tenang.

"Kinan gak pegang mobil, Kak Dean. Maafin Kinan ya?" ujar Kinan berulang-ulang.

Dan membawa Kinan pulang adalah hal paling benar yang harus Dean lakukan. Beruntungnya sudah ada Adam. Kinan langsung memeluk tubuh Ayahnya itu seraya Dean menjelaskan mengapa Kinan menangis.

"Anna biar aja Om yang nenangin. Makasih udah bawa dia pulang ya."

Dean hanya menangguk dengan perasaan yang pastinya belum juga tenang.

"Ann, mau cerita sama Ayah?" Adam bertanya saat dirinya dengan Kinan sudah berada di kamar putrinya itu. Kinan masih saja menangis dengan segukan.

"Anna.. buat Kak Dean kesel terus, Yah." Dengan terbata-bata Kinan menjawab seperti itu.

"Dean malah yang minta maaf tadi. Dean gak kesel sama Anna. Kalo Dean kesel, pasti Anna gak dianter pulang."

Kepala Kinan menggeleng. Maafin Anna, Yah.

Yang kayak Rama bilang, Rama masih nganggep Kinan sebagai adiknya. Aku bakalan jelasin lagi nanti. Apa udah ada yang tau alasannya? :)

Yang bertanya-tanya Rama siapanya Kinan sih? Sekarang udah agak tau ya ehhehe

Kinan yang buat kesel dia sendiri yang nangis hm

Ada yang ganjal gak dipart ini gais?

Part besok mau banyakin Scene siapa nich? Komeen di sini ya ehhehe

Teamnya Dean masih ada kan ya? Huhu

[ Rama ]

[ Reksha ]

[ Ma luv aka Geraldi ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro