honest
Bagian 10 |
baby, I'm just tryna be honest
Sesuai yang aku bilang dipart kemarin, aku up lagi malming.. azeeq gak tuh? Wk
Vote dan komen lagi gais, biar cepet up lageee✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
Dean mengetukkan jari telunjuknya pada kemudi seraya memperhatikan Kinan yang sedang berbicara dengan Rama di depan sana. Dean sedang berada di dalam mobilnya yang masih terparkir di Pertiwi. Sesekali Dean melihat Kinan dan Rama melihat ke arahnya juga.
Embusan napas pelannya, Dean keluarkan. Sore ini, Kinan akan pulang bersamanya dan bisa ditebak apa yang sekarang sedang Kinan katakan pada Rama. Masih belum mengerti—atau bisa dibilang Dean tidak ingin buru-buru juga memahami perasaannya pada Adik kelas yang ia temui pertama kali di UKS itu. Kinan dan segala yang dimiliki gadis itu. Masih sangat jauh.
Lucunya, Dean ingin selalu berada di dekat Kinan.
Dekat. Dengan. Kinan.
"Lo mau buat gue seneng gak?" Dean bertanya. Saat itu mereka sedang berada di dalam kelas Kinan yang sudah kosong. Saat itu juga Kinan sedang membereskan peralatan belajarnya ke dalam tas dengan Dean yang duduk di sebelahnya, memperhatikannya.
Ditanya seperti itu, Kinan melihat ke arah Dean. Netra abu-abu gelap milik Dean berhasil membuat Kinan ingin memandangnya lama-lama. Kinan belum pernah melihat Dean tersenyum dan saat pertanyaan itu muncul dari mulut Dean sendiri, Kinan mengangguk mantap. "Mau!" jawabnya.
"Mau pulang bareng gue?"
"Mau!"
"Mau main tanya-jawab sama gue lagi?"
"Mau!"
"Mau gue bikinin pasta lagi?"
"Mm, mau banget!"
"Mau apa?"
Kinan langsung memperlihatkan senyuman lebarnya. "Mau buat Kak Dean seneng." Setelah mengatakan itu, Kinan menggigit bibir bawahnya dan kembali memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Dan selesai. Kinan berdiri. Dean memegang pergelangan tangannya pelan. Kinan duduk lagi.
Saat Kinan sudah memandangnya, Dean mengeluarkan suaranya kembali. "Gue tunggu di parkiran ya. Gak perlu gue ingetin lagi kan?" Masih belum ingin melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Kinan, Dean bertanya lagi. Memastikan.
Kepala Kinan mengangguk. Dean bangkit dari bangku. Dan sekarang gantian, Kinan yang mencegahnya untuk tidak ke mana-mana. Tangan kanan Kinan sudah mencengkeram sisi hoodie hitam Dean. Dengan mengernyit Dean bertanya. "Kenapa, Nan?"
"Eh, gak jadi."
Dean malah diam. Masih berdiri melihat ke arah Kinan yang kini juga sudah bangkit.
Dengan senyumnya, Kinan menarik lengan Dean. "Jangan ngeliatin Kinan kayak gitu, ayo pulang. Kinan laper."
Dan di sinilah Dean. Menunggu Kinan untuk masuk ke dalam mobilnya. Yang terlihat sekarang Rama menganggukkan kepalanya dan mengusap sisi wajah Kinan sebelum akhirnya berbalik ke arah teman-temannya. Sedangkan Kinan kini berjalan ke arah mobil Dean.
"Kinan pulang sama Kak Dean kan?" Pertanyaan pertama yang Kinan ajukan untuk Dean saat dirinya sudah berada di samping Dean. Sudah memakai seatbelt-nya juga.
Dean mengangguk. Mulai mengendarai mobilnya menjauh dari pelataran parkir Pertiwi. "Iya, pulang bareng gue."
...
"Ayo masuk." Dean langsung membuka hoodie-nya dan juga melempar tas ranselnya ke atas sofa. Kinan di belakangnya mengikuti ke mana Dean pergi. Apartemen Dean membuat Kinan ingin menelusuri semua sudut ruangan yang dominan berwarna abu-abu itu. Warna yang mirip dengan netra si empunya.
Iya, Kinan saat ini sudah berada apartemen Dean. Kedua matanya dengan begitu tidak ingin melewatkan satu pun benda di depannya, Kinan berjalan dengan pelan-pelan, berbeda dengan Dean yang Kinan baru sadari sudah menghilang entah ke mana. Yang Kinan tahu, banyak sekali koleksi dari berbagai macam miniatur mobil di rak hitam dengan bentuk memanjang ke samping pada tembok di living room ini. Pasti mahal! pikirnya.
Lalu, Kinan berjalan lagi dan terlihatlah Dean di depan sana. Sedang duduk di depan meja bar di dapur dengan gelas di tangannya. "Udah selesai ngeliat-liatnya?" Dean bertanya. Saat mengatakan itu, Dean telah memutar tubuhnya menghadap ke arah Kinan.
Kinan menggelengkan kepalanya. "Belum."
"Lo masih punya banyak waktu buat ngeliat-liat." Kemudian, Dean mengulurkan tangan kanannya yang sudah terdapat gelas berukuran sedang ke arah Kinan. "Nih minum dulu. Air putih aja ya, biar sehat," katanya.
Dengan senyum yang lagi-lagi dengan mudah Kinan keluarkan, Kinan mendekat ke arah Dean dan ikut duduk di sebelah laki-laki itu setelah Kinan menerima gelas yang Dean pegang. "Ye ngikutin Kinan," sahutnya dan menegak air mineral itu hingga habis.
"Mau tambah lagi minumnya?" Dean menerima kembali gelas kosong yang baru Kinan beri padanya.
"Enggak. Kinan udah nggak haus." Setelah mengatakan itu, Kinan menjatuhkan sisi kepalanya ke atas lipatan tangannya di atas meja. Memperhatikan Dean dari samping. Jika saja Dean itu orang lain, bisa dipastikan Kinan tidak akan berani untuk ikut bersamanya. Kinan yang begitu percaya pada sosok Senior di sampingnya itu.
Tak lama Dean melihat ke arahnya juga. Kinan belum ingin mengalihkan pandangannya ke mana-mana. Kinan ketahuan sudah memperhatikan Dean. Berkali-kali. Dan yang Kinan rasakan sekarang adalah tarikan di ujung rambutnya. Kinan mengerjap.
Dean menunduk. "Mau makan sekarang?" tanyanya.
Kepala Kinan bergerak. "Kinan udah laper dari tadi."
"Pantesan diem aja." Lalu, Dean bangkit.
Seraya menunggu Dean yang Kinan ingat ingin membuatkan pasta untuknya, Kinan berjalan lagi. Masih penasaran ada apalagi di ruangan yang baru pertama kali Kinan datangi. Apartemen Dean itu berada di lantai 20. Dan dari atas sini—Kinan sedang berada di depan kaca besar yang langsung menyajikan pemandangan sore hari di pusat Ibu kota, Kinan memperhatikan jalanan di bawah sana yang terlihat sedang macet-macetnya.
Beruntungnya Kinan sudah tidak merasakan berada di dalam mobil dengan klakson yang bersaut-sautan.
Tangan Kinan menyentuh kaca di depannya yang terasa dingin di kulitnya. Dan dengan tangan yang masih berada pada kaca besar itu, Kinan berjalan lagi. Memperhatikan langit-langit ruangan yang berwarna hitam lengkap dengan banyaknya lampu berwarna kuning di setiap sisi.
Dan yang sekarang menarik perhatian Kinan tentu saja banyaknya pigura yang terletak di seberang rak dari koleksi Dean tadi. Kinan agak mendongak saat melihat pigura yang paling tinggi dari yang lain. "Kak Dean, kasih tau Kinan dong ini siapa aja." Sambil menunjuk pigura itu, Kinan melihat ke arah Dean yang baru saja meletakkan piring putih itu ke atas meja.
Kinan memperhatikan lagi orang-orang di dalam foto itu. Dan yang Kinan tahu, Dean kini berada di belakangnya persis. Kinan merasakan sisi wajah Dean mengenai rambutnya. Kinan menahan napasnya sebentar. "Mana yang lo mau tau pertama?" tanya Dean. Dan karena saking dekatnya, Kinan juga bisa merasakan embusan napas Dean sekarang.
"Yang ini." Jari telunjuk Kinan menyentuh kaca di pigura itu. Perempuan yang sedang berdiri di antara dua laki-laki.
Dean menggerakkan kepalanya perlahan melihat ke arah Kinan yang masih saja mendongak. Wangi Kinan sudah menguar di indra penciumnya. Manis. "Coba tebak dia siapa." Dean masih belum ingin merubah posisinya. Dan diam-diam, Dean mengamati wajah Kinan. Mata bulat Kinan dengan bulu mata lentiknya. Hidung mungil gadis itu lalu beralih memperhatikan pipi Kinan yang terlihat agak pucat. Jika Dean mau, tangannya sudah akan menyentuh sisi wajah Kinan sekarang juga.
Namun, Dean berhasil menahan keinginannya itu.
"Mm.. kakaknya Kak Dean ya?" Setelah beberapa saat Kinan diam, Kinan sedang menebak-nebak. Akhirnya jawaban seperti itu yang keluar dari mulutnya. Kinan menoleh ke sampingnya. Ingin tahu apakah jawabannya benar atau tidak. Dan pergerakkan Kinan yang tiba-tiba hampir saja membuat jarak di antara mereka sudah tidak lagi ada.
Itu karena Dean dengan cepat berpaling juga. Kemudian, Dean mendongakkan kepalanya sedikit. Fokus Kinan kini pada garis rahang Dean. "Bukan, Nan. Itu nyokap gue," koreksi Dean. Tatapannya tahu-tahu sudah terlihat menerawang.
"Berarti yang ini Ayahnya Kak Dean dong?" Jari telunjuk Kinan menyentuh foto seseorang yang berdiri di samping kanan perempuan yang baru Kinan tahu ialah Ibu-nya Dean.
Dean mengangguk. "Iya, lo bener."
Satu tarikan senyum tipis, Kinan keluarkan. "Pantesan aja. Ganteng banget Ayahnya Kak Dean."
"Oh ya?"
Dean bisa merasakan Kinan menganggukkan kepalanya. Helaian rambut Kinan bergerak di sisi wajah Dean. "Iya. Kak Dean-nya juga."
"Juga apa?"
Untuk pertanyaan yang satu itu, Kinan memundurkan kepalanya sedikit untuk dapat melihat wajah Dean di sampingnya yang saat ini sedang melihat ke arahnya lebih dulu. Lalu, dengan sedikit berbisik Kinan mengatakan, "Juga ganteng." Dan sebelum akhirnya melihat ke arah depan lagi, Kinan memperhatikan Dean sebentar. "Yang ini siapanya Kak Dean?"
Dean memperhatikan telunjuk Kinan mengarah. Laki-laki di sebelah Ibunya. "Mau coba nebak lagi gak?" Dean bertanya balik.
"Kinan mau langsung dikasih tau aja."
"Oke, itu abang gue."
Kinan manggut-manggut. Kedua matanya masih belum ingin beralih ke mana-mana, hingga Kinan baru menyadari sesuatu. "Kok Kak Dean gak ada di foto?" Jelas saja kan itu foto keluarga Dean tetapi malah Dean sendiri tidak ada di sana. Tentu saja Kinan bingung.
Butuh waktu agak lama Dean menjawab pertanyaan Kinan karena sekarang yang sudah menguasai pikirannya adalah bayang-bayang menyakitkan yang pelan-pelan—layaknya benda tumpul, seperti dapat menembus ke dalam dadanya. Dan Dean benci merasakan hal seperti ini.
Menyadari Dean yang hanya diam saja, Kinan melihat ke arah laki-laki itu. "Kak Dean, kenapa?" Kali ini, Kinan bertanya dengan hati-hati.
Dean berdeham pelan. Jari-jarinya menyisir rambutnya yang jatuh ke dahinya ke belakang. Kepalanya menggeleng. "Nggak kenapa-kenapa." Tatapannya sudah melihat ke arah Kinan lagi. Meyakinkan Kinan juga memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan dirinya.
Kinan melihat sebuah garis yang sepertinya bekas luka di dahi Dean itu. Kinan menyipitkan matanya sedikit. "Bener?" tanyanya memastikan. Dan entah mendapat keberanian dari mana, tangan Kinan terulur untuk menyentuh rambut Dean yang menghalangi dahi laki-laki itu, memastikan kembali bahwa yang Kinan lihat tadi tidak salah.
"Kinan." Suara pelan Dean terdengar lagi saat Dean merasakan Kinan sudah berhasil menyentuh bekas luka di dahinya itu. Mulai mengusapnya juga dengan ibu jarinya. Dean memejamkan matanya sebentar dan membukanya pelan-pelan. Memandang Kinan di depannya yang terlihat berbeda. Raut wajahnya sedih.
"Kak Dean, kenapa?" Kinan memberikan pertanyaan yang sama. Kali ini untuk bekas luka yang sedang Kinan pegang.
Tangan Dean meraih tangan Kinan yang berada di dahinya itu. "Nanti gue ceritanya ya. Lo laper, kan? Makan dulu yuk."
...
"Pokoknya Kak Dean nanti Kinan kenalin sama Pororo." Kinan menutup tempat makan kecil untuk meletakkan kuaci yang selalu Kinan bawa-bawa itu. Lalu, memasukkannya ke dalam tas. Malam ini, setelah main ke apartemen Dean, laki-laki itu akan mengantarkan Kinan pulang. Mereka saat ini memang sedang berada di jalan.
Dean menoleh ke arah Kinan sebentar. "Siapa sih Pororo?" Keningnya berkerut. Fokus lagi ke depannya untuk mengemudi. Pororo?
"Peliharaannya Kinan," jawab Kinan dengan senyum lebarnya dan sudah menghadap ke arah Dean sepenuhnya. Meskipun hanya mengenakan hoodie maroon dengan bawahan celana pendek hitam, Dean sudah terlihat begitu menarik. Kinan saja sampai tidak ingin mengalihkan pandangannya ke mana-mana.
"Apa tuh?"
"Kura-kura."
"Oh. Kapan gue dikenalinnya?" Dean melihat ke arah Kinan lagi.
"Kapan Kak Dean mau ke rumah Kinannya?"
Dan jawabannya adalah Malam ini. Karena saat Dean membukakan pintu mobil untuk Kinan ketika sudah berada di depan pagar rumah gadis itu, suara Adam terdengar. "Hayo ketauan nih Anna."
Kinan langsung menarik lengan Dean untuk ikut menemui ayahnya di depan sana. Dan Dean dengan sopannya menyalami tangan Adam. "Malem, Om. Maaf bawa pula—"
"Ini Dean bukan? Senior yang sering Anna ceritain ke Ayah?" Adam memotong ucapan Dean dan beralih melihat ke arah putrinya secara bergantian.
Kinan berjinjit sedikit untuk membisikkan Dean. "Kinan kalo di rumah dipanggilnya Anna."
Dean hanya manggut-manggut.
Kinan lalu membisikkan Ayahnya entah apa. Dan yang Dean tahu, Adam langsung menepuk pundaknya dua kali. "Ayo, sini Dean ikut masuk dulu." Dean hanya menurut, Adam yang menggiringnya ke dalam rumah.
Seharian bersama Kinan. Bertemu dengan Ayahnya. Lengkap sudah yang Dean rasakan sekarang. Dan tentu saja ada rasa senang juga di sana.
"Anna bilang sama Om kalo yang namanya Dean itu jago masak. Sama dong kayak Om."
Dean mendengar itu, langsung melihat ke arah Kinan di sampingnya. Saat ini Dean sedang menyentuh tempurung Pororo di dalam aquarium. "Nggak terlalu jago kok, Om dan karena sering ngeliat Mamah yang setiap hari masak, aku jadi ikut nyoba-nyoba juga." Dean melihat kembali Ayah Kinan yang memang sedang duduk di depannya.
"Oh, jadi Mamah kamu yang jago masak," sahut Adam dan mulai menyesap teh hijau di cangkir putih itu.
"Kebetulan Mamah chef juga kayak Om." Dean sesekali melihat ke arah kura-kura milik Kinan di dalam akuarium kecil tepat di sebelahnya.
Adam mengangguk. Pasti Kinan menceritakan tentangnya kepada Dean. "Kerja di sini?"
Kepala Dean menggeleng pelan. "Jerman, Om tepatnya sih di Berlin."
"Wah. Ayah pernah tuh, Ann ke sana. Anna mau ikut juga gak kalo Ayah ke sana lagi?" Adam mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas saat melihat Kinan menganggukkan kepalanya.
"Mau. Terus kita makan-makanan yang enak ya, Yah."
Mendengar itu, Dean mengamati Kinan yang melihat ke arah Ayahnya dengan penuh harap.
"Iya. Nah Dean, kapan-kapan temenin Om di sini buat masak bareng. Masakin buat Anna. Anna suka banget makan. Ya, Ann?"
"Ketauan deh Anna mah cuma mau makannya aja." Kinan melihat ke arah Dean juga setelah mengatakan itu.
Dean menganggukkan kepalanya dua kali. Masih belum beralih dari wajah Kinan, Dean menjawab, "Iya, masak buat Anna." Lagi.
Dan setelah membicarakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan makanan. Kebiasaan Kinan di rumah. Kebiasaan Kinan di sekolah. Kinan menyentuh jari Dean saat dirinya akan mengantarkan Dean ke depan gerbang rumahnya.
"Seperti biasa ya, Kak Dean. Line Kinan kalo udah sampe rumah." Kinan memberikan Dean senyuman yang biasa Kinan perlihatkan. Kinan sudah mengenalkan Dean dengan Pororonya, Kinan yang sudah memperkenalkan Dean dengan Ayahnya. Lagi. Kebahagian Kinan hari ini bertambah satu.
Dean memperhatikan jarinya yang dipegang oleh Kinan itu kemudian melihat ke arah Kinan di depannya. "Lo langsung istirahat ya."
"Iya. Kak Dean juga."
"Pasti." Dan jari Dean di kelingking Kinan pun terlepas. Dean berbalik untuk menuju ke mobilnya.
"Daaah!" Kinan menutup gerbangnya perlahan, setelah melambaikan tangannya ke arah Dean yang sudah berada di dalam mobil. Lalu, Kinan masuk ke dalam rumahnya lagi. Dengan langkah kakinya yang terkesan cepat dan senyuman yang tidak bisa Kinan tahan, Kinan menaiki anak tangga untuk pergi ke kamarnya di lantai dua.
Belum sempat Kinan membuka pintu putih itu di depannya, ponsel di saku seragamnya bergetar. Dan semakin lebarlah senyum Kinan saat membaca,
Dean : Gue seneng, Nan.
Makasih ya.
Read. 19.45 pm.
Part full Dean-Kinan lagi gaiss. Suka gak?🙈🙈
Satu kata untuk part ini?
Untuk Kinan?
Dean?
Sparkel? Ehe
Semoga kode2nya nyampe ke klean ya😏
Lanjut nih cyin?
[ Dean ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro