Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

don't be a fool

Bagian 6 |
you've got my heart but I can't
let you keep it

Malming lagiiiii. Ketemuu Lines lagiii. Ketemu aku lagii. Jangan bosen dulu ya wkwkw

Vote dan komen jangan forget☺️☺️
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

"Nan, kalo petirnya dateng lagi, gue bakalan langsung nepi." Dean melihat sekilas ke arah Kinan yang sedang duduk di sampingnya. Saat ini Dean memang sedang fokus untuk mengemudi. Dan tanpa diduga, hujan deras turun kembali. Tetapi yang membuat Dean sedikit merasa lega ialah mereka sudah akan sampai ke rumah Kinan. Ya, setidaknya.

Kinan menoleh ke arah Dean setelah mendengar itu. "Kinan udah biasa aja kok sekarang. Udah gak takut lagi," sahutnya. Tetapi, siapa pun bisa melihat kedua tangan Kinan yang sedang menggenggam tali tasnya kuat-kuat. Perasaan takut ini baru Kinan dapatkan saat kehilangan seseorang yang sangat dekat dengan dirinya. Betapa berefeknya itu sekarang bagi Kinan.

Dan Dean yang melihat itu, juga tahu. "Nggak apa-apa, Nan. Sebentar lagi kita sampe," kata Dean menenangkan. Diam-diam Dean juga beberapa kali memperhatikan Kinan dari sudut matanya. Oke, Dean akui Dean merasakan perasaan khawatir terhadap gadis itu.

Dari penglihatan Dean juga, Kinan belum ingin mengalihkan pandangannya ke mana-mana. Masih melihat ke arah dirinya. Dean jadi ingin tahu apa yang sedang Kinan pikirkan. Apa yang sedang ada di otak gadis itu. Dan entah sejak kapan, mengetahui isi pikiran orang lain menjadi salah satu hal yang bisa membuat Dean merasa harus mengetahuinya saat itu juga.

"Kak Dean, gak apa-apa kan nganterin Kinan pulang?"

Pertanyaan Kinan berhasil membuat Dean langsung menoleh ke arahnya sebentar. Dean harap bukan pertanyaan itu yang ada di pikiran Kinan sejak tadi. "Lo lupa ya? Kan gue yang ngajakin, jadi nggak kenapa-kenapa," jawabnya.

Kinan mengangkat kedua sudut bibirnya sedikit, bertepatan saat Dean melihat lagi ke arahnya juga. Perasaan lega langsung mengerubungi Dean saat melihat senyuman Kinan itu. Setidaknya, Dean tahu Kinan sudah baik-baik saja. "Kinan inget tau. Kan Kinan cuma mau mastiin. Takutnya Kak Dean—" Kinan buru-buru menghentikan ucapannya.

Alis Dean terangkat sebelah. "Apa?" Dan yang Dean tahu Kinan benar-benar paling bisa membuat Dean merasa penasaran.

Kepala Kinan langsung menggeleng. "Gak jadi. Kinan salah ngomong. Kak Dean, masih inget rumah Kinan kan? Yang di seberang rumah pager putih." Kinan langsung memberikan Dean pertanyaan lain.

"Iya, masih inget. Kan belum lama gue ke sananya."

Dan benar saja ucapan Dean tadi, karena sekarang mobil Dean sudah berada di depan pagar hitam. Itu rumah Kinan. Kinan langsung melepaskan seatbelt-nya saat Dean juga melakukan hal yang sama dan yang Kinan tahu, Dean juga melepas hoodie hitamnya itu. Tangan Kinan sudah berada di pintu mobil hendak membukanya sebelum akhirnya Kinan mengatakan, "Makasih ya Kak Dean udah nganterin Kinan pulang."

Dean tidak membalas perkataan Kinan itu, karena yang Kinan lihat adalah Dean langsung keluar dari mobil dan membuka pintu di samping Kinan. "Ayo, cepetan turun," kata Dean. Kinan langsung ikut keluar dari mobil Dean.

Dan Kinan baru tahu mengapa Dean membuka jaketnya itu karena Dean ingin menutupi kepala Kinan dari hujan. Kinan cepat-cepat membuka gerbang rumahnya dan menarik lengan Dean untuk masuk juga. Dean tidak menduga itu sebelumnya.

"Kak Dean, mau ikut masuk dulu?" Kinan bertanya itu seraya mengusap lengan seragam kirinya yang basah.

Dean memperhatikan Kinan sebentar sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. Dan lagi-lagi, Dean merasakan tangan mungil Kinan menyentuh lengannya. Dean mengikuti ke mana kaki Kinan melangkah. How could she do that to me? Satu pertanyaan yang langsung ada di otak Dean saat ini.

Yang Dean rasakan pertama kali saat memasuki rumah Kinan; hangat. Sama dengan kebanyakan rumah, pigura-pigura yang terpampang jelas sepanjang memasuki living room. Dari foto Kinan yang masih kecil—Dean menduga memang itu Kinan saat melihat betapa miripnya gadis kecil itu dengan Kinan, lalu Kinan dengan seorang laki-laki dan itu pasti Ayah Kinan.

"Kak Dean."

Merasa dipanggil, Dean mengalihkan pandangannya pada pigura-pigura itu ke arah Kinan. "Ya?"

"Kinan mau ganti baju dulu sebentar. Kak Dean, jangan ke mana-mana ya. Kinan gak akan lama kok." Kinan sudah melepas tas ranselnya yang sudah ia letakkan di atas sofa. Ikatan rambutnya juga sudah Kinan lepas.

Dean hanya mengangguk, merespons ucapan Kinan tadi. Dan Dean memperhatikan Kinan hingga gadis itu berjalan menaiki anak tangga ke lantai dua dan tidak terlihat lagi saat di persimpangan. Lalu, pandangan Dean beralih melihat ponselnya yang Dean rasakan baru saja bergetar di saku seragamnya. Dean memilih bersandar pada meja di belakangnya itu.

Angga : Anak2 mau ngumpul
di tempat biasa. Jam 8, Nyet.
Read. 16.22 pm.

Dean membalas chat Angga untuk menyetujui ajakannya itu. Setelah pesan terkirim, Dean melihat ke arah tangga saat Kinan sudah berganti pakaian dengan kaus longgarnya yang berwarna pink. "Kinan, gak lama kan?" tanyanya saat sudah berada di dekat Dean. Senyuman yang sering Kinan perlihatkan menghiasi wajahnya kembali.

Kepala Dean menggeleng. "Cepet banget malah."

"Kinan gak mau buat Kak Dean nunggu hehe. Ayo, kita ke dapur dulu. Kak Dean pasti haus." Entah sudah berapa kali di hari ini Kinan memegang lengan Dean menariknya untuk mengikuti ke mana Kinan melangkah.

Dan Dean yang berada di belakang Kinan kini berdeham pelan. "Lo suka banget ya narik-narik gue." Kalimat itu lolos dari mulutnya.

Kinan lantas saja langsung menjauhkan tangannya dari lengan Dean. "Kak Dean, gak suka ya? Maafin Kinan ya."

Melihat ekspresi wajah Kinan yang merasa tak enak itu, Dean dengan cepatnya menyahut, "Emang siapa yang bilang gak suka?" tanyanya. Dean tahu pasti Kinan sedang berpikir tentang pertanyaannya barusan. Terbukti saat Kinan terlihat diam saja di tempatnya.

Dan entah bagaimana Dean menjelaskan, tangan kanan Dean menarik ujung rambut Kinan. Membuat Kinan langsung melihat ke arahnya. "Nggak usah dipikirin, Nan. Ayo, ke dapur. Lo bener, gue haus."

Kinan mengerjap seraya memegang rambutnya yang baru saja Dean pegang. "Kak Dean, mau minum apa?"

"Apa aja."

"Air putih aja ya, biar sehat."

Dean hanya manggut-manggut saja mendengar ucapan Kinan tadi. Mereka sudah duduk di depan meja bersisian. Dean meletakkan hoodie hitamnya di sandaran kursi, sedang Kinan menuangkan air mineral ke dalam gelas ukuran besar dan memberikannya pada Dean yang langsung menegak air itu hingga setengahnya. "Kak Dean, laper gak?"

Sebelum menjawab, Dean mengusap bibirnya dengan punggung tangannya itu. "Lo?"

"Kalo Kinan laper banget. Kinan mau pesen makanan dulu deh. Kak Dean, suka apa?"

Kepala Dean menggeleng. "Di luar lagi ujan gede, Nan. Lo tau kenapa, kan? Masak aja." Setelah mengatakan itu, Dean bangkit dari kursi yang didudukinya.

"Oh iya ya. Kasian orang yang nganter makanannya nanti. Kinan inget Kinan punya pasta, tapi Kinan gak bisa masaknya." Pandangannya, Kinan alihkan melihat ke arah gelas di depannya seraya menggigit bibir bawahnya itu.

"Yaudah biar gue aja."

Kinan langsung melihat Dean yang kini menarik langkah menjauh dari dirinya. Kinan mengatakan padanya bahwa pasta ada di dalam rak di atas Dean dan Dean langsung mengeluarkan pasta itu dari sana. Kinan memperhatikan Dean yang kini sedang merebus air dengan tangan yang tidak berhenti untuk bergerak. "Di rumah lo setiap hari sendiri, Nan?" Seraya memasukkan pasta ke dalam air di dalam panci, Dean bertanya.

"Mm.. iya. Ayah Kinan lagi kerja. Jadi, Kinan sendiri. Oh ya, Ayah Kinan itu chef lho, Kak Dean." Saat mengatakan itu, Kinan terlihat ceria sekali. Kinan biasanya akan makan bersama Ayahnya saat Ayahnya pulang. Dan saat pulang sekolah, Kinan ditemani oleh Rama, itu juga di rumah laki-laki itu. Kinan tidak ingin sendirian.

"Oh ya?"

Kepala Kinan mengangguk cepat. "Iya, Ayah Kinan kerja di hotel. Pokoknya yang gak jauh dari sekolah kita. Yang hotelnya bagus banget itu. Kinan pernah sekali ke sana."

Dean menatap Kinan sebentar dan memasukkan saus tomat di pan agak besar itu. "Sama kayak nyokap gue dong."

"Mamah Kak Dean chef juga?"

"Iya."

"Kerja di mana? Siapa tau kenal sama ayah Kinan."

Dean membahasi bibir atasnya yang terasa kering. Dean terdiam sebentar, dan menjawab, "Di Berlin." Jawabannya berhasil membuat Kinan memandangnya takjub.

"Whoa, jauh juga. Kak Dean, pernah ke sana?" Kinan melihat Dean dengan tatapan ingin tahu. Tempat terjauh yang pernah Kinan kunjungi hanyalah Jepang. Liburan tahun baru bersama Ayahnya.

Kepala Dean mengangguk perlahan. "Pernah, sekali." Saat mengatakan itu, sebisa mungkin Dean menghindari mata Kinan karena pasti Kinan akan bertanya lebih lanjut, jika Kinan sadar.

"Kinan, juga mau ke sana."

"Lo mau ke Berlin?"

"Iya, mau."

...

Seraya menunggu Abby selesai dengan pemotretannya itu—Sean hanya tahu Abby akan menjadi model dari salah satu brand ternama yang akan mengenakan pakaian mereka, malam ini Sean berkumpul di area balap liar yang langsung mengingatkan dirinya pada laki-laki brengsek yang belum juga memperlihatkan batang hidungnya di hadapan Sean. Sean lalu membuka pintu mobilnya itu dan mendekat ke arah teman-temannya yang sedang bersandar pada kap mobil Jeep milik Dimas tepat di depan arena balap.

Sean berhigh-five bersama teman-temannya itu. Ada Dimas, Riko, Reza, Aldo dan juga Davien. "Ardi ke mana?"

"Sori, gue telat. Macet, Man."

Belum lama Sean bertanya tentang keberadaan salah satu temannya itu, Ardi langsung muncul di belakangnya. Dimas menginjak rokoknya hingga hancur. "Macetnya di rumah si Elara doang ya, Ar?" Itu benar-benar kalimat sindiran dari Dimas untuk Ardi.

Menanggapi pertanyaannya Dimas, Ardi hanya menarik sudut kiri bibirnya sedikit.

"Tuh anak belom keliatan juga?" Sean bertanya pada Riko dan duduk menyamping di atas jok motor trail Aldo yang memang berada di belakangnya.

Riko menggeleng lalu mendengus. "Si anjing emang perlu disamperin ke rumahnya. Biar dia tau rasa."

Sean menggelengkan kepalanya, tidak setuju. "Gue maunya biar dia aja yang sadar diri. Dia yang nemuin gue sendiri di sini. Gue lagi males ribut-ribut."

"Gue yakin si Gio bakalan ke sini. Di kelasnya dia gak keliatan juga."

"Diskors dua minggu dia," sahut Ardi menanggapi ucapan Reza tadi. Ardi lalu menyulut rokoknya itu dengan pemantik di tangannya. Memang mereka bertiga—Ardi, Reza dan Dimas, satu sekolah dengan Gio.

"Karena?" Riko langsung mengernyit.

"Berantem sama lima kakak kelas sampe masuk rumah sakit." Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya. Malah kakak kelas Gio yang tumbang.

Sean juga langsung memperlihatkan seringainya itu. Tidak menyangka juga bahwa Gio akan sebegitu beraninya, tetapi mengapa untuk menemui Sean saja Gio tidak mau. Itu yang langsung Sean pikirkan.

Sebenarnya Sean sudah menggunakan beberapa cara untuk memancing Gio agar menemuinya, namun semuanya sia-sia, laki-laki itu belum juga ingin muncul di hadapannya.

"Dia emang belom punya duit kali, Yan." Riko mengeluarkan suaranya kembali. Salah satu hal yang sepertinya memang paling masuk akal saat ini.

"Anak orang kaya kayak dia gak punya duit?" Sean berdecak. Tidak mungkin karena hal itu. Sean tahu sendiri bagaimana Gio.

Dan tak berapa lama suara Sean terdengar lagi. Kali ini dengan tatapan yang tidak bisa terbaca Sean mengatakan, "Kayaknya si Gio emang harus dipancing lagi."

...

"Kak Dean, kalo udah sampe rumah jangan lupa Line Kinan ya. Biar Kinan tau aja."

Pukul 19.11 pm. Dean baru pulang dari rumah Kinan. Dean yang sudah berada di dalam mobilnya itu melihat ke arah Kinan yang sedang memegang pagar rumahnya itu. Kemudian, Dean menganggukkan kepalanya. "Jangan jauh-jauh dari hape lo ya." Itu kata Dean sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil dan langsung mengendarai mobilnya menjauh dari depan rumah Kinan.

Dan saat sudah sampai di apartemennya yang memang tidak jauh dari rumah Kinan, Dean langsung merebahkan tubuhnya di sofa abu-abu miliknya. Dengan cepat tangannya meraih ponselnya. Masih ada beberapa menit untuk dirinya membersihkan diri lalu menemui teman-temannya itu.

Dean : Gue udah sampe.
Ayah lo udah pulang, Nan?
Send. 19.20 pm.

Dean memejamkan matanya sebentar. Dan meraih ponselnya lagi saat benda pipih itu bergetar di atas dadanya. Ternyata itu bukan balasan dari Kinan.

Reksha : Jadi kan lo?
Sekalian bawa makanan dong.
Laper gue asli dah.
Read. 19.21 pm.

Dean membuang lagi ponsel hitam itu ke sampingnya dan memilih untuk melihat langit-lagit berwarna putih polos di atasnya dengan pandangan menerawang. Ucapan Kinan yang malah sekarang terngiang-ngiang di kepalanya kini dan senyuman gadis itu yang sudah berkali-kali Dean lihat.

Mengerti itu masih jauh dari hal yang Dean tidak ingini, Dean juga sadar seharusnya Dean memberi jarak. Tidak perlu sedekat ini.

Tidak.

Perlu.

Sedekat.

Ini.

Dekat.

Dekat dengan Kinan. Tetapi memangnya... kenapa?

Dean lalu melihat ke arah ponselnya yang sekarang layarnya menyala. Kali ini, balasan dari Kinan.

Kinan : Ayah Kinan udah pulang, Kak Dean.
Terus Ayah Kinan tadi bilang, kalo Ayah
mau ketemu sama Kak Dean..
Read. 19.25 pm.

Wah udah ada sebuah kode nih dari Ayah Kinan uhuk

Gimana gais sama part ini?

Satu kata untuk Kinan?

Dean?

Sean?

Semoga suka deh ya ehheh

Part Kinan-Dean dan gak ada Abby huhu

Jangan bosen juga sama Ardi yang ada di ilusi dan di sini wkwk

Aku pamit dulu. Sampai ketemu lagi. Aku tunggu komentarnya🙈🙈

[ Dean ]

[ Kinan ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro