bring it back
Bagian 27 |
you're not the one for me
Setelah baca part ini mungkin kalian bakalan 'kesel' atau 'agak gimana' gitu sama Kinan. Tapi pasti dia punya alasan;") —
So, enjoy gais✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂
"Kinan, pulang yuk!"
Gio merasakan Kinan menggelengkan kepalanya dengan pelan. Sampai saat ini memang Kinan masih berada di dekapan Gio. Sebenarnya Gio juga tidak ingin melepaskan kedua tangannya dari tubuh mungil Kinan yang masih bergetar. Bisa dipastikan Kinan belum berhenti menangis. "Kalo lo gak pulang pasti Ayah lo bakalan nyariin. Jangan bikin masalah baru juga." Gio melanjutkan.
Mendengar itu—setelah lebih dulu Kinan mengusap samar sisa air matanya, Kinan menenggakkan tubuhnya kemudian. Duduk menghadap Gio dengan tangan yang masih saja mencengkeram jaket laki-laki itu dengan erat. "Kinan ikut Gio ya? Nanti Kinan bilang sama Ayah kalo Kinan nginep di rumah temen Kinan. Ya, Gio ya? Ya?" Kedua matanya melihat ke arah Gio penuh harap.
Tidak memungkinkan juga untuk Kinan kembali ke rumahnya. Kinan belum mau atau bisa dibilang belum siap juga bertemu dengan Liora.
"Ki, lo tau gimana takutnya gue sekarang? Dan lo malah mau ikut gue?" Gio tersenyum kecut dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pulang aja ya?" lanjut Gio dengan suara yang lebih lembut. Iya, Gio sebenarnya tidak ingin juga muncul tiba-tiba di hadapan Kinan. Gio tidak mau menimbulkan masalah baru yang sebenarnya saja tidak pernah bisa Gio selesaikan. Lalu, Kinan meminta Gio untuk ikut bersamanya. Bukankah seperti mendorong dirinya ke jurang?
Kinan memandang lurus-lurus mata Gio di hadapannya. Kinan terdiam sebentar hingga helaan napas beratnya terdengar. "Gio, Kinan gak mau pulang dulu. Di rumah ada Bunda. Kinan gak mau ke sana. Kinan ikut Gio sekarang ya? Kinan janji Kinan gak akan minta apa-apa lagi dari Gio selain ini, plis."
Sebenarnya Gio mengerti apa yang dirasakan Kinan sekarang dan jika bukan karena Kinan orang yang Gio sayangi, tidak akan Gio menganggukkan kepalanya. "Lo kenapa suka banget bikin gue khawatir sih, Ki? Cepetan masuk mobil gue." Dan Gio bangkit dari bangku. Membukakan Kinan pintu mobil dan langsung mengendarai mobilnya menjauh dari minimarket dengan perasaan yang benar-benar tidak bisa Gio jelaskan.
Hal yang Gio sadari kini; ia telah melewati satu garis itu.
Lalu, Gio melirik ke arah Kinan sebentar. Ini kedua kalinya Gio membawa Kinan bersamanya, sebelum segala sesuatu di antara mereka berubah. Layaknya dipagari oleh dinding tinggi yang tidak pernah bisa Gio lewati atau tidak pernah ingin Gio lewati. Dan berakhir akan menyakiti mereka berdua. Gio memilih untuk begini. Untuk seperti ini saja dengan Kinan.
"Kinan," panggil Gio. Kinan menoleh ke arahnya, Gio tersenyum tipis. "It's okay. Semua bakalan baik-baik aja, Ki. Eh iya, lo mau beli roti bakar stoberi gak sebelum kita mau ke rumah gue?" Gio bertanya dengan topik baru. Mencoba mengalihkan pikiran Kinan juga.
Kinan menggigit bibir bawahnya. "Sama roti bakar rasa cokelat," sahut Kinan pelan. Memerhatikan Gio yang fokus mengemudi.
"Buat siapa?" tanya Gio.
"Buat Gio."
Sebelum menyahut, Gio melihat Kinan lagi beberapa saat. Lalu, kepalanya mengangguk. "Iya, gue juga lagi pengen itu. Lo inget kesukaan gue?" Gio bertanya lagi dan mengamati dari rear-view tidak ada mobil mencurigakan yang mengikutinya. Oke, aman.
"Kinan bakalan inget kesukaan Gio," ujar Kinan dan mengubah posisinya untuk menghadap ke arah Gio sepenuhnya dengan kedua kaki yang sekarang Kinan naikkan ke atas. "Gio, tau gak?"
Kepala Gio menggeleng. "Enggak lah. Mana gue tau lo mau ngomong apa."
Kinan justru mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas mendengar jawaban Gio barusan. "Kinan seneng banget kalo Gio kayak gini," kata Kinan. Lebih-lebih dari senang malah. Kinan saja tidak bisa menyebutnya apa saking senangnya.
Ya, siapa juga yang tidak bahagia ketika kita membutuhkan seseorang dan orang yang kita sayang yang datang. Itu yang Kinan rasakan.
"Kayak gini apanya?" Gio mengernyit, belum mengerti apa yang ingin Kinan sampaikan padanya itu.
"Gio yang nemuin Kinan terus ada di samping Kinan kayak gini," jelas Kinan.
Oh.
Gio manggut-manggut. "Lo sering-sering nangis makanya biar gue khawatir terus gue temuin lo." Setelah mengatakan itu, Gio menyelipkan senyum tipis.
"Gitu ya, Gio?"
"Ya, enggak lah gue cuma bercanda, Kinan."
Semakin lebarlah senyuman Gio itu dan Kinan masih mengamatinya dari samping. Lama. Kemudian, kepalanya menengok ke kursi penumpang dan menemukan boneka agak besar berwarna hijau itu sana. Kedua mata Kinan seketika berbinar. "Ih, ada boneka kura-kura Kinan." Dan langsung mengambilnya lalu Kinan peluk erat-erat.
Boneka kura-kura pemberian Gio. Waktu itu saat mereka jalan berdua di pusat perbelanjaan, Kinan hanya menunjuk boneka yang mirip dengan peliharaannya—itu memang lucu—dan tidak menyangka juga malah Gio memberikannya. Kinan tidak menolak.
"Bawa pulang nanti. Udah nginep berapa lama tuh boneka di mobil gue."
Masih dengan memeluk bonekanya itu, Kinan menggelengkan kepalanya dua kali. "Enggak, mau taro di mobil Gio aja. Biar pas Kinan jauh dari Pororo, Kinan masih punya ini."
Mendengar ucapan Kinan, Gio mengingat sesuatu. "Oh, gue inget si Pororo." Gio manggut-manggut lagi. Ternyata ketika Kinan menyebutkan Pororo itu ya kura-kura peliharaannya Kinan. Gio tahu sekarang. Gio akan ingat mulai saat ini.
"Gio belom pernah ketemu sama Pororo ya?"
Gantian, sekarang Gio yang menggeleng. "Nggak kreatif amat namanya Pororo," ucapnya kemudian.
Kinan memberenggut. "Kinan itu suka sama pinguin yang namanya Pororo tau. Dia lucu. Gio tau pastikan?"
"Tapi kan itu pinguin bukan kura-kura."
"Tapi kan Kinan gak bisa pelihara pinguin, Gio."
Gio tampak berpikir. "Bener juga lo."
"Tuh kan Kinan bener. Kinan kangen banget sama boneka ini." Kinan makin mengeratkan pelukan di boneka berwarna hijau itu. Entah karena bonekanya lama bersama Gio atau bagaimana, wanginya mirip Gio.
"Gio, makasih ya."
Gio tersenyum dan membalas, "Anytime, Ki."
...
"Gue mau ke kamar dulu sebentar."
Menanggapi perkataan Gio, Kinan hanya menganggukkan kepalanya saja. Dan dengan kaki telanjangnya yang menyentuh lantai marmer yang dingin, Kinan mulai menelusuri pelan-pelan rumah Gio yang memang tidak banyak perubahan seperti pertama kali Kinan menginjakkan kakinya ke sini. Kinan tidak tahu sudah berapa lama Kinan tidak bertemu dengan Mama Anneth, Papa-nya Gio dan Bibi Cika.
Dan sayangnya, Gio bilang tadi di mobil sambil memakan roti bakar, orang tua Gio sedang tidak ada di rumah. Lalu, Kinan mengeluarkan ponselnya yang ternyata sudah mati total. Tadinya Kinan ingin melihat balasan dari Adam untuk pesan singkat yang Kinan kirimkan itu yang mengatakan bahwa Kinan tidak pulang ke rumah malam ini.
Kinan mulai melangkahkan kakinya lagi. Berjalan untuk menaiki anak tangga. Dan memutar kenop pintu di depannya, itu kamarnya Gio. Kinan melihat Gio sedang mencari-cari sesuatu di dalam lemari kemudian pindah ke atas nakas di samping tempat tidur. "Gio, lagi nyari apa?" Kinan tidak bisa menahan untuk tidak bertanya.
"Hape gue," jawab Gio tanpa melihat ke arah lawan bicaranya. "Ah, got it!" Gio memperlihatkan pada Kinan benda pipih warna hitam itu dan langsung mengetikkan pesan singkat.
Kinan mendekat lagi ke arah Gio hingga Kinan bisa menarik ujung kaus yang Gio kenakan. "Gio, Kinan mau minjem charger-an dong. Hape Kinan mati."
Tangan Gio mengambil alih ponsel yang Kinan pegang. Sementara Gio membawa ponselnya, Kinan berjalan menuju ke arah balkon. Menggeser pintu kaca besar di depannya dan merasakan langsung terpaan angin malam yang menampar halus wajahnya itu. Kedua tangannya mulai menggenggam erat pagar besi.
"Lo udah ngabarin Ayah lo kan, Ki?"
Suara Gio di belakangnya membuat Kinan menoleh lalu mengangguk. "Tadi di jalan Kinan udah chat Ayah kok. Jadi, Gio tenang aja."
Dengan mudahnya Kinan berkata seperti itu. Gio mendengus pelan dan menyandarkan sisi tubuhnya ke samping jendela besar itu. "Gimana bisa gue tenang sih?" Dalam hal membawa Kinan bersamanya, tentu saja membuat Gio kepikiran apa yang akan Rama lakukan.
"Apa yang buat Gio gak tenang sih?" Kinan mengikuti nada bicara Gio tadi.
"Lo masih nanya?"
Kinan mengangkat kedua bahunya. "Kinan emang gak tau."
Kali ini Gio berdecak. "Pura-pura aja terus."
"Kinan lagi gak mau ribut sama Gio." Kinan lalu memutar tubuhnya untuk melihat pemandangan di depannya lagi.
"Siapa juga yang ngajak ribut?" balas Gio. Kinan memilih untuk membungkam mulutnya. Selama beberapa menit Gio hanya mengamati punggung Kinan di depannya dan kemudian berdeham pelan saat Gio menyadari sesuatu. "Mending lo masuk ya? Gue mau ngomong nih," ujarnya seraya melihat ke arah bawah sana.
"Ini kan Gio lagi ngomong juga." Kinan menengok ke arah Gio kembali.
"Kinan, nurut sama gue sekali aja."
"Iya-iya. Jangan marah."
"Gue gak marah."
"Tapi itu Gio kayak marah." Kinan melihat wajah Gio juga sedang menahan kesal.
"Gue gak marah, Kinan." Untuk ucapannya yang satu itu, Gio melembutkan suaranya. Dan Gio langsung menarik pergelangan tangan Kinan untuk menjauh dari kamarnya. Menuruni anak tangga dan mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu.
"Gio, mau ngomong apa?" Kinan yang lebih dulu membuka suaranya.
Butuh waktu lama untuk Gio menjawab pertanyaan Kinan itu. Gio lebih memilih untuk memerhatikan Kinan di sebelahnya. "Sori baru sekarang gue bisa langsung nemuin lo. Dan buat masalah Bunda lo jangan terlalu dipikirin ya, Ki?" Meskipun Gio tahu itu sulit.
"Iya, ini Kinan lagi coba."
Gio menarik kedua sudut bibirnya sedikit. "Bagus. Gue juga gak mau lo langsung ngelakuin hal yang bisa nyakitin lo. Gue gak bisa kan terus-terusan ada di samping lo? Nanti gue yang khawatir sendiri." Kinan telah menceritakan semuanya pada Gio dan Gio tahu apa yang bisa saja Kinan lakukan. Maka dari itu, Gio harus mengingatkan Kinan kan?
Kinan mengalihkan pandangannya pada kedua tanganya yang sekarang sedang berada di ujung kaus Gio itu. "Kalo kayak gini salah siapa sih Gio? Salah Kinan atau salah Bunda?" Ketika dikalimat terakhir, suara Kinan memelan.
Gio benci sekali saat Kinan akan menceritakan hal yang membuat gadis itu sedih. "Kinan, mending lo istirahat sekarang."
Seakan tuli, Kinan tetap saja melanjutkan ceritanya. "Gio tau kan, Bunda udah ninggalin Ayah sama Kinan pas kecil. Terus Bunda jahat banget sama Kinan. Kinan masih inget sampe sekarang, Gio."
Tangan Gio langsung menarik Kinan untuk mendekat ke arahnya dan langsung Gio peluk. "Gue tau."
"Kalo Gio mau tau Kinan gak nangis kok." Kinan memunculkan wajahnya itu, agar Gio bisa melihat bawah memang Kinan tidak menangis sama sekali.
Gio tetap saja bisa melihat raut wajah sedih Kinan. "Iya, gue cuma mau peluk lo aja." Dan merasakan Kinan kembali menenggelamkan wajahnya ke leher Gio.
Dan selama beberapa saat mereka berdua hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga Gio mulai menggerakkan jarinya pada punggung Kinan membentuk pola abstrak di sana. "Udah berapa lama kita gak kayak gini, Ki? Lo inget?" Suara pelan Gio lalu terdengar.
"Udah lama banget sampe Kinan gak inget itu kapan." Dan Kinan mendekatkan lagi tubuhnya pada Gio.
Gio menyetujui itu. "Gue juga gak inget."
"Tapi Gio inget ini maunya Gio?" Kinan memberikan Gio pertanyaan yang membuat Gio terdiam sebentar.
"Ini bukan mau gue, oke? Kalo aja si Rama gak ngancem gue, gue gak akan biarin lo—"
"Kak Rama ngancem apa?" tukas Kinan dan menjauh sedikit dari tubuh Gio. Memilih untuk melihat wajah Gio dari jarak sedekat ini. Mencari-cari kebohongan juga dari mata laki-laki itu.
Fak. Gio salah ngomong. "Dia nggak mau kita kayak gini, Ki. Makanya gue gak bisa terus di dekat lo." Sebisa mungkin Gio harus berhati-hati lagi dalam berbicara dan tidak berakhir dengan Gio sendiri yang menceritakan semuanya.
"Gio kasih tau Kinan masalahnya biar Kinan bisa bujuk Kak Rama." Kinan membawa tangannya ke sisi wajah Gio saat laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Gak gitu, Kinan."
Kerutan di dahi Kinan terlihat. Semakin bingung dengan apa yang Gio coba beritahukan padanya. "Terus harus gimana? Coba kasih tau Kinan."
Gak kayak gimana-gimana, Ki.
Gio menatap netra cokelat Kinan lekat-lekat. "Yang kayak gue bilang berkali-kali ke elo; jangan langsung percaya sama omongan Rama. Bisa?"
Dengan anggukkan kepalanya, Kinan menjawab, "Bisa." Dan kali ini dengan senyumannya. Gio di dekatnya masih saja diam. "Kalo Gio masih ragu nih, pinky swear?" Kinan membawa jari kelingkingnya ke hadapan Gio.
Melihat itu, Gio malah terkekeh sebentar dan memeluk tubuh mungil Kinan lagi. "Cuma itu yang gue mau juga," bisiknya kemudian.
"Cuma itu beneran?" tanya Kinan memastikan.
"Emangnya gue mau apalagi?"
"Kinan aja mau banyak dari Gio." Kinan tidak mendengar balasan dari Gio. Kinan hanya merasakan Gio mengeratkan pelukannya.
Dan di malam itu bersama Gio, Kinan bahkan lupa dengan acara perginya dengan Dean. Jam sembilan.
...
"Berarti tadi malem Kinan tidur di kamar Gio?"
"Mama Anneth harus tau ya, tadinya Kinan udah bilang sama Gio kalo Kinan mau tidur di kamar tamu eh Gio malah bilang Kinan tidur di kamar Gio aja."
"Besok-besok jangan mau ya. Kalo mau nanti Kinan tidur di kamar Mama Anneth aja. Oke?"
"Oke."
"Speak of the devil."
Gio tersenyum miring ke arah Mamanya dan Kinan yang pagi ini sudah berada di dapur. Gio kira Kinan ke mana saat tahu Kinan tidak berada di kamar. Ternyata bersama Mamanya yang sudah pulang dan membicarakan dirinya. Tadi ketika mengobrol berdua, Anneth sedang mengikat rambut panjang Kinan sehingga Anneth maupun Kinan tidak mengetahui kehadiran Gio.
Setelah mengambil apel di meja makan, Gio mendekat ke arah Kinan yang masih saja membelakanginya. Kinan sedang memerhatikan Anneth yang sedang memasak. Sedang menggunakan kaus Gio juga. Gio meletakkan dagunya itu di atas pundak Kinan itu.
"Papa nggak ikut pulang, Mah?" tanya Gio dan beralih melihat Anneth yang menggelengkan kepalanya.
Anneth menengok ke arah Gio sekilas dan melanjutkan lagi untuk memasak nasi goreng untuk sarapan mereka pagi ini. "Papa nanti malem pulangnya. Kamu yang jemput di bandara ya? Gak boleh nolak perintah orang tua."
"Kinan mau ikut dong," celetuk Kinan.
"Iya, Kinan ikut aja sama Gio. Ketemu Om Rayhan deh. Kinan kangen kan?"
"Kangen." Kinan menjawab dengan begitu cerianya dan melihat Anneth tersenyum ke arahnya. Lalu tak lama Kinan merasakan Gio menekan dagunya itu pada pundaknya. "Ish sakit, Gio!" Dan menampar bahu Gio dengan tenaga yang tidak seberapa.
"Gio, kasian Kinannya. Duduk di samping Kinan aja." Anneth menunjuk kursi di depan meja bar itu yang memang ada di samping Kinan. Kemudian mematikan api di kompor.
"Kok kamu baru sekarang bawa anak Mama ke sini?" tanya Anneth yang saat ini sedang memindahkan nasi goreng itu ke piring besar.
Gio mengernyit. "Anak Mama?"
"Kinan. Mama udah anggep Kinan anak Mama sendiri."
Oh.
Gio melihat ke arah Kinan yang ternyata sudah lebih dulu mengamati dirinya. "Salahin Kinan lah mau ke sininya baru sekarang." Dengan santainya Gio menjawab seperti itu.
Kinan tentu saja langsung melotot. "Ih, Kinan mau ketemu sama Mama Anneth terus. Gio nya aja yang selalu ngehindar dari Kinan."
"Gio ngehindarin kamu?" Anneth menatap Gio tidak percaya.
Kepala Kinan mengangguk mantap. "Iya, malah Gio kalo di sekolah jadi jahat banget sama Kinan. Kinan aja jadi takut sama Gio," ujar Kinan dan melihat Gio yang hanya diam saja sambil terus memerhatikan dirinya.
"Jewer aja Kinan kalo Gio jahatin kamu ya. Atau enggak bilang sama Mama Anneth, oke?"
"Oke." Dan Kinan menjulurkan lidahnya ke arah Gio. Saat Gio mendekat, Kinan langsung menjauh.
"Ini sarapannya. Kinan, kalo mau nambah langsung ambil ya? Mama Anneth mau ngambil rok buat Kinan terus rapi-rapi deh." Anneth meletakan piring berisikan nasi goreng yang ia buatkan itu ke hadapan Kinan.
"Sarapan aku mana?" Gio meletakkan apel yang belum ia makan sama sekali itu ke atas meja.
Anneth membuka apron berwarna pink itu. "Ambil sendiri dong. Bisa jalan kan?"
Gio manggut-manggut. "Ah iya, di sini kan bukan aku yang anak kandungnya." Dan tersenyum ke arah Anneth.
Kinan mendengar itu tertawa pelan. "Makasih, Mama Anneth."
"Iya, Sayang." Sebelum Anneth menarik langkah menjauh dari arah dapur, wanita itu menyempatkan untuk mencium puncak kepala Kinan. Dan Gio semakin yakin siapa anak kandung Mamanya itu.
"Cobain dong, Ki."
Kinan menelan terlebih dahulu nasi goreng di dalam mulutnya itu sebelum akhirnya melihat ke arah Gio dan menyuapkan nasi gorengnya itu.
"Bisa lo bikin nasi goreng?" Gio menuangkan air mineral dan langsung menegaknya.
Ditanya seperti itu, Kinan tentu saja menggeleng. "Enggak." Dan memasukkan lagi nasi goreng ke dalam mulut.
"Belajar dong, Om Adam kan chef."
"Gio mah mana tau Kinan lagi proses belajar masak."
"Emang ya?"
Sekarang kepala Kinan mengangguk. "Iya, makanya tanya Kinan. Jangan Kinan dimarah-marahin mulu." Kinan melirik ke arah Gio agak sinis.
"Makin ceweret ya lo." Gio menggeleng-gelengkan kepalanya dan melihat ke arah Kinan lagi. Ia lalu berdeham. "Lo gak pake celana?"
Lantas, Kinan langsung menurunkan kaus Gio yang memang sudah terlihat kebesaran di tubuhnya. Mencoba menutupi pahanya itu. "Gio, jangan ngeliat ke arah sini."
Belum sempat Gio mengeluarkan suaranya, Anneth yang lebih dulu memanggil Kinan.
"Kinan, Sayang. Roknya udah ketemu nih."
Kinan membawa tangannya ke arah sisi wajah Gio agar tidak menghadap ke arahnya. "Gio, jangan ngeliat ke arah Kinan, liat ke arah nasi goreng aja." Dan cepat-cepat berdiri dan berlari kecil ke kamar Anneth.
"Iya," ujar Gio setelah Kinan tak terlihat lagi dan memakan nasi goreng di piring Kinan sambil menunggu Kinan kembali.
"Kata Mama Anneth roknya buat Kinan dong." Kedua tangan Kinan memegang bahu Gio. Membuat Gio melihat ke arahnya. Sekarang Kinan sudah menggunakan rok putih di atas lutut dan memasukkan kaus yang Kinan kenakan itu.
"Serius Mama punya rok ketat begini?"
"Bagus kan?" Kinan malah memberikan Gio pertanyaan lain.
Gio mengangguk. "Bagus sih."
Kinan tersenyum dan duduk lagi di tempat semula. Dengan Gio yang lagi-lagi meletakkan dagunya di atas pundak Kinan. Mengamati wajah Kinan dari samping. "Lo mau kita kayak gini terus gak, Ki?" tanya Gio tiba-tiba.
Terlihat Kinan menganggukkan kepalanya.
"Karena lo masih jadi cewek gue—"
Kinan hampir saja tersedak mendengar ucapan Gio itu, Kinan cepat-cepat mengambil gelas Gio yang masih tersisa air mineral di sana dan menegaknya hingga habis.
"Kinan pacarnya siapa?"
"Pacarnya gue."
Mau curcol sedikit. Tadi buru2 terus mau up. Eh yang ke up malah Part yang salah dengan judul yang sama hiks. Maap ya gais.
Setelah baca ini siapa yang kesel atau agak gimana gitu sama kinan?
Iya, Gio yang jadi pacarnya Kinan.
Inget pas Dean bilang; seharusnya bukan Rama yang dikhawatirin tapi ya si Gio ini.
Dan jangan marah dulu sama Kinan atau sama Dean mungkin? Mereka tentu aja punya alasan.
Apa alasanya? Tungguin dong wkwkwkwk
Coba satu kata untuk part ini?
Lanjut gak nih?
sori typo.
Marah aja sama Sparkel gak papa kok;")
[ Pacarnya Kinan nih hm ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro