don't want your love
Bagian 36 |
because everything that I do is
never ever enough
Yang ini udah pasti bisa dibaca gais...
Vote dan komen dund✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
"Such a lovely night."
Kinan agak terkesiap saat mendengar suara Gio di kamarnya malam ini. Kinan sudah pulang bersama Adam dan Dean dari acara pernikahan Tante Jeanna setengah jam yang lalu. Mereka berbincang sebentar di living room sebelum akhirnya Kinan masuk ke dalam kamarnya dan menemukan Gio yang sedang duduk di atas meja belajar Kinan seraya meminum es kopi itu.
"Sekarang Gio kayak hantu ya!" Kinan berceloteh dan membalikkan tubuhnya untuk mengunci pintu kamarnya. Salah satu hal yang harus Kinan lakukan jika tidak mau Adam marah. Sindiran Gio yang tadi, Kinan hiraukan.
"Gue baru buka instastory-nya Om Adam."
Mendengar itu, Kinan menggenggam kenop pintu agak erat kemudian berbalik lagi menghadap ke arah Gio. Berjalan mendekat juga. Sindiran tadi pasti karena Gio melihat foto Kinan berdua dengan Dean. Dan benar saja saat Kinan melihat layar ponsel laki-laki itu.
Belum sempat Kinan mengeluarkan suaranya, Gio yang lebih dulu mengatakan,
"Ayo, jalan!"
Kinan justru cemberut. "Ngajakin jalan kayak ngajakin berantem." Dan duduk di bangku depan meja belajarnya. Lalu, yang Kinan lakukan setelah mengamati Gio sebentar, Kinan mengikat rambut panjangnya dengan bentuk bun.
Gio menundukkan kepalanya. Melihat ke arah Kinan yang sudah lebih dulu memerhatikannya itu. Kemudian Gio mengangkat kedua sudut bibirnya membentuk senyum manis. "Ki, malem mingguan sama gue yuk!" Ajakannya kali ini dengan suara yang lebih lembut.
Kinan ikut tersenyum. "Gio ngajak jalan karena Gio cemburu ya?" Senyumannya terlihat mengejek sekarang.
Menggeleng-gelengkan kepalanya, Gio mendengus. "Ya kali. Enggak lah." Tetapi saat mengatakan itu kedua mata Gio melihat ke arah lain.
"Beneran?" Kinan menarik tali hoodie yang Gio kenakan. Membuat Gio menunduk lagi. Melihat ke arah Kinan lagi.
"Gue sih b aja," jawab Gio dengan raut wajah datarnya itu.
Kinan semakin memperlihatkan senyumannya. "Serius?" tanyanya lagi.
Kedua mata Gio menatap netra cokelat Kinan lurus-lurus. "Sekali lagi lo nanya kayak gitu gue cium."
Kinan langsung diam. Perlahan-lahan senyum jailnya juga hilang. Melihat itu, Gio yang kini menyeringai.
Tak lama, Kinan memilih bangkit. Melepaskan tangannya dari tali hoodie Gio. "Kinan mau ganti baju dulu," katanya.
"Yaudah gue tungguin."
Kinan diam sebentar ketika baru menyadari sesuatu. "Kinan ikut Gio lewat jendela gitu?" tanyanya kemudian dan melihat ke arah jendela kamarnya. Seumur-umur Kinan belum pernah pergi dari rumah lewat jendela pula. Dan itu dari di lantai dua.
Bersama Gio, Kinan selalu dihadapkan oleh segala hal yang sama sekali tidak Kinan pikirkan atau tidak ingin Kinan lakukan.
"Lo mau lewat pintu depan? Yaudah silahkan." Gio dengan santainya menyahut. Meminum lagi es kopinya.
"Bilang sama Ayah apa?" Kinan bertanya lagi.
"Jalan sama cowok lo."
Tentu saja Kinan menggeleng. "Nggak gitu."
"Mau gue aja yang ngomong sama Om Adam?"
Kedua tangan Kinan lantas menahan bahu Gio untuk tidak beranjak dari tempatnya. "Gio.. enggak."
"Yaudah lewat jendela."
"Kinan takut jatoh." Lumayan tinggi juga dari lantai dua.
"Kan ada gue," ujar Gio meyakinkan.
"Cepetan sana ganti baju. Jarang-jarang kan kita malmingan begini?" lanjutnya.
"Bukan jarang tapi gak pernah," koreksi Kinan dan itu memang benar.
Kapan Kinan bisa bebas terlihat dengan Gio tanpa harus merasa takut? Kapan Kinan bisa membawa Gio ke rumahnya dan memperkenalkannya pada Adam sementara nama Gio sudah terlihat buruk di mata Ayahnya?
"Iya, makanya sekarang gue ngajakin lo, Ki."
Kembali, Kinan menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Lalu menjauhkan tangannya dari bahu Gio. "Kinan ganti baju sekarang." Dan berbalik menuju almarinya. Memilih pakaian yang paling Kinan sukai dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah Kinan tak terlihat, Gio menundukkan kepalanya lagi. Melihat ke arah akuarium kecil di sampingnya dan tersenyum tipis. Jari telunjuknya, Gio ketukkan ke kaca. Berkali-kali.
Rama hari ini sedang tidak berada di Jakarta. Sean juga tidak akan repot-repot mengawasi Gio. Terbukti juga tidak ada yang mengganggu dirinya akhir-akhir ini. Kapan terakhir kali Gio merasa bebas seperti sekarang? Gio menggeleng samar, sudah sangat lama sekali.
Mata Gio terlihat menerawang kini. Mengingat hal yang jauh pada hari di mana segalanya terasa sulit. Tidak. Bukan ingin Gio membandingkan dirinya yang sekarang bersama Kinan. Jelas saja ini salahnya.
"Juli."
"Apa Gio?"
Mendengar suara Kinan, Gio menoleh ke arah gadis itu. Kepalanya menggeleng lagi, meski tahu Kinan tidak melihatnya. Kinan sedang mengeluarkan jaket denim dari almarinya dan memakainya langsung untuk menutupi kaus putih yang Kinan masukkan ke dalam celana jins hitamnya. Tadinya Kinan ingin mengenakan rok kesukaannya, tetapi karena Kinan tahu—dirinya harus keluar kamar dari jendelanya, Kinan mengurungkan itu.
"Cantik banget, ceweknya siapa sih ini?" Gio mencium pipi Kinan berkali-kali saat Kinan sudah berada di depannya. Mencoba es kopi yang Gio beli tadi sebelum memutuskan untuk ke rumah Kinan tanpa sepengetahuan gadis itu.
Kinan menjauhkan wajah Gio dari dirinya. Kekehannya terdengar. "Kinan mau minum ini dulu, Gio." Tangannya masih berada di wajah Gio hingga Kinan sudah selesai menghabiskan minuman di tangannya itu.
"Haus banget ya lo?" Gio menyingkirkan tangan Kinan dari wajahnya. Memerhatikan Kinan yang sedang mengikat rambutnya lagi agar terlihat lebih rapi.
Kinan mengangguk. "Ayo, jalan sekarang." Dan berniat untuk menarik tangan Gio agar segera bangkit dari meja belajarnya itu. Namun, Gio menahan pergerakkannya.
"Sebentar, Kinan. Gue mau ngelanjutin dulu yang tadi." Gio yang gantian sekarang menarik jaket Kinan. Kinan benar-benar sudah dekat dengan dirinya.
"Yang mana?"
"Yang ini." Yang Gio mencium pipinya berkali-kali. Namun, kali ini gerakkannya lebih lambat. Tangan Kinan sudah berada di kedua bahunya. Dan saat ciumannya turun ke leher Kinan, tangannya juga ikut turun ke pinggang gadis itu. Menelusup ke dalam jaket Kinan.
"Gio." Kinan memanggilnya, memperingatkan ketika Kinan merasakan tangan Gio sudah mulai bergerak ke mana-mana.
"Apa, Kinan?" Gio berkata seperti itu dengan tak kalah pelannya. Mendekatkan lagi wajahnya pada permukaan leher Kinan. Wangi Kinan manis. Gio suka, maka Gio merapatkan lagi wajahnya seraya memberikan ciuman-ciuman kecil di sana. Lalu hidungnya juga mulai bergerak ke bahu gadis itu.
Kinan seakan lupa apa yang ingin Kinan keluarkan dari mulutnya karena sentuhan-sentuhan Gio padanya kini. Kinan memejamkan matanya dan menahan napasnya sebentar saat merasakan hidung Gio bergerak lagi. Mencium lehernya lagi. "Gio.." Kinan mengembuskan napasnya pelan-pelan. "Besok Kinan—" Ucapannya langsung terhenti. Kinan memegang lengan Gio agak erat. "Jangan digigit."
Gio menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Besok lo ngapain?" tanya Gio masih dengan kegiatannya itu. Dan menuruti ucapan Kinan untuk tidak menggigit. Gio mengangkat sudut kiri bibirnya sedikit.
"Itu.. Kinan mau—" Lagi-lagi Kinan menghentikan ucapannya ketika dirasakannya Gio bergerak lagi. Dari bawah telinganya lalu naik ke sisi wajahnya. "Gio." Kinan memiringkan kepalanya ke sebelah kiri sekarang. Gio sudah menenggelamkan wajahnya lagi pada leher Kinan.
Berada sedekat ini dengan Kinan, membuat Gio melupakan semuanya dalam sejenak. Dan karena hanya ada Kinan di pikirannya. Tangannya perlahan turun lagi ke pinggang Kinan.
"Kinan mau apa?" Dan Gio mengangkat kepalanya sebelum tadi Gio berikan Kinan kecupan singkat di pipi gadis itu. Melihat ke arah mata Kinan tepat di depannya. Membenarkan letak jaket Kinan juga.
"Ekskul."
Tangan Gio mengusap leher Kinan dengan ibu jarinya itu. Seringainya terlihat. "Baseball ya? Sama dong. Gue juga."
Tetapi bukan itu maksud Kinan, Gio.
...
"Gio, kita beneran mau ke Ancol malem-malem begini?" Kinan menaikkan kedua kakinya ke atas jok mobil. Menutup kotak kardus berisikan roti bakar stoberi dan cokelat yang baru saja mereka beli di tempat biasa. Meletakkannya di jok belakang bersama dengan jaket Kinan itu.
"Iya."
"Ngapain?" tanya Kinan lagi.
"Ngeliatin aer," jawab Gio asal sambil terkekeh sebentar. Matanya masih fokus ke jalan di depannya. Gio memang sedang mengemudi.
Kinan juga ikut tertawa. Menampar pelan pipi Gio itu. "Masa ngeliatin aer sampe ke Ancol. Di rumah Kinan juga ada," sahut Kinan dengan sisa tawanya.
"Beda lah, Ki." Gio melirik ke arah Kinan beberapa detik.
Kinan manggut-manggut. "Iya deh beda. Kinan terakhir ke Ancol sama Ayah itu pas Kinan kelas tiga SMP. Eh iya, sama Oma juga." Kinan mengingat.
Gio menoleh pada Kinan, kali ini lebih lama. Kinan dan Oma-nya itu sudah pasti menuju ke arah pembicaraan yang sensitif. "Jangan sedih gitu dong muka lo, kan mau malmingan sama gue." Kemudian Gio membawa tangannya mengusap sisi wajah Kinan. Memperlihatkan senyumannya juga.
"Kinan gak sedih, Gio." Kinan menggeleng-gelengkan kepalanya dan memilih untuk menyandarkan kepalanya pada bahu Gio itu. Seraya matanya terus memerhatikan jalan.
Sesekali Kinan membisikkan Gio sesuatu yang berhasil membuat Gio dengan mudah mengangkat kedua sudut bibirnya. Atau memeluk leher Gio dan memejamkan matanya sebentar. Memainkan rambut Gio hingga berantakkan.
Dan sekarang Kinan melihat Gio sedang membayar tiket masuk setelah petugas menghitung ada berapa orang yang berada di dalam mobil Gio ini. Gio melihat ke arah Kinan sambil menunggu petugas mengembalikan uangnya.
"Asikk ngeliatin air di Ancol sama Gio!" Kinan bergerak ke belakang untuk mengambil jaketnya dan Kinan langsung pakai. Mengenakan sepatu kets putihnya juga. Gio sedang mencari lahan parkir dan tertawa mendengar ucapan Kinan tadi.
"Ngeliat aer sambil makan roti bakar ya, Ki?"
Kinan mengangguk. "Iya, sambil makan roti bakar kesukaan Gio." Dan mengambil juga kotak kardus di jok belakang. Memakannya satu yang rasa stoberi dan Gio menghentikan mobilnya.
"Ayo, turun." Gio yang lebih dulu keluar dari mobil setelah mengambil tumbler milik Kinan dan menggenggam tangan Kinan itu.
"Kinan mau es kopi yang Gio bawa ke rumah Kinan tadi."
"Di sini kayaknya gak ada. Tadi gak sekalian pas beli roti bakar," ucap Gio dan yang harus mereka lakukan sekarang adalah menyeberang jalan.
Kinan menelan lebih dulu roti bakar di dalam mulutnya itu. "Tadi Kinan gak kepikiran tau."
"Pulangnya nanti kita beli. Minum air putih aja dulu. Nih." Gio memberikan Kinan tempat minumnya dan mengambil alih kotak kardus yang Kinan pegang.
Kinan hanya memegang tempat minumnya saja sampai mereka telah berada di pinggiran pantai itu dan Gio menarik tangan Kinan untuk ikut duduk di sebelahnya. Terima kasih kepada jaket yang Kinan kenakan untuk melindungi tubuhnya dari terpaan angin malam yang lumayan kencang dan dingin ini.
"Ternyata emang enakan ke sini malem-malem ya. Kalo siang pasti panaaaas banget." Kinan mulai membuka suaranya lagi. Melihat ke seluruhan pandangan di depannya.
Gio menyetujui. "Iya, apalagi sama gue ya, Ki?"
Mendengar itu, Kinan menengok ke arah Gio. Tersenyum juga seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mhm-mm. Apalagi sama Gio kayak gini." Dan memeluk lagi leher Gio dengan mata yang melihat air di bawahnya itu.
Benar yang dikatakan Gio di jalan tadi. Hanya melihat air yang tenang ini dengan Gio di sampingnya bisa membuat Kinan begitu nyaman. Melupakan apa-apa yang membebaninya. Melupakan bahwa Kinan pernah ditinggalkan. Melupakan walaupun hanya sebentar segala yang Kinan pendam hingga dirinya sakit sendiri.
Sekali saja. Untuk malam ini saja. Kinan ingin melupakan itu semua. Bersama Gio yang selalu tahu apa yang Kinan butuhkan.
"Gio, kita bisa naik itu gak?" Kinan menunjuk ke arah perahu dengan lampu berwarna-warni yang sedang berada di tengah pantai itu. Membelakangi gedung tinggi.
Gio mengangkat kedua bahunya. "Nggak tau. Lo mau coba?"
Kinan menggeleng. "Nggak jadi deh. Ngeliat aja dari sini." Lalu, Kinan mengangkat kepalanya dan memakan lagi roti bakar yang kali ini dengan rasa cokelat.
Sementara Gio mengeluarkan ponselnya yang sudah banyak sekali notif dari temannya itu. Dan yang Gio lakukan adalah menghiraukan semuanya. Mematikan ponselnya juga.
"Gio."
"Ya? Kenapa, Ki?" Gio memasukkan ponselnya lagi ke dalam saku hoodie-nya. Menunggu Kinan mengatakan apa yang ia ingin beritahukan padanya itu dan mengikuti Kinan untuk memakan roti bakar yang Kinan pegang.
"Makasih ya, Gio," kata Kinan dengan tulus dan mengeluarkan senyumannya lagi.
"Karena ngajak lo ke sini?"
"Karena Gio ngajakin Kinan malem mingguan pertama ke sini," jelas Kinan dengan senyuman yang semakin lebar.
"Kalo bisa gue mau ngajak lo ke rumah bokap malah."
Kinan menggigit bibir bawahnya. Itu di Berlin. Dan tahu siapa yang langsung berada di pikiran Kinan sekarang mengingat kota itu? Iya, Dean. Itu juga kota kelahiran Papa nya Gio. Kinan pernah diceritakan oleh Mamah Anneth.
"Kapan?" Kinan bertanya.
"Kalo Om Adam ngizinin lah."
"Kalo gitu Ayah harus ikut juga." Kinan tersenyum lagi.
"Gue gak bisa berduaan sama lo dong?"
"Bisa." Kinan mengangguk.
"Oh ya?"
"Yep."
Gio tidak bisa untuk tidak mengacak-acak rambut Kinan di puncak kepala gadis itu. Salah sendiri yang terlihat begitu lucu di mata Gio. "Mau kayak gini terus sama Kinan pokoknya."
Kinan kembali merapikan ikatan rambutnya itu. "Kayak gini gimana?"
"Berdua sama lo kayak gini."
Kepala Kinan lagi-lagi mengangguk. Tangannya kali ini memainkan tali hoodie Gio. Matanya juga mengarah pada jaket Gio itu. Kinan menginginkan hal yang sama, jika bisa. "Gio mau tau apa yang lagi Kinan rasain sekarang?"
"Apa tuh?"
"Kinan seneng. Seneng banget. Sekali lagi makasih ya, Gio."
Gio mengangguk lalu tersenyum.
"Sama-sama, Kinan."
...
Kinan memerhatikan Flora dan Viorent yang sedang duduk di atas tribun sana. Sore menjelang malam ini Kinan sudah selesai latihan baseball. Hari ini beda. Ada Gio. Ada Dean juga. Dan Kinan lebih sering mengobrol dengan Dean. Memainkan lagi perannya untuk menjadi asing di dekat Gio.
Tetapi bukan itu yang Kinan sedang pikirkan.
"Kinan!"
Suara Flora terdengar kencang di atas sana. Kinan melambaikan tangannya. Tersenyum lebar juga. Seraya membawa botol minum, Kinan melangkahkan kakinya ke arah kedua sahabatnya itu.
"Viorent sama Ola ke sini mau ngeliat Kinan latihan ya?" tanya Kinan begitu percaya diri dan ikut duduk di antara mereka berdua. Melepaskan topi berwarna putih, itu milik Dean.
"Yehhh pede banget sih lo, Nan. Gue sama Viorent mau cuci mata di sini. Ya kan, Vi?" Flora menoleh ke arah Viorent yang sedang menjilat lolipopnya itu sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
Viorent manggut-manggut. "Aku mau ngeliat Kak Rezvan, tuh!"
"Jangan ditunjuk, dodol!" kata Flora sambil melotot ke arah Viorent.
Kinan cemberut. "Kinan kira mau ngeliat Kinan ke sini. Vio, kok gak latihan balet?"
"Aku meliburkan diri. Besok baru aku latihan lagi. Eh itu, Kak Reza udah dateng. Aku duluan ya, kawan-kawan." Ketika mata Viorent melihat pacarnya di bawah sana, Viorent langsung bangkit. Melambaikan tangannya juga ke arah kedua sahabatnya.
"Hati-hati ya, Viorent. Besok ke rumah Kinan pokoknya."
Viorent membalikkan badan lagi dengan kedua ibu jari yang ia angkat. "Oki-doki."
"Gue gak diajak?"
Mendengar pertanyaan Flora, Kinan menengok ke arah gadis itu. Kinan mengernyit. "Kan Ola bukan kelompok Kinan buat tugas Seni Budaya." Yang harus dikumpulkan hari Rabu. Tugas membuat gantungan dari semen putih.
Flora menepuk kepalanya. "Ah iya, mana gue kelompoknya bareng Gio lagi! Bisa diganti gak? Lo sama gue, Viorent sama Gio. Gimana?" Flora tersenyum lebar.
Kalo Kinan sama Gio aja gimana?
Kinan menggelengkan kepalanya. "Bilang sana sendiri sama Pak Nino."
"Ogah." Flora memutar kedua bola matanya.
"Yaudah sih terima aja. Biar Ola gak kesel sama Gio lagi?"
"Lo tau dia kayak gimana, Kinan. Ayo, pulang bareng gue." Flora yang pertama bangkit. Kinan mengulurkan kedua tangannya. Flora mengerti dan menarik tangan Kinan hingga gadis itu berdiri. Flora yang berjalan lebih dulu.
"Ketauan kan Ola ke sini mau ngeliat Kinan terus mau jemput Kinan." Kinan memeluk bahu Flora dari belakang seraya terkekeh. "Makasih ya, Ola."
"Pamitan dulu sana sama Kak Dean. Gue yang bawa tas lo ke mobil." Saat sudah berada di pinggir lapangan, Flora mengambil tas Kinan yang berwarna kuning mencolok itu.
"Ola, hari ini baik banget sama Kinan. Pasti ada maunya!"
Flora mendengus. "Berburuk sangka mulu lo, Nan sama gue. Gue kan cuma mau ketemu sama Om Adam."
"Tuh kan!"
Cengiran Flora terlihat. "Hehe utang foto Om Adam pake batik lo sama gue!"
"Donat rasa green tea dulu tapi."
"Yuk sekalian kita ngopi cantik dulu di Chloe's."
"Ayoooo!" ujar Kinan senang. Saking bersemangatnya mengatakan itu. Semua pasang mata melihat ke arah mereka.
Flora berdeham. "Gue tunggu di mobil ya."
"Oki-doki." Kinan mengikuti ucapan Viorent tadi.
"Kak Dean, nih topinya. Kinan mau pulang sekarang." Kinan lebih dulu berjalan ke arah pinggir lapangan di seberang sana. Ada Reksha dan Dean yang sedang duduk.
"Pulang bareng Dean aja, Nan. Sekalian malem Senenan berdua. Asik gak tuh?" Reksha yang mengeluarkan suaranya lebih dulu.
Belum sempat Kinan menyahut, pergelangan tangannya sudah ditarik lebih dulu oleh Dean. Dan Kinan duduk lagi di atas rumput. Berhadapan dengan Dean. "Pulang sama Ola?" tanya Dean memastikan.
Kinan menganggukkan kepalanya. "Iya, mau sekalian ngopi-ngopi cantik di Chloe's. Kak Dean, mau ikut gak?"
Dean menggelengkan kepalanya. "Have fun."
Kepala Kinan menoleh ke arah Reksha. "Kak Reksha, Kinan titip Kak Dean ya. Have fun juga pokoknya!" Dan Kinan merasakan tangan Dean di pergelangan tangannya mengerat.
Reksha hanya manggut-manggut.
"Yaudah lepasin tangannya, Kak Dean. Kinan mau pulang udah ditungguin Ola."
"Kalo ada apa-apa langsung chat gue, oke?"
Kinan mengangguk. "Oki-doki."
Sebelum Kinan bangkit, Dean menarik ujung rambut Kinan dan memakaikan topi putihnya lagi ke kepala Kinan.
"Hati-hati, Ann."
"Kak Dean juga hati-hati ya!"
Dean hanya mengangguk.
Kinan menoleh ke segala penjuru. Tidak menemukan Gio di mana-mana. Pasti udah pulang, pikir Kinan. Tetapi saat Kinan melangkahkan kakinya menuju parkiran sudah terlihat Sean di sana.
Sean tidak sedang mencari Gio, kan?
Kinan melangkahkan kakinya pelan-pelan. Masih juga belum terlihat di mana Gio. Dan Kinan agak terkesiap saat suara Sean memanggil namanya.
"Adri!" Sean melambaikan tangannya. Menyandarkan punggungnya juga di belakang mobilnya.
Dengan kaku Kinan mengangkat kedua sudut bibirnya dan mau tidak mau melangkah mendekat ke arah Sean. Semoga Gio memang sudah pulang.
Diperlihatkannya senyum lebar. "Kak Sean, ikut ngeliat anak-anak latihan juga?"
Kepala Sean menggeleng. "Temen gue alumni sini yang ngajar lo-lo pada tadi. Gue mau ngeliat dia."
"Kinan baru tau. Kak Sean, udah mau pulang?" Semoga begitu. Kinan berharap.
"Mau nunggu orang dulu."
"Siapa?" Kinan bertanya dengan cepat. Kelewat cepat malah. "Eh maksud Kinan—"
"Gue nunggu temen gue." Sean mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. Terlihat Kinan mengangguk. Sean melanjutkan, "Lo pulang bareng siapa? Bokap?"
"Sama Ola. Tuh." Telunjuk Kinan mengarah pada Flora yang sudah berada di dalam mobil. Menunggu Kinan dengan wajah bete-nya itu.
Sean mendekat ke arah Kinan. "Itu yang namanya Flora dan Fauna?"
Mendengar itu, Kinan tertawa sebentar. "Bukan, Kak Sean. Namanya Flora aja."
Sean menghadap ke arah Flora dan melambaikan tangannya lagi. "Hai, Flora aja!" sapanya.
"Ih, bukan itu juga!" Kinan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Gantian, sekarang Sean yang tertawa. Ia lalu berdeham pelan. "Lo liat Gio gak?" tanyanya tiba-tiba.
"Siapa, Kak Sean?" tanya Kinan memastikan. Benar ternyata Sean mencari Gio. Tetapi, memangnya siapa lagi yang Sean cari.
"Gio. Temen sekelas lo yang tadi juga ikut latihan," jelas Sean.
Kinan menggigit bibit bawahnya. Kinan melihat ke arah lain. Tepat saat Dean keluar dari lapangan. "Gio... udah pulang kayaknya. Kinan gak ngeliat dia di mana-mana." Kinan mengangkat kedua bahunya.
"Gitu ya?"
"Iya." Kinan menjawab cepat. Kinan menoleh lagi ke arah Dean yang berjalan ke arah mobilnya yang terparkir.
"Gue mau nanya sama lo, Dri tapi lo—ah itu dia anaknya. Oii, Gio."
Kinan langsung menoleh ke arah belakangnya dan benar saja ada Gio di sana. Pasti Gio habis membersihkan diri. Rambutnya basah. Sudah berganti pakaian juga. Kinan memerhatikan Gio baik-baik. Kepala laki-laki itu menggeleng samar kepada Kinan.
Sean merangkul pundak Gio ketika Gio sudah berada di dekatnya. "Udah berapa lama kita gak ketemu, Yo? Ngilang gini lo!"
Kinan melihat Gio mengamati ke arah sampingnya. "Mm.. Kinan pulang dulu ya, Kak Sean. Gio."
Sean tersenyum. "Hati-hati ya, Dri!"
"Dah. Kak Sean pake S!" Diperlihatkannya senyum yang sering Kinan keluarkan. Bersikap sebiasa mungkin. Gio masih tidak ingin melihat ke arahnya.
"Daaah!"
Gerak-gerik Kinan sangat beda. Begitu pun Gio.
Dan Dean memang melihat itu dari sudut matanya.
Ini kepanjangan gak sih? Wkwkwk
Seperti biasa, suka gak?
Kalian penasaran sama yang mana, aku mau tau dong?
Kalo aku publish cerita baru ada yang mau baca gak?🙈🙈🙈
Komen ya meuehehhehe
Kinan masih Gio pantau sambil minum kopi janji ji*wa nih :))
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro