Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

goes to waste

Bagian 59 |
when you get what you want,
but not what you need

Ternyata udah ngulang ulang tahun untuk kedua kalinya pas nulis Lines wkwkwk Yep. 'Cause today is my birthday, so.. aku up nich

Bacanya malem2 aja plis lol
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

Kinan masuk ke dalam rumah saat mobil Sean sudah benar-benar tidak terlihat dari pandangannya lagi. Pintu kamar Ayahnya tertutup rapat, mungkin Ayahnya sudah tidur. Kinan menyayangi Ayahnya lebih dari apa pun, namun Kinan juga tidak bisa langsung menyetujui apa yang dimaui Ayahnya ketika itu bertentangan dengan apa yang ia inginkan. Bukan, bukan maksud Kinan menjadi anak yang tidak penurut, Ayah hanya belum tahu saja. Hanya itu. Lalu, Kinan melanjutkan langkahnya ke lantai dua, ke kamarnya.

Dari pembicaraannya dengan Sean tadi, Kinan dapat melihat sisi Sean yang lain. Ah, tidak. Bukan itu. Kinan tidak pernah mengenal Sean. Sean terlalu membuat Kinan pusing dengan apa yang laki-laki bertato itu bicarakan. Membuat Kinan ingin mencopot kepalanya, jika bisa. Sean mengatakan hal yang sama dengan yang Dean katakan beberapa saat lalu. Itu yang berada di pikiran Kinan kini.

Dan kepalanya akan benar-benar Kinan copot ketika melihat Gio di dalam kamarnya. Tersenyum menyambut Kinan seperti tidak terjadi apa-apa. Dalam lubuk hatinya yang terdalam; Kinan kangen Gio.

"Selama kita pacaran, gue belom pernah ya beliin lo beginian?" Gio yang sedang duduk di atas meja belajar Kinan, memperlihatkan satu bungkus—entah apa itu dan juga satu tangkai bunga mawar putih di tangan kanannya. "Begonya gue, gue gak tau apa yang lo suka, Ki." Senyumannya belum juga hilang, tetapi dalam sorot mata teduhnya bisa dilihat ada penyesalan di sana.

Kinan menutup pintu kamarnya dan bersandar di depannya. Belum ingin langsung berjalan ke arah Gio dan memeluk leher laki-laki itu hingga lama. "Itu apa?" tanyanya. Mengalihkan keinginan yang berada di kepalanya.

Gio melirik ke arah bungkusan yang agak besar di tangan kirinya itu, lalu melihat ke arah Kinan lagi. "Makanan Pororo?"

Kinan berusaha untuk tidak tertawa. Pacar siapa yang membelikan makanan hewan peliharaan saat di antara mereka sedang tidak baik-baik saja? "Yang buat Kinan yang mana?" tanyanya lagi.

"Gue aja."

"Maksudnya?" Kinan mengernyit.

Gio menjelaskan, "Gue aja yang buat lo."

Kinan menggeleng. "Yang mana, Gio?"

"Bunganya buat lo." Tangan kanan Gio terulur.

Sepertinya tidak lama Kinan tidak bertemu Gio, tetapi laki-laki yang sedang berdiri di depannya; memakai kaus putih dengan luaran jaket denim dan juga celana jins hitam itu terlihat begitu menarik.

"Satu doang?"

Gio mendengus. "Jangan buat gue kesel, plis. Terima kek, nih."

"Seharusnya Kinan yang kesel." Wajah Kinan masih datar.

Yang Gio lakukan setelah itu, meletakkan makanan pororo yang ia beli di atas meja belajar Kinan lalu berjalan mendekat ke arah gadis itu. Betapa rindunya Gio. Untung saja egonya bisa Gio kalahkan malam ini. "Iyaa, maaf ya, Kinan." Suaranya dibuat selembut mungkin. Dan saat berada di hadapan Kinan persis, Gio mencium pipi Kinan agak lama.

Kinan menerima satu tangkai bunga mawar putih itu dari tangan Gio dan menjauhkan wajahnya sedikit. Gio terlihat tidak suka. Kinan mengusap sisi wajahnya. "Ada yang mau Gio ceritain sama Kinan? Apa gitu?" Dan membawa tangannya menjauh. Mendongak untuk menatap mata Gio lekat-lekat.

"Apaan?" Gio menyahut.

Mengigit bibir bawahnya, Kinan memberikan pertanyaan lain. "Ya apaan?"

Gio menggeleng. Tatapan mengarah pada bibir mungil Kinan kini. "Yang gue tau gue cuma mau cium lo." Tangan kanannya terangkat dan mengusap ujung bibir Kinan. Berkali-kali.

"Gio, cerita dulu." Kepala Kinan menggeleng.

Masih belum mengalihkan pandangannya ke mana-mana Gio mengatakan, "Gue gak fokus, Kinan."

"Kinan lagi kesel sama Gio."

Tanpa memedulikan ucapan Kinan barusan, Gio malah memiringkan kepalanya. Menunduk juga untuk bisa menenggelamkan wajahnya pada leher Kinan itu. "Kangen, Ki." Suaranya pelan sekali. Ternyata menjauhi Kinan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.

Gio sudah berkali-kali menjauhi Kinan, dengan sok-nya melakukan itu agar semuanya berjalan seperti yang semestinya dan justru berakhir pada Kinan lagi. Kinan mengapa selalu bisa membuat Gio repot begini sih?

"Jangan bohong, Gio." Kinan lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Dengan satu tangannya yang bebas, Kinan mencengkeram sisi kaus yang Gio kenakan kuat-kuat.

"Cium sekali. Terus gue kasih tau semuanya," bisik Gio dan tersenyum di sana. Menunggu apa yang akan Kinan ucapkan dengan perkataannya yang seperti itu.

Semakin eratlah cengkeraman tangan Kinan itu. "Jangan bohong."

Gio diam beberapa saat. "Gue ke sini juga pengen pamitan sama lo. Be nice, please."

Mendengar itu, lantas saja Kinan mendorong dada Gio untuk menjauh dari dirinya. "Pamitan ke mana?" Ada nada kesal di suaranya.

Kedua sudut bibir Gio tertarik ke atas. Berjalan mundur hingga Gio bisa merebahkan tubuhnya pada tempat tidur Kinan. "Pamit dari hati lo."

"Nggak usah bercanda, Gio. Pamitan ke mana?" Suara Kinan agak tinggi sekarang.

Dengan jailnya Gio berujar, "Ke mana ya?" Tatapannya masih ke arah Kinan.

"Gio!" sentak Kinan.

Melihat Kinan yang kesal sekarang membuat kekehan Gio terdengar. Gio bangkit, mendudukkan dirinya. Merentangkan kedua tangan yang sebelumnya Gio lepas terlebih dahulu jaket denimnya itu. "Sini, Ki."

Kinan menyentaknya sekali lagi. "Jangan bercanda!"

"Iya, ini gue mau cerita. Gue udah capek juga nahan semuanya sendiri. Pengen didenger juga gue."

Akhirnya setelah beberapa detik terdiam, Kinan mendekat juga ke arah Gio. Duduk di samping laki-laki itu. Mencengkeram sisi kaus Gio lagi. Takut jika Gio benar pergi. "Apa?" tanya Kinan pelan, nyaris berbisik.

"Cium dulu."

"Gio." Dengan segenap tenaga yang Kinan keluarkan, Kinan memukul bahu Gio itu. Biar tahu rasa. Tidak mengerti saat-saat untuk serius dan bercanda.

"Sekali." Sekali cium Kinannya.

Kinan melihat ke arah lain. Ke arah tangan Gio yang terluka itu. "Kita kan lagi marahan."

"Masa?"

"Iya." Kinan mengangguk. Tangannya mengusap jari Gio yang terdapat segaris luka di sana.

Saat Kinan tidak melihat ke arahnya, di situlah Gio tersenyum. Lucu juga melihat Kinan yang sedang kesal seperti itu. "Gue harus ngapain supaya kita gak marahan lagi?" Tangannya menyingkirkan helaian rambut Kinan ke belakang telinga gadis itu.

"Cerita ke Kinan." Hanya itu yang Kinan mau. Mendengar langsung dari Gio.

"Cantik banget sih cewek gue." Dengan tidak nyambungnya Gio berujar. Memeluk tubuh mungil Kinan erat-erat dan mencium ujung bibir gadis itu berkali-kali saking gemasnya.

Lagi-lagi Kinan mendorong tubuh Gio "Bau rokok, ih!"

Dan Gio dengan sengajanya mendekap Kinan kembali. "Lo wangi banget."

Kinan mengalah, ia diam.

"Kangen," lanjut Gio.

"Ini kan udah ketemu."

"Gue mau peluk lo sampe besok pagi."

Kinan menarik kedua sudut bibirnya. "Gak bisa lah. Cerita sekarang."

"Besok aja gue ceritanya ya? Gue mau kita baik-baik aja dulu malam ini."

"Gio." Kinan mulai kesal lagi.

"Sayang."

"Yang serius. Cerita sekarang."

Gio pasti yang kalah dan menuruti mau Kinan. Lagi pula memang dirinya yang menginginkan untuk bertemu dengan Kinan, menceritakan apa yang terjadi padanya belakangan ini. Menceritakan hal yang mungkin belum Kinan ketahui, saking tidak tahu apa yang harus Gio perbuat lagi maka Gio memberitahukan Kinan.

Bagaimana waktu bisa mengubah semuanya. Memutar balikkan hidup Gio seenaknya.

Sebelum mengeluarkan suaranya lagi, Gio memilih duduk dengan menyandarkan kepalanya pada headboard. Tersenyum juga ke arah Kinan sebentar dan mengatakan, "Nyokap gue udah cerita ke Ayah lo, kita gak bakalan bi—"

"Kinan udah tau yang itu," tukas Kinan karena ia merasa sudah tahu apa yang akan dikatakan Gio selanjutnya. Kata-kata itu tidak ingin Kinan dengar. "Ayah udah cerita. Kinan bilang itu bukan Gio." Kinan menggelengkan kepalanya dua kali dengan pelan.

Gio justru tersenyum tipis. "Itu gue Kinan. Semuanya—"

"Gio gak mungkin kayak gitu. Gio gak akan sengaja ngebuat Kak Juli pergi. Ya kan, Gio?" Tatapan kedua mata Kinan terlihat begitu penuh harap. Ayahnya yang mengungkit semuanya dan berakhir pada kepergian Juli. Kinan yang mendengar semua itu langsung menyangkal. Gionya tidak sejahat itu.

Senyum di bibir Gio semakin terlihat. "Gue gak jujur sama lo, Ki. Gue takut lo mikir gue cowok yang gak.. baik. Gak baik banget malah. Gue takut lo malah ngejauh. Gue takut lo malah gak mau ketemu gue lagi." Ketakutan Gio itu banyak dan yang Gio sebutkan tadi adalah salah satunya.

"Gue banyak boong sama lo. Gue ngehindarin lo terus, gue gak mau lo kenapa-kenapa. Abby bilang ke gue kalo Sean udah tau kalo lo cewek gue. Plis, hubungin gue kalo ada apa-apa ya?"

Kinan diam.

"Nanti malem juga gue bakalan ikut balapan lagi. Gue janji ini yang terakhir. Sean bilang mau gue kalah atau menang itu yang terakhir. Gue mau ngelepas semuanya entar malem. Cuma itu yang mau gue ceritain ke elo," lanjut Gio.

"Bisa gak usah pergi?"

Kepala Gio menggeleng, menghapus harapan Kinan secepat kedipan mata. "Kalo gue gak pergi, kapan gue bisa keluar?"

Kinan diam lagi. Menahan Gio pun tidak akan berhasil.

"Kita udah gak marahan, 'kan? Lo mau udahin semuanya sekarang, 'kan?"

"Besok Kinan tanyain. Biar semuanya jelas. Mm.. Kinan juga udah cerita sama Ayah. Semuanya." Kinan dengan pandangan kosongnya berujar.

Mendengar perkataan Kinan barusan, membuat Gio seketika itu juga terdiam. Menahan napasnya seolah tidak percaya. Matanya mengerjap berkali-kali. "Kinan, lo jangan bohong." Tangan Gio memegang bahu gadis itu. Membuat Kinan melihat ke arahnya. Kinan mengangguk.

Tidak pernah dalam hidup Gio, ia merasa seperti ini. Entah Gio menggambarkan perasaannya bagaimana, tetapi ia benar-benar kaget. Adam sudah tahu semuanya? Gila. Senyum Gio terlihat lagi dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih tidak percaya. "Ki, seharusnya lo gak ngomong langsung kayak gitu. Lo harus pikirin dulu."

"Mau sampe kapan, Gio?"

Gantian, sekarang Gio yang diam. Ah, iya juga. Mau sampai kapan? Toh, semuanya juga sudah berantakkan. Sisa-sisanya masih berserakkan. Tinggal Gio dan Kinan yang harus membereskan.

Semua selesai.

Mereka selesai.

Tidak akan pernah sama walaupun nanti segalanya sudah usai.

"Kita udah gak marahan, 'kan?" tanya Gio mengulang pertanyaan yang sama.

Kinan mengangguk. Mungkin harusnya memang seperti ini; terbuka, percaya, dan tidak langsung menerka. Semuanya akan baik-baik saja. Ketakutan itu menguar. Kesalahpahaman itu memudar. Dan di sini lah Kinan, berada di garis terdepan yang menentukan apa-apa yang menurutnya harus dia ambil. Sementara semuanya sudah tidak abu-abu lagi, maka Kinan harus memilih, 'kan?

"Untuk Juli, Ki... itu bukan gue. Gue juga gak—"

Kedua kalinya Kinan menciumnya seperti ini. Rokok yang Gio hisap tadi sebelum masuk ke dalam rumah Kinan, kini Kinan rasakan juga. Dan Kinan yang lebih dulu memberi jarak dan mengatakan,

"Makasih ya, Gio."

...

Malam ini, Kinan dan Viorent baru saja selesai menemani Flora yang menyelesaikan ekskul teaternya. Hari Senin seperti sekarang ini juga Kinan tidak ada kegiatan apa-apa, dan menyetujui untuk melihat Flora berakting. Dan kabar baiknya, Flora mentraktir mereka berdua makan di resto cepat saji yang tidak jauh dari sekolah.

Masih mengenakan seragam lengkap, mereka duduk di meja paling pojok. Paling heboh juga. Bercerita tentang drama yang mereka tonton dan membahas hot guy di drama itu. Kinan seperti tidak mempunyai beban sama sekali saat berkumpul dengan teman-temannya seperti ini. Tidak memikirkan apa-apa juga.

"Nan, Om Adam gak nyariin lo, 'kan?" Flora memasukkan kentang goreng ke dalam mulutnya. Mengunyahnya seraya mengamati Kinan yang sedang memakan Mcflurry-nya itu.

Kepala Kinan menggeleng. "Ayah sama sekali belum nelpon Kinan juga nih. Tapi, Kinan udah izin kok."

Flora manggut-manggut. "Kalo lo, Vi? Gak apa-apa kan pulang malem?"

Viorent mengangguk. "Aku udah izin juga sama Bunda. Jadi, aku tenang deh."

"Duh!" Kinan tahu-tahu meringis.

Flora mengernyit. "Kenapa sih lo?" tanyanya kemudian. Bingung juga melihat tingkah Kinan kini.

"Kak Dean, udah di depan tuh. Padahal Kinan bilangnya Kinan pulangnya nanti. Gimana dong? Kinan pulang duluan ya?" Kinan bangkit. Matanya sesekali mengarah ke depan sana. Dean terlihat berdiri di depan mobilnya seraya bermain ponsel. Sama seperti Kinan, Dean masih mengenakan seragam sekolahnya.

Flora cemberut. "Ajak aja Kak Deannya duduk di sini."

Kinan tersenyum dan menggeleng. Mencium pipi Flora dan Viorent secara bergantian. "Kinan pulang duluan."

"Gue tau lo gak pulang ya, anjir!"

Kinan hanya tersenyum lebar mendengar ucapan Flora barusan dan menarik langkah menjauh dari teman-temannya itu. Berjalan mendekat ke arah Dean yang belum menyadari kehadirannya. "Dasar ngeselin!" Ucapan pertama yang Kinan keluarkan ketika berada di hadapan Dean kini.

Dean mengernyit. Bukannya membalas perkataan Kinan, dirinya malah mengambil alih Mcflurry oreo yang Kinan pegang. Menyendokkannya beberapa kali ke dalam mulutnya itu.

Kinan memerhatikan Dean dan cemberut. Kesal karena Dean memakan es krim kesukaannya dan kesal mengapa Dean bisa terlihat sebegitu menariknya. "Beli sendiri kek kalo mau es krimnya. Punya Kinan abis ya?" Kinan berjinjit. Melihat ke tempat es kirimnya yang sudah kosong.

"Jangan kebanyakan makan es krim begini, ntar lo batuk. Ayo, pulang." Dean dengan tangan kanannya membukakan pintu mobil untuk Kinan. Membuang tempat es krim ke tempat sampah yang tidak jauh dari dirinya.

"Kinan tadinya masih mau main. Udah dibilang jangan jemput dulu." Kinan misuh-misuh. Melihat ke arah dalam resto.

Dean menarik ujung rambutnya. Kinan mengaduh. "Lo gak bilang begitu ya di chat tadi. Udahlah, pulang aja udah malem juga." Dan Dean mulai mengendarai mobilnya menjauhi pelataran parkir. Ada alasan mengapa Dean mengharuskan dirinya menjemput Kinan malam-malam begini. Mengantarkan Kinan pulang secepat yang ia bisa.

Dengan perlahan Kinan menurunkan kaca mobil di sampingnya itu. Membawa kepalanya keluar sedikit. Menikmati udara malam yang mulai menusuk permukaan kulitnya. "Jarang-jarang tau Kinan main sampe jam sepuluh begini sama temen-temen Kinan. Asal Kak Dean tau aja."

"Iya, gue udah tau." Dean menjawab sekenanya. "Tutup jendelanya lo bakalan kedinginan."

Kinan menurut. Mengganti posisi yang nyaman untuk menghadap ke arah Dean. "Tau dari mana?"

"Semua orang yang kenal lo juga bakalan tau."

Kerutan di dahi Kinan terlihat. Mungkin perkataan Dean yang satu itu sulit untuk Kinan cerna dengan cepat. "Ngeliat Sergio yuk!"

"Besok aja pulang sekolah."

"Makan nasi goreng di depan komplek yuk!"

"Lo abis makan pasti lo gak akan abis makan nasi goreng lagi."

Kinan memberenggut.

"Beli es krim di minimarket deh."

"Lo baru makan es krim juga. Gak akan gue bolehin."

Kinan menarik napas dalam. "Kinan ikut Kak Dean main kalo gitu!"

Kepala Dean tentu saja menggeleng. Tidak akan Dean biarkan itu juga. Mainnya Dean sama mainnya Kinan itu beda. Beda jauh. "Gue langsung balik kok, gak maen dulu. Capek, gue mau istirahat."

"Bohong."

"Beneran." Dean meyakinkan.

Kinan menghela napas. Lalu, diam beberapa saat. "Mm.. kemaren malem Kinan ketemu sama Kak Sean terus ngobrol banyak banget, Kinan sampe bingung sendiri."

Dean tertarik untuk mendengarkan cerita Kinan yang satu itu, maka Dean menyahut, "Ngobrolin apaan?"

"Ah.. itu, Gio. Sama Kak Sean bilang kalo dia nyesel banget. Orang kayak Kak Sean itu termasuk orang berani. Tapi Kinan belum ngerti sampe sekarang." Kinan mengusap wajahnya berkali-kali dengan tangan dinginnya.

"Sean ngomong kayak gitu ke elo? Beneran?"

Kepala Kinan tentu saja mengangguk. "Mungkin beruntung kali ya Kak Abby punya Kak Sean." Ah, omongan Kinan sudah ngelantur. Ini pasti efek dari ngantuk.

Dean melihat ke arah Kinan sebentar yang kini sedang memejamkan matanya. Dean jadi berpikir jauh. Jauh sekali. Dan menemukan satu hal yang paling ditakutinya. Dean harap bukan. Tetapi semuanya terasa seperti jelas sekali. Tangan kirinya terangkat, menarik rambutnya pelan dan menyisirnya ke belakang.

Hingga Dean sampai di rumah Kinan dan Kinan melambaikan tangannya lalu masuk. Pikiran itu masih bergantung di kepalanya. Dean salah kah selama ini?

Sementara Kinan melangkah masuk dengan santainya. Tanpa memikirkan apa-apa. Kantuk sudah menyerangnya. Ia akan segera tidur di kasurnya yang nyaman. Terlelap hingga besok pagi. Tetapi mungkin itu hanyalah harapannya karena lima langkah dari pintu utama, kantuknya tiba-tiba hilang digantikan dengan seluruh tubuhnya yang kaku. Kemudian, bergetar. Takut.

"Hai, Ann. Kamu baru pulang main ya?"

Siapa pun tolong bantu Kinan agar bisa melangkah menjauh dari wanita berambut panjang bergelombang itu. Bunyi stiletto hitam yang dikenakan Liora menggema di living room. Bunyinya seperti mengisyaratkan Kinan untuk pergi sekarang juga.

Layaknya diberikan berkali-kali untuk menghadapi ketakutannya sendiri, Kinan sudah tidak bisa. Kinan merasakan semua yang berada di dekatnya mendadak panas. Matanya. Dadanya. Bundanya sedang berjalan mendekat ke arahnya. Bundanya yang meninggalkannya sendiri. Bundanya yang menggoreskan luka itu hingga Kinan susah untuk menghapusnya. Bundanya yang menciptakan garis-garis menjulang di antara mereka. Bundanya yang ingin kembali.

"Ayah?" panggil Kinan. Suaranya bergetar.

Liora semakin mendekat ke arahnya.

"Ayah, di mana yah?"

Liora tersenyum. "Ayah kamu belum pulang. Kamu mau apa? Bunda bantuin ya?"

Kepala Kinan menggeleng. Suaranya persis sekali seperti beberapa tahun lalu. Matanya juga. Bentakkannya. Tamparannya. Darah yang tercecer di lantai. Tangannya yang membiru. Kinan melepaskan tas ranselnya yang ia letakkan di atas sofa dan dirinya yang keluar dari rumah begitu saja. Tidak menghiraukan teriakan dari Bundanya yang memanggil namanya berkali-kali.

Semakin ditahan tangisnya, semakin sesak dadanya. Kinan harus ke mana? Seperti de javu, dirinya yang kehilangan arah. Yang tidak tahu harus ke mana. Kaki Kinan terus melangkah. Lembaran lamanya sudah Kinan tutup rapat-rapat dan dibuka kembali oleh Bundanya sendiri. Oma Shellyn bisa bantu Kinan tidak?

Ayahnya ke mana?

Kinan diam beberapa saat. Duduk di bangku panjang di dekat minimarket. Lagi-lagi semua kejadiannya sama persis. Tangannya yang bergetar meraih ponselnya yang berada di saku seragam. Menghubungi Gio adalah hal pertama yang ada di kepalanya.

Gio angkat, plis. Gio, Kinan butuh Gio sekarang. Gio, angkat.

Operator di seberang sana yang menjawab. Kinan mencoba menghubungi Gio lagi.

Gio, Kinan takut.  Gio, angkat telponnya. Gio, Kinan ngeliat banyak darah. Kinan takut banget. Gio, angkat.

Lagi-lagi operator di seberang sana yang menjawab. Kinan menunduk. Dicobanya sekali lagi.

Gio, tangan Kinan sakit. Gio, ayah gak ada di rumah. Gio, angkat telponnya. Gio, darahnya makin banyak. Kinan makin takut. Gio.

Kinan menyerah. Dipaksakannya matanya untuk tetap terbuka. Kinan menekan dalam-dalam egonya sendiri. Menghubungi seseorang di seberang sana yang langsung diangkat.

"Halo, Kak Dean?"

Dean duduk di samping Kinan. Beruntungnya Dean belum terlalu jauh. Langsung memutar balik mobilnya saat suara serak Kinan terdengar di telpon tadi. Dan keadaan Kinan sangatlah berbeda padahal belum lama Dean mengantarkan Kinan pulang. "Udah ada gue di sini. Gak ada yang perlu ditakutin."

Kepala Kinan menggeleng. Tatapan nanarnya menekuri sepatu putihnya itu. Mengigit bibir bawahnya. Dan merasakan Dean mendekapnya. Mengusap punggung Kinan berkali-kali. Kinan tidak bereaksi apa-apa.

"Nan."

"Kinan gak mau pulang ke rumah." Suaranya kecil sekali.

Kepala Dean mengangguk. "Gue ajak lo ke mana aja yang lo mau."

"Kinan gak mau tidur." Karena nanti Kinan takut saat menutup matanya bayangan mengerikan itu datang lagi.

Dean mengangguk kembali. "Gue temenin."

Beberapa saat posisi mereka masih sama. Hingga Dean merasakan tubuh Kinan tidak bergetar hebat seperti pertama kali Dean memeluknya. Dan Dean yang lebih dulu menjauh. "Masuk ke mobil gue. Kita pergi."

Tangan dingin Kinan menyentuh lengan Dean. "Makasih, Kak Dean."

"Gue beliin minum dulu. Lo tunggu di sini bentar. Jangan ke mana-mana."

Kinan hanya mengangguk.

Suara Kinan sudah terdengar serak sekali. Dean tidak tega mendengarnya. Meskipun Dean belum tahu penyebab mengapa Kinan menjadi seperti itu, dan Dean sudah tebak pasti sesuatu mengerikan terjadi padanya.

Dean membuka pintu kaca minimarket di depannya. Kakinya langsung menuju ke tempat botol air mineral berada. Membawanya ke kasir dan betapa terkejutnya Dean sekarang. Melihat tubuh Kinan yang sudah terkulai di bangku panjang itu. Dan matanya mengarah pada mobil sedan hitam yang sudah sangat Dean hapal plat nomornya.

Dengan langkah yang agak cepat, Dean mendekat ke arah Kinan. Yang ditakutkan terjadi. Darah sudah terlihat di seragam Kinan. Di perutnya. Seragamnya sobek. Itu bekas tusukan.

Satu nama yang terus terngiang di kepala Dean saat membawa Kinan ke rumah sakit.

Matthew.

Aku bener-bener gak sabar mau ngasih kalian ending Lines;")

Sebenernya pas ngetik Lines ini emang gak pernah kepikiran sih mau ending kayak gimana. Karena nulis Lines juga asal nulis aja yang penting ada cerita yang aku ketik setiap cerita satu udah tamat *sori curcol*

Kayak nulis prolog, asal banget itu aku nulisnya wkwkw tulis aja dulu mikir bakalan gimananya entar hm

Tengkyuu yaa yang udah vote dan komen. Berarti banget buat aku hehehee

Kuy, kasih tau akuu cerita Lines udah sampe part segini. Menurut kalian gimana karakter mereka gimana sih?

Kinan?

Dean?

Gio?

YANG MAU BACA PART SELANJUTNYA MANAAA NIHHHHH???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro