Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

believe

Bagian 41 |
and I believe in you

Part ini agak gimana gitu. Skip aja kalo gak kuat lol

Vote dan komen dund biar rame✨✨
▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂

Namanya Juli. Gadis yang dekat dengan Rama dan Gio bahkan mengenal Kinan juga. Mengalami kecelakaan karena nekat untuk ikut dengan Gio yang memang saat itu sedang mengikuti balapan mobil liar, dan itu Sean yang mengepalai.

Gio sering menang dan teman-temannya menyukainya, apalagi Sean. Entah sudah berapa lama Gio ikut dengan hal semacam itu dan berteman baik dengan Sean. Hingga hari di mana Gio yang berniat berhenti untuk terakhir kalinya. Tidak ada lagi bertemu dengan Sean dan teman-temannya di arena balap. Tidak ada lagi ketakutan di wajah Juli. Tidak ada lagi bentakkan dari Rama yang menyuruhnya untuk tidak pergi ke sana lagi. Gio akan mengakhiri itu semuanya.

Satu balapan lagi dan Gio berhenti.

Namun siapa sangka, hari itu yang mengharuskan Gio untuk semakin dalam menyelami segala hal yang telah menariknya ke dasar ketakutannya. Juli tidak bisa diselamatkan, sedangkan dirinya kritis. Dan saat pertama kali membuka mata yang terlihat wajah Rama yang begitu membencinya.

Rama jelas menyayangi Juli lebih dari apa pun dan Gio—yang sudah berkali-kali Rama peringatkan untuk tidak mengikuti balapan liar lagi, malah mengikutsertakan Juli juga. Seharusnya Gio bisa mencegah Juli yang nekat itu untuk tidak masuk juga. Seharusnya Gio tidak perlu mementingkan egonya sendiri. Seharusnya Gio berhenti saja di malam itu dan membawa Juli pulang.

Penyesalan memang selalu datang terakhir, namun dari hal itu juga bukankah bisa menjadi patokan untuk tidak melakukan hal yang sama?

Dan untuk Kinan, Gio tidak ingin melakukan hal yang sama.

"Hei, Baby." Suara Gio serak. Kedua matanya agak memerah dan Kinan di depannya terlihat begitu menarik. Memakai kemeja putih polos yang Kinan masukkan ke dalam celana jinsnya dengan rambut panjang yang Kinan buat ikal di bawah. Penampilan biasa dan Kinan terlihat sebegitu menariknya di mata Gio kini. Gio tahu Kinan baru pulang setelah pergi dengan Adam. Mungkin makan malam berdua atau apa. Tetapi yang terpenting Gio bisa bebas masuk ke dalam kamar pacarnya.

Pacarnya yang Gio tahu takut padanya.

Kata takut sudah bersarang di kepala Gio semenjak bertemu dengan Rama di makam Juli itu hingga sekarang.

Dan Gio akan memastikan bahwa memang benar-benar Kinan takut padanya.

"Gio, abis ngapain? Kok berantakkan banget?" Suara Kinan terdengar. Kinan berjalan mendekat ke arah Gio yang duduk di meja belajarnya masih dengan tatapan yang tidak beralih dari Kinan.

Tangan Kinan tahu-tahu sudah Gio rasakan bergerak untuk merapikan rambut Gio. Embusan napas kasar, Gio keluarkan dan menyingkirkan tangan Kinan dari rambutnya. Pikirannya sedang kalut. Terlebih kata-kata Rama seolah menikamnya berkali-kali.

Gio membawa tangan kirinya melingkar di pinggang Kinan. Ekspresi Gio datar. Lalu, Gio berdiri. Semakin melihat perubahan di wajah Kinan ketika Gio menatapnya dengan begitu tajam. Kinan masih menantang tatapannya dengan pandangan lembut Kinan. Bagaimana bisa Gio menyakiti gadis di depannya ini.

"Abis dari mana? Gue nungguin lo dari tadi di sini." Suara Gio masih terdengar serak dan perlahan-lahan menyembunyikan wajahnya di antara helaian rambut panjang Kinan, semakin mendekat juga untuk menenggelamkan wajahnya pada leher Kinan itu. Dijarak sedekat ini, Gio bisa merasakan detakan jantung Kinan yang begitu cepat.

Ki, lo takut?

"Kinan abis dinner sama Ayah. Kalo Gio abis dari mana?" tanya Kinan balik dan merasakan tangan Gio mengerat.

"Abis nongkrong sama temen. Terus kangen sama lo jadi gue ke sini." Setelah mengatakan itu, Gio mengangkat kepalanya. Menatap Kinan kali ini dengan senyum tipis.

Kinan belum tahu bahwa Juli pergi karena ikut dengan Gio dan saat nanti Rama memberitahukan hal itu, apa Kinan akan membenci Gio? Apa Kinan akan lebih takut padanya?

Dan sekarang Kinan menampilkan senyuman yang biasa Kinan keluarkan. Dengan kedua tangan yang memeluk leher Gio, membuat Gio menundukkan kepalanya itu Kinan berbisik, "Kinan juga kangen sama Gio." Dan memejamkan kedua matanya di sana.

Gio tidak menyahut, memilih diam. Gio menatap lurus ke pigura di atas nakas. Wajah Kinan yang terlihat begitu cerianya. Penyesalan seketika itu juga menyergap dirinya lagi. Dan Gio yang pertama menjauh. Kinan mundur selangkah.

Kinan sebenarnya tidak pernah mengerti dengan Gio yang begitu gampang merubah mood-nya. Kadang Gio begitu terbuka padanya lalu sedetik kemudian menutup pintu itu rapat-rapat dari Kinan. "Ada yang buat Gio kesel ya?" Kinan bertanya dan menggigit bibir bawahnya. Terlihat juga dari wajah Gio.

Tetapi kepala Gio menggeleng. Dan yang Kinan tahu sekarang Gio membuka hoodie hitamnya itu. Menyisakan kaus putihnya.

"Terus kalo bukan ada yang buat Gio kesel, Gio lagi kenapa?" tanya Kinan lagi. Mencoba untuk mencari tahu apa yang sedang Gio alami hingga menjadi seperti ini. Menjadi tidak seperti biasanya.

"Gue nggak kenapa-kenapa, Ki. Cuma kangen sama lo aja," jawab Gio dan pelan-pelan mengangkat tangan kanannya untuk mengusap sisi wajah Kinan.

"Beneran?"

Kepala Gio mengangguk. Mencium pipi Kinan lama.

"Gio boleh kok cerita apa aja sama Kinan. Kinan gak akan bilang sama siapa-siapa. Rahasia Gio bakalan aman sama Kinan." Senyuman Kinan terlihat lagi. Meyakinkan Gio.

Dan Kinan tidak mendapatkan balasan apa-apa dari Gio selain dengan pelannya, Gio mendorong tubuh Kinan hingga sekarang Kinan merasakan dirinya sudah terbaring di tempat tidurnya.

"Gio, kenap—"

"Lo takut sama gue, Ki?"

Kinan tidak melanjutkan ucapannya itu. Gio sudah benar-benar berada di atas tubuhnya. Ekspresi Gio tidak terbaca. Tatapannya masih menajam. Dan usapan lembut tangan Gio di pipinya membuat Kinan memejamkan matanya sebentar. Gio tidak akan menyakitinya, 'kan?

Dan usapan lembut tangan Gio itu turun ke lehernya. Embusan napas hangat Gio kian Kinan rasakan di wajahnya. Betapa dekatnya Gio dengan dirinya sekarang.

"Jawab, Kinan."

Suara Gio pelan namun siapa pun yang mendengar itu bisa dengan jelas menangkap nada memaksa. Dan itu lagi-lagi tidak seperti biasanya. Kinan membuka kedua matanya pelan-pelan. Gio masih tetap sama saja. Dan yang Kinan tahu kini tangan Gio membuka kancing pertama bajunya. Mencium pipinya lagi dengan gerakan lambatnya. Berulang-ulang.

Gio kenapa? Itu yang sekarang Kinan pikirkan. Dan menanamkan 'Gio tidak akan menyakitinya' di dalam otaknya itu.

Kemudian, Kinan memiringkan kepalanya ke samping kanan ketika dirasakannya Gio menenggelamkan lagi wajahnya pada leher Kinan. Menciumnya juga di sana. Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya jika salah satu di antara mereka tidak ada yang menghentikan itu. Kinan yang berbaring di tempat tidurnya dengan Gio yang berada di atas tubuhnya, menciumnya.

Lenguhan Kinan terdengar saat Gio menggigit lehernya itu dengan tangan yang sudah bergerak ke mana-mana di tubuh Kinan dan masih dengan gerakan lambatnya naik ke garis rahang Kinan. Menciumnya juga. Naik lagi ke belakang telinga Kinan. Mengecupnya perlahan. Dan bergerak lagi ke sudut bibirnya. Kali ini menciumnya lebih lama. Gio tahu Kinan tidak akan ingin Gio mencium bibirnya.

"Gio," panggil Kinan pelan.

And he was right.

Kinan tidak menyangka, Gio mengangkat kepalanya. Menunduk kemudian. Melihat Kinan lagi. "Apa, Ki?" Tatapan Gio benar-benar beda. Tangannya bergerak di sekitar pinggang Kinan. Lalu menelusup ke dalam kemejanya. Mernyentuh permukaan kulit halus Kinan. Dan itu berhasil membuat Kinan menahan napasnya lagi.

Menunggu apa yang akan Kinan ucapkan, kancing kedua kemeja Kinan yang sekarang Gio buka, saat melakukan itu pandangannya masih ke arah netra cokelat milik Kinan. "Takut?" Sebelah alis Gio terangkat dan pelan-pelan menyingkirkan kemeja Kinan yang menutupi bahunya itu yang langsung Gio cium juga. Lama.

Kinan menahan napasnya sebentar saat Gio melancarkan aksinya itu. "Gio, kenapa sih?" Kedua tangan Kinan menyentuh pipi Gio dan menjauhkan Gio dari bahunya yang sedang Gio cium itu. Membuat Gio menatapnya lagi. Dengan pelan menyingkirkan rambut Gio yang jatuh di dahi laki-laki itu. "Gio, mau apa?"

Mata Gio beralih melihat ke arah bibirnya dan dengan ibu jarinya itu, Gio mengusap bibir bawah Kinan. "Cuma mau lo jawab pertanyaan gue tadi, Ki." Setelah berujar, tangan Gio naik lagi ke bahu Kinan menyingkirkan lagi kemeja Kinan itu dari sana. Menciumnya kembali.

Tangan Gio yang berada di bahu Kinan perlahan-lahan turun ke bawah. Menelusuri setiap jengkal tubuh Kinan hingga mencapai kancing celana jins Kinan, Gio berhenti di sana. Menatap mata Kinan dalam.

"Kinan sayang Gio." Kinan mengulum senyum.

Mendengar itu, Gio menggelengkan kepalanya. Makin menunduk lagi dan kali ini hidung Gio yang menempel di pipi Kinan yang menelusuri setiap jengkal tubuh Kinan di bawahnya itu. Dari pipi Kinan yang terlihat memerah ke garis rahangnya menuju ke lehernya tempat sensitif untuk Kinan ke bawah lagi hingga ke kaki Kinan, Gio berhenti.

"Bukan itu yang harus lo jawab, Kinan." Posisi Gio setengah membungkuk. Tangannya sudah bergerak di kancing celana jins Kinan. Membuat Kinan memandangnya lain. "Lo takut sama gue, Ki?" Gio mengulang pertanyaan yang sama.

Kinan belum juga menjawab. Tangan Gio sudah membuka kancing di depan wajahnya itu dan melanjutkan apa yang Gio pikirkan tetapi saat suara Kinan terdengar, Gio berhenti. "Kinan tau Gio sayang sama Kinan. Jadi, Gio gak akan ngelakuin itu, 'kan?"

Tidak ada ketakutan. Tidak ada yang Rama bilang padanya. Tatapan Kinan masih sama. Dan Gio masih melihat senyuman Kinan itu. Kinan begitu yakin Gio tidak akan berbuat hal buruk padanya. Gio manggut-manggut. Mengancingkan lagi semua yang tadi Gio buka. Naik lagi perlahan hingga Gio berada di atas Kinan.

"Bener, Ki. Gue sayang sama lo. Gue gak akan ngelakuin hal yang bisa nyakitin lo lagi. Jangan takut sama gue ya?" Tatapan Gio melembut.

Kinan mengangguk. Dan menarik leher Gio untuk mendekat ke arahnya. "Iya, Gio."

...

Satu hal yang Gio sadari ketika membuka kedua matanya adalah Kinan tidak ada di sampingnya. Gio mengusap kedua matanya berkali-kali dan melihat ke arah depan kamar Kinan sudah ada sinar matahari yang masuk ke dalam celah gorden cokelat itu.

Gio mendudukkan tubuhnya dan meraih ponsel Kinan di dekatnya. Melihat satu pesan yang sudah lebih dulu dibaca oleh Kinan.

Ayah : Ann, maaf Ayah gak bangunin Anna.
Ayah pergi tadi pagi-pagi banget.
Tapi nanti sore kita jadi ke tempat Tante Kila.
Read. 05.55 am.

Kinan belum membalas pesan Adam yang satu itu. Gio meletakkan kembali ponsel Kinan yang sebelumnya Gio hanya ingin melihat jam. Dan berjalan ke dalam kamar mandi, Kinan juga tidak ada di sana. Gio memilih untuk membasuh wajahnya itu dengan air wastafel yang terasa dingin.

"Kinan kira Gio udah pulang." Kinan terlihat cemberut. Takut Gio diam-diam meninggalkannya sendiri. Duduk di tepi tempat tidurnya melihat Gio yang baru keluar dari kamar mandi. Gio kok keliatan ganteng banget ya?

"Gue aja baru bangun."

Kinan bangkit, berjalan ke arah lemari pakaian dan mengeluarkan handuk putih kecil yang langsung Kinan berikan pada Gio. Terlihat kini Gio mengusap wajahnya yang basah. Kinan memeluk lengan Gio erat-erat. Senyuman terlihat semakin lebar. "Tadi Kinan ke dapur bikin sarapan buat Gio. Kinan udah belajar masak sama Ayah."

Melihat wajah senang Kinan, Gio menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Oh ya? Apa tuh?"

"Nasi goreng!"

Lalu yang Gio rasakan, Kinan ke belakang tubuhnya. Meletakkan kedua tangannya ke pundak Gio. Mendorong tubuh Gio untuk keluar kamar Kinan. Pertama kali bagi Gio melihat sisi lain rumah Kinan karena hanya kamar Kinan lah yang bisa Gio masuki.

"Ini dia nasi goreng buatan Kinan. Semoga Gio suka!"

Gio mengacak-acak rambut Kinan sebelum akhirnya duduk di depan meja bar. Melihat nasi goreng yang sedang tersenyum ke arahnya. Kinan membuat senyum itu dari telur dadar yang Kinan potong tipis memanjang. "Lucu banget kayak lo," komentar Gio dan mencium pipi Kinan berkali-kali.

Semakin lebarlah senyum Kinan dan ikut duduk juga di samping Gio. Kinan sudah mencicipi terlebih dahulu nasi goreng buatannya. Tidak persis seperti buatan Ayah, tetapi masih tergolong bisa dimakan. Dan enak, kok. Itu menurut Kinan.

"Enak, kok."

Tuh kan. Gio saja bilang gitu.

"Semoga besok Kinan bisa masak nasi goreng enak kayak Ayah. Amin."

Dan itu membuat Gio terkekeh pelan. "Amin." Mengikuti kalimat terakhir Kinan. "Ayah lo emang ke mana?"

"Ketemu temennya mungkin. Kinan gak tau juga. Padahal hari ini seharusnya Ayah gak kerja." Kedua bahu Kinan terangkat dan memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya. "Gio gak usah takut. Tenang aja," lanjut Kinan begitu santai. Mengetahui alasan mengapa Gio menanyakan itu.

Gio semakin gemas melihatnya. Dan saat Gio menyadari sesuatu, senyuman Gio perlahan-lahan hilang. Tangannya menyingkirkan rambut Kinan yang menutupi sebagian lehernya itu. "Mm.. Ki, bekas yang kemarin udah ilang, 'kan ya?"

"Mhm-mm." Kinan mengangguk. Masih sibuk dengan sarapannya.

"Berarti yang ini bekas gue," ujar Gio pelan. Melihat bekas keunguan di leher Kinan itu.

Kinan menoleh ke arah Gio. "Apa?"

"Maksud gue karena gue semalem. Nanti ditutup ya," jelas Gio dan melanjutkan lagi memakan nasi gorengnya itu.

"Bekas semalem?" Kinan bertanya, memastikan. Masih belum paham. Kadang Kinan memang harus diberitahukan berkali-kali, baru dirinya mengerti.

"Iya."

"Di leher Kinan?"

Kepala Gio hanya mengangguk.

Kinan agak melotot menyadari itu. Memegang lehernya juga. "Kinan nanti mau ke rumah Tante Kila, Gio." Suaranya terdengar agak kesal.

"Tutupin lah, ribet." Gio menyahut dengan tak kalah santainya dengan Kinan tadi.

"Tanggung jawab!"

Alis Gio terangkat sebelah. Melihat ke arah Kinan. "Gue harus tanggung jawab apa?"

"Gak tau." Kepala Kinan menggeleng.

Gio tidak biaa untuk tidak tersenyum mendengar perkataan Kinan tadi. Gadis itu meminta Gio untuk bertanggung jawab tetapi tidak tahu itu apa. "Pake turtleneck aja biar gak keliatan," usul Gio.

"Panas nanti, Gio. Lagian semalem ngapain sih kayak gitu?!" Membuat Kinan panas-dingin sendiri dengan perlakuan Gio. Kinan menggigit bibir bawahnya mengingat itu.

"Gemes sih gue sama lo. Mau gue gigit terus-terussan."

Saat Kinan menyadari Gio akan mencium lehernya lagi, Kinan menjauhkan wajah Gio terlebih dahulu darinya. Gio justru terkekeh. "Emang Kinan apaan?! Gio semalem gak abis dari mana-mana, 'kan? Gak ngapa-ngapain, 'kan?"

Sebelum menjawab, Gio menegak air mineral di gelas yang ia pegang. "Iya, cuma minum doang ama temen dikit."

"Bener berarti." Suara Kinan terdengar pelan.

Tetapi Gio masih mendengar itu. "Apanya?"

"Tadi Kinan Line Levi, katanya emang bener Gio main sama temen. Kalo ada apa-apa cerita sama Kinan. Jangan kayak semalem lagi." Kinan membawa kedua tangannya ke sisi wajah Gio agar Gio melihat mata Kinan saat Kinan mengatakan itu.

"Kalo gue gak ada yang mau diceritain tapi gue mau kayak semalem gak apa-apa?"

Mendengar ucapan Gio barusan, Kinan menahan senyumannya dengan menggigit bibirnya itu. Kepalanya lalu menggeleng. "Nggak boleh juga."

Gio menyingkirkan tangan Kinan dari wajahnya. "Ada baju gue gak sih di sini?" tanya Gio dengan topik pembicaraan baru. Dan bangkit dari tempat duduknya.

Mengikuti Gio untuk bangkit, Kinan memeluk leher Gio dari samping. Menempelkan dagunya pada bahu Gio dan mengangguk. "Ada di lemari Kinan. Yang paling bawah. Kinan tunggu di sini ya. Gio mau mandi, 'kan?"

"Iya. Sebenernya gue juga bawa baju sih tapi mobil. Tapi gue mager ke sononya." Jauh juga Gio memakirkan mobilnya dari rumah Kinan.

"Yaudah ambil aja di lemari Kinan."

"Yaudah bisa dilepasin dulu gak gue-nya?" Gio melirik ke arah tangan Kinan yang memeluknya.

Kinan menurut. "Jangan lama-lama."

"Iya, Ki."

...

Untuk pertama kalinya di hari Sabtu ini, Kinan dapat menghabiskan waktunya dengan Gio lebih lama. Kinan tentu saja senang. Bisa berlama-lama di dekat Gio dan melihat berkali-kali Gio mengeluarkan senyumannya. Semalam Kinan hanya melihat itu sebentar karena entah apa yang merasuki Gio tadi malam.

"Gio pulangnya nanti aja ya? Kalo Kinan mau berangkat ke Bandung sama Ayah, Gio baru pulang," kata Kinan mengawali pembicaraan mereka di ruang tamu.

Gio meletakkan ponselnya di atas meja. Menengok ke arah Kinan lalu mengangguk. "Lo pulangnya kapan?"

"Hari Minggu baru Kinan pulang. Mau ke makam Oma juga di sana."

Mendengar itu, Gio mengalihkan pandangannya sebentar. "Seharusnya gue nemenin lo ke sana. Gue udah janji juga."

"Kinan pergi sama Gio lagi nanti aja. Sekarang sama Ayah dulu." Jeda sebentar. Kinan mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. "Gio jangan kangen sama Kinan ya!" lanjutnya.

"Lo yang seharusnya jangan kangen sama gue."

Kinan manggut-manggut. "Iya juga. Kinan aja bakalan kangen Gio nanti pas Gio udah pulang."

Setiap ucapan Kinan atau apa saja yang Kinan lakukan selalu berhasil membuat Gio tersenyum. Terlihat begitu lucu. Gio mulai memainkan rambut panjang Kinan di sampingnya.

"Gak enak tau, Ki. Kalo lagi kangen terus gak bisa ketemu."

Kinan setuju. "Gio ikut Kinan aja ke Bandung!" Pikiran itu tiba-tiba muncul.

"Iya, gue ikut lo. Lo bakalan ketemu gue di sana."

Padahal Kinan hanya asal bicara saja. "Eh? Beneran?"

"Semoga aja." Dan Gio mencium pipi Kinan lagi. Berkali-kali lalu turun ke leher gadis itu. Menciumnya berkali-kali juga.

Terdengar kekehan Kinan. "Geli, Gio. Udahan dulu. Kinan mau ngambil makanan di kulkas. Temenin Kinan nonton film."

Kinan sudah berhasil menyingkirkan Gio dari tubuhnya dan bangkit juga dari sofa. Baru dua langkah dirinya menjauh dari Gio, tangan Gio sudah menarik pergelangan tangannya. Seringai Gio terlihat ketika Kinan sudah terkunci di bawah tubuhnya lagi.

"Gak boleh yang kayak semalem." Kepala Kinan menggeleng dua kali dengan senyumannya yang tidak berhasil Kinan tahan. Menyuntuh pipi Gio untuk tidak mendekat ke arahnya.

"Iya, gak kayak semalem." Gio menurut.

Tetapi yang Kinan rasakan sama seperti tadi malam. Perlakuan Gio padanya. "Jangan di situ."

Gio mengangkat kepalanya. "Maunya di mana?"

"Nggak tau."

Dengan pelan, Gio menyentil kening Kinan dan membantu Kinan berdiri. "Sana. Ambil makanan yang lo bilang."

"Di sini, Gio."

Dan Gio merasakan Kinan mencium pipinya.

"Udah tuh."

Senyuman Gio benar-benar terlihat. Kinan menjauh dari Gio dan berjalan ke arah dapur dengan kedua pipi yang memerah.

Dan Kinan merasakan jantungnya agak mencelos saat melihat Ayahnya membuka pintu rumah. Kinan baru saja ingin melangkahkan kakinya menuju Gio di ruang tamu.

Suara Adam terdengar,

"Temennya Anna ya?"

Part full Kinan-Gio wkwkw siapa suka????

Yep, Om Adam bakalan ketemu sama Gio. Penasaran kelanjutanya? :))

Menurut kalian karakter Gio itu gimana gais?

Dan aku emang mau ngeluarin masalah Gio dulu sih baru Dean gitu....

Sori yang nungguin Dean tap dia gak ada di sini hiks.

Next part mungkin ada. Biar kangen gitu sama Dean ehe.

Lanjut?

Awas kebablasan, Yo;(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro